Markus Reinhardt, yang selalu mencari cara untuk menggulingkan posisi Nathaniel, tidak menyia-nyiakan kesempatan setelah melihat keretakan yang mulai muncul dalam hubungan profesional Nathaniel dan Arissa. Sejak gala amal itu, dia mulai merencanakan langkah-langkah strategis untuk menjatuhkan reputasi Nathaniel. Gosip tentang kedekatan mereka mulai ia sebarkan secara sengaja di antara para klien dan mitra bisnis Nathaniel, dengan tujuan untuk menodai citra Nathaniel sebagai seorang pemimpin.Markus, yang selalu ahli dalam membaca situasi, mengetahui bahwa kekuatan Nathaniel terletak pada pengaruhnya yang luar biasa di dunia bisnis, dan bahwa reputasi adalah salah satu aset terpenting bagi seorang pemimpin. Oleh karena itu, ia mulai merancang narasi yang akan membuat Nathaniel tampak tidak profesional dan tidak dapat dipercaya. Rumor yang tersebar mulai mengguncang fondasi perusahaan Nathaniel."Apakah kamu mendengar tentang Nathaniel?" suara seorang mitra bisnis terdengar jelas di tel
Setelah rapat yang penuh ketegangan dengan dewan direksi, Nathaniel kembali merasakan beban berat di pundaknya. Meskipun ia sudah berusaha untuk menanggapi rumor yang beredar dengan tenang, tekanan dari dewan direksi semakin tidak bisa dihindari. Dewan merasa bahwa situasi ini tidak bisa diabaikan begitu saja—terutama karena gosip yang beredar sudah mulai memengaruhi hubungan dengan klien dan mitra bisnis utama perusahaan.Nathaniel tahu bahwa ia harus memberikan klarifikasi yang memadai. Tetapi, meskipun ia tetap berusaha menjaga sikap profesional, ada rasa frustasi yang tak bisa disembunyikan. Selama bertahun-tahun, ia telah membangun reputasi yang solid di dunia bisnis, dan sekarang, semua itu terancam oleh desas-desus yang tidak berdasar. Ia merasa semakin terpojok, namun ia tidak bisa membiarkan hal ini merusak segala yang telah ia capai.Pagi itu, di ruang rapat yang besar, Nathaniel duduk di hadapan dewan direksi. Mata mereka yang penuh keraguan dan perhatian membuat suasana se
Arissa duduk di mejanya, matanya kosong menatap layar komputer yang sudah lama tidak ia sentuh. Seluruh ruangan terasa sepi dan berat. Pikirannya terus terbayang pada gosip yang beredar, yang semakin memengaruhi bukan hanya Nathaniel, tetapi juga dirinya. Meskipun ia berusaha tetap profesional, perasaan bersalah semakin menggerogoti hatinya.“Apakah semuanya akan menjadi lebih buruk karena aku?” pikirnya dalam hati. “Apa aku benar-benar pantas berada di sini?”Arissa merasa semakin terjebak. Kehadirannya di sisi Nathaniel, yang awalnya hanya sebatas hubungan profesional, kini telah menjadi pusat dari masalah besar. Gosip mengenai hubungan mereka yang lebih dari sekadar rekan kerja terus menyebar, dan meskipun Nathaniel berusaha untuk tetap tegar, Arissa tahu bahwa beban ini sangat berat bagi dirinya. Bahkan beberapa rekan kerja yang dulu ramah, kini mulai menghindarinya atau memberi tatapan penuh tanda tanya. Sebagian besar dari mereka mungkin tidak berani mengungkapkan secara langsun
