Keesokan harinya, Erin merasa bersemangat sekaligus gamang di saat bersamaan. Saking semangatnya, Erin sampai membuat dua loyang pai untuk hari ini. Teman-temannya yang menjalani shift pagi bilang Alex tidak datang, berarti ia mungkin akan datang sore ini atau larut seperti semalam. Mengetahui itu, Erin merasa lega dan galau juga. Ia belum pernah merasa campur aduk seperti ini dalam waktu lama.
Erin mencoba mengalihkan perasaannya dengan bekerja. Mau bagaimana pun juga, ia tetap seorang barista handal yang sudah melayani banyak pembeli sejak jam kerjanya dimulai. Pelanggan berikutnya adalah seorang gadis berpenampilan trendi layaknya seorang selebgram. Erin menemui pelanggan seperti ia setiap hari karena Pi Coffee memang lebih populer di kalangan muda seperti gadis itu. Ia memesan kopi susu, menu paling populer di kedai ini serta seiris pai apel buatan Erin. Setelah membuat pesanannya, Erin memanggil nama gadis itu sesuai dengan yang tertera di gelas plastik kopi. “Kopi susu dan pai buat kak Amel!”
Amel yang menanti pesanannya di kursi tunggu menghampiri konter untuk mengambil kopi dan painya yang dibungkus dalam kantong kertas. “Makasih kak! Aku beli pai ini karena Alex, lho!”
Erin terkesiap. “Alex? Alex yang fotografer itu?”
Amel mengangguk. “Iya! Alex pernah motretin aku buat konten sosmed aku. Semalam aku lihat story dia mention pai dari kedai ini. Katanya enak banget, makanya aku mau coba.”
“Oh ya?” Erin tidak tahu harus menjawab apa. Ia sama sekali tidak menyangka satu story dari Alex bisa berdampak seperti ini pada penjualan painya. Sebelum Erin bisa merespons Amel, ia mendengar Hana menyebut pesanan berikutnya yang harus ia proses. Amel mengambil pesanannya sambil berterimakasih lagi pada Erin sebelum meninggalkan kedai.
Pesanan Erin berikutnya lagi-lagi meminta pai Erin. Kali ini painya dipesan dua iris. Walaupun masih teralihkan dengan nama Alex yang disebut barusan, Erin berusaha membuat pesanannya seteliti mungkin supaya ia tidak salah menakar kopi dan bahan lainnya yang harus dicampur ke dalam gelas. Kali ini yang memesan adalah seorang pria berpenampilan hipster bernama Edwin. Saat Erin menyajikan pesanannya di konter, Edwin bertanya padanya, “Ini pai yang dibilang sama Alex?”
“Iya,” jawab Erin dengan singkat karena masih belum tahu harus bereaksi apa.
“Gue jarang makan pai buatan kafe, tapi kalau Alex bilang enak gue bakal coba,” Edwin berkomentar.
“Lu follow Alex?” tanya Erin.
“Ya, dia fotografer yang sekarang lagi naik daun. Dia sering motretin selebgram sama brand-brand terkenal di sosmed. Thanks buat pesanannya, ya,” kata Edwin sebelum meninggalkan kedai.
Berikutnya, apa yang terjadi adalah pesanan pai Erin mulai membanjiri kedai. Setidaknya satu dari sepuluh pelanggan memesan pai Erin hingga painya tersisa setengah pada separuh jam kerjanya. Hana yang menjaga kasir akhirnya bisa bicara pada Erin saat antrean pelanggan sudah selesai dilayani. “Orang-orang yang beli pai lu kebanyakan pada nanyain mana pai yang diendorse sama Alex.”
“Hah? Mereka bilang pai gue diendorse Alex?” Mata Erin terbelalak kaget.
“Mereka sih mikirnya gitu.”
Erin paham kenapa para pelanggan mengira itu yang terjadi. Alex memang pernah beberapa kali mengunggah post atau story yang menyebut Pi Coffee, baik secara langsung mention akun kedai atau secara tidak langsung seperti menunjukkan gelas Pi Coffee di dalam fotonya. “Kayaknya Alex masih mikir yang bikin painya itu bukan gue sendiri.”
