“Terima kasih, kakak, silakan datang lagi!” kata Erin dengan ramah sambil memberikan minuman yang dipesan seorang pembeli terakhir di kafenya. Setelah pembeli itu keluar dari kedai kopi, kini kafe hanya tinggal dia dan Alya, sahabatnya sekaligus pemilik kedai kopi.
“Akhirnya, last order kelar juga,” ujar Alya sambil menghitung uang hasil penjualan hari ini di mesin kasir. Kini di kafe hanya tinggal dia dan Erin. Karyawan yang lain sudah pulang duluan setengah jam lalu. Hari ini kedai kopi tidak terlalu ramai karena hujan deras sejak tadi siang, sehingga para karyawan bisa beres-beres dan pamit duluan.
Erin membersihkan konter. “Lu ‘kan nggak perlu di sini sampai tutup,”
“Nggak apa-apa, gue nggak mau lu pulang malem sendirian.” Alya tersenyum pada Erin. “Lagian hari ini hujannya deras banget. Kita bisa pulang bareng naik mobil gue.”
Erin melihat ke luar kedai kopi. Ternyata di luar sudah gerimis. Selang beberapa menit kemudian, hujan mulai turun lagi dengan deras. “Makasih banget, Al.”
“Jadi nggak sabar sampai rumah. Kita istirahat sambil nonton drakor, yuk.”
“Gue masih harus siapin kulit pai buat besok Sabtu,” jawab Erin. Dia melihat rak pendingin di konter yang berisi kue-kue dan roti untuk camilan. Salah satunya adalah pai buatan Erin. Dia menghitung jumlah pai buatannya yang tersisa. “Kayaknya kita bisa makan pai malam ini. Masih sisa dua iris.”
“Asiiik! Bisa buat ngemil sambil nonton, nih. Yuk ah, kita pulang.”
Erin tertawa kecil mendengar antusiasme Alya. Akan tetapi, kesibukan mereka mendadak terhenti ketika mereka mendengar pintu kedai terbuka. Seorang pria masuk ke dalam kedai dalam keadaan basah kuyup. Pria itu mengenakan jaket dengan tudung menutupi kepalanya. Napasnya tersengal-sengal karena berlari kehujanan.
“Sorry, coffee shopnya masih buka? Apa saya boleh berteduh di sini sebentar? Saya sedang jalan kaki ke apartemen tapi malah kehujanan.” tanya pria itu sambil di sela-sela napasnya. Erin dan Alya menyadari logat bahasa Indonesianya masih belum fasih dan tercampur oleh bahasa Inggris, seakan pria itu belum lama menghabiskan waktunya di Indonesia.
Erin tidak bisa menjawab apa-apa karena terpana dengan sosok pria itu. Dia adalah pria tertampan yang pernah Erin lihat. Dia memiliki paras blasteran dengan tulang pipi tinggi, alis tebal yang terbentuk rapi, dan mata cokelat terang. Rambut hitamnya menutupi sebagian dahinya karena lepek kehujanan .
Dia tersenyum memelas untuk menarik simpati agar dua wanita di depannya mengizinkan dia singgah sebentar di sini. Erin makin tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya pada pria itu dengan meneruskan mengelap konter sambil menunduk malu.
Melihat Erin sangat gugup, Alya akhirnya menyambut pria itu, “Boleh, kok. Silakan pesan dulu, kak.”
“Terima kasih.” Pria itu tersenyum lagi lalu berjalan ke konter. Dia melihat daftar menu di atas konter sejenak, sama sekali tidak menyadari kegugupan Erin. Alya masih menunggu pesanan dari pria itu dengan sabar.
Dia akhirnya menyebutkan pesanannya. “Aku mau coba kopi susu hangat.”
Alya pun memasukkan pesanannya di mesin kasir. “Mau sekalian coba makanannya, kak?”
Dia pun melihat ke rak pendingin. Sepertinya tidak ada yang menarik perhatiannya kecuali pai bluberi buatan Erin.
Dia menunjuk pai tersebut. “Painya kelihatan enak. Aku mau satu iris.”