Hari itu, sebuah pertemuan bisnis besar diadakan di salah satu hotel mewah di pusat kota. Para klien dan mitra bisnis terbaik Nathaniel berkumpul untuk membahas beberapa proyek besar yang akan datang. Ini adalah kesempatan penting untuk menunjukkan kekuatan dan kredibilitas perusahaan, serta kemampuan Nathaniel untuk mengendalikan segala situasi yang datang.Namun, ketegangan sudah memuncak sejak pagi. Nathaniel merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Rasa cemas menggerogoti hatinya, dan ia tahu bahwa Markus Reinhardt tidak akan membiarkannya begitu saja. Hari itu adalah hari yang menantang, dan Nathaniel bisa merasakannya di setiap langkahnya.Pertemuan itu dimulai dengan lancar. Nathaniel memperkenalkan proyek-proyek baru yang akan membawa perusahaan ke level yang lebih tinggi. Para peserta terlihat antusias, banyak yang memberikan apresiasi terhadap ide-ide baru yang disampaikan Nathaniel. Namun, ketika suasana mulai mereda, Markus yang sudah lama menunggu momen yang tepat, berdiri
Vanessa tidak lagi sekadar bermain dalam bayangan. Setelah gagal mendapatkan hati Nathaniel, ia kini bertekad untuk memastikan bahwa Arissa hancur, tidak hanya dalam kariernya tetapi juga dalam hubungan pribadinya dengan Nathaniel.Dengan cermat, ia telah mengumpulkan berbagai informasi mengenai Arissa, dari latar belakang keluarga hingga kebiasaan kecilnya. Ia tahu bahwa untuk benar-benar menjatuhkan Arissa, ia tidak bisa hanya mengandalkan gosip atau fitnah biasa. Ia butuh sesuatu yang lebih kuat—sesuatu yang bisa mengguncang kepercayaan Nathaniel dan dewan direksi terhadap Arissa.Malam itu, di dalam apartemennya yang mewah, Vanessa duduk dengan segelas anggur merah di tangannya, menelusuri layar laptopnya. Di hadapannya, seorang pria bertubuh tegap dengan ekspresi licik menunggu instruksi lebih lanjut."Kau sudah mendapatkan semua yang kuminta?" Vanessa bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.Pria itu, seorang penyelidik bayaran yang sudah sering menangani pekerjaan ko
Nathaniel duduk di balik mejanya, menatap amplop yang sama yang diberikan Vanessa sehari sebelumnya. Sejak menerima laporan itu, pikirannya terus dihantui oleh informasi yang terkandung di dalamnya. Ia ingin mengabaikannya, ingin percaya bahwa Arissa tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Namun, semakin banyak laporan serupa berdatangan, semakin sulit baginya untuk menepis keraguan yang mulai tumbuh di benaknya.Di meja, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari salah satu eksekutif senior berbunyi:"Nathaniel, kita perlu membicarakan ini. Beberapa klien mulai mempertanyakan keamanan informasi perusahaan setelah rumor soal kebocoran data yang melibatkan seseorang dari staf pribadimu. Aku harap kau bisa memberikan klarifikasi segera."Nathaniel menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa menghadapi serangan bisnis, tetapi kali ini berbeda. Serangan itu tidak hanya menargetkan dirinya, tetapi juga Arissa—seseorang yang, meskipun ia enggan mengakuinya, telah menjadi bagian penting dalam hidu
Setelah pria itu pergi, Nathaniel menyandarkan tubuhnya di kursi, pikirannya bekerja lebih cepat dari sebelumnya. Sekarang semuanya mulai masuk akal. Serangan ini terlalu terkoordinasi untuk sekadar kebetulan.Ia tahu bahwa ada dua hal yang harus ia lakukan. Pertama, ia harus memastikan bahwa Arissa tidak sampai terluka karena permainan licik ini. Kedua, ia harus menghadapi Vanessa secara langsung.Tanpa membuang waktu, ia mengambil ponselnya dan menghubungi Vanessa."Aku ingin bicara denganmu. Sekarang," katanya dengan suara penuh tekanan.Ada jeda di ujung telepon sebelum Vanessa menjawab dengan nada manis yang dibuat-buat. "Nathaniel, ada apa? Kau terdengar serius.""Kantorku. Lima belas menit."Nathaniel tidak memberi kesempatan Vanessa untuk menolak sebelum menutup teleponnya. Ia menatap keluar jendela, rahangnya mengeras.Jika Vanessa berpikir bahwa ia bisa bermain-main dengannya, maka ia akan segera menyadari betapa salahnya an