“Kalau gitu, kasih tahu dia dong.” Hana menyenggol lengan Erin. “Harusnya ini jadi pertanda baik kalau dia pasti bakal nerima lu baik-baik.”
Tidak lama kemudian, terdengar lagi pelanggan memasuki kedai. Seolah Tuhan setuju dengan pertanda baik yang dibilang Hana, pelanggan yang baru masuk adalah Alex. Mereka berdua tertegun sejenak melihat kedatangannya sebelum Hana menoleh ke arah Erin sambil berbisik, “Ya ampun, orangnya beneran dateng!”
Alex menanti untuk dilayani dengan senyuman kecil di depan kasir. Di kedai yang kecil, Erin dapat mendengar Alex memesan minuman dan pai seperti biasanya. Bahkan sebelum Hana menyebutkan pesanan Alex, Erin sudah menyiapkan semuanya. Inikah saatnya untuk berbicara lagi dengannya, pikir Erin.
Saat Alex menghampiri konter terima pesanan, apa yang ia pesan sudah Erin sediakan. Alex pun sadar pesanannya jadi dalam waktu cepat. “Wah, kenapa pesanan saya bisa jadi secepat ini?”
Sebelum Erin menjawab, Alex menatap Erin lalu berkata, “Hey, kamu yang semalam menyiapkan pesanan aku, bukan?”
Walaupun jantung Erin serasa ingin meloncat keluar, ia berusaha untuk menjawab dengan sikap biasa saja. “Oh iya! Kak Alex, ya?”
“That’s my name,” Alex mengambil pesanannya. Lalu ia merogoh saku jaketnya untuk mengambil sejumlah uang yang kemudian ia taruh ke toples tip. “Terima kasih, ya. Pai kalian yang bikin aku jadi pelanggan setia kalian.”
Sekarang saatnya! Suara hati Erin menjerit. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, Erin akhirnya berkata pada Alex, “Kak Alex, sebenarnya yang buat pai itu aku sendiri.”
Walaupun hanya sepersekian detik, rasanya lama sekali menanti Alex untuk bereaksi. Erin tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan sekarang. Ia hanya melihat wajah pria yang ia idamkan selama tiga bulan ini tersenyum. “Really? Your pie is amazing!”
“Y-ya, kak. Semalam kakak upload pai aku di sosmed kakak, makanya hari ini banyak yang beli. Untung kakak udah ke sini sebelum painya habis.”
“Today I’m lucky, then,” gumam Alex seolah sambil memikirkan sesuatu. Erin mencoba untuk mencari apakah ada makna lain yang tersirat dari ucapannya barusan. “Apakah kamu menerima pesanan?”
“Ya, kak! Aku bisa terima pesanan kalau kakak mau!” Erin menyadari jawabannya terlalu keras karena hampir semua orang yang ada di kedai menoleh ke arahnya. Erin menunduk lalu meringis malu.
“Aku akan mengadakan acara tahun baru di apartemenku. Kalau bisa, aku mau pesan lima loyang pai dengan rasa berbeda-beda. Do you have a card?”
“K-kartu?”
“Your business card. Atau aku harus hubungi kedai ini saja untuk pembayaran?”
“Ngg, maaf kak, aku belum punya kartu nama,” jawab Erin dengan gelagapan. Ia menyesal karena dulu ia tidak mengikuti saran Alya untuk membuat kartu nama jika ada yang ingin memesan painya secara langsung. Kemudian, ia melihat Alex mengambil kartu namanya dari kantong tasnya. “Tolong hubungi aku untuk biaya yang harus aku bayar.”
Tangan Erin gemetaran menerima kartu itu. “Siap, kak. Kakak mau rasa apa aja?”
“Up to you. Sepertinya aku sudah makan semua rasa pai yang sudah kamu buat. Semuanya enak buat aku,” jawab Alex. “By the way, aku masih belum tahu nama kamu. Seperti di kartu namaku, aku Alex.” Ia mengulurkan tangannya pada Erin.
Erin menyambutnya dengan segenap hati. “Namaku Erin.”
“Thank you for your pies, Erin. They always make my day,” ujar Alex sebelum meninggalkan kedai.
