“Dua es kopi susu buat Kak Desi dan Kak Ana!” seru Erin di balik kasir seraya memberikan dua gelas plastik kopi ke dua teman baristanya, Hana dan David. Erin melihat di belakang wanita yang baru saja dia layani masih ada tiga orang lainnya yang masih mengantre untuk membeli minuman. Sayangnya, ketiga orang itu bukanlah Alex.
Erin melirik jam tangannya. Sekarang sudah hampir pukul 4 sore. Biasanya Alex datang tiap jam makan siang. Erin yang hari ini sedang shift siang sengaja masuk lebih awal supaya bisa bertemu Alex. Namun, kata karyawan kedai yang masuk shift pagi, Alex belum datang saat jam makan siang tadi.
Erin menerka-nerka alasan Alex masih belum datang. Cuaca hujan deras sejak tadi pagi. Apa itu sebabnya Alex tidak datang hari ini?
Erin berusaha menepis kekhawatirannya dengan fokus pada pembeli berikutnya. Dengan senyum ramah, Erin menyapa pembelinya, “Selamat datang di Pi Coffee. Silakan pesanannya, Kak!”
“Saya mau teh earl grey hangat satu,” jawab si pembeli. “Sama pai apelnya satu iris, ya.”
“Oke, atas nama siapa, Kak?” Erin mencatat pesanan di gelas kertas.
“Atas nama Bayu.”
“Satu teh earl grey hangat buat Kak Bayu!” Erin memberikan gelasnya ke Hana. Setelah pembeli membayar pesanannya, Erin mengambil seiris pai dari rak pendingin untuk dihangatkan di microwave.
“Silakan tunggu pesanannya di sebelah ya, Kak,” kata Erin sebelum melayani pelanggan berikutnya.
Saat sibuk melayani, Erin melihat sahabatnya, Alya, keluar dari mobilnya yang dia parkir di seberang jalan. Dia berjalan ke kedai memakai payung.
“Wah, hujan-hujan gini tetep ramai juga,” komentar Alya saat masuk. Dia berjalan ke dapur yang ada di bagian belakang kedai untuk menaruh tas dan jaketnya lalu kembali ke konter.
“Iya, tapi dia belum datang,” jawab Erin dengan cemberut.
“Dia udah murung tuh dari tadi siang,” timpal Hana sambil membuat minuman pesanan.
“Rin, lu udah tahu dia dari kapan? Dua bulan lalu? Tapi sampai sekarang lu masih aja nggak ajak dia kenalan,” Alya kembali mengomeli Erin.
Erin menghela napas. Ini sudah kesekian kalinya sahabatnya mengomel seperti ini soal Alex. Sejak pertemuan pertama mereka pada Oktober lalu, Alex benar-benar menepati ucapannya. Kini dia mampir ke kedai hampir setiap hari untuk membeli kopi susu dan pai buatan Erin.
“Gue malah ngeri bikin dia takut karena kalau gue ajak kenalan, dia bakal tahu selama ini gue amati dia,” Erin memberikan alasannya.
“Lho, wajar, dong. Dia ‘kan hampir setiap hari ke sini. Dia pasti hapal juga sama tampang lu,” jawab Alya. “Terus selama dua bulan ini, lu stalking semua medsosnya juga, kan? Stalking doang tapi nggak ajak ngobrol padahal ketemu tiap hari. Serem banget, ih.”
“Gue nggak bermaksud begitu!” protes Erin.
“Tahu, nih. Bisanya follow doang. Kapan dinotisnya?” goda David yang sedang memberi minuman dan pai Erin yang sudah jadi ke pembeli.
“Anak magang diem aja!” seru Erin.
“Tuh, David aja setuju sama gue.” Alya tersenyum jahil sebelum mereka tos.
“Kalian kenapa sih, pada jahil semua sama gue. Mentang-mentang kalian udah pada punya pasangan semua!” keluh Erin pada mereka. Di kedai saat ini, hanya Erin yang belum punya pasangan. David si anak magang punya pacar yang satu jurusan dengannya di kampus. Hana sudah menikah. Alya punya pacar yang hubungannya sudah berjalan hampir lima tahun.