Tak butuh waktu lama sebelum perubahan ini mulai berdampak pada pekerjaan mereka. Karyawan lain mulai memperhatikan bagaimana interaksi mereka yang dulunya tampak lebih cair kini menjadi kaku dan formal. Ada bisikan di antara rekan-rekan mereka, spekulasi tentang apakah sesuatu telah terjadi antara bos mereka dan Arissa.Vanessa, yang selalu memperhatikan dengan penuh minat, tentu saja tidak melewatkan hal ini. Ia menyeringai puas saat melihat bagaimana Nathaniel tampaknya mulai menjauh dari Arissa. Baginya, ini adalah tanda bahwa rencananya mulai membuahkan hasil.Suatu hari, saat Arissa berada di pantry kantor, Vanessa mendekatinya dengan ekspresi yang tampak simpatik tetapi sarat kepalsuan. "Kau terlihat lelah akhir-akhir ini, Arissa. Sesuatu terjadi?"Arissa menoleh dan memberikan senyum tipis. "Aku baik-baik saja, Vanessa. Hanya sibuk dengan pekerjaan."Vanessa tertawa kecil. "Oh, aku mengerti. Pekerjaan memang bisa membuat seseorang stres, terutama
"Persis seperti yang kau ajarkan padaku," kata Nathaniel, mengecup lembut pipi istrinya.Saat mereka sedang mengobrol dengan kepala proyek konstruksi, ponsel Nathaniel berbunyi. Nomor tidak dikenal muncul di layar, tapi Nathaniel tetap mengangkatnya."Nathaniel Kingston," jawabnya formal.Suara di seberang terdengar familiar, namun Nathaniel tak bisa segera mengingatnya. "Mr. Kingston, ini Marcus Williams dari Global Humanitarian Award Foundation. Saya menelepon untuk memberitahu bahwa Anda dan istri Anda, Ny. Arissa Kingston, terpilih sebagai penerima Global Humanitarian Award tahun ini atas dedikasi luar biasa dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat."Nathaniel terdiam sejenak, terkejut dengan kabar tersebut. "Saya... terima kasih, Mr. Williams. Ini kehormatan besar bagi kami."Setelah mendapat detail lebih lanjut dan menutup telepon, Nathaniel berbalik pada Arissa yang menatapnya penasaran."Siapa itu?" tanya Arissa."M
Nathaniel tertawa kecil. "Hati yang sangat pandai bersembunyi, maksudmu. Butuh seorang Arissa Wijaya untuk menemukannya."Ponsel Nathaniel berbunyi, menampilkan nama Robert di layar. Dengan sedikit helaan napas, Nathaniel mengangkatnya."Robert, ada kabar?""Goldstein setuju dengan syarat kita, Nat," kata Robert dari seberang, suaranya terdengar tidak percaya. "Mereka akan mempertahankan 90% tenaga kerja lokal dan menjamin tidak ada PHK dalam dua tahun pertama."Nathaniel tersenyum lebar. "Bagus. Siapkan dokumen finalnya. Kita akan menandatanganinya minggu depan."Setelah menutup telepon, Nathaniel berbalik pada Arissa yang menatapnya dengan penasaran."Kabar baik?" tanya Arissa."Kabar terbaik," jawab Nathaniel. "Goldstein Corp setuju dengan semua syarat kita. Tidak ada karyawan yang akan kehilangan pekerjaan."Arissa menghampiri Nathaniel dan memeluknya erat. "Aku sangat bangga padamu.""Ini berkat kau, Arissa. Kau yan
