"Cherry? Sial, kenapa aku sangat bodoh?" gumam Evan yang kesal pada dirinya sendiri.Merasa jika anak buahnya itu akan menyampaikan hal penting, tanpa menunggu lebih lama, Evan kemudian menelepon Cherry. Namun, berkali ia mencoba, nomor ponsel perempuan itu lagi-lagi tak dapat dihubungi."Ada apa dengan Cherry? Apa dia sudah tak berniat menjadi anak buahku?" gerutu lEvan yang kini beranjak dari tempat tidurnya untuk mencari makanan di dapur.Langit masih gelap, begitu juga di ruangan lain dalam rumah, hampir semua lampu masih mati, menandakan jika beberapa pelayan yang bertugas bersih-bersih masih belum bangun.Evan berjalan ke lantai bawah hanya untuk mencari makanan. Ia sengaja tak menghidupkan lampu karena tak ingin terbangun karenanya.Evan berjalan dengan perlahan mengandalkan penerangan dari ponsel. Tepat saat melewati ruang kerja orang tuanya, Evan yang sudah melihat lampu menyala dari kejauhan pun, memilih untuk tak bersuara dan melangkah dengan berhati-hati. Hingga, langkahnya
Evan langsung menengadahkan kepala dengan sangat pelan, bulir bening mengalir deras membasahi pipi, dadanya sesak tetapi lega. Akhirnya, perempuan pemilik setengah dari jiwanya yang selama ini selalu dinanti pun sedang berada di hadapannya."Alana? Istriku!" teriak Evan sambil memeluk kaki sang istri dengan perasaan rindu yang mendalam."Berhentilah menangis!" ujar Alana dengan air mata yang juga sudah tak terbendung.Alana duduk bersimpuh, memeluk sang suami yang kini sedang menangis sesenggukan. Keduanya melepas rindu yang selama ini tertahan, bahkan terhalang. Tak ada kalimat atau untaian kata, yang ada hanya dua anak manusia tengah berpelukan sambil menangis dalam pilu yang bercampur bahagia.Menit dan detik berlalu begitu saja, menyisakan dua anak manusia yang masih berpelukandan enggan untuk melepas. Siapa saja yang melihat Alana dan Evan, akan ikut merasakan apa yang sedang mereka rasa.Evan menciumi kening Alana juga mengusap perut sang istri yang kini mulai membuncit."Sayang
Evan keluar dari mobil, meski dalam hati kecil ada perasaan takut, ia berusaha untuk tenang agar bisa berbicara secara baik-baik dengan orang yang kini tengah menghadang jalannya.Meski terasa berat, Evan tetap melangkahkan kaki, menghampiri seorang pria yang dari penampilannya tampak seperti pemimpin dalam kelompok tersebut."Apa kamu pemimpinnya?" tanya Evan, dengan tatapannya yang tajam. Walaupun jantungnya berdebar kencang, ia tetap memberanikan diri agar tak terlihat lemah di depan orang-orang tersebut."Benar, ternyata nyalimu besar juga ya! Berani menghampiri kami seorang diri seperti ini, sungguh hal yang sangat mengejutkan," ujar pria dengan tato ular di leher. Tatapannya terlihat sangat meremehkan Evan."Aku hanya ingin berbicara baik-baik denganmu!" timpal Evan, tegas.Pria bertato itu tampak kesal melihat Evan yang seolah tak takut padanya, padahal ia sudah membawa banyak anak buah yang dilengkapi dengan senjata tumpul dan tajam."Memangnya kamu mau memberikan istrimu baik
"Tentu saja yang paling utama adalah kamu harus mempelajari bahasa Indonesia karena kedepannya kamu akan terus tinggal di sini," terang Evan.Cherry dan Danu saling pandang, mereka terkejut sekaligus bahagia. Jika Danu bahagia karena akhirnya bisa semakin dekat dengan sang pujaan hati, lain dengan Cherry yang sangat senang bisa mendapat pekerjaan dan pergi dari lingkungan yang selama ini sangat tidak ia sukai."Terima kasih, Pak. Saya akan bekerja dengan baik dan tidak akan mengecewakan Anda. Kalau boleh tahu, apa pekerjaan saya sebenarnya?" Cherry masih penasaran.Evan tersenyum sambil mengusap rambut Alana. "Tugasmu adalah menjaga dan melindungi permaisuriku," ujarnya.Wajah Alana memerah, ia tersipu karena Evan dengan tak tahu malunya melakukan hal seperti itu di depan orang lain.Cherry tercengang melihat pemandangan romantis di depannya."Saya akan menjaga istri Anda dengan segenap jiwa dan raga," sahut Cherry.Evan dan Alana tersenyum melihat kesungguhan Cherry. Mereka senang ka
