Para pria itu pun tersentak melihat kehadiran Alana, mereka diam terpaku seperti kebingungan.Begitu juga dengan Alana, ia berniat mengalihkan perhatian para pria itu demi menyelamatkan Cherry. Namun, bukannya ditangkap, Alana malah diabaikan begitu saja.Cherry berlari ke arah Alana yang sedang kebingungan."Maaf membuat Anda takut! Mereka adalah teman-teman Kakak saya," ucap Cherry dengan napas terengah karena kelelahan berlari."J-jadi, mereka ada di pihak kita? Pantas saja saat aku berusaha menyerahkan diri, mereka malah mengabaikanku," ujar Alana, merasa malu."Oh, itu juga karena Anda berbicara dalam bahasa yang tidak mereka mengerti," timpal Cherry.Alana merasa malu, berpikir jika para pria itu adalah anak buah Jack membuatnya berteriak dengan menggunakan bahasa Indonesia."Ah, kupikir mereka anak buah Jack," sahut Alana, tersenyum canggung."Meski mereka anak buah penjahat itu, saya harap Anda tidak pernah berniat untuk menyerahkan diri seperti tadi lagi. Meski saya tertangkap
Alana sangat penasaran ingin bertanya, akan tetapi, Evan tampak masih sibuk berbincang dengan orang di telepon tersebut."Oh, jadi semuanya sudah beres?" tanya Evan dengan raut wajah bahagia.Evan sesekali tertawa saat si penelepon sedang berbicara.Beberapa menit berlalu, Evan pun menutup teleponnya."Siapa? Apa yang terjadi?" tanya Alana yang sejak tadi sudah tak sabar ingin segera bertanya."Jadi, sayangku penasaran?" goda Evan sembari mencubit hidung Alana."Tentu saja. Aku penasaran, siapa yang bisa membuat suamiku tiba-tiba bahagia seperti itu." Alana merengut, jelas sekali jika dirinya sedang cemburu.Evan mulai menyadari jika Alana sudah salah paham, ia pun memeluk sang istri yang kini lebih sensitif karena tengah mengandung."Aku bahagia bukan karena orang lain, tetapi ada kabar baik yang benar-benar membuatku senang." Evan berusaha membujuk sang istri."Memangnya kabar apa?" Alana mulai tertarik dan percaya pada ucapan Evan."Masalah Bosmu dan anak buahnya, sekarang mereka s
Evan masih berusaha mengintip dari jendela, berharap perbincangan Danu nanti dapat terdengar olehnya.Orang-orang itu pun semakin dekat dengan rumah. Mereka kini berdiri di depan sambil mengguncang-guncang pagar agar segera Danu buka."Hey, buka pagarnya!" teriak salah seorang pria berbadan kekar."Oh, tunggu sebentar," jawab Danu yang beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menuju gerbang.Para pria itu terlihat menatap Danu dengan tatapan sinis, dari gayanya jelas terlihat jika mereka sedang berusaha mengintimidasi bawahan Evan tersebut."Cepatlah! Kenapa ada laki-laki selamban dirimu?""Apa kamu tidak bisa bersabar sedikit?" timpal Danu yang sama sekali tak menunjukan rasa takut.Orang-orang itu saling pandang, niat hati ingin membuat Danu takut, kini mereka malah dibuat kebingungan dengan sikap asisten Evan itu."Cepatlah! Aku ada perlu dengan Bosmu!" ucap pria bertubuh kekar tadi."Percuma saja kalian kemari mencari Bosku, dia sedang tidak ada di sini!" sahut Danu berusaha ter
Evan bergegas masuk ke kamar dengan begitu bersemangat, rasanya tak sabar ingin segera memberitahu Alana kabar baik yang akan membuatnya senang.Sebenarnya Evan tak tega membangunkan sang istri yang terlihat kelelahan, tetapi karena ini menyangkut orang yang Alana lindungi, maka mau tak mau ia harus membangunkan istrinya itu.Evan perlahan masuk, ia mengelus rambut Alana, lalu mencium kening istrinya itu."Sayang, bangun! Ada kabar baik," bisik Evan.Alana masih pulas, ia seakan tak menghiraukan bisikan Evan."Sayang, temanmu sudah ada di bandara," bisik Evan lagi.Alana yang mulai membuka mata pun terperanjat, meski masih setengah sadar, ia dapat mendengar dengan jelas ucapan Evan."Apa yang kamu katakan? Mengapa mereka datang secepat itu? Apa kamu sedang mengigau?" sahut Alana sambil berusaha membuka mata meski terasa berat."Tentu saja tidak. Aku malah belum tidur sama sekali," jawab Evan.Saat tengah berusaha meyakinkan Alana, lagi-lagi ponsel Evan berdering. Meski yang masuk adal