Meski Alex sudah pergi, Erin masih menatap kartu nama di tangannya. Semua kontak Alex termasuk nomor ponselnya tertera di kartu tersebut. Setelah tiga bulan mengamati Alex dari jauh, akhirnya ia berani mengenalkan dirinya padanya. Tidak, justru Alex yang malah mengajaknya berkenalan.
“Aku baru tahu kamu bisa terima pesanan, Rin.” Hana menghampiri Erin.
“Aku emang nggak pernah terima pesanan sebelumnya!” Erin terhenyak panik. “Duh, gimana nih?”
Hana malah tertawa. “Saking saltingnya, ya?”
“Iya! Karena dia yang ngajak aku kenalan!” Erin terengah-engah. Ia berpegangan pada konter karena kakinya terasa lemas. “Ya ampun, apa aku bisa bikin lima loyang pai pas tahun baru nanti?”
“Pasti bisa! Kamu harus bisa!” Hana menyemangatinya. “Dari reaksi dia tadi, aku yakin dia pasti bakal suka banget sama kamu karena dia udah tahu kamu yang buat pai kesukaannya.”
Hari ini, tepat pada tanggal 28 Desember acara pertunangan Alya dan Daniel secara resmi diadakan di rumah Alya yaitu di sebuah kompleks perumahan di area Bekasi. Untuk keluarga kedua mempelai yang cukup berada, acara pertunangannya sederhana sesuai keinginan Alya dan Daniel. Para tamu yang hadir hanya sebatas keluarga, kerabat dan karyawan Alya.Erin sudah bersahabat dengan Alya hampir 15 tahun sejak SMA. Erin sudah dekat dengan orangtuanya bahkan bisa mengenali beberapa om dan tante Alya yang hadir. Mereka turut mengisi acara dan mendampingi Alya serta orangtuanya.Saat ini, Erin berada di kamar tidur Alya untuk membantu sahabatnya berdandan. Alya sengaja tidak mau menyewa penata rias supaya dia bisa mengabadikan seluruh penampilan rancangan dirinya sendiri untuk hari ini. Alya memutuskan untuk tampil sederhana namun elegan dengan mengenakan kebaya tunik
Usai sesi doa bersama, acara pertunangan Alya dan Daniel dilanjutkan dengan makan-makan dan sesi foto bersama calon pengantin. Sesi foto dimulai dari foto bersama orangtua mempelai diiringi penyerahan mas kawin secara simbolik. Kemudian, sesi foto dilanjutkan dengan foto bersama keluarga inti dan kerabat lainnya sebelum diakhiri dengan sesi foto ramai-ramai dengan para karyawan Pi Coffee.“David paling belakang, ya!” Seru Hana seraya mengambil posisi manis di samping Erin yang sudah berdiri di sebelah Alya. “Ngalah buat gue yang dandan cantik biar di depan!”“Enak aja!” Jawab David dengan sewot. Ia mengambil posisi berlutut di depan mempelai.“Ya udah sih, jangan dibuat ribet kenapa!” Sahut Bella.Alya dan Daniel hanya bisa
Erin membuka pintu apartemen yang kosong karena malam ini Alya menginap di rumahnya. Ia memasuki apartemen dengan kantong belanjaan di kedua tangannya. Isinya adalah bahan-bahan yang ia perlukan untuk membuat pai pesanan Alex. Ia meminta David untuk mengantarkannya sampai ke supermarket langganan Erin yang tidak jauh dari apartemen untuk belanja. Erin menaruh belanjaannya di konter dapur sambil menghela napas. Lelah baru ia rasakan sekarang begitu ia sendirian di apartemen. Erin duduk di sofa sambil menyalakan AC dan televisi untuk melepas penatnya sejenak. Ia tidak terlalu suka sendirian karena pikirannya bisa ke mana-mana. Ia berniat untuk mulai membuat pai malam ini, namun ia hanya merasa pusing, kosong, dan tidak tahu ingin melakukan apa. Erin tertawa pelan. Bagaimana bisa ia mendekati Alex kalau dirinya seperti ini. Kemudian, Erin memutuskan untuk mandi.