Para pria itu pun tersentak melihat kehadiran Alana, mereka diam terpaku seperti kebingungan.Begitu juga dengan Alana, ia berniat mengalihkan perhatian para pria itu demi menyelamatkan Cherry. Namun, bukannya ditangkap, Alana malah diabaikan begitu saja.Cherry berlari ke arah Alana yang sedang kebingungan."Maaf membuat Anda takut! Mereka adalah teman-teman Kakak saya," ucap Cherry dengan napas terengah karena kelelahan berlari."J-jadi, mereka ada di pihak kita? Pantas saja saat aku berusaha menyerahkan diri, mereka malah mengabaikanku," ujar Alana, merasa malu."Oh, itu juga karena Anda berbicara dalam bahasa yang tidak mereka mengerti," timpal Cherry.Alana merasa malu, berpikir jika para pria itu adalah anak buah Jack membuatnya berteriak dengan menggunakan bahasa Indonesia."Ah, kupikir mereka anak buah Jack," sahut Alana, tersenyum canggung."Meski mereka anak buah penjahat itu, saya harap Anda tidak pernah berniat untuk menyerahkan diri seperti tadi lagi. Meski saya tertangkap
Alana sangat penasaran ingin bertanya, akan tetapi, Evan tampak masih sibuk berbincang dengan orang di telepon tersebut."Oh, jadi semuanya sudah beres?" tanya Evan dengan raut wajah bahagia.Evan sesekali tertawa saat si penelepon sedang berbicara.Beberapa menit berlalu, Evan pun menutup teleponnya."Siapa? Apa yang terjadi?" tanya Alana yang sejak tadi sudah tak sabar ingin segera bertanya."Jadi, sayangku penasaran?" goda Evan sembari mencubit hidung Alana."Tentu saja. Aku penasaran, siapa yang bisa membuat suamiku tiba-tiba bahagia seperti itu." Alana merengut, jelas sekali jika dirinya sedang cemburu.Evan mulai menyadari jika Alana sudah salah paham, ia pun memeluk sang istri yang kini lebih sensitif karena tengah mengandung."Aku bahagia bukan karena orang lain, tetapi ada kabar baik yang benar-benar membuatku senang." Evan berusaha membujuk sang istri."Memangnya kabar apa?" Alana mulai tertarik dan percaya pada ucapan Evan."Masalah Bosmu dan anak buahnya, sekarang mereka s
Evan masih berusaha mengintip dari jendela, berharap perbincangan Danu nanti dapat terdengar olehnya.Orang-orang itu pun semakin dekat dengan rumah. Mereka kini berdiri di depan sambil mengguncang-guncang pagar agar segera Danu buka."Hey, buka pagarnya!" teriak salah seorang pria berbadan kekar."Oh, tunggu sebentar," jawab Danu yang beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menuju gerbang.Para pria itu terlihat menatap Danu dengan tatapan sinis, dari gayanya jelas terlihat jika mereka sedang berusaha mengintimidasi bawahan Evan tersebut."Cepatlah! Kenapa ada laki-laki selamban dirimu?""Apa kamu tidak bisa bersabar sedikit?" timpal Danu yang sama sekali tak menunjukan rasa takut.Orang-orang itu saling pandang, niat hati ingin membuat Danu takut, kini mereka malah dibuat kebingungan dengan sikap asisten Evan itu."Cepatlah! Aku ada perlu dengan Bosmu!" ucap pria bertubuh kekar tadi."Percuma saja kalian kemari mencari Bosku, dia sedang tidak ada di sini!" sahut Danu berusaha ter
Evan bergegas masuk ke kamar dengan begitu bersemangat, rasanya tak sabar ingin segera memberitahu Alana kabar baik yang akan membuatnya senang.Sebenarnya Evan tak tega membangunkan sang istri yang terlihat kelelahan, tetapi karena ini menyangkut orang yang Alana lindungi, maka mau tak mau ia harus membangunkan istrinya itu.Evan perlahan masuk, ia mengelus rambut Alana, lalu mencium kening istrinya itu."Sayang, bangun! Ada kabar baik," bisik Evan.Alana masih pulas, ia seakan tak menghiraukan bisikan Evan."Sayang, temanmu sudah ada di bandara," bisik Evan lagi.Alana yang mulai membuka mata pun terperanjat, meski masih setengah sadar, ia dapat mendengar dengan jelas ucapan Evan."Apa yang kamu katakan? Mengapa mereka datang secepat itu? Apa kamu sedang mengigau?" sahut Alana sambil berusaha membuka mata meski terasa berat."Tentu saja tidak. Aku malah belum tidur sama sekali," jawab Evan.Saat tengah berusaha meyakinkan Alana, lagi-lagi ponsel Evan berdering. Meski yang masuk adal