"Evan! Tunggu sebentar!" teriak perempuan yang ternyata adalah Natasha.Evan tak menghiraukan teriakan Natasha, ia malah semakin mempercepat langkahnya demi menghindari perempuan itu."Sayang, aku tak suka melihat dia," bisik Alana."Aku juga tak ingin bertemu perempuan itu, makanya, sekarang sebisa mungkin kita harus menghindarinya," ujar Evan berbisik.Namun, meski mereka berusaha menghindar, Natasha yang tak tahu malu pun tetap berusaha menghampiri Alana dan Evan."Hey, kenapa buru-buru begitu? Memangnya kalian sedang kebelet?" Natasha tertawa sambil memukul bahu Evan."Karena aku tak mau bertemu denganmu! Enyahlah dari hadapanku!" hardik Evan."Evan, kamu sangat lucu saat marah," timpal Natasha dengan tak tahu malunya.Alana merasa risi, ia menarik Evan agar bergegas pergi dari hadapan perempuan tak punya malu itu.Namun, bukannya menjauh, Natasha malah terus membuntuti mereka. Meski diam-diam Evan sangat sadar jika dirinya sedang diikuti."Danu, tolong bawa perempuan itu pergi me
Evan tersenyum penuh kebanggan, ia menatap ke arah Danu yang tengah kebingungan."Aku tak ingin istriku berada dalam kesulitan," bisik Evan.Danu tersentak, ia tak menyangka jika atasannya itu berbuat sampai sejauh ini hanya untuk persoalan belanja saja.Para pengunjung supermarket semakin dibuat melongo saat melihat rombongan pria-pria bertubuh kekar yang mengenakan setelan pakaian berwarna hitam.Mereka adalah ajudan Evan yang barusan diminta datang hanya sekedar untuk membantu Evan membawa barang belanjaan."Pak Evan, apa yang harus kami lakukan?" tanya salah seorang pria yang berjalan paling depan."Tidak sulit. Hanya membantuku membawa barang belanjaan. Lalu, apa barang yang aku itu minta kalian bawa?" tanya Evan, membuat Alana dan kedua asistennya penasaran."Sudah kami bawa," jawab ajudan tersebut, sambil berjalan ke belakang mengambil kursi roda dari salah satu rekannya.Ajudan itu pun mendorong sebuah kursi roda dan memberikannya pada Evan."Sayang, duduklah! Kamu pasti sanga
Evan berjalan memasuki halaman rumahnya yang sudah tak berbentuk. Bunga-bunga berantakan, lampu taman hancur, bahkan kursi serta meja yang ada di teras pun sudah tak berbentuk lagi saking rusaknya.Bukan hanya halaman, bagian depan rumah pun tak luput menjadi sasaran pengrusakan. Kaca jendela pecah semua, menyisakan bingkai kayu dengan beling yang berserakan di lantai."Apa ada yang tahu ia siapa yang telah menghancurkan rumahku?" Evan berteriak memandangi warga satu persatu, saking emosinya."Kami tidak tahu siapa mereka, tapi kami sudah mencatat plat nomor mobil yang mereka kendarai," jelas salah seorang warga yang kemudian menunjukan catatan di ponselnya yang berisi angka dari plat nomor para pelaku pengrusakan."Terima kasih," jawab Evan sambil menulis plat nomor tersebut pada catatan di ponselnya.Evan langsung bergerak cepat dengan mengirimkan nomor plat mobil tersebut pada Detektif kepercayaannya.Cherry dan Alana menyusul Evan karena merasa penasaran. Mereka terpaku saat melih
Evan mengusap rambut Alana sambil tersenyum karena merasa lucu melihat wajah istrinya yang tengah kebingungan."Tentu saja tidak. Ini adalah rumah yang sengaja kusiapkan untukmu," terang Evan.Alana mengerutkan alis, ia seolah masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kenyataan jika Evan adalah seorang pewaris dari Lucio Group saja masih terasa aneh baginya, sekarang ia malah harus melihat sesuatu yang lebih sulit dipercaya."Apa kamu yakin tidak salah? Ini bukan rumah, tapi lebih mirip istana!" seru Alana.Bukannya menjawab, Evan malah mencubit pipi Alana yang tampak seperti anak kecil sedang merasa takjub."Aku tidak salah! Sudah sepantasnya seorang ratu mendapatkan sebuah istana," sahut Evan sambil mengecup punggung tangan Alana.Wajah Alana memerah, ia berpikir jika semua ini terasa seperti mimpi. Apalagi, keadaan mereka sebelumnya sangat berbanding terbalik dengan fakta yang ada saat ini."Pak, apa kita keluar sekarang?" tanya Cherry yang ragu untuk keluar dari mobil terlebih