“Erin, tolong siapin painya, ya,” kata Alya. Perasaan Erin makin tidak karuan. Di antara sekian camilan yang bisa pria ini pilih, dia malah memilih pai buatannya?
Masih diam, Erin mengambil seiris pai lalu memanaskannya di microwave. Sambil menunggu pai siap, Erin membuat kopi susu pesanan pria itu sambil terus curi-curi pandangan padanya yang sedang membayar pesanannya pada Alya.
Setelah membayar pesanan, dia duduk di bangku terdekat, menaruh tas selempangnya di atas meja lalu mengecek isinya. Dia terlihat bernapas lega karena isinya tidak basah. Erin memperhatikan tasnya ternyata berisi kamera. Di bagian depan tasnya, tertulis nama pria tersebut dalam bentuk bordir. Alex.
Alya mendekati Erin lalu berbisik, “Padahal gue tahu semua cowok yang pernah lu pacarin. Tapi gue nggak pernah liat lu sampai kayak gini di depan cowok!”
“Ssh!” Erin menengok ke arah Alex yang masih sibuk mengecek kameranya. Untungnya dia tidak mendengar ucapan Alya. “Gue nggak nyangka aja bakal ketemu cowok secakep dia hari ini.”
“Ajak ngobrol aja,” seloroh Alya. “Siapa tahu dia juga suka sama lu.”
“Jangan, ah! Kalau dia terganggu gimana?” wajah Erin kian memerah sehingga membuat Alya menahan tawa. Meskipun kesal, Erin juga sebenarnya ingin tahu lebih banyak soal Alex. Dia belum pernah melihat Alex sebelumnya di kedai ini. Apakah Alex tidak tinggal di sekitar sini dan hanya kebetulan lewat? Pertanyaan itu membuat Erin sedih sekaligus lega. Sedih karena berarti ini pertama dan terakhir kalinya dia melihat Alex. Lega karena dia tidak akan merasakan kegugupan dan kegelisahan seperti ini lagi.
Namun, kedua rasa itu belum akan berakhir dengan cepat, karena Erin masih harus mengantar pesanan Alex ke mejanya. Dia menaruh pesanannya di atas nampan lalu berjalan ke meja Alex.
Alex terlihat bahagia pesanannya sampai dengan cepat. “Terima kasih.”
Erin berusaha tersenyum lalu mencoba mengatakan sesuatu. Tidak ada yang bisa dia ungkapkan kecuali “Selamat menikmati.”
Erin kembali ke balik konter di mana Alya mengamati mereka. Alya berbisik lagi, “Kok lu nggak kenalan sama dia? Tadi kalian udah deket banget!”
“Kasihan, biarin dia makan dulu!” elak Erin.
“Rin, kalau kalian nggak ketemu lagi gimana? Nanti lu yang nyesel, lho.”
“Kalau nggak ketemu lagi, ya udah. Berarti nggak jodoh.”
Alya memutar matanya. “Duh, kok sahabat gue gampang nyerah gini, sih.”
Sambil menunggu Alex selesai makan, mereka melanjutkan beres-beres. Tanpa sepengetahuan Alya, Erin kembali curi-curi pandang ke Alex sambil membersihkan mesin espresso. Erin pun bertanya-tanya dalam hati. Erin sudah bekerja di sini sejak kedai ini buka dua tahun lalu. Pelanggan kedai ini rata-rata orang yang tinggal atau bekerja di sekitar sini. Erin sudah familiar dengan hampir semua wajah para pelanggannya. Namun, dia belum pernah melihat Alex sebelumnya. Siapakah dia?
Ketika Alex selesai makan, hujan sudak mulai agak reda. Erin melihat Alex menyeka bibirnya dengan tisu lalu mulai beranjak.
“Hujannya udah mulai reda. Aku mau jalan lagi. Makasih sudah diizinin berteduh,” Alex berkata sambil berjalan keluar.
“Iya, sama-sama, kak!” jawab Alya.
Namun, sebelum Alex membuka pintu, dia menengok ke arah Erin dan Alya sambil memberikan senyuman yang tidak akan pernah dilupakan Erin. “Oh iya, tadi pai yang kumakan enak banget. Next time aku ke sini lagi buat beli painya.”
