Erin tidak dapat menahan senyum selama perjalanan pulang. Sambil mendengarkan lagunya PVRIS—sebuah band yang pernah Alex bilang di media sosial adalah salah satu band kesukaannya—ia berterimakasih pada dirinya sendiri karena telah sanggup mengobrol dengan Alex. Entah ia dapat kekuatan dari mana untuk bisa melakukan hal itu. Erin bahkan belum sanggup mengunggah status di media sosial tentang pertemuannya dengan Alex tadi. Ia belum mau membagikan apa yang terjadi ke semua orang karena masih ingin menikmati salah pengalaman terbesarnya seumur hidup. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen yang ia alami barusan sambil diiringi suara vokalis bandnya yang Alex bilang hipnotis.
Erin tiba di apartemen yang ia tinggali bersama Alya sambil bersenandung kecil. Saat ia baru menutup pintu, ia mendengar Alya memanggil namanya dari dapur. Ketika Erin menghampiri Alya, sahabatnya sedang mengunyah pai sisa Erin yang tidak ia jual sambil menatap ponsel di tangannya. “Ciyee, ada yang abis dinotis gebetan.”
Erin terkesiap malu. “Kok lu udah tau? David cerita ke lu, ya?”
Alya menunjukkan ponselnya pada Erin. “Nggak, Alex yang ngasih tau. Coba lihat storynya Alex, deh.”
Erin merebut ponsel dari tangan Alya lalu melihat profil media sosial Alex di layar. Walaupun ia hanya perlu sekali ketukan untuk melihat story Alex, Erin menekannya dengan tidak sabar. Ia sudah melihat semua story Alex hari ini kecuali satu yang baru diunggah setengah jam lalu: foto kopi dan pai Erin yang ia beli barusan beserta pesan, “Terima kasih untuk @pi.coffee yang masih menerima aku walaupun kalian sudah close order. I always feel special every time you treat me with your hot brew! And their pies is the best one I have eaten since my return to Jakarta!”
“Jadi gimana?” tanya Alya. “Ceritain semuanya ke gue!”
Erin menatap layar ponsel dengan terkesima sebelum bergumam, “Dia bilang pai gue yang paling enak.” Ia menoleh ke Alya yang bersandar di konter dapur sambil menyilangkan tangannya, masih menanti Erin untuk bercerita. Ketika tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Erin, Alya bersorak padanya. “Gue bangga banget sama lu! Akhirnya lu bisa kenalan sama cowok yang selama ini lu taksir diem-diem!”
Erin meringis. “Kita emang ngobrol sebentar, sih. Tapi dia masih belum tahu nama gue.”
Setelah Erin menceritakan semua yang terjadi pada Alya, sahabatnya hanya merespons maklum, “Yah...harusnya gue bikin kartu nama buat staf biar Alex bisa tahu nama lu.”
“Nggak apa-apa, kok. Kalau dari story Alex barusan, berarti dia nggak ilfeel sama gue di kedai tadi,” jawab Erin.
“Berarti lu bisa ajak dia kenalan waktu dia dateng lagi.”
“Al, gue aja tadi nggak tahu bisa dapet keberanian dari mana sampai bisa ngomong sama dia,” sanggah Erin. “Mungkin jiwa barista gue keluar biar kedai lu tetap dapat pemasukan walaupun udah tutup.”
Alya tertawa. “Kira-kira bisa nggak jiwa barista lu keluar lagi buat kasih tahu selama ini lu yang buat pai yang dia suka?”
Erin mendadak tertegun. Ia tidak tahu ingin menjawab Alya dengan apa. Ia tidak ingin Alex kecewa kalau selama ini painya dibuat oleh seorang wanita yang diberikan pekerjaan barista oleh sahabatnya karena kasihan melihatnya hampir kehilangan segala hal berharga di hidupnya. Kalau pun ia sudah berkenalan, apa selanjutnya? Ia tidak bisa memberikan apa pun ke dalam hubungannya dengan pria sukses seperti Alex.
