Antrean pembeli sudah habis saat mendekati jam tutup. Setelah Erin memberikan minuman ke pelanggan terakhir hari ini, Erin menghela napas dengan lesu. Ia menaruh semua peralatan pembuat minuman di bak cucian lalu mengambil kain lap untuk membersihkan konter kedai sambil menggerutu. Hanya pada hari ini Erin benci kedai yang sepi karena tidak ada lagi kesibukan untuk mengalihkan pikirannya dari teguran Alya tadi siang. Sudah dua bulan sejak ia mencoba kenalan dengan Alex tetapi ia tidak pernah dapat keberanian untuk melakukannya.
“Udah close order, ya?” David keluar dari belakang kedai. Dia mengenakan celemeknya untuk mulai mencuci. “Alex hari ini nggak dateng?”
Erin menggerutu lagi saat David menyebut nama itu. “Nggak.”
Seakan sadar dengan suasana hati Erin yang kurang baik, David menoleh ke arahnya dengan tatapan menghibur. “Nggak usah khawatir. Besok dia pasti dateng, kok.”
Erin tersenyum kecil pada David. “Makasih.”
Mereka membersihkan kafe dalam diam supaya bisa cepat tutup kedai. Usai mengelap konter dan mesin-mesin, Erin mengambil sapu untuk membersihkan lantai sekaligus merapikan meja dan kursi. Namun, ketika mereka hampir selesai, terdengar lonceng bel dari pintu kedai yang dibuka. Erin menoleh ke arah pintu, melihat sosok Alex berdiri lima meter di depan dirinya yang sedang menyapu.
“Sorry, kafenya udah tutup, ya?” Alex bertanya dengan segan karena dia masuk ke kedai yang sudah tutup. Erin yang tidak menyangka kedatangannya malam ini hanya bisa terpaku lagi. Seluruh energinya hanya digunakan untuk menggenggam sapu agar ia tidak menjatuhkannya di depan Alex.
David mencoba untuk merespons Alex. “Iya, kak, maaf—”
Alex tersenyum sambil meminta maaf sebelum menutup pintu. Namun, entah dapat keberanian dari mana, Erin tiba-tiba menyahut dengan lantang ke arahnya. “Kak! Nggak apa-apa masuk aja, kita juga baru banget close order, kok!”
“Tidak usah, maaf, ya.” Alex berbicara di balik pintu kaca kedai. “Kalian sudah bersih-bersih kafe.”
Erin melirik ke arah David dengan tatapan memohon. David menyanggupi Erin sambil tersenyum geli. “Nggak apa, kak! Silakan masuk!”
“Terima kasih. Tapi benar tidak apa-apa?” Alex menatap mereka berdua.
“Beneran nggak apa, Kak. Kakak ‘kan udah biasa ke sini.” Seketika Erin menyesali ucapannya. Ketahuan sudah selama ini dia mengamati Alex tanpa ia sadari.
Namun, Alex tampaknya senang dengan ucapan Erin sehingga akhirnya masuk ke kafe. “Kalian baik sekali.” Setiap langkahnya membuat jantung Erin berdebar makin kencang. Alex mulai memesan saat berdiri di depan kasir. “Kalau tidak merepotkan, aku mau pesan kopi susu reguler sama...” dia melirik freezer untuk melihat apakah painya Erin masih tersedia atau tidak. “Ng? Painya sisa dua iris lagi? Aku pesan dua-duanya, ya. Satunya lagi bisa aku makan untuk sarapan besok.”
“Sini, aku aja yang nyapu, Kak Erin.” David mendekati Erin lalu mengambil sapu dari tangannya. “Kak Erin buatin minum buat kakaknya aja.”
“Ah, oke,” gumam Erin sambil berjalan ke balik konter dengan tertunduk malu. Dia tidak sanggup menatap wajah Alex saat ia memproses pesanannya di mesin kasir. Alex membayar dengan non-tunai, yang membuat Erin separuh senang dan kecewa karena ia tidak bisa curi-curi sentuhan dengannya saat mereka bertukar uang tunai.