"Memangnya ada apa?" Evan kebingungan."Ini, lihat sendiri!" Alana menunjukan ponsel Evan yang tadi tergeletak di kasur begitu saja.Evan langsung mengambil ponselnya, ia langsung mengecek apa yang membuat sang istri marah. Benar saja, ternyata ibunya mengirimkan banyak pesan yang berisi foto saat acara pertunangan Evan kemarin."Jadi? Kamu memiliki perempuan lain sekarang?" Alana terisak, dadanya terasa sesak."Ini tidak seperti yang kamu bayangkan!" sanggah Evan sambil memegangi bahu istrinya itu."Apa foto ini masih tidak cukup menjadi bukti?" Air mata Alana mulai membanjiri pipinya.Evan merasa bersalah, ia lagi-lagi telah melakukan hal bodoh karena tak langsung menceritakan semuanya pada Alana."Jadi, apa kamu mau mendengar penjelasanku atau langsung menelan mentah-mentah foto dari ibuku yang sangat jelas tak menyukai hubungan kita?" Evan berusaha meyakinkan Alana dengan bersikap tenang.Alana kini terdiam, ia mulai memikirkan ucapan Evan. Ada keraguan di hatinya, mengingat sang
Alana dan Evan saling pandang, mereka juga berpegang tangan karena cemas dengan keadaan sang janin."Jadi, apa yang terjadi?" tanya Evan, gelisah.Dokter pun tak langsung menjawab, ia menaruh kembali alat USG tersebut dan mengelap perut Alana yang berlumuran gel dengan menggunakan tisu."Ibu dan Bapak silakan duduk dulu," pinta Dokter itu, sambil menunjuk ke arah kursi yang berada di depan meja kerjanya.Evan berusaha membantu Alana untuk bangkit dan kemudian keduanya pun langsung duduk di depan Dokter yang sedang sibuk mencatat."Sebelumnya saya minta maaf, janin dalam kandungan Ibu sedikit kurang aktif. Jika dari yang Ibu katakan seharusnya saat ini umur kandungan Anda sekitar lima bulan, seharusnya di usia ini janin mulai berkmbang aktif. Apa Ibu tidak makan dengan baik?" tanya Dokter tersebut dengan wajah serius.Alana langsung mengusap perutnya, ia tiba-tiba merasa cemas akan kehamilannya."I-iya, saya sedang mengalami masalah saat itu," sahut Alana dengan perasaan yang sudah tak
"Evan! Tunggu sebentar!" teriak perempuan yang ternyata adalah Natasha.Evan tak menghiraukan teriakan Natasha, ia malah semakin mempercepat langkahnya demi menghindari perempuan itu."Sayang, aku tak suka melihat dia," bisik Alana."Aku juga tak ingin bertemu perempuan itu, makanya, sekarang sebisa mungkin kita harus menghindarinya," ujar Evan berbisik.Namun, meski mereka berusaha menghindar, Natasha yang tak tahu malu pun tetap berusaha menghampiri Alana dan Evan."Hey, kenapa buru-buru begitu? Memangnya kalian sedang kebelet?" Natasha tertawa sambil memukul bahu Evan."Karena aku tak mau bertemu denganmu! Enyahlah dari hadapanku!" hardik Evan."Evan, kamu sangat lucu saat marah," timpal Natasha dengan tak tahu malunya.Alana merasa risi, ia menarik Evan agar bergegas pergi dari hadapan perempuan tak punya malu itu.Namun, bukannya menjauh, Natasha malah terus membuntuti mereka. Meski diam-diam Evan sangat sadar jika dirinya sedang diikuti."Danu, tolong bawa perempuan itu pergi me
Evan tersenyum penuh kebanggan, ia menatap ke arah Danu yang tengah kebingungan."Aku tak ingin istriku berada dalam kesulitan," bisik Evan.Danu tersentak, ia tak menyangka jika atasannya itu berbuat sampai sejauh ini hanya untuk persoalan belanja saja.Para pengunjung supermarket semakin dibuat melongo saat melihat rombongan pria-pria bertubuh kekar yang mengenakan setelan pakaian berwarna hitam.Mereka adalah ajudan Evan yang barusan diminta datang hanya sekedar untuk membantu Evan membawa barang belanjaan."Pak Evan, apa yang harus kami lakukan?" tanya salah seorang pria yang berjalan paling depan."Tidak sulit. Hanya membantuku membawa barang belanjaan. Lalu, apa barang yang aku itu minta kalian bawa?" tanya Evan, membuat Alana dan kedua asistennya penasaran."Sudah kami bawa," jawab ajudan tersebut, sambil berjalan ke belakang mengambil kursi roda dari salah satu rekannya.Ajudan itu pun mendorong sebuah kursi roda dan memberikannya pada Evan."Sayang, duduklah! Kamu pasti sanga