enjoy reading ...
"Kalau mau balik sama mantan, seengaknya bicara bak-baik sama cowok lo yang baru kalau hati lo masih buat si mantan. Meski itu bakal nyakitin dia sih, Ly." "Masak sih, Gi?" "Lha terus? Emang selama ini kalian pacaran tanpa cinta gitu? Atau cuma asal bareng aja?" Aku bingung bagaimana menjelaskan pada Gia. Karena baik aku dan Lois sama-sama terikat dalam pernikahan tanpa didasari cinta. Hanya sekedar saling membutuhkan saja. Namun, belakangan ini justru aku yang sangat membutuhkannya, berbanding terbalik dengan dia yang seolah-olah bisa melakukan semua sendiri tanpaku. "Ehm ... aku ... jalan sama dia karena ... " Gia menyela cepat, "Untuk mengisi kekosongan gitu? Pelampiasan sakit hati?" Tebakannya tidak sepenuhnya salah juga tidak sepunuhnya benar. "Nggak gitu juga, Gi. Tahu lah, bingung gue bilangnya." "Tapi maaf-maaf ya, Ly. Mantan kalau udah mantan ya tetep aja mantan. Balikan lagi belum tentu sebaik yang baru. Meski lo butuh waktu untuk nerima yang baru." "Jadi, lo setuju
Sakit rasanya ketika Lois akhirnya memilih meninggalkanku sendirian di kontrakan. Mana mungkin penderita autophobia sepertiku berani melawan ketakutan berada di ruangan seorang diri? Aku pernah mencoba melawan ketakutan itu dulu namun yang ada aku berteriak histeris meminta tolong. Kini, jika Lois meninggalkanku seorang diri, lalu aku harus kemana untuk mencari teman? Meminta Mbak Indri untuk menemaniku lagi itu bukanlah solusi. Ia juga memiliki keluarga untuk diurus, bukan hanya sekedar menemaniku hingga larut malam. "Kamu jahat, Lois," gumamku lalu menyeka air mata. "Kamu nggak bilang apa salahku tapi mainmu jelek kayak gini! Mentang-mentang aku punya autophobia dan biasa tergantung sama kamu, lalu kamu beginiin!" Membiarkan kontrakan tetap gelap, akhirnya aku menghubungi Nathasya, satu-satunya teman yang bisa kuminta perlindungan. Dia tahu jika aku memiliki autophobia. "Halo, Ly? Ada apa?" tanyanya dari sambungan telfon. Namun sepertinya Nathasya sedang berada di tempat yan
“Lois, berhenti disini!” Akibat perintah mendadakku itu, Lois langsung menarik rem tangannya hingga membuat tubuhku terhuyung ke depan. Mau tidak mau dadaku menyentuh punggung Lois lalu aku memukul pelan pundaknya. “Kamu sengaja ya ngerem kenceng? Biar aku jadi maju gitu?” “Nah? Siapa juga yang bilang berhenti mendadak?” Aku kemudian menghela nafas dan memasang wajah salah tingkah sambil memundurkan pantat. “Ngapain kita berhenti disini? Rumah orang tuamu masih di depan sana, Ly.” Kemudian mataku menatap buah tangan yang tadi sempat kami beli. Lois sengaja membeli buah yang disusun indah di dalam sebuah keranjang. “Dih, malah bengong.” “Lois, aku takut kalau … kembali diusir. Aku takut … dicaci maki Papa lagi.” Lois memutar tubuh lebih banyak hingga matanya bisa menatap wajahku. “Kan ada aku,” ucapnya kemudian tersenyum tipis. “Selama kamu diusir, siapa yang jagain kalau bukan aku? Siapa yang menghibur kalau bukan aku juga? Kalau sekarang kamu diusir lagi, ya tinggal pergi a
"Ly, maafin Papa ya, Nak?" Permintaan maaf dari bibir Papa terucap begitu lirih dengan sorot sendu yang membuat hatiku mengiba. Aku sadar betul jika kesalahan yang Papa perbuat itu tidak sebanding dengan pengorbanan beliau membesarkanku. Lagi pula, jelas sekali jika yang membuat ikatan kekeluargaan di rumah ini hancur adalah Vela, adikku. Anak kedua Papa. "Kenapa kamu diam aja? Apa Papa nggak dimaafin?" Aku meremas kedua tangan yang berada di atas paha dengan perasaan campur aduk. "Aku ... udah maafin, Pa." Kedua mata Papa dan Mama berbinar bahagia mendengar aku memberi maaf. Ekspresi sendu yang tadi tercetak, kini menghilang sempurna. "Makasih, Ly." Kemudian Papa mendekat dan memelukku erat lalu tangis harunya membuatku ikut menitikkan air mata. Bahwa tidak akan usai sebuah perdebatan keluarga jika tidak ada salah satu yang mengalah. Dan aku cukup sadar diri untuk menjadi anak yang berbakti. Setelah momen kami saling berurai air mata, Papa bersikap sangat ramah padaku. S