Namun, ketika Erin melihat Alya menghabiskan pai sisaannya, ia tersenyum. Setidaknya, ia bisa membuat hari-hari Alex lebih baik dengan pai yang dia buat. Ia tidak ingin Alya membahas soal ini lebih jauh lagi sehingga ia mencoba mengalihkan topik obrolan. “Hari ini lu nyiapin acara pertunangan lu, ‘kan? Gimana prosesnya?”
Mata Alya berbinar saat ia menjawab. “Jadi acara lamaran bakal diadain di rumah gue. Gue maunya tetap simpel aja. Lamaran resmi sama keluarga bakal diadain sebelum tahun baru. Rencananya gue cuma mau undang kerabat, teman-teman dekat sama karyawan. Gue sekarang lagi nentuin pilihan wedding organizer sama vendor buat lamaran sama pernikahan nanti.”
Erin tersenyum bahagia. “Semoga semua dilancarin ya, Al. Apa pun yang lu minta buat semua prosesnya, pasti gue bakal bantu.”
“Bicara soal bantuin gue,” kata Alya seraya mendekat ke Erin. Ia kelihatan sudah menanti-nanti apa pun yang ingin dia katakan berikutnya. “Gue mau lu jadi bridesmaid gue!”
“Yes! Gue mau! Mau banget!” Erin bersorak. “Lu juga mau gue bikinin pai buat resepsi lu?”
“Nggak usah, gue cuma mau lu tampil cantik dan temenin gue. Gue nggak mau sahabat gue capek dan repot pas hari pernikahan gue.”
“Apa pun buat lu, Al.” Erin mengacungkan jempol sebelum ia memeluk sahabatnya. “Makasih banyak, ya. Lu emang sahabat gue yang paling baik.”
“Tapi gue mau lihat lu bahagia juga, Rin,” ujar Alya usai mereka berpelukan. “Gue juga mau lihat lu bisa punya pasangan yang cinta sama lu. Orang itu saat ini bisa jadi Alex, lho. Bisa jadi lu takut kenalan bukan karena takut ditolak, tapi karena lu takut buat buka hati lu buat orang lain.”
“Bisa jadi,” gumam Erin. Walaupun dia naksir berat sama Alex, memiliki pasangan hidup dan menjalin hubungan serius seperti Alya dan Daniel belum pernah terbesit di pikirannya selama beberapa tahun belakangan. Ia masih menikmati pekerjaannya sebagai barista. Ia sendiri saja masih tidak menyangka sekarang ia bisa membuat pai yang bisa dia jual sendiri. Ia tidak sanggup membayangkan hidupnya bisa lebih dari pekerjaan yang ia jalani saat ini. Mungkin karena itu dia masih belum berani mengenalkan dirinya ke pria yang ia suka.
“Lu nggak apa-apa, Rin?” Alya membuyarkan lamunannya. “Sori kalau omongan gue tadi nyinggung lu.”
“Nggak apa-apa, kok. Lu bener kok, Al. Mungkin gue yang belum siap buat buka hati gue. Lagian juga, yang di pikiran gue sekarang cuma kerja sama bikin pai. Buat gue itu udah cukup untuk sekarang,” jawab Erin.
“Pelan-pelan aja,” kata Alya dengan nada menghibur. “Buka hati emang nggak gampang, apalagi prosesnya nanti waktu lu ngejalaninnya. Tapi gue tahu, begitu Alex udah kenal lu, berarti tandanya lu bener-bener udah siap melalui itu semua.”
“Iya, Al.” Erin mengingat ucapan sahabatnya di dalam hatinya sebagai motivasi.
“Lu mau buat pai lagi sekarang?”
“Bentar lagi, gue mau nonton serial yang Alex share kemarin di story.” Erin beranjak ke sofa di depan televisi.
“Lu mau nonton Breaking Bad? Ih, itu acaranya kan nggak lu banget.”
“Biarin!”