"Tapi itu... itu proyek besar, Nathaniel. Butuh investasi sangat besar.""Aku tahu," Nathaniel mengangguk. "Aku sudah bicara dengan tim keuangan. Kita bisa mengalokasikan 35% keuntungan tahunan perusahaan untuk ini, plus sumbangan dari jaringan pengusaha yang kukenal. Dalam lima tahun, universitas ini bisa beroperasi penuh."Arissa menatap suaminya dengan kagum. Dulu, Nathaniel selalu berbicara tentang merger, akuisisi, dan pertumbuhan profit. Sekarang, pria yang sama berbicara dengan semangat yang sama besarnya tentang memberikan pendidikan bagi mereka yang kurang beruntung."Kau benar-benar telah berubah," kata Arissa lembut, tangannya meraih tangan Nathaniel di atas meja."Bukan berubah, sayang. Hanya kembali pada diriku yang sesungguhnya," jawab Nathaniel. "Kau tahu, ayahku membesarkanku dengan keyakinan bahwa nilai seorang pria diukur dari kesuksesannya dalam bisnis. Saat dia meninggal dan aku mewarisi perusahaan di usia muda, aku merasa harus membuk
"Tapi itu berarti kita harus melakukan restrukturisasi besar-besaran, termasuk PHK terhadap ratusan karyawan lokal," lanjut Nathaniel, menunjukkan pemahaman mendalam terhadap situasi tersebut.Robert mengangguk. "Dahulu, kau mungkin akan langsung menerima tawaran ini tanpa ragu. Keuntungan besar, ekspansi pasar, nilai saham yang melonjak."Nathaniel tersenyum tipis. "Dan sekarang kau tidak yakin dengan keputusan apa yang akan kuambil?""Terus terang, ya. Kau... berbeda sejak menikah dengan Arissa."Nathaniel bersandar di kursinya, tatapannya menerawang ke luar jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian."Kau tahu, Robert, dulu aku berpikir menjadi pemimpin berarti mengambil keputusan sulit yang tidak semua orang bisa terima. Mengutamakan profit dan pertumbuhan di atas segalanya." Nathaniel berhenti sejenak. "Tapi sekarang aku mengerti bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang dampak keputusan kita terhadap kehidupan orang lain.""Jadi
Pagi itu, Nathaniel terbangun dengan perasaan yang berbeda. Sudut-sudut kamar yang besar itu diterangi oleh cahaya matahari yang lembut menembus tirai jendela. Di sampingnya, Arissa masih tertidur pulas, rambut hitamnya menyebar di atas bantal putih, wajahnya damai seperti lukisan sempurna.Ini sudah dua bulan sejak mereka mengucapkan janji pernikahan di hadapan keluarga dan teman-teman. Dua bulan yang terasa seperti mimpi indah yang tak pernah ingin ia bangunkan. Nathaniel tersenyum, mengamati istrinya dengan penuh kasih. Dahulu, saat-saat seperti ini—bangun pagi tanpa terburu-buru memeriksa email atau menghadiri rapat—terasa seperti pemborosan waktu baginya. Kini, momen-momen hening inilah yang paling ia hargai."Apa yang kau lihat?" tanya Arissa lembut, matanya perlahan terbuka."Keajaiban," jawab Nathaniel singkat, tangannya membelai pipi Arissa dengan lembut.Arissa tersenyum, lalu menggeser tubuhnya lebih dekat pada suaminya. "Kau tahu, dulu aku tidak pernah berpikir seorang Nat
"Cheers," kata Nathaniel, mengangkat botol birnya. "Untuk rumah baru dan awal baru.""Untuk rumah baru dan awal baru," ulang Arissa, menyentuhkan botolnya ke botol Nathaniel.Mereka minum dalam diam, menikmati ketenangan setelah hari yang sibuk. Dari jendela besar di ruang tamu, mereka bisa melihat langit malam yang dipenuhi bintang-bintang, jauh lebih jelas dari yang bisa mereka lihat dari apartemen lama mereka di pusat kota."Indah, bukan?" bisik Nathaniel, mengikuti arah pandang Arissa."Sangat indah," jawab Arissa, tersenyum kecil. "Aku senang kita memutuskan untuk pindah ke sini.""Aku juga." Nathaniel meletakkan botol birnya, lalu meraih tangan Arissa. "Arissa, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.""Oh?" Arissa menoleh, penasaran.Nathaniel merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua. "Aku tahu ini mungkin sedikit klise, memberikan hadiah di rumah baru... tapi aku ingin memberikan ini sebagai si