“Happy new year!” Seru Alya dari meja makan pada Erin yang baru keluar dari kamarnya. “Sayang banget lu nggak ikut acara tahun baruan semalem sama anak-anak kedai.”Erin menguap lebar sambil mengusap wajahnya. Ia menghabiskan malam tahun barunya membuat pai untuk pesta Alex hari ini. Ia baru tidur pukul tiga pagi. “Sekarang jam berapa?” Erin melihat jam dinding baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Lu nggak ngantuk apa abis pesta tahun baruan semaleman?”“Nggak juga, gue udah minum kopi, kok.” Alya mengangkat gelas di tangannya. “Sini, sarapan dulu sebelum nyiapin painya lagi. Acaranya Alex juga masih nanti sore ini.”Erin mengikuti ucapan Alya dengan ikut dud
Ponsel Erin berdering untuk memberitahu sopir online yang ia pesan akan sampai di apartemen beberapa menit lagi. Erin menyelesaikan riasan wajahnya dengan memulas lipstik di bibirnya sambil membenahi maskara yang ia kenakan. Ia bangkit dari meja riasnya lalu menatap dirinya di depan cermin lemari. Ia mengenakan dress selutut dengan kerah V dan ikat pinggang yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Warna dress yang ia kenakan berwarna merah marun yang senada dengan lipstiknya. Alya menyarankan ia mengenakan dress ini karena selain untuk terlihat profesional, Erin tetap bisa menarik perhatian. Erin menata rambutnya
Tamu Alex mulai berdatangan satu per satu. Erin menghitung ada sepuluh orang yang datang. Mereka semua berpenampilan menarik seperti selebgram dan model yang sering Erin lihat di media sosial. Erin menduga mereka adalah klien atau model yang bekerja dengan Alex. Kedatangan mereka juga didampingi oleh para asisten dan kru fotografi. Mereka terlihat sibuk dengan ponsel mereka, merekam atau memotret selebgram saat memasuki apartemen untuk bahan konten. “Wah, apartemen lu bagus juga, ya,” kata salah satu dari mereka, seorang wanita dengan rambut panjang dengan cutout dress. Ia terlihat sangat cantik dengan riasan wajah natural. “Gue pikir bakal lebih luas,” timpal temannya yang Erin kenali bernama Maya Marcelina. Ia terkenal di media sosial karena mempromosikan gaya hidup vegan
Alex hanya pergi beberapa menit untuk menjemput adiknya. Saat mendengar pintu apartemen dibuka, semua orang di meja makan langsung diam. Beberapa di antara mereka, termasuk Erin, celingukan karena penasaran seperti apa sosok adik Alex yang baru mereka ketahui hari ini.“Come on in, Henry,” kata Alex.Akhirnya Erin bisa melihat sosok Henry, adiknya Alex. Erin pikir ia akan mirip seperti Alex, tetapi Henry benar-benar kebalikannya Alex. Wajahnya memang mirip Alex yang blasteran dengan rambut hitam, tulang pipi yang tinggi, alis tebal, dan hidung mancung. Namun, rambutnya ikal sepanjang kerah blazernya dan terlihat acak-acakan. Erin juga menyadari rambutnya terlihat lebih tebal dar
Erin menggerutu pelan saat ia keluar dari lift bersama Alex. Ia mengambil ponselnya dari kantong untuk memesan sopir online. Ia menggerutu lagi karena walaupun sopirnya berada tidak jauh dari posisinya, ia masih harus menunggu karena jalan menuju ke sini sangat macet.Sesampainya di depan resepsionis, Erin duduk di sofa lobi sambil menenangkan diri. Ia melihat Alex tidak jauh darinya. Ia ikut duduk di sebelah Erin. “I’m sorry about my brother. He can be too intense sometimes.”“Nggak apa-apa, justru aku yang harusnya terima kasih karena kamu udah belain aku,” jawab Erin dengan segan. Ia mengalihkan pandangannya dari Alex dengan mengecek ponselnya untuk melacak