“Dasar bucin!” Komentar Alya sebelum ia masuk ke kamarnya.
Keesokan harinya, Erin merasa bersemangat sekaligus gamang di saat bersamaan. Saking semangatnya, Erin sampai membuat dua loyang pai untuk hari ini. Teman-temannya yang menjalani shift pagi bilang Alex tidak datang, berarti ia mungkin akan datang sore ini atau larut seperti semalam. Mengetahui itu, Erin merasa lega dan galau juga. Ia belum pernah merasa campur aduk seperti ini dalam waktu lama.Erin mencoba mengalihkan perasaannya dengan bekerja. Mau bagaimana pun juga, ia tetap seorang barista handal yang sudah melayani banyak pembeli sejak jam kerjanya dimulai. Pelanggan berikutnya adalah seorang gadis berpenampilan trendi layaknya seorang selebgram. Erin menemui pelanggan seperti ia setiap hari karena Pi Coffee memang lebih populer di kalangan muda seperti gadis itu. Ia memesan kopi susu, menu paling populer di kedai
Hari ini, tepat pada tanggal 28 Desember acara pertunangan Alya dan Daniel secara resmi diadakan di rumah Alya yaitu di sebuah kompleks perumahan di area Bekasi. Untuk keluarga kedua mempelai yang cukup berada, acara pertunangannya sederhana sesuai keinginan Alya dan Daniel. Para tamu yang hadir hanya sebatas keluarga, kerabat dan karyawan Alya.Erin sudah bersahabat dengan Alya hampir 15 tahun sejak SMA. Erin sudah dekat dengan orangtuanya bahkan bisa mengenali beberapa om dan tante Alya yang hadir. Mereka turut mengisi acara dan mendampingi Alya serta orangtuanya.Saat ini, Erin berada di kamar tidur Alya untuk membantu sahabatnya berdandan. Alya sengaja tidak mau menyewa penata rias supaya dia bisa mengabadikan seluruh penampilan rancangan dirinya sendiri untuk hari ini. Alya memutuskan untuk tampil sederhana namun elegan dengan mengenakan kebaya tunik
Usai sesi doa bersama, acara pertunangan Alya dan Daniel dilanjutkan dengan makan-makan dan sesi foto bersama calon pengantin. Sesi foto dimulai dari foto bersama orangtua mempelai diiringi penyerahan mas kawin secara simbolik. Kemudian, sesi foto dilanjutkan dengan foto bersama keluarga inti dan kerabat lainnya sebelum diakhiri dengan sesi foto ramai-ramai dengan para karyawan Pi Coffee.“David paling belakang, ya!” Seru Hana seraya mengambil posisi manis di samping Erin yang sudah berdiri di sebelah Alya. “Ngalah buat gue yang dandan cantik biar di depan!”“Enak aja!” Jawab David dengan sewot. Ia mengambil posisi berlutut di depan mempelai.“Ya udah sih, jangan dibuat ribet kenapa!” Sahut Bella.Alya dan Daniel hanya bisa
Erin membuka pintu apartemen yang kosong karena malam ini Alya menginap di rumahnya. Ia memasuki apartemen dengan kantong belanjaan di kedua tangannya. Isinya adalah bahan-bahan yang ia perlukan untuk membuat pai pesanan Alex. Ia meminta David untuk mengantarkannya sampai ke supermarket langganan Erin yang tidak jauh dari apartemen untuk belanja. Erin menaruh belanjaannya di konter dapur sambil menghela napas. Lelah baru ia rasakan sekarang begitu ia sendirian di apartemen. Erin duduk di sofa sambil menyalakan AC dan televisi untuk melepas penatnya sejenak. Ia tidak terlalu suka sendirian karena pikirannya bisa ke mana-mana. Ia berniat untuk mulai membuat pai malam ini, namun ia hanya merasa pusing, kosong, dan tidak tahu ingin melakukan apa. Erin tertawa pelan. Bagaimana bisa ia mendekati Alex kalau dirinya seperti ini. Kemudian, Erin memutuskan untuk mandi.