"Itu berita luar biasa," Robert menepuk-nepuk bahu Nathaniel dengan bangga. "Kalian akan menjadi orang tua yang hebat, aku yakin itu.""Kalian yakin ini saat yang tepat?" tanya Elizabeth, masih dengan air mata haru di wajahnya. "Dengan karir kalian yang sedang berkembang?""Tidak ada waktu yang sempurna untuk memiliki anak, Bu," jawab Arissa bijak. "Tapi kami merasa siap. Kami sudah membicarakan ini dengan matang.""Dan kami akan saling mendukung, seperti yang selalu kami lakukan," tambah Nathaniel, menatap istrinya dengan penuh cinta.Elizabeth dan Robert saling berpandangan, keduanya terlihat sangat bahagia dengan berita ini. "Kalian tahu," kata Elizabeth setelah beberapa saat, "ayah kalian dan aku sangat menantikan saat menjadi kakek dan nenek. Dan sekarang, meskipun kami akan pindah ke Florida, kami berjanji akan hadir dalam setiap momen penting pertumbuhan cucu kami.""Kami akan sering berkunjung," Robert meyakinkan. "Atau kalian bisa membawa
Hari-hari berikutnya diisi dengan diskusi-diskusi tentang rencana mereka. Mereka membicarakan tentang kemungkinan pindah ke rumah yang lebih besar, tentang persiapan finansial, dan tentang bagaimana mereka akan menyeimbangkan karir dengan tanggung jawab sebagai orang tua.Pada Sabtu sore, mereka mengunjungi sebuah kompleks perumahan yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Dengan bantuan seorang agen real estate, mereka melihat-lihat beberapa rumah yang masih dalam tahap pembangunan."Yang ini memiliki tiga kamar tidur," jelas sang agen, menunjukkan denah rumah yang cukup luas. "Halaman belakangnya juga cukup besar, sempurna untuk anak-anak bermain."Arissa dan Nathaniel saling berpandangan, keduanya membayangkan bagaimana kehidupan mereka akan terlihat di rumah itu. Membayangkan suara tawa anak-anak memenuhi setiap sudut rumah, membayangkan pagi-pagi yang sibuk dengan persiapan sekolah, dan malam-malam yang tenang saat mereka berkumpul bersama di ruang keluarga
"Selamat malam, Nate."Ketika Nathaniel sudah tertidur lelap, Arissa masih terjaga, menatap langit-langit kamar mereka. Hatinya dipenuhi dengan berbagai emosi—kegembiraan, antisipasi, dan sedikit kecemasan. Tapi di atas semua itu, ada perasaan damai yang mendalam, sebuah keyakinan bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, mereka akan menghadapinya bersama.Ia melirik ke samping, mengamati wajah suaminya yang terlelap. Dalam cahaya samar-samar yang masuk melalui jendela, Nathaniel terlihat damai dan tampan, seperti hari pertama mereka bertemu. Arissa tersenyum, merasa sangat bersyukur atas kehadiran pria ini dalam hidupnya.Dengan pikiran penuh harapan untuk masa depan, Arissa pun akhirnya terlelap, bermimpi tentang tawa anak-anak dan tahun-tahun bahagia yang menanti mereka di depan.Pagi datang dengan cahaya matahari yang menembus tirai kamar mereka. Arissa terbangun lebih dulu, seperti biasa. Ia menghabiskan beberapa menit hanya untuk mengamati Nat