Erin mengambil lagi peralatan minuman yang sudah dibereskan untuk membuat minuman pesanan Alex. Ia berjanji akan mencuci dan mengembalikan lagi semuanya sendiri supaya David tidak telat pulang. Lagi-lagi ia mencuri pandang ke arah Alex. Alex mengenakan setelan kaus dan jaket denim sambil membawa tas kamera yang hampir selalu ia pakai setiap ke sini. Walaupun ia menunggu pesanannya dengan sabar, nanar mata dan ekspresi wajahnya terlihat lelah. Mungkin karena dia habis melakukan pemotretan foto seharian. Erin tahu karena ia melihat unggahan Alex di media sosialnya tadi sore. Erin makin tidak menyangka Alex masih menyempatkan waktu untuk mampir ke sini terlepas dari jadwalnya yang sangat sibuk.
Sambil menunggu kopi selesai diseduh di mesin, Erin mengambil irisan pai bluberi buatannya dari freezer untuk dihangatkan di microwave. Ia berusaha keras untuk tidak kelihatan goyah di depan Alex. Ia tidak paham kenapa sang gebetan masih tetap terlihat tampan walaupun sudah kerja seharian sampai lelah. Mungkin setelah ini Alex tidak bisa langsung istirahat. Erin tahu karena Alex sering aktif di media sosial saat tengah malam dengan mengunggah foto atau story dirinya sedang menyunting foto atau lagu-lagu yang ia dengarkan saat bekerja.
Erin mengambil pai buatannya setelah microwave berdenting. Semoga pai ini bisa bikin dia lebih nyaman bekerja malam ini, doanya dalam hati saat ia membungkus painya ke dalam plastik untuk digabungkan dengan kopi susu. “Silakan, Kak Alex!”
Saat Alex berjalan ke konter untuk mengambil pesanannya, ia terlihat bingung. “Kalau tidak salah, aku tidak menyebutkan namaku saat tadi memesan.”
Oh, tidak. Jantung Erin seakan-akan berhenti sesaat. Erin mencoba cari alasan supaya malam ini bukan terakhir kalinya Alex datang ke sini. “Ngg, maaf kak, kakak ‘kan sering ke sini. Kita selalu hapal orang yang langganan sama kita,” ujarnya dengan nada sesantai yang ia bisa agar Alex tidak curiga.
“Lho, kenapa minta maaf?” Alex malah terlihat sumringah. “Aku senang kalian ingat aku. Justru aku yang tidak enak hati karena ini sudah kedua kalinya aku ke sini saat sudah tutup. Kalau tidak salah, kamu juga yang lagi kerja saat itu.”
Secara refleks, Erin mengeluarkan tawa. Kalau ia tidak tertawa, ia pasti akan menangis saat itu juga karena Alex masih ingat pertemuan pertama mereka. Kira-kira apa yang dia lakukan malam itu sampai bikin Alex ingat dirinya? “Iya, Kak. Waktu itu yang bolehin kayak masuk yang punya kafe ini. Dia sahabat aku.”
“Kamu kerja dengan sahabat kamu? Hebat sekali,” puji Alex. Ia mengangkat bungkusan kopinya seraya pamit. “Anyway, terima kasih untuk kopi dan painya.”
Erin terus memandang Alex saat ia keluar dari kedai. Setelah sosoknya sudah pergi, ia tiba-tiba mendengar dehaman dari David yang daritadi menyapu. “Ciyee, yang abis dinotis gebetan.”
“David!” seru Erin sambil menahan malu. “Nggak ngajak kenalan gebetan salah, ngajak kenalan salah juga. Gimana sih?” Namun, David masih terus menggoda Erin. “Saking mesranya, gue sampe jadi nyamuk di sini.” Ia mengelus dada seakan-akan dirinya teraniaya.
“Ya maaf,” jawab Erin.
“Eh, tapi tadi kalian ‘kan nggak kenalan. Dia belum tahu nama kakak.”