“Happy new year!” Seru Alya dari meja makan pada Erin yang baru keluar dari kamarnya. “Sayang banget lu nggak ikut acara tahun baruan semalem sama anak-anak kedai.”Erin menguap lebar sambil mengusap wajahnya. Ia menghabiskan malam tahun barunya membuat pai untuk pesta Alex hari ini. Ia baru tidur pukul tiga pagi. “Sekarang jam berapa?” Erin melihat jam dinding baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Lu nggak ngantuk apa abis pesta tahun baruan semaleman?”“Nggak juga, gue udah minum kopi, kok.” Alya mengangkat gelas di tangannya. “Sini, sarapan dulu sebelum nyiapin painya lagi. Acaranya Alex juga masih nanti sore ini.”Erin mengikuti ucapan Alya dengan ikut dud
Ponsel Erin berdering untuk memberitahu sopir online yang ia pesan akan sampai di apartemen beberapa menit lagi. Erin menyelesaikan riasan wajahnya dengan memulas lipstik di bibirnya sambil membenahi maskara yang ia kenakan. Ia bangkit dari meja riasnya lalu menatap dirinya di depan cermin lemari. Ia mengenakan dress selutut dengan kerah V dan ikat pinggang yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Warna dress yang ia kenakan berwarna merah marun yang senada dengan lipstiknya. Alya menyarankan ia mengenakan dress ini karena selain untuk terlihat profesional, Erin tetap bisa menarik perhatian. Erin menata rambutnya
Tamu Alex mulai berdatangan satu per satu. Erin menghitung ada sepuluh orang yang datang. Mereka semua berpenampilan menarik seperti selebgram dan model yang sering Erin lihat di media sosial. Erin menduga mereka adalah klien atau model yang bekerja dengan Alex. Kedatangan mereka juga didampingi oleh para asisten dan kru fotografi. Mereka terlihat sibuk dengan ponsel mereka, merekam atau memotret selebgram saat memasuki apartemen untuk bahan konten. “Wah, apartemen lu bagus juga, ya,” kata salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut panjang dengan cutout dress. Ia terlihat sangat cantik dengan riasan wajah natural. “Gue pikir bakal lebih luas,” timpal temannya yang Erin kenali bernama Maya Marcelina. Ia terkenal di media sosial karena mempromosikan gaya hidup vegan
Alex hanya pergi beberapa menit untuk menjemput adiknya. Saat mendengar pintu apartemen dibuka, semua orang di meja makan langsung diam. Beberapa di antara mereka, termasuk Erin, celingukan karena penasaran seperti apa sosok adik Alex yang baru mereka ketahui hari ini.“Come on in, Henry,” kata Alex.Akhirnya Erin bisa melihat sosok Henry, adiknya Alex. Erin pikir ia akan mirip seperti Alex, tetapi Henry benar-benar kebalikannya Alex. Wajahnya memang mirip Alex yang blasteran dengan rambut hitam, tulang pipi yang tinggi, alis tebal, dan hidung mancung. Namun, rambutnya ikal sepanjang kerah blazernya dan terlihat acak-acakan. Erin juga menyadari rambutnya terlihat lebih tebal dar