Ucapannya membuat Erin dan Alya tercengang. Sampai Alex pergi pun, mereka masih belum percaya dengan apa yang dia ucapkan.
“Dia… dia suka pai gue…” Erin akhirnya berujar. “Dia suka pai gue!”
“Dan dia bakal balik lagi ke sini!” sahut Alya.
“Yaaay!!!” Erin dan Alya pun berpelukan sambil bersorak gembira.
“Dua es kopi susu buat Kak Desi dan Kak Ana!” seru Erin di balik kasir seraya memberikan dua gelas plastik kopi ke dua teman baristanya, Hana dan David. Erin melihat di belakang wanita yang baru saja dia layani masih ada tiga orang lainnya yang masih mengantre untuk membeli minuman. Sayangnya, ketiga orang itu bukanlah Alex.Erin melirik jam tangannya. Sekarang sudah hampir pukul 4 sore. Biasanya Alex datang tiap jam makan siang. Erin yang hari ini sedang shift siang sengaja masuk lebih awal supaya bisa bertemu Alex. Namun, kata karyawan kedai yang masuk shift pagi, Alex belum datang saat jam makan siang tadi.Erin menerka-nerka alasan Alex masih belum datang. Cuaca hujan deras sejak tadi pagi. Apa itu sebabnya Alex tidak datang hari ini?Erin berusaha menepis kekhawatirannya dengan fokus pad
Antrean pembeli sudah habis saat mendekati jam tutup. Setelah Erin memberikan minuman ke pelanggan terakhir hari ini, Erin menghela napas dengan lesu. Ia menaruh semua peralatan pembuat minuman di bak cucian lalu mengambil kain lap untuk membersihkan konter kedai sambil menggerutu. Hanya pada hari ini Erin benci kedai yang sepi karena tidak ada lagi kesibukan untuk mengalihkan pikirannya dari teguran Alya tadi siang. Sudah dua bulan sejak ia mencoba kenalan dengan Alex tetapi ia tidak pernah dapat keberanian untuk melakukannya.“Udah close order, ya?” David keluar dari belakang kedai. Dia mengenakan celemeknya untuk mulai mencuci. “Alex hari ini nggak dateng?”Erin menggerutu lagi saat David menyebut nama itu. “Nggak.”
Erin tidak dapat menahan senyum selama perjalanan pulang. Sambil mendengarkan lagunya PVRIS—sebuah band yang pernah Alex bilang di media sosial adalah salah satu band kesukaannya—ia berterimakasih pada dirinya sendiri karena telah sanggup mengobrol dengan Alex. Entah ia dapat kekuatan dari mana untuk bisa melakukan hal itu. Erin bahkan belum sanggup mengunggah status di media sosial tentang pertemuannya dengan Alex tadi. Ia belum mau membagikan apa yang terjadi ke semua orang karena masih ingin menikmati salah pengalaman terbesarnya seumur hidup. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen yang ia alami barusan sambil diiringi suara vokalis bandnya yang Alex bilang hipnotis.Erin tiba di apartemen yang ia tinggali bersama Alya sambil bersena