Hari yang Erin nantikan sekaligus takuti pun tiba. Sesuai saran Alya, Erin memutuskan untuk berdandan lebih rapi dan menarik, bahkan lebih baik daripada penampilannya saat ke apartemen Alex dulu. Supaya tetap terlihat formal dan serius, Erin mengenakan kemeja biru tua dengan kancing atas terbuka agar kalung emas imitasi yang melingkar di lehernya terlihat jelas. Ia memilih celana jins putih semata kaki sebagai bawahan. Erin berkaca sambil memasukan kemejanya ke dalam celananya. Ia sudah mencatok ikal rambutnya lalu menariknya ke belakang, menambahkan jepitan pita yang mempermanis penampilannya. Ia merias wajahnya secara natural sesuai ajaran Alya. Erin melirik sepatu hak tinggi di sebelahnya yang akhirnya akan ia kenakan hari ini. Sekarang bukan saatnya untuk main-main, kontrak ini bisa jadi penentu besar untuk masa depan painya. “Wow, lu beneran all out hari ini!” Alya langsung memuji Erin begitu ia keluar dari kamar. “Gue bangga banget sama lu, Er!”“Udah ah, jangan bikin gue tamb
Beberapa hari jelang pertemuannya dengan Henry, Erin meminta Alya untuk mengajarinya cara negosiasi bisnis, strategi pertemuan yang bisa ia lakukan, serta respons seperti apa yang bisa Erin berikan jika Henry melontarkan pertanyaan atau penawaran tertentu. “Inget, apa pun penawaran dia, jangan sampai brand lu dipegang sama dia,” kata Alya dengan nada tegas, seolah ia ingin Erin mengutamakan poin yang ia berikan. “Brand?” Erin mengernyitkan dahi. “Gue yakin banget kerja sama yang mau ditawarin Henry pasti ada hubungannya sama restoran yang dia kelola. Jangan sampai pai lu diklaim jadi punya mereka!” Alya mengetukkan jarinya di meja makan. “Biasanya orang yang udah punya bisnis gede suka banget tuh narik karya pebisnis kecil buat diklaim jadi buatan mereka. Sebaik-baiknya Alex, adeknya belum tentu sebaik dia.” Erin menarik napas tegang. Ia memang belum kenal Henry sebaik Alex. Apa pun bisa terjadi saat pertemuannya nanti. “Duh, kenapa gue baru sadar sekarang, ya?” “Makanya lu punya
Erin pulang dengan berat hati karena memikirkan pertemuannya dengan Henry siang ini. Ia belum pernah merasa seperti ini lagi sejak hari pernikahan ayahnya yang kedua. Ia memasuki apartemen dengan niat untuk mandi lalu bersantai sambil nonton dan makan camilan.“Hei!” sapa Alya dari meja makan. Ia sibuk dengan laptop di depannya. Tumpukan kertas dan beberapa folder tersebar di meja.“Masih kerja, Al?” tanya Erin.“Nggak. Gue lagi cari inspirasi buat wedding gue.”“Lu kerja sama rencanain nikahan lu kelihatan kayak nggak ada bedanya,” canda Erin. Ia duduk di samping Alya. Erin melihat tumpukan informasi tentang lokasi-lokasi pernikahan, vendor, wedding organizer dan inspirasi-inspirasi gaun pengantin serta dekorasi pernikahan. “Mau gue bantu?”“Maulah. ‘Kan lu bridesmaid gue,” jawab Alya. Kemudian ekspresinya berubah, teringat sesuatu. “Eh, tapi, kalau lu masih overwhelmed soal Henry tadi siang, nggak usah. Lu istirahat aja.”“Apaan, sih? Cuma Henry doang,” jawab Erin dengan enteng samb
Seperti permintaan Henry, Erin ambil jam istirahatnya lebih awal untuk diskusi dengannya. Mereka duduk bersebrangan di meja kedai. Erin terus menatap Henry meneguk kopi hitamnya beberapa kali. Henry datang dengan penampilan sama seperti Erin bertemu dengannya pertama kali, hanya saja sekarang lebih rapi dengan kemeja putih berdasi biru bercorak putih. Mungkin ini hanya perasaan Erin, tetapi lingkaran hitam di bawah matanya makin terlihat jelas karena wajahnya pucat. Erin sampai punya hasrat untuk menjejalkan pria ini perawatan kulit yang ia miliki di rumah atau menyuruhnya pulang untuk tidur.“Gimana kamu bisa tahu aku kerja di sini?” Erin menyilangkan tangannya di meja.Henry menaruh gelas kopinya. “Tentu saja dari Alex. Dia selalu cerita soal pai kamu dan beberapa kali menyebut tempat ini.”“Masa sih?” Erin terkesiap sambil menahan senyum. Apa yang Alex katakan ke Henry? Ia ingin tahu semuanya. Tanpa menghiraukan reaksi Erin, Henry melirik ke rak pendingin kedai. “Ternyata kamu men