“Ngomong-ngomong soal pasangan,” Alya berkata dengan nada yang bikin semua karyawannya penasaran. “Gue bentar lagi bakal nyusul Hana, nih.”
“Maksud lu?” tanya Erin, mengernyitkan dahi.
Alya langsung memamerkan tangan kirinya. Di jari manisnya, tersemat cincin emas bermata berlian kecil yang sangat indah. “Barusan Daniel lamar gue! Gue bentar lagi mau nikah!”
“Aaaaah!!!” Erin meloncat kegirangan lalu memeluk Alya erat-erat. “Selamat, Alya!”
“Wah, selamat ya, Mbak Alya! Semoga lancar sampai hari H.” Hana juga ikut memeluk Alya. Dia sangat bahagia akhirnya atasannya sebentar lagi mengikuti jejaknya.
“Selamat ya, Mbak,” David menjabat tangan Alya. “Jangan lupa traktirannya. Hehe.”
“Makasih banyak, kalian semua,” jawab Alya terharu melihat reaksi sahabat dan rekan kerjanya yang turut berbahagia untuknya.
Erin pun mulai menangis bahagia. Dia adalah saksi hubungan Alya dan pacarnya, Daniel. Erin masih ingat momen-momen kebahagiaan Alya saat dia jadian dengan Daniel lima tahun lalu. Erin tidak menyangka akhirnya hari ini Daniel melamar Alya.
“Sebentar, gimana ceritanya kok tahu-tahu hari ini dia ngelamar Mbak Alya?” tanya Hana. Dari nada bicaranya, dia berharap Alya mau menceritakan seluruh detilnya.
“Jadi, hari ini kita janjian makan siang bareng. Nggak tahu kenapa, Daniel ajak makan siang di restoran tempat kita kencan pertama dulu,” Alya bercerita dengan senyum dan rona merah di pipinya. “Waktu makan dessert, dia minta pelayan buat taruh cincin di samping tiramisu yang gue pesan. Di piring kuenya ada tulisan ‘Will you marry me?’”
“So sweet banget…” timpal Erin dan Hana bersamaan.
“Iyaa…” Alya menatap cincin pertunangan di jari manisnya dengan penuh cinta. “Simpel tapi romantis. Daniel banget, deh.”
“Kalian udah tentuin tanggalnya?” tanya Erin.
“Belum, tapi kita bakal adain acara pertunangan sebelum tahun baru nanti. Pertunangan kita bakal diresmiin sama keluarga kita sekalian tentuin tanggal pernikahan,” jawab Alya. “Nanti semua karyawan Pi Coffee datang, ya!”
Erin mulai menangis terharu mendengar kabar tersebut. Dia tahu sahabatnya dan Daniel pasti akan menikah cepat atau lambat. Erin berjanji pada dirinya sendiri dia akan melakukan apa saja untuk membantu Alya mewujudkan acara pernikahan yang sahabatnya impikan.
“Erin, gue mau ngomong sebentar sama lu.” Alya menarik Erin menuju dapur.
“Ada apa, Al?” tanya Erin.
“Khusus buat lu,” kata Alya. “Gue pesan lima loyang pai buat acara pertunangan gue, ya.”
“Siap, Al, apa pun buat lu,” Erin menyanggupi sambil menahan tangis bahagia. “Sekali lagi, selamat, ya. Gue seneng banget akhirnya Daniel lamar lu juga. Gue harap semuanya lancar dan kalian selalu langgeng.”
“Makasih buat support lu, Er,” Alya memeluk Erin. Alya jadi ikut menangis bahagia.
Setelah berpelukan, Alya berkata, “Gue harap lu bisa cepat nyusul, Er.”
“Ah, gue sih nikahnya masih lama,” tepis Erin. “Lagian gue juga masih jomblo.”
Alya tertawa mendengar elakan Erin. “‘Kan ada Alex.”
Erin mendadak jadi salah tingkah mendengar nama tersebut. “Apaan sih, Al.”
“Maksud gue, lu masih punya kesempatan. Mumpung cowok yang lu suka tiap hari mampir ke sini, kenapa nggak lu ajak kenalan aja?”