Erin tidak mempermasalahkan itu. Setidaknya malam ini ia bisa mengobrol dengan Alex walaupun sebentar. Berhubung mereka pertama kali mengobrol di hari Alya bertunangan dengan pacarnya, Erin berharap ini adalah pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya. Erin pun mulai membersihkan konter kedai lagi lalu berkata pada David, “Yuk, buruan beres-beresnya biar kita cepet pulang.”
Erin tidak dapat menahan senyum selama perjalanan pulang. Sambil mendengarkan lagunya PVRIS—sebuah band yang pernah Alex bilang di media sosial adalah salah satu band kesukaannya—ia berterimakasih pada dirinya sendiri karena telah sanggup mengobrol dengan Alex. Entah ia dapat kekuatan dari mana untuk bisa melakukan hal itu. Erin bahkan belum sanggup mengunggah status di media sosial tentang pertemuannya dengan Alex tadi. Ia belum mau membagikan apa yang terjadi ke semua orang karena masih ingin menikmati salah pengalaman terbesarnya seumur hidup. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen yang ia alami barusan sambil diiringi suara vokalis bandnya yang Alex bilang hipnotis.Erin tiba di apartemen yang ia tinggali bersama Alya sambil bersena
Keesokan harinya, Erin merasa bersemangat sekaligus gamang di saat bersamaan. Saking semangatnya, Erin sampai membuat dua loyang pai untuk hari ini. Teman-temannya yang menjalani shift pagi bilang Alex tidak datang, berarti ia mungkin akan datang sore ini atau larut seperti semalam. Mengetahui itu, Erin merasa lega dan galau juga. Ia belum pernah merasa campur aduk seperti ini dalam waktu lama.Erin mencoba mengalihkan perasaannya dengan bekerja. Mau bagaimana pun juga, ia tetap seorang barista handal yang sudah melayani banyak pembeli sejak jam kerjanya dimulai. Pelanggan berikutnya adalah seorang gadis berpenampilan trendi layaknya seorang selebgram. Erin menemui pelanggan seperti ia setiap hari karena Pi Coffee memang lebih populer di kalangan muda seperti gadis itu. Ia memesan kopi susu, menu paling populer di kedai
Hari ini, tepat pada tanggal 28 Desember acara pertunangan Alya dan Daniel secara resmi diadakan di rumah Alya yaitu di sebuah kompleks perumahan di area Bekasi. Untuk keluarga kedua mempelai yang cukup berada, acara pertunangannya sederhana sesuai keinginan Alya dan Daniel. Para tamu yang hadir hanya sebatas keluarga, kerabat dan karyawan Alya.Erin sudah bersahabat dengan Alya hampir 15 tahun sejak SMA. Erin sudah dekat dengan orangtuanya bahkan bisa mengenali beberapa om dan tante Alya yang hadir. Mereka turut mengisi acara dan mendampingi Alya serta orangtuanya.Saat ini, Erin berada di kamar tidur Alya untuk membantu sahabatnya berdandan. Alya sengaja tidak mau menyewa penata rias supaya dia bisa mengabadikan seluruh penampilan rancangan dirinya sendiri untuk hari ini. Alya memutuskan untuk tampil sederhana namun elegan dengan mengenakan kebaya tunik
Usai sesi doa bersama, acara pertunangan Alya dan Daniel dilanjutkan dengan makan-makan dan sesi foto bersama calon pengantin. Sesi foto dimulai dari foto bersama orangtua mempelai diiringi penyerahan mas kawin secara simbolik. Kemudian, sesi foto dilanjutkan dengan foto bersama keluarga inti dan kerabat lainnya sebelum diakhiri dengan sesi foto ramai-ramai dengan para karyawan Pi Coffee.“David paling belakang, ya!” Seru Hana seraya mengambil posisi manis di samping Erin yang sudah berdiri di sebelah Alya. “Ngalah buat gue yang dandan cantik biar di depan!”“Enak aja!” Jawab David dengan sewot. Ia mengambil posisi berlutut di depan mempelai.“Ya udah sih, jangan dibuat ribet kenapa!” Sahut Bella.Alya dan Daniel hanya bisa
Erin membuka pintu apartemen yang kosong karena malam ini Alya menginap di rumahnya. Ia memasuki apartemen dengan kantong belanjaan di kedua tangannya. Isinya adalah bahan-bahan yang ia perlukan untuk membuat pai pesanan Alex. Ia meminta David untuk mengantarkannya sampai ke supermarket langganan Erin yang tidak jauh dari apartemen untuk belanja. Erin menaruh belanjaannya di konter dapur sambil menghela napas. Lelah baru ia rasakan sekarang begitu ia sendirian di apartemen. Erin duduk di sofa sambil menyalakan AC dan televisi untuk melepas penatnya sejenak. Ia tidak terlalu suka sendirian karena pikirannya bisa ke mana-mana. Ia berniat untuk mulai membuat pai malam ini, namun ia hanya merasa pusing, kosong, dan tidak tahu ingin melakukan apa. Erin tertawa pelan. Bagaimana bisa ia mendekati Alex kalau dirinya seperti ini. Kemudian, Erin memutuskan untuk mandi.