“Jadi, maksudnya, Om minta saya menceraikan Lilyah sekarang juga? Di depan Om dan Tante?” tanya Lois dengan ekspresi tenang. Kepala Papa mengangguk dengan tatapan intens memandang wajah Lois. “Sekarang juga.” “Kalau boleh saya tahu, apa alasan Om ingin menikahkan Lilyah dengan Ishak?” “Aku nggak mau jawab. Nanti dikira aku ini orang tua yang nggak tahu terima kasih sama kamu.” Lois tersenyum miring lalu melipat kedua tangannya di depan dada. “Saya sudah kenyang dihina kalau Om belum tahu.” “Apapun itu alasannya, itu privasiku, Lois. Kamu cukup ngikuti apa yang aku suruh.” “Sayangnya, perjanjian kita cuma sampai saya membawa Lilyah pergi dari rumah ini. Bukan menuruti perintah Om hingga sejauh ini. Apalagi mengikuti keinginan Om untuk menceraikan Lilyah.” Papa memasang wajah kesal karena Lois mendebatnya dengan cara yang santai dan tenang. Bagaimana bisa, seniman recehan seperti dirinya bisa setenang ini menghadapi perdebatan dengan Papa. Apakah sebelumnya dia sering berdebat
“Lho? Ngapain kita ke sini, Lois?” Bukan kontrakan tempat Lois menurunkan penyangga motornya, melainkan di sebuah taman yang berdekatan dengan waduk di tengah kota di daerah Pulo Gadung. Meski jarum jam hampir menunjukkan pukul sembilan malam, tapi taman ini tidak benar-benar sepi. Kebanyakan sejoli muda memilih menghabiskan malamnya disini. Tangan Lois bergerak menarik pergelangan tanganku lalu kami melangkah bersama hingga ke tepi danau. Sepintas hembusan angin malam itu lembut menyapu wajah kami berdua kemudian duduk di atas rerumputan tanpa alas. “Ngapain kamu ngajak aku kemari?” “Jenuh di kontrakan,” ucapnya sambil menatap jauh ke depan. Kedua tangannya ditumpukan memanjang ke depan di atas kedua lutut. Berulang kali pula Lois menghela nafas panjang dengan ekspresi kesal. Aku tahu ini pasti ada hubungannya dengan ucapan Papa tadi. “Lois, maafin Papaku ya? Kata-katanya tadi benar-benar kasar.” “Aku heran, dimana rasa terima kasihnya Papamu itu ke aku. Padahal selama ini aku
Bukannya menjawab untaian kata rindu yang Ishak ucapkan, namun aku justru teringat dengan apa yang Papa katakan semalam. Tentang Ishak yang berniat akan menikahiku kembali. Aku ingin sekali mengetahui segalanya. "Oke, nanti kita makan siang bareng, Shak."Terdengar helaan nafas senang dari suara Ishak. "Oke, Ly. Kamu yang tentuin restaurantnya juga boleh.""Oke, Shak. Ya udah aku mau kerja dulu.""I miss you, Ly."Aku canggung harus menjawab apa ungkapan rindu Ishak itu namun akan lebih baik jika tidak tergesa-gesa. Jadi, lebih baik aku berucap ..."Kabari aku kalau udah di depan kantor."***Jantungku masih sama berdetak tidak karuannya seperti awal bertemu Ishak. Tidak ada yang berubah sebenarnya tentang kadar cinta ini padanya andai tidak ada Lois disisiku.Tapi entah mengapa jika Lois berada di dekatku, perasaan cinta untuk Ishak selalu berkurang drastis. Seakan-akan Lois menyerapnya begitu saja dan membuangnya. "Maaf, Shak, lama. Tadi ada sedikit kendala di kantor," ucapku pad
"Kok nggak dihabisin roti bakarnya? Apa nggak enak?" Aku menggeleng pelan lalu memilih mengambil secangkir teh tidak terlalu manis buatan Lois yang tersaji di atas meja kayu kecil pendek ini. Meneguk teh itu hingga tandas lalu mengusap sudut bibir dengan tisyu. Kemudian bangkit dari duduk bersila di atas karpet hijau yang melapisi lantai ruang tamu kontrakan kami. "Bisa berangkat sekarang, Lois?" Lois yang masih duduk beralaskan karpet hijau itu kemudian meraih sisa roti bakarku yang tersisa setengah lalu memakannya begitu saja. Aku sedikit tergelak dengan sikapnya namun Lois mengunyahnya dengan seksama tanpa mempedulikan keterkejutanku. Kemudian kepalanya mendongak menatapku, "Enak sih menurutku, Ly. Nggak manis banget. Tapi kenapa kamu nggak habisin?" "Udah deh, Lois. Aku mau berangkat sekarang." Lois tetap menatapku hingga ia bangkit berdiri tinggi menjulang di hadapanku. Kedua sorot matanya memindai ekspresi wajahku lekat-lekat tapi aku memilih berlalu keluar kontrakan. Alas