“Gue tahu…” jawab Erin dengan ragu. “Tapi kalau dia nolak gue gimana? Terus, gimana kalau habis dia nolak gue, dia nggak mau dateng ke sini lagi?”
Alya mengangkat bahu. “Ya udah, lu bisa move on. Sakit hati karena ditolak cuma lu rasain sebentar. Tapi nyesel karena nggak coba kenalan sama sekali bakal lu rasain seumur hidup.”
Erin ingin berkata sesuatu buat memprotes ucapan Alya. Namun, seperti biasanya, kata-kata sahabatnya ada benarnya. Erin hanya menghela napas sebelum kembali bekerja.
Antrean pembeli sudah habis saat mendekati jam tutup. Setelah Erin memberikan minuman ke pelanggan terakhir hari ini, Erin menghela napas dengan lesu. Ia menaruh semua peralatan pembuat minuman di bak cucian lalu mengambil kain lap untuk membersihkan konter kedai sambil menggerutu. Hanya pada hari ini Erin benci kedai yang sepi karena tidak ada lagi kesibukan untuk mengalihkan pikirannya dari teguran Alya tadi siang. Sudah dua bulan sejak ia mencoba kenalan dengan Alex tetapi ia tidak pernah dapat keberanian untuk melakukannya.“Udah close order, ya?” David keluar dari belakang kedai. Dia mengenakan celemeknya untuk mulai mencuci. “Alex hari ini nggak dateng?”Erin menggerutu lagi saat David menyebut nama itu. “Nggak.”
Erin tidak dapat menahan senyum selama perjalanan pulang. Sambil mendengarkan lagunya PVRIS—sebuah band yang pernah Alex bilang di media sosial adalah salah satu band kesukaannya—ia berterimakasih pada dirinya sendiri karena telah sanggup mengobrol dengan Alex. Entah ia dapat kekuatan dari mana untuk bisa melakukan hal itu. Erin bahkan belum sanggup mengunggah status di media sosial tentang pertemuannya dengan Alex tadi. Ia belum mau membagikan apa yang terjadi ke semua orang karena masih ingin menikmati salah pengalaman terbesarnya seumur hidup. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen yang ia alami barusan sambil diiringi suara vokalis bandnya yang Alex bilang hipnotis.Erin tiba di apartemen yang ia tinggali bersama Alya sambil bersena
Keesokan harinya, Erin merasa bersemangat sekaligus gamang di saat bersamaan. Saking semangatnya, Erin sampai membuat dua loyang pai untuk hari ini. Teman-temannya yang menjalani shift pagi bilang Alex tidak datang, berarti ia mungkin akan datang sore ini atau larut seperti semalam. Mengetahui itu, Erin merasa lega dan galau juga. Ia belum pernah merasa campur aduk seperti ini dalam waktu lama.Erin mencoba mengalihkan perasaannya dengan bekerja. Mau bagaimana pun juga, ia tetap seorang barista handal yang sudah melayani banyak pembeli sejak jam kerjanya dimulai. Pelanggan berikutnya adalah seorang gadis berpenampilan trendi layaknya seorang selebgram. Erin menemui pelanggan seperti ia setiap hari karena Pi Coffee memang lebih populer di kalangan muda seperti gadis itu. Ia memesan kopi susu, menu paling populer di kedai
Hari ini, tepat pada tanggal 28 Desember acara pertunangan Alya dan Daniel secara resmi diadakan di rumah Alya yaitu di sebuah kompleks perumahan di area Bekasi. Untuk keluarga kedua mempelai yang cukup berada, acara pertunangannya sederhana sesuai keinginan Alya dan Daniel. Para tamu yang hadir hanya sebatas keluarga, kerabat dan karyawan Alya.Erin sudah bersahabat dengan Alya hampir 15 tahun sejak SMA. Erin sudah dekat dengan orangtuanya bahkan bisa mengenali beberapa om dan tante Alya yang hadir. Mereka turut mengisi acara dan mendampingi Alya serta orangtuanya.Saat ini, Erin berada di kamar tidur Alya untuk membantu sahabatnya berdandan. Alya sengaja tidak mau menyewa penata rias supaya dia bisa mengabadikan seluruh penampilan rancangan dirinya sendiri untuk hari ini. Alya memutuskan untuk tampil sederhana namun elegan dengan mengenakan kebaya tunik