“Happy new year!” Seru Alya dari meja makan pada Erin yang baru keluar dari kamarnya. “Sayang banget lu nggak ikut acara tahun baruan semalem sama anak-anak kedai.”Erin menguap lebar sambil mengusap wajahnya. Ia menghabiskan malam tahun barunya membuat pai untuk pesta Alex hari ini. Ia baru tidur pukul tiga pagi. “Sekarang jam berapa?” Erin melihat jam dinding baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Lu nggak ngantuk apa abis pesta tahun baruan semaleman?”“Nggak juga, gue udah minum kopi, kok.” Alya mengangkat gelas di tangannya. “Sini, sarapan dulu sebelum nyiapin painya lagi. Acaranya Alex juga masih nanti sore ini.”Erin mengikuti ucapan Alya dengan ikut dud
Ponsel Erin berdering untuk memberitahu sopir online yang ia pesan akan sampai di apartemen beberapa menit lagi. Erin menyelesaikan riasan wajahnya dengan memulas lipstik di bibirnya sambil membenahi maskara yang ia kenakan. Ia bangkit dari meja riasnya lalu menatap dirinya di depan cermin lemari. Ia mengenakan dress selutut dengan kerah V dan ikat pinggang yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Warna dress yang ia kenakan berwarna merah marun yang senada dengan lipstiknya. Alya menyarankan ia mengenakan dress ini karena selain untuk terlihat profesional, Erin tetap bisa menarik perhatian. Erin menata rambutnya
Tamu Alex mulai berdatangan satu per satu. Erin menghitung ada sepuluh orang yang datang. Mereka semua berpenampilan menarik seperti selebgram dan model yang sering Erin lihat di media sosial. Erin menduga mereka adalah klien atau model yang bekerja dengan Alex. Kedatangan mereka juga didampingi oleh para asisten dan kru fotografi. Mereka terlihat sibuk dengan ponsel mereka, merekam atau memotret selebgram saat memasuki apartemen untuk bahan konten. “Wah, apartemen lu bagus juga, ya,” kata salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut panjang dengan cutout dress. Ia terlihat sangat cantik dengan riasan wajah natural. “Gue pikir bakal lebih luas,” timpal temannya yang Erin kenali bernama Maya Marcelina. Ia terkenal di media sosial karena mempromosikan gaya hidup vegan
Hari yang Erin nantikan sekaligus takuti pun tiba. Sesuai saran Alya, Erin memutuskan untuk berdandan lebih rapi dan menarik, bahkan lebih baik daripada penampilannya saat ke apartemen Alex dulu. Supaya tetap terlihat formal dan serius, Erin mengenakan kemeja biru tua dengan kancing atas terbuka agar kalung emas imitasi yang melingkar di lehernya terlihat jelas. Ia memilih celana jins putih semata kaki sebagai bawahan. Erin berkaca sambil memasukan kemejanya ke dalam celananya. Ia sudah mencatok ikal rambutnya lalu menariknya ke belakang, menambahkan jepitan pita yang mempermanis penampilannya. Ia merias wajahnya secara natural sesuai ajaran Alya. Erin melirik sepatu hak tinggi di sebelahnya yang akhirnya akan ia kenakan hari ini. Sekarang bukan saatnya untuk main-main, kontrak ini bisa jadi penentu besar untuk masa depan painya. “Wow, lu beneran all out hari ini!” Alya langsung memuji Erin begitu ia keluar dari kamar. “Gue bangga banget sama lu, Er!”“Udah ah, jangan bikin gue tamb