Keesokan harinya, Erin merasa bersemangat sekaligus gamang di saat bersamaan. Saking semangatnya, Erin sampai membuat dua loyang pai untuk hari ini. Teman-temannya yang menjalani shift pagi bilang Alex tidak datang, berarti ia mungkin akan datang sore ini atau larut seperti semalam. Mengetahui itu, Erin merasa lega dan galau juga. Ia belum pernah merasa campur aduk seperti ini dalam waktu lama.Erin mencoba mengalihkan perasaannya dengan bekerja. Mau bagaimana pun juga, ia tetap seorang barista handal yang sudah melayani banyak pembeli sejak jam kerjanya dimulai. Pelanggan berikutnya adalah seorang gadis berpenampilan trendi layaknya seorang selebgram. Erin menemui pelanggan seperti ia setiap hari karena Pi Coffee memang lebih populer di kalangan muda seperti gadis itu. Ia memesan kopi susu, menu paling populer di kedai
Hari ini, tepat pada tanggal 28 Desember acara pertunangan Alya dan Daniel secara resmi diadakan di rumah Alya yaitu di sebuah kompleks perumahan di area Bekasi. Untuk keluarga kedua mempelai yang cukup berada, acara pertunangannya sederhana sesuai keinginan Alya dan Daniel. Para tamu yang hadir hanya sebatas keluarga, kerabat dan karyawan Alya.Erin sudah bersahabat dengan Alya hampir 15 tahun sejak SMA. Erin sudah dekat dengan orangtuanya bahkan bisa mengenali beberapa om dan tante Alya yang hadir. Mereka turut mengisi acara dan mendampingi Alya serta orangtuanya.Saat ini, Erin berada di kamar tidur Alya untuk membantu sahabatnya berdandan. Alya sengaja tidak mau menyewa penata rias supaya dia bisa mengabadikan seluruh penampilan rancangan dirinya sendiri untuk hari ini. Alya memutuskan untuk tampil sederhana namun elegan dengan mengenakan kebaya tunik
Usai sesi doa bersama, acara pertunangan Alya dan Daniel dilanjutkan dengan makan-makan dan sesi foto bersama calon pengantin. Sesi foto dimulai dari foto bersama orangtua mempelai diiringi penyerahan mas kawin secara simbolik. Kemudian, sesi foto dilanjutkan dengan foto bersama keluarga inti dan kerabat lainnya sebelum diakhiri dengan sesi foto ramai-ramai dengan para karyawan Pi Coffee.“David paling belakang, ya!” Seru Hana seraya mengambil posisi manis di samping Erin yang sudah berdiri di sebelah Alya. “Ngalah buat gue yang dandan cantik biar di depan!”“Enak aja!” Jawab David dengan sewot. Ia mengambil posisi berlutut di depan mempelai.“Ya udah sih, jangan dibuat ribet kenapa!” Sahut Bella.Alya dan Daniel hanya bisa
Erin membuka pintu apartemen yang kosong karena malam ini Alya menginap di rumahnya. Ia memasuki apartemen dengan kantong belanjaan di kedua tangannya. Isinya adalah bahan-bahan yang ia perlukan untuk membuat pai pesanan Alex. Ia meminta David untuk mengantarkannya sampai ke supermarket langganan Erin yang tidak jauh dari apartemen untuk belanja. Erin menaruh belanjaannya di konter dapur sambil menghela napas. Lelah baru ia rasakan sekarang begitu ia sendirian di apartemen. Erin duduk di sofa sambil menyalakan AC dan televisi untuk melepas penatnya sejenak. Ia tidak terlalu suka sendirian karena pikirannya bisa ke mana-mana. Ia berniat untuk mulai membuat pai malam ini, namun ia hanya merasa pusing, kosong, dan tidak tahu ingin melakukan apa. Erin tertawa pelan. Bagaimana bisa ia mendekati Alex kalau dirinya seperti ini. Kemudian, Erin memutuskan untuk mandi.