Setelah Erin menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu di kedai, semua karyawan termasuk Alya ikut berkomentar. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang Henry lakukan padanya.“Dia nyuruh kakak berhenti bikin pai gitu aja?” tanya David dengan nada tidak percaya. “Seenaknya banget sih dia.”“Iya! Okelah, resepnya dari ibunya, tapi ‘kan masih bisa diomongin baik-baik dulu,” timpal Hana. “Erin sendiri juga nggak tahu.”“‘Kan udah aku bilang, Kak Erin, pasti bakal ada masalah,” kata David sambil mengelap dan menata konter.“Kenapa lu bisa mikir sampai ke situ?” Hana berkacak pinggang.“
“Apa maksud kamu aku pakai resep pai ibu kalian?” Erin menatap kakak-adik di depannya. “Aku dapat resepnya dari buku ibu aku!”“Henry, I thought you said you’re going to take this easy.” Alex melotot pada adiknya. “Don’t lay it on thick to her like that!”“Aku tidak berlebihan, dia memang memakai resep ibu kita,” sanggah Henry.“Sebentar, kalian bisa kasih penjelasan dulu?” sela Erin.“Baiklah.” Henry memandang Erin dengan fokus. Pandangannya membuat Erin berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ke
Erin membungkus dua loyang pai bluberi dan ceri ke dalam dus kotak sesuai pesanan Alex untuk ia antar ke lokasi pemotretannya. Sesi pemotretan dilakukan pada sore hari, bertepatan dengan selesainya jam kerja Erin untuk hari ini.Di ruang belakang kedai, Erin mengganti seragam baristanya dengan pakaian kasual; kaus putih berkerah V, celana jins biru gelap, dan sepatu sandal cokelat. Ia merapikan riasan wajahnya lalu menyisir seraya menata rambutnya berkali-kali di depan cermin lokernya. Ia sebal karena hari ini rambutnya kurang terlihat bagus.Kemudian, ia mendengar seseorang masuk. Erin menoleh dan melihat David baru datang kerja. Ia masih menenteng helm dan tas ranselnya. David menyadari dus pai yang Erin taruh di meja dekat loker mereka. “Wah, kayaknya ada yang mau ketemu pacarnya nih.”“Apaan si
“Gimana, Er? Spill semuanya detailnya ke gue!” kata Alya begitu Erin masuk ke apartemen mereka.“Gue baru sampai, sabar kenapa,” keluh Erin seraya menggantung tasnya dan menaruh sepatunya di depan pintu masuk.“Ciyee yang berduaan sama Alex,” goda Alya. “Gimana rasanya?”“Yah, gitu deh.” Erin berjalan ke dapur untuk mengambil air minum dari dispenser.Alya menyadari perubahan suasana hati Erin. “Waduh, ada apa, nih? Perasaan di chat tadi lu excited b
Erin menggerutu pelan saat ia keluar dari lift bersama Alex. Ia mengambil ponselnya dari kantong untuk memesan sopir online. Ia menggerutu lagi karena walaupun sopirnya berada tidak jauh dari posisinya, ia masih harus menunggu karena jalan menuju ke sini sangat macet.Sesampainya di depan resepsionis, Erin duduk di sofa lobi sambil menenangkan diri. Ia melihat Alex tidak jauh darinya. Ia ikut duduk di sebelah Erin. “I’m sorry about my brother. He can be too intense sometimes.”“Nggak apa-apa, justru aku yang harusnya terima kasih karena kamu udah belain aku,” jawab Erin dengan segan. Ia mengalihkan pandangannya dari Alex dengan mengecek ponselnya untuk melacak