Usai sesi doa bersama, acara pertunangan Alya dan Daniel dilanjutkan dengan makan-makan dan sesi foto bersama calon pengantin. Sesi foto dimulai dari foto bersama orangtua mempelai diiringi penyerahan mas kawin secara simbolik. Kemudian, sesi foto dilanjutkan dengan foto bersama keluarga inti dan kerabat lainnya sebelum diakhiri dengan sesi foto ramai-ramai dengan para karyawan Pi Coffee.“David paling belakang, ya!” Seru Hana seraya mengambil posisi manis di samping Erin yang sudah berdiri di sebelah Alya. “Ngalah buat gue yang dandan cantik biar di depan!”“Enak aja!” Jawab David dengan sewot. Ia mengambil posisi berlutut di depan mempelai.“Ya udah sih, jangan dibuat ribet kenapa!” Sahut Bella.Alya dan Daniel hanya bisa
Erin membuka pintu apartemen yang kosong karena malam ini Alya menginap di rumahnya. Ia memasuki apartemen dengan kantong belanjaan di kedua tangannya. Isinya adalah bahan-bahan yang ia perlukan untuk membuat pai pesanan Alex. Ia meminta David untuk mengantarkannya sampai ke supermarket langganan Erin yang tidak jauh dari apartemen untuk belanja. Erin menaruh belanjaannya di konter dapur sambil menghela napas. Lelah baru ia rasakan sekarang begitu ia sendirian di apartemen. Erin duduk di sofa sambil menyalakan AC dan televisi untuk melepas penatnya sejenak. Ia tidak terlalu suka sendirian karena pikirannya bisa ke mana-mana. Ia berniat untuk mulai membuat pai malam ini, namun ia hanya merasa pusing, kosong, dan tidak tahu ingin melakukan apa. Erin tertawa pelan. Bagaimana bisa ia mendekati Alex kalau dirinya seperti ini. Kemudian, Erin memutuskan untuk mandi.
“Happy new year!” Seru Alya dari meja makan pada Erin yang baru keluar dari kamarnya. “Sayang banget lu nggak ikut acara tahun baruan semalem sama anak-anak kedai.”Erin menguap lebar sambil mengusap wajahnya. Ia menghabiskan malam tahun barunya membuat pai untuk pesta Alex hari ini. Ia baru tidur pukul tiga pagi. “Sekarang jam berapa?” Erin melihat jam dinding baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Lu nggak ngantuk apa abis pesta tahun baruan semaleman?”“Nggak juga, gue udah minum kopi, kok.” Alya mengangkat gelas di tangannya. “Sini, sarapan dulu sebelum nyiapin painya lagi. Acaranya Alex juga masih nanti sore ini.”Erin mengikuti ucapan Alya dengan ikut dud
Ponsel Erin berdering untuk memberitahu sopir online yang ia pesan akan sampai di apartemen beberapa menit lagi. Erin menyelesaikan riasan wajahnya dengan memulas lipstik di bibirnya sambil membenahi maskara yang ia kenakan. Ia bangkit dari meja riasnya lalu menatap dirinya di depan cermin lemari. Ia mengenakan dress selutut dengan kerah V dan ikat pinggang yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Warna dress yang ia kenakan berwarna merah marun yang senada dengan lipstiknya. Alya menyarankan ia mengenakan dress ini karena selain untuk terlihat profesional, Erin tetap bisa menarik perhatian. Erin menata rambutnya