“Happy new year!” Seru Alya dari meja makan pada Erin yang baru keluar dari kamarnya. “Sayang banget lu nggak ikut acara tahun baruan semalem sama anak-anak kedai.”Erin menguap lebar sambil mengusap wajahnya. Ia menghabiskan malam tahun barunya membuat pai untuk pesta Alex hari ini. Ia baru tidur pukul tiga pagi. “Sekarang jam berapa?” Erin melihat jam dinding baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Lu nggak ngantuk apa abis pesta tahun baruan semaleman?”“Nggak juga, gue udah minum kopi, kok.” Alya mengangkat gelas di tangannya. “Sini, sarapan dulu sebelum nyiapin painya lagi. Acaranya Alex juga masih nanti sore ini.”Erin mengikuti ucapan Alya dengan ikut dud
Hari yang Erin nantikan sekaligus takuti pun tiba. Sesuai saran Alya, Erin memutuskan untuk berdandan lebih rapi dan menarik, bahkan lebih baik daripada penampilannya saat ke apartemen Alex dulu. Supaya tetap terlihat formal dan serius, Erin mengenakan kemeja biru tua dengan kancing atas terbuka agar kalung emas imitasi yang melingkar di lehernya terlihat jelas. Ia memilih celana jins putih semata kaki sebagai bawahan. Erin berkaca sambil memasukan kemejanya ke dalam celananya. Ia sudah mencatok ikal rambutnya lalu menariknya ke belakang, menambahkan jepitan pita yang mempermanis penampilannya. Ia merias wajahnya secara natural sesuai ajaran Alya. Erin melirik sepatu hak tinggi di sebelahnya yang akhirnya akan ia kenakan hari ini. Sekarang bukan saatnya untuk main-main, kontrak ini bisa jadi penentu besar untuk masa depan painya. “Wow, lu beneran all out hari ini!” Alya langsung memuji Erin begitu ia keluar dari kamar. “Gue bangga banget sama lu, Er!”“Udah ah, jangan bikin gue tamb
Beberapa hari jelang pertemuannya dengan Henry, Erin meminta Alya untuk mengajarinya cara negosiasi bisnis, strategi pertemuan yang bisa ia lakukan, serta respons seperti apa yang bisa Erin berikan jika Henry melontarkan pertanyaan atau penawaran tertentu. “Inget, apa pun penawaran dia, jangan sampai brand lu dipegang sama dia,” kata Alya dengan nada tegas, seolah ia ingin Erin mengutamakan poin yang ia berikan. “Brand?” Erin mengernyitkan dahi. “Gue yakin banget kerja sama yang mau ditawarin Henry pasti ada hubungannya sama restoran yang dia kelola. Jangan sampai pai lu diklaim jadi punya mereka!” Alya mengetukkan jarinya di meja makan. “Biasanya orang yang udah punya bisnis gede suka banget tuh narik karya pebisnis kecil buat diklaim jadi buatan mereka. Sebaik-baiknya Alex, adeknya belum tentu sebaik dia.” Erin menarik napas tegang. Ia memang belum kenal Henry sebaik Alex. Apa pun bisa terjadi saat pertemuannya nanti. “Duh, kenapa gue baru sadar sekarang, ya?” “Makanya lu punya
Erin pulang dengan berat hati karena memikirkan pertemuannya dengan Henry siang ini. Ia belum pernah merasa seperti ini lagi sejak hari pernikahan ayahnya yang kedua. Ia memasuki apartemen dengan niat untuk mandi lalu bersantai sambil nonton dan makan camilan.“Hei!” sapa Alya dari meja makan. Ia sibuk dengan laptop di depannya. Tumpukan kertas dan beberapa folder tersebar di meja.“Masih kerja, Al?” tanya Erin.“Nggak. Gue lagi cari inspirasi buat wedding gue.”“Lu kerja sama rencanain nikahan lu kelihatan kayak nggak ada bedanya,” canda Erin. Ia duduk di samping Alya. Erin melihat tumpukan informasi tentang lokasi-lokasi pernikahan, vendor, wedding organizer dan inspirasi-inspirasi gaun pengantin serta dekorasi pernikahan. “Mau gue bantu?”“Maulah. ‘Kan lu bridesmaid gue,” jawab Alya. Kemudian ekspresinya berubah, teringat sesuatu. “Eh, tapi, kalau lu masih overwhelmed soal Henry tadi siang, nggak usah. Lu istirahat aja.”“Apaan, sih? Cuma Henry doang,” jawab Erin dengan enteng samb