Kini Evan sudah duduk di dalam mobil, para anak buahnya juga telah bersiap mengawal dengan menaiki motor."Pak, apa kita berangkat sekarang?" tanya ajudan Evan yang bertugas mengemudikan mobil."Ya, kita langsung pergi ke alamat yang sudah kuberikan padamu!" perintah Evan yang dadanya sudah terasa sesak.Kini mobil yang Evan naiki pun melaju menuju tempat di mana orang yang menyulut emosinya itu berada.Saat di jalan, Evan sibuk memainkan ponsel, berusaha menghubungi Alicia yang tidak merespon meski beberapa kali di telepon. Hingga akhirnya ia menyerah dan langsung meminta ajudan untuk menambah kecepatan agar bisa segera sampai ke tempat tujuan.Perjalanan singkat yang terasa panjang pun kini telah berakhir dengan sampainya Evan di sebuah gudang tak terpakai di ujung kota."Pak, kami sudah mengecek, di dalam banyak penjaga yang sepertinya sudah menunggu kedatangan kita," terang Danu yang telah datang lebih dulu bersama beberapa orang lainnya."Apa dia ada?" tanya Evan, yang masih beru
Pandangan Evan sudah berkunang-kunang, ia hanya bisa menatap kaki orang-orang yang muncul dari luar. Sekilas terdengar keributan kecil antara beberapa orang yang baru datang itu dengan Julius. Namun, Evan sudah tak bisa mendengar dengan jelas dan perlahan semuanya menjadi gelap.***Evan masih berat untuk membuka mata, ia merasakan sakit di sekujur tubuh. Namun, ada yang aneh dengan keadaan disekitarnya yang terasa tenang dan sejuk, sedikit berbeda dengan apa yang dirasakannya saat tengah berada di gudang.Hal yang semakin membuat terkejut adalah saat sebuah sentuhan lembut terasa mengusap pipi Evan. Ia tersentak dan langsung beranjak, berusaha untuk duduk meski kepalanya masih terasa pusing efek baru siuman."Sayang… syukurlah, kamu sudah sadar." Alana langsung memeluk Evan dengan penuh suka cita."Kenapa aku ada disini?" tanya Evan sambil menatap sekeliling seraya memegangi kepala yang pusing akibat berusaha mengingat kejadian terakhir yang ia alami."Kamu selalu saja membuatku kha
"Evan, kamu sangat tidak sopan! Kami datang kemari untuk menjengukmu," timpal Jeni yang emosi saat Evan menatap Natasha dengan penuh amarah."Benar Evan. Aku langsung kemari setelah tahu kamu di rawat. Sepertinya akhir-akhir ini kamu menjadi sering tertimpa sial," ledek Natasha yang langsung menatap Alana sesaat setelah selesai berbicara.Evan tak suka dengan cara Natasha yang menyudutkan Alana. Sejak awal saja ia sudah tak suka dengan perempuan itu, dan sekarang ia malah bertingkah, mengusik istri yang sangat dicintainya.Lain dengan Alana, ia bersikap biasa saja karena sudah menganggap Natasha adalah perempuan tak waras yang terlalu terobsesi pada suaminya."Cepat keluar!" bentak Evan yang sudah muak melihat Natasha."Evan, jaga sikapmu! Kami datang kemari dengan maksud baik. Kamu malah memperlakukan Natasha seperti itu," seru Jeni yang malah mendelik ke arah Alana karena berpikir jika menantunya itu telah membawa pengaruh buruk.Alana mengusap punggung Evan. "Sudahlah, jangan menol
Alana tak menjawab dan terus meringis sambil memegangi perut. Evan pun semakin gelisah melihat sang istri kesakitan, lalu berusaha bangkit meski tangannya masih terpasang selang infus."Evan, jangan memaksakan diri, biar ayahmu mencari dokter dulu." Willy menahan Evan tangan tuanya. "Alex, cepat panggilkan Dokter!" titahnya.Alex yang kebingungan pun langsung mengiyakan saat mendengar perintah Willy. Ia bergegas mencari dokter sebelum ayahnya itu murka.Evan menoleh ke arah Natasha dan juga Jeny dengan tatapan penuh amarah. Emosinya sudah meradang mengingat Alana menjadi sakit gara-gara disuruh ibunya untuk berjalan kedepan hanya untuk membeli minuman yang tidak terlalu penting."Puas kalian?" teriak Evan.Willy yang masih berusaha berkepala dingin di situasi itu pun berusaha memikirkan cara agar tak terjadi keributan di ruang itu."Jeni, Natasha! Cepat pergi dari sini!" seru Willy yang merasa jika ini adalah kesempatan baginya untuk mengusir dua orang perempuan menyebalkan tersebut.