Hari yang Erin nantikan sekaligus takuti pun tiba. Sesuai saran Alya, Erin memutuskan untuk berdandan lebih rapi dan menarik, bahkan lebih baik daripada penampilannya saat ke apartemen Alex dulu. Supaya tetap terlihat formal dan serius, Erin mengenakan kemeja biru tua dengan kancing atas terbuka agar kalung emas imitasi yang melingkar di lehernya terlihat jelas. Ia memilih celana jins putih semata kaki sebagai bawahan. Erin berkaca sambil memasukan kemejanya ke dalam celananya. Ia sudah mencatok ikal rambutnya lalu menariknya ke belakang, menambahkan jepitan pita yang mempermanis penampilannya. Ia merias wajahnya secara natural sesuai ajaran Alya. Erin melirik sepatu hak tinggi di sebelahnya yang akhirnya akan ia kenakan hari ini. Sekarang bukan saatnya untuk main-main, kontrak ini bisa jadi penentu besar untuk masa depan painya. “Wow, lu beneran all out hari ini!” Alya langsung memuji Erin begitu ia keluar dari kamar. “Gue bangga banget sama lu, Er!”“Udah ah, jangan bikin gue tamb
Beberapa hari jelang pertemuannya dengan Henry, Erin meminta Alya untuk mengajarinya cara negosiasi bisnis, strategi pertemuan yang bisa ia lakukan, serta respons seperti apa yang bisa Erin berikan jika Henry melontarkan pertanyaan atau penawaran tertentu. “Inget, apa pun penawaran dia, jangan sampai brand lu dipegang sama dia,” kata Alya dengan nada tegas, seolah ia ingin Erin mengutamakan poin yang ia berikan. “Brand?” Erin mengernyitkan dahi. “Gue yakin banget kerja sama yang mau ditawarin Henry pasti ada hubungannya sama restoran yang dia kelola. Jangan sampai pai lu diklaim jadi punya mereka!” Alya mengetukkan jarinya di meja makan. “Biasanya orang yang udah punya bisnis gede suka banget tuh narik karya pebisnis kecil buat diklaim jadi buatan mereka. Sebaik-baiknya Alex, adeknya belum tentu sebaik dia.” Erin menarik napas tegang. Ia memang belum kenal Henry sebaik Alex. Apa pun bisa terjadi saat pertemuannya nanti. “Duh, kenapa gue baru sadar sekarang, ya?” “Makanya lu punya
Erin pulang dengan berat hati karena memikirkan pertemuannya dengan Henry siang ini. Ia belum pernah merasa seperti ini lagi sejak hari pernikahan ayahnya yang kedua. Ia memasuki apartemen dengan niat untuk mandi lalu bersantai sambil nonton dan makan camilan.“Hei!” sapa Alya dari meja makan. Ia sibuk dengan laptop di depannya. Tumpukan kertas dan beberapa folder tersebar di meja.“Masih kerja, Al?” tanya Erin.“Nggak. Gue lagi cari inspirasi buat wedding gue.”“Lu kerja sama rencanain nikahan lu kelihatan kayak nggak ada bedanya,” canda Erin. Ia duduk di samping Alya. Erin melihat tumpukan informasi tentang lokasi-lokasi pernikahan, vendor, wedding organizer dan inspirasi-inspirasi gaun pengantin serta dekorasi pernikahan. “Mau gue bantu?”“Maulah. ‘Kan lu bridesmaid gue,” jawab Alya. Kemudian ekspresinya berubah, teringat sesuatu. “Eh, tapi, kalau lu masih overwhelmed soal Henry tadi siang, nggak usah. Lu istirahat aja.”“Apaan, sih? Cuma Henry doang,” jawab Erin dengan enteng samb
Seperti permintaan Henry, Erin ambil jam istirahatnya lebih awal untuk diskusi dengannya. Mereka duduk bersebrangan di meja kedai. Erin terus menatap Henry meneguk kopi hitamnya beberapa kali. Henry datang dengan penampilan sama seperti Erin bertemu dengannya pertama kali, hanya saja sekarang lebih rapi dengan kemeja putih berdasi biru bercorak putih. Mungkin ini hanya perasaan Erin, tetapi lingkaran hitam di bawah matanya makin terlihat jelas karena wajahnya pucat. Erin sampai punya hasrat untuk menjejalkan pria ini perawatan kulit yang ia miliki di rumah atau menyuruhnya pulang untuk tidur.“Gimana kamu bisa tahu aku kerja di sini?” Erin menyilangkan tangannya di meja.Henry menaruh gelas kopinya. “Tentu saja dari Alex. Dia selalu cerita soal pai kamu dan beberapa kali menyebut tempat ini.”“Masa sih?” Erin terkesiap sambil menahan senyum. Apa yang Alex katakan ke Henry? Ia ingin tahu semuanya. Tanpa menghiraukan reaksi Erin, Henry melirik ke rak pendingin kedai. “Ternyata kamu men