Hari yang Erin nantikan sekaligus takuti pun tiba. Sesuai saran Alya, Erin memutuskan untuk berdandan lebih rapi dan menarik, bahkan lebih baik daripada penampilannya saat ke apartemen Alex dulu. Supaya tetap terlihat formal dan serius, Erin mengenakan kemeja biru tua dengan kancing atas terbuka agar kalung emas imitasi yang melingkar di lehernya terlihat jelas. Ia memilih celana jins putih semata kaki sebagai bawahan. Erin berkaca sambil memasukan kemejanya ke dalam celananya. Ia sudah mencatok ikal rambutnya lalu menariknya ke belakang, menambahkan jepitan pita yang mempermanis penampilannya. Ia merias wajahnya secara natural sesuai ajaran Alya. Erin melirik sepatu hak tinggi di sebelahnya yang akhirnya akan ia kenakan hari ini. Sekarang bukan saatnya untuk main-main, kontrak ini bisa jadi penentu besar untuk masa depan painya. “Wow, lu beneran all out hari ini!” Alya langsung memuji Erin begitu ia keluar dari kamar. “Gue bangga banget sama lu, Er!”“Udah ah, jangan bikin gue tamb
Beberapa hari jelang pertemuannya dengan Henry, Erin meminta Alya untuk mengajarinya cara negosiasi bisnis, strategi pertemuan yang bisa ia lakukan, serta respons seperti apa yang bisa Erin berikan jika Henry melontarkan pertanyaan atau penawaran tertentu. “Inget, apa pun penawaran dia, jangan sampai brand lu dipegang sama dia,” kata Alya dengan nada tegas, seolah ia ingin Erin mengutamakan poin yang ia berikan. “Brand?” Erin mengernyitkan dahi. “Gue yakin banget kerja sama yang mau ditawarin Henry pasti ada hubungannya sama restoran yang dia kelola. Jangan sampai pai lu diklaim jadi punya mereka!” Alya mengetukkan jarinya di meja makan. “Biasanya orang yang udah punya bisnis gede suka banget tuh narik karya pebisnis kecil buat diklaim jadi buatan mereka. Sebaik-baiknya Alex, adeknya belum tentu sebaik dia.” Erin menarik napas tegang. Ia memang belum kenal Henry sebaik Alex. Apa pun bisa terjadi saat pertemuannya nanti. “Duh, kenapa gue baru sadar sekarang, ya?” “Makanya lu punya
Erin pulang dengan berat hati karena memikirkan pertemuannya dengan Henry siang ini. Ia belum pernah merasa seperti ini lagi sejak hari pernikahan ayahnya yang kedua. Ia memasuki apartemen dengan niat untuk mandi lalu bersantai sambil nonton dan makan camilan.“Hei!” sapa Alya dari meja makan. Ia sibuk dengan laptop di depannya. Tumpukan kertas dan beberapa folder tersebar di meja.“Masih kerja, Al?” tanya Erin.“Nggak. Gue lagi cari inspirasi buat wedding gue.”“Lu kerja sama rencanain nikahan lu kelihatan kayak nggak ada bedanya,” canda Erin. Ia duduk di samping Alya. Erin melihat tumpukan informasi tentang lokasi-lokasi pernikahan, vendor, wedding organizer dan inspirasi-inspirasi gaun pengantin serta dekorasi pernikahan. “Mau gue bantu?”“Maulah. ‘Kan lu bridesmaid gue,” jawab Alya. Kemudian ekspresinya berubah, teringat sesuatu. “Eh, tapi, kalau lu masih overwhelmed soal Henry tadi siang, nggak usah. Lu istirahat aja.”“Apaan, sih? Cuma Henry doang,” jawab Erin dengan enteng samb
Seperti permintaan Henry, Erin ambil jam istirahatnya lebih awal untuk diskusi dengannya. Mereka duduk bersebrangan di meja kedai. Erin terus menatap Henry meneguk kopi hitamnya beberapa kali. Henry datang dengan penampilan sama seperti Erin bertemu dengannya pertama kali, hanya saja sekarang lebih rapi dengan kemeja putih berdasi biru bercorak putih. Mungkin ini hanya perasaan Erin, tetapi lingkaran hitam di bawah matanya makin terlihat jelas karena wajahnya pucat. Erin sampai punya hasrat untuk menjejalkan pria ini perawatan kulit yang ia miliki di rumah atau menyuruhnya pulang untuk tidur.“Gimana kamu bisa tahu aku kerja di sini?” Erin menyilangkan tangannya di meja.Henry menaruh gelas kopinya. “Tentu saja dari Alex. Dia selalu cerita soal pai kamu dan beberapa kali menyebut tempat ini.”“Masa sih?” Erin terkesiap sambil menahan senyum. Apa yang Alex katakan ke Henry? Ia ingin tahu semuanya. Tanpa menghiraukan reaksi Erin, Henry melirik ke rak pendingin kedai. “Ternyata kamu men