Seperti permintaan Henry, Erin ambil jam istirahatnya lebih awal untuk diskusi dengannya. Mereka duduk bersebrangan di meja kedai. Erin terus menatap Henry meneguk kopi hitamnya beberapa kali. Henry datang dengan penampilan sama seperti Erin bertemu dengannya pertama kali, hanya saja sekarang lebih rapi dengan kemeja putih berdasi biru bercorak putih. Mungkin ini hanya perasaan Erin, tetapi lingkaran hitam di bawah matanya makin terlihat jelas karena wajahnya pucat. Erin sampai punya hasrat untuk menjejalkan pria ini perawatan kulit yang ia miliki di rumah atau menyuruhnya pulang untuk tidur.“Gimana kamu bisa tahu aku kerja di sini?” Erin menyilangkan tangannya di meja.Henry menaruh gelas kopinya. “Tentu saja dari Alex. Dia selalu cerita soal pai kamu dan beberapa kali menyebut tempat ini.”“Masa sih?” Erin terkesiap sambil menahan senyum. Apa yang Alex katakan ke Henry? Ia ingin tahu semuanya. Tanpa menghiraukan reaksi Erin, Henry melirik ke rak pendingin kedai. “Ternyata kamu men
Setelah Erin menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu di kedai, semua karyawan termasuk Alya ikut berkomentar. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang Henry lakukan padanya.“Dia nyuruh kakak berhenti bikin pai gitu aja?” tanya David dengan nada tidak percaya. “Seenaknya banget sih dia.”“Iya! Okelah, resepnya dari ibunya, tapi ‘kan masih bisa diomongin baik-baik dulu,” timpal Hana. “Erin sendiri juga nggak tahu.”“‘Kan udah aku bilang, Kak Erin, pasti bakal ada masalah,” kata David sambil mengelap dan menata konter.“Kenapa lu bisa mikir sampai ke situ?” Hana berkacak pinggang.“
“Apa maksud kamu aku pakai resep pai ibu kalian?” Erin menatap kakak-adik di depannya. “Aku dapat resepnya dari buku ibu aku!”“Henry, I thought you said you’re going to take this easy.” Alex melotot pada adiknya. “Don’t lay it on thick to her like that!”“Aku tidak berlebihan, dia memang memakai resep ibu kita,” sanggah Henry.“Sebentar, kalian bisa kasih penjelasan dulu?” sela Erin.“Baiklah.” Henry memandang Erin dengan fokus. Pandangannya membuat Erin berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ke
Erin membungkus dua loyang pai bluberi dan ceri ke dalam dus kotak sesuai pesanan Alex untuk ia antar ke lokasi pemotretannya. Sesi pemotretan dilakukan pada sore hari, bertepatan dengan selesainya jam kerja Erin untuk hari ini.Di ruang belakang kedai, Erin mengganti seragam baristanya dengan pakaian kasual; kaus putih berkerah V, celana jins biru gelap, dan sepatu sandal cokelat. Ia merapikan riasan wajahnya lalu menyisir seraya menata rambutnya berkali-kali di depan cermin lokernya. Ia sebal karena hari ini rambutnya kurang terlihat bagus.Kemudian, ia mendengar seseorang masuk. Erin menoleh dan melihat David baru datang kerja. Ia masih menenteng helm dan tas ranselnya. David menyadari dus pai yang Erin taruh di meja dekat loker mereka. “Wah, kayaknya ada yang mau ketemu pacarnya nih.”“Apaan si
“Gimana, Er? Spill semuanya detailnya ke gue!” kata Alya begitu Erin masuk ke apartemen mereka.“Gue baru sampai, sabar kenapa,” keluh Erin seraya menggantung tasnya dan menaruh sepatunya di depan pintu masuk.“Ciyee yang berduaan sama Alex,” goda Alya. “Gimana rasanya?”“Yah, gitu deh.” Erin berjalan ke dapur untuk mengambil air minum dari dispenser.Alya menyadari perubahan suasana hati Erin. “Waduh, ada apa, nih? Perasaan di chat tadi lu excited b
Erin menggerutu pelan saat ia keluar dari lift bersama Alex. Ia mengambil ponselnya dari kantong untuk memesan sopir online. Ia menggerutu lagi karena walaupun sopirnya berada tidak jauh dari posisinya, ia masih harus menunggu karena jalan menuju ke sini sangat macet.Sesampainya di depan resepsionis, Erin duduk di sofa lobi sambil menenangkan diri. Ia melihat Alex tidak jauh darinya. Ia ikut duduk di sebelah Erin. “I’m sorry about my brother. He can be too intense sometimes.”“Nggak apa-apa, justru aku yang harusnya terima kasih karena kamu udah belain aku,” jawab Erin dengan segan. Ia mengalihkan pandangannya dari Alex dengan mengecek ponselnya untuk melacak