Beberapa hari jelang pertemuannya dengan Henry, Erin meminta Alya untuk mengajarinya cara negosiasi bisnis, strategi pertemuan yang bisa ia lakukan, serta respons seperti apa yang bisa Erin berikan jika Henry melontarkan pertanyaan atau penawaran tertentu. “Inget, apa pun penawaran dia, jangan sampai brand lu dipegang sama dia,” kata Alya dengan nada tegas, seolah ia ingin Erin mengutamakan poin yang ia berikan. “Brand?” Erin mengernyitkan dahi. “Gue yakin banget kerja sama yang mau ditawarin Henry pasti ada hubungannya sama restoran yang dia kelola. Jangan sampai pai lu diklaim jadi punya mereka!” Alya mengetukkan jarinya di meja makan. “Biasanya orang yang udah punya bisnis gede suka banget tuh narik karya pebisnis kecil buat diklaim jadi buatan mereka. Sebaik-baiknya Alex, adeknya belum tentu sebaik dia.” Erin menarik napas tegang. Ia memang belum kenal Henry sebaik Alex. Apa pun bisa terjadi saat pertemuannya nanti. “Duh, kenapa gue baru sadar sekarang, ya?” “Makanya lu punya
Erin pulang dengan berat hati karena memikirkan pertemuannya dengan Henry siang ini. Ia belum pernah merasa seperti ini lagi sejak hari pernikahan ayahnya yang kedua. Ia memasuki apartemen dengan niat untuk mandi lalu bersantai sambil nonton dan makan camilan.“Hei!” sapa Alya dari meja makan. Ia sibuk dengan laptop di depannya. Tumpukan kertas dan beberapa folder tersebar di meja.“Masih kerja, Al?” tanya Erin.“Nggak. Gue lagi cari inspirasi buat wedding gue.”“Lu kerja sama rencanain nikahan lu kelihatan kayak nggak ada bedanya,” canda Erin. Ia duduk di samping Alya. Erin melihat tumpukan informasi tentang lokasi-lokasi pernikahan, vendor, wedding organizer dan inspirasi-inspirasi gaun pengantin serta dekorasi pernikahan. “Mau gue bantu?”“Maulah. ‘Kan lu bridesmaid gue,” jawab Alya. Kemudian ekspresinya berubah, teringat sesuatu. “Eh, tapi, kalau lu masih overwhelmed soal Henry tadi siang, nggak usah. Lu istirahat aja.”“Apaan, sih? Cuma Henry doang,” jawab Erin dengan enteng samb
Seperti permintaan Henry, Erin ambil jam istirahatnya lebih awal untuk diskusi dengannya. Mereka duduk bersebrangan di meja kedai. Erin terus menatap Henry meneguk kopi hitamnya beberapa kali. Henry datang dengan penampilan sama seperti Erin bertemu dengannya pertama kali, hanya saja sekarang lebih rapi dengan kemeja putih berdasi biru bercorak putih. Mungkin ini hanya perasaan Erin, tetapi lingkaran hitam di bawah matanya makin terlihat jelas karena wajahnya pucat. Erin sampai punya hasrat untuk menjejalkan pria ini perawatan kulit yang ia miliki di rumah atau menyuruhnya pulang untuk tidur.“Gimana kamu bisa tahu aku kerja di sini?” Erin menyilangkan tangannya di meja.Henry menaruh gelas kopinya. “Tentu saja dari Alex. Dia selalu cerita soal pai kamu dan beberapa kali menyebut tempat ini.”“Masa sih?” Erin terkesiap sambil menahan senyum. Apa yang Alex katakan ke Henry? Ia ingin tahu semuanya. Tanpa menghiraukan reaksi Erin, Henry melirik ke rak pendingin kedai. “Ternyata kamu men