Setelah Erin menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu di kedai, semua karyawan termasuk Alya ikut berkomentar. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang Henry lakukan padanya.“Dia nyuruh kakak berhenti bikin pai gitu aja?” tanya David dengan nada tidak percaya. “Seenaknya banget sih dia.”“Iya! Okelah, resepnya dari ibunya, tapi ‘kan masih bisa diomongin baik-baik dulu,” timpal Hana. “Erin sendiri juga nggak tahu.”“‘Kan udah aku bilang, Kak Erin, pasti bakal ada masalah,” kata David sambil mengelap dan menata konter.“Kenapa lu bisa mikir sampai ke situ?” Hana berkacak pinggang.“
“Apa maksud kamu aku pakai resep pai ibu kalian?” Erin menatap kakak-adik di depannya. “Aku dapat resepnya dari buku ibu aku!”“Henry, I thought you said you’re going to take this easy.” Alex melotot pada adiknya. “Don’t lay it on thick to her like that!”“Aku tidak berlebihan, dia memang memakai resep ibu kita,” sanggah Henry.“Sebentar, kalian bisa kasih penjelasan dulu?” sela Erin.“Baiklah.” Henry memandang Erin dengan fokus. Pandangannya membuat Erin berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ke
Erin membungkus dua loyang pai bluberi dan ceri ke dalam dus kotak sesuai pesanan Alex untuk ia antar ke lokasi pemotretannya. Sesi pemotretan dilakukan pada sore hari, bertepatan dengan selesainya jam kerja Erin untuk hari ini.Di ruang belakang kedai, Erin mengganti seragam baristanya dengan pakaian kasual; kaus putih berkerah V, celana jins biru gelap, dan sepatu sandal cokelat. Ia merapikan riasan wajahnya lalu menyisir seraya menata rambutnya berkali-kali di depan cermin lokernya. Ia sebal karena hari ini rambutnya kurang terlihat bagus.Kemudian, ia mendengar seseorang masuk. Erin menoleh dan melihat David baru datang kerja. Ia masih menenteng helm dan tas ranselnya. David menyadari dus pai yang Erin taruh di meja dekat loker mereka. “Wah, kayaknya ada yang mau ketemu pacarnya nih.”“Apaan si
“Gimana, Er? Spill semuanya detailnya ke gue!” kata Alya begitu Erin masuk ke apartemen mereka.“Gue baru sampai, sabar kenapa,” keluh Erin seraya menggantung tasnya dan menaruh sepatunya di depan pintu masuk.“Ciyee yang berduaan sama Alex,” goda Alya. “Gimana rasanya?”“Yah, gitu deh.” Erin berjalan ke dapur untuk mengambil air minum dari dispenser.Alya menyadari perubahan suasana hati Erin. “Waduh, ada apa, nih? Perasaan di chat tadi lu excited b
Erin menggerutu pelan saat ia keluar dari lift bersama Alex. Ia mengambil ponselnya dari kantong untuk memesan sopir online. Ia menggerutu lagi karena walaupun sopirnya berada tidak jauh dari posisinya, ia masih harus menunggu karena jalan menuju ke sini sangat macet.Sesampainya di depan resepsionis, Erin duduk di sofa lobi sambil menenangkan diri. Ia melihat Alex tidak jauh darinya. Ia ikut duduk di sebelah Erin. “I’m sorry about my brother. He can be too intense sometimes.”“Nggak apa-apa, justru aku yang harusnya terima kasih karena kamu udah belain aku,” jawab Erin dengan segan. Ia mengalihkan pandangannya dari Alex dengan mengecek ponselnya untuk melacak