Setelah Erin menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu di kedai, semua karyawan termasuk Alya ikut berkomentar. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang Henry lakukan padanya.“Dia nyuruh kakak berhenti bikin pai gitu aja?” tanya David dengan nada tidak percaya. “Seenaknya banget sih dia.”“Iya! Okelah, resepnya dari ibunya, tapi ‘kan masih bisa diomongin baik-baik dulu,” timpal Hana. “Erin sendiri juga nggak tahu.”“‘Kan udah aku bilang, Kak Erin, pasti bakal ada masalah,” kata David sambil mengelap dan menata konter.“Kenapa lu bisa mikir sampai ke situ?” Hana berkacak pinggang.“
“Apa maksud kamu aku pakai resep pai ibu kalian?” Erin menatap kakak-adik di depannya. “Aku dapat resepnya dari buku ibu aku!”“Henry, I thought you said you’re going to take this easy.” Alex melotot pada adiknya. “Don’t lay it on thick to her like that!”“Aku tidak berlebihan, dia memang memakai resep ibu kita,” sanggah Henry.“Sebentar, kalian bisa kasih penjelasan dulu?” sela Erin.“Baiklah.” Henry memandang Erin dengan fokus. Pandangannya membuat Erin berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ke
Erin membungkus dua loyang pai bluberi dan ceri ke dalam dus kotak sesuai pesanan Alex untuk ia antar ke lokasi pemotretannya. Sesi pemotretan dilakukan pada sore hari, bertepatan dengan selesainya jam kerja Erin untuk hari ini.Di ruang belakang kedai, Erin mengganti seragam baristanya dengan pakaian kasual; kaus putih berkerah V, celana jins biru gelap, dan sepatu sandal cokelat. Ia merapikan riasan wajahnya lalu menyisir seraya menata rambutnya berkali-kali di depan cermin lokernya. Ia sebal karena hari ini rambutnya kurang terlihat bagus.Kemudian, ia mendengar seseorang masuk. Erin menoleh dan melihat David baru datang kerja. Ia masih menenteng helm dan tas ranselnya. David menyadari dus pai yang Erin taruh di meja dekat loker mereka. “Wah, kayaknya ada yang mau ketemu pacarnya nih.”“Apaan si
“Gimana, Er? Spill semuanya detailnya ke gue!” kata Alya begitu Erin masuk ke apartemen mereka.“Gue baru sampai, sabar kenapa,” keluh Erin seraya menggantung tasnya dan menaruh sepatunya di depan pintu masuk.“Ciyee yang berduaan sama Alex,” goda Alya. “Gimana rasanya?”“Yah, gitu deh.” Erin berjalan ke dapur untuk mengambil air minum dari dispenser.Alya menyadari perubahan suasana hati Erin. “Waduh, ada apa, nih? Perasaan di chat tadi lu excited b
Erin menggerutu pelan saat ia keluar dari lift bersama Alex. Ia mengambil ponselnya dari kantong untuk memesan sopir online. Ia menggerutu lagi karena walaupun sopirnya berada tidak jauh dari posisinya, ia masih harus menunggu karena jalan menuju ke sini sangat macet.Sesampainya di depan resepsionis, Erin duduk di sofa lobi sambil menenangkan diri. Ia melihat Alex tidak jauh darinya. Ia ikut duduk di sebelah Erin. “I’m sorry about my brother. He can be too intense sometimes.”“Nggak apa-apa, justru aku yang harusnya terima kasih karena kamu udah belain aku,” jawab Erin dengan segan. Ia mengalihkan pandangannya dari Alex dengan mengecek ponselnya untuk melacak