Setelah Erin menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu di kedai, semua karyawan termasuk Alya ikut berkomentar. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang Henry lakukan padanya.“Dia nyuruh kakak berhenti bikin pai gitu aja?” tanya David dengan nada tidak percaya. “Seenaknya banget sih dia.”“Iya! Okelah, resepnya dari ibunya, tapi ‘kan masih bisa diomongin baik-baik dulu,” timpal Hana. “Erin sendiri juga nggak tahu.”“‘Kan udah aku bilang, Kak Erin, pasti bakal ada masalah,” kata David sambil mengelap dan menata konter.“Kenapa lu bisa mikir sampai ke situ?” Hana berkacak pinggang.“
“Apa maksud kamu aku pakai resep pai ibu kalian?” Erin menatap kakak-adik di depannya. “Aku dapat resepnya dari buku ibu aku!”“Henry, I thought you said you’re going to take this easy.” Alex melotot pada adiknya. “Don’t lay it on thick to her like that!”“Aku tidak berlebihan, dia memang memakai resep ibu kita,” sanggah Henry.“Sebentar, kalian bisa kasih penjelasan dulu?” sela Erin.“Baiklah.” Henry memandang Erin dengan fokus. Pandangannya membuat Erin berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ke
Erin membungkus dua loyang pai bluberi dan ceri ke dalam dus kotak sesuai pesanan Alex untuk ia antar ke lokasi pemotretannya. Sesi pemotretan dilakukan pada sore hari, bertepatan dengan selesainya jam kerja Erin untuk hari ini.Di ruang belakang kedai, Erin mengganti seragam baristanya dengan pakaian kasual; kaus putih berkerah V, celana jins biru gelap, dan sepatu sandal cokelat. Ia merapikan riasan wajahnya lalu menyisir seraya menata rambutnya berkali-kali di depan cermin lokernya. Ia sebal karena hari ini rambutnya kurang terlihat bagus.Kemudian, ia mendengar seseorang masuk. Erin menoleh dan melihat David baru datang kerja. Ia masih menenteng helm dan tas ranselnya. David menyadari dus pai yang Erin taruh di meja dekat loker mereka. “Wah, kayaknya ada yang mau ketemu pacarnya nih.”“Apaan si
“Gimana, Er? Spill semuanya detailnya ke gue!” kata Alya begitu Erin masuk ke apartemen mereka.“Gue baru sampai, sabar kenapa,” keluh Erin seraya menggantung tasnya dan menaruh sepatunya di depan pintu masuk.“Ciyee yang berduaan sama Alex,” goda Alya. “Gimana rasanya?”“Yah, gitu deh.” Erin berjalan ke dapur untuk mengambil air minum dari dispenser.Alya menyadari perubahan suasana hati Erin. “Waduh, ada apa, nih? Perasaan di chat tadi lu excited b
Erin menggerutu pelan saat ia keluar dari lift bersama Alex. Ia mengambil ponselnya dari kantong untuk memesan sopir online. Ia menggerutu lagi karena walaupun sopirnya berada tidak jauh dari posisinya, ia masih harus menunggu karena jalan menuju ke sini sangat macet.Sesampainya di depan resepsionis, Erin duduk di sofa lobi sambil menenangkan diri. Ia melihat Alex tidak jauh darinya. Ia ikut duduk di sebelah Erin. “I’m sorry about my brother. He can be too intense sometimes.”“Nggak apa-apa, justru aku yang harusnya terima kasih karena kamu udah belain aku,” jawab Erin dengan segan. Ia mengalihkan pandangannya dari Alex dengan mengecek ponselnya untuk melacak