Pandangan Evan sudah berkunang-kunang, ia hanya bisa menatap kaki orang-orang yang muncul dari luar. Sekilas terdengar keributan kecil antara beberapa orang yang baru datang itu dengan Julius. Namun, Evan sudah tak bisa mendengar dengan jelas dan perlahan semuanya menjadi gelap.***Evan masih berat untuk membuka mata, ia merasakan sakit di sekujur tubuh. Namun, ada yang aneh dengan keadaan disekitarnya yang terasa tenang dan sejuk, sedikit berbeda dengan apa yang dirasakannya saat tengah berada di gudang.Hal yang semakin membuat terkejut adalah saat sebuah sentuhan lembut terasa mengusap pipi Evan. Ia tersentak dan langsung beranjak, berusaha untuk duduk meski kepalanya masih terasa pusing efek baru siuman."Sayang… syukurlah, kamu sudah sadar." Alana langsung memeluk Evan dengan penuh suka cita."Kenapa aku ada disini?" tanya Evan sambil menatap sekeliling seraya memegangi kepala yang pusing akibat berusaha mengingat kejadian terakhir yang ia alami."Kamu selalu saja membuatku kha
"Evan, kamu sangat tidak sopan! Kami datang kemari untuk menjengukmu," timpal Jeni yang emosi saat Evan menatap Natasha dengan penuh amarah."Benar Evan. Aku langsung kemari setelah tahu kamu di rawat. Sepertinya akhir-akhir ini kamu menjadi sering tertimpa sial," ledek Natasha yang langsung menatap Alana sesaat setelah selesai berbicara.Evan tak suka dengan cara Natasha yang menyudutkan Alana. Sejak awal saja ia sudah tak suka dengan perempuan itu, dan sekarang ia malah bertingkah, mengusik istri yang sangat dicintainya.Lain dengan Alana, ia bersikap biasa saja karena sudah menganggap Natasha adalah perempuan tak waras yang terlalu terobsesi pada suaminya."Cepat keluar!" bentak Evan yang sudah muak melihat Natasha."Evan, jaga sikapmu! Kami datang kemari dengan maksud baik. Kamu malah memperlakukan Natasha seperti itu," seru Jeni yang malah mendelik ke arah Alana karena berpikir jika menantunya itu telah membawa pengaruh buruk.Alana mengusap punggung Evan. "Sudahlah, jangan menol
Alana tak menjawab dan terus meringis sambil memegangi perut. Evan pun semakin gelisah melihat sang istri kesakitan, lalu berusaha bangkit meski tangannya masih terpasang selang infus."Evan, jangan memaksakan diri, biar ayahmu mencari dokter dulu." Willy menahan Evan tangan tuanya. "Alex, cepat panggilkan Dokter!" titahnya.Alex yang kebingungan pun langsung mengiyakan saat mendengar perintah Willy. Ia bergegas mencari dokter sebelum ayahnya itu murka.Evan menoleh ke arah Natasha dan juga Jeny dengan tatapan penuh amarah. Emosinya sudah meradang mengingat Alana menjadi sakit gara-gara disuruh ibunya untuk berjalan kedepan hanya untuk membeli minuman yang tidak terlalu penting."Puas kalian?" teriak Evan.Willy yang masih berusaha berkepala dingin di situasi itu pun berusaha memikirkan cara agar tak terjadi keributan di ruang itu."Jeni, Natasha! Cepat pergi dari sini!" seru Willy yang merasa jika ini adalah kesempatan baginya untuk mengusir dua orang perempuan menyebalkan tersebut.
Yasmin malah tertawa saat menatap Alana yang tengah tersenyum penuh harap."Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?" Yasmin terus saja tertawa."Memang apa lagi? Kalian selalu bersama dan terlihat sangat serasi," jawab Alana dengan lugunya."Mana mungkin aku menikahi perempuan segalak Yasmin." Yosep menyanggah seraya sedikit bergeser dari posisi sebelumnya yang berada di dekat Yasmin.Yasmin mendelik ke arah Yosep. "Kamu pikir, aku juga mau padamu?" balasnya.Kini Alana malah dibuat tertawa, ternyata ia telah salah paham dan malah menimbulkan pertikaian kecil di antara kedua temannya itu."Sudah, sudah… memangnya kabar bahagia apa yang kalian maksud?" Alana berusaha melerai Yasmin dan Yosep.Keduanya berhenti bertengkar. Wajah mereka yang semula kusut karena kesal pun kini berubah ceria."Sebelumnya aku sangat berterima kasih pada Pak Evan!" Yosep menatap ke arah Evan dengan sedikit membungkuk. "Besok aku akan menjadi juru masak di rumahmu, Alana!" sambungnya.Alana menatap Evan penuh
"Baik, Pak!" Danu bergegas keluar dari mobil menghampiri dua orang tak di undang itu.Evan dan Alana memilih untuk berdiam diri di dalam mobil, mereka malas jika harus berhadapan dengan orang yang menyebalkan seperti Jeni dan Natasha."Untuk apa mereka datang ke sini?" gerutu Evan seraya menatap Danu yang sedang berbincang dengan kedua orang tak diinginkan.Alana tak mengindahkan ucapan suaminya itu. Ia begitu serius memperhatikan Natasha yang kini malah beradu mulut dengan Danu."Apa aku sudah menceritakannya padamu?" tanya Alana tiba-tiba."Cerita apa?""Soal malam itu, saat kita sedang bertengkar hebat." Alana memandang Evan dengan tatapan tajam.Evan keheranan, ia tak merasa jika Alana pernah bercerita tentang masalah saat itu."Kamu tak pernah mengatakan apa pun," sahut Evan.Alana menghela napas dalam. Ia teringat kembali kejadian yang menyesakkan dada, di mana hari itu adalah hari yang paling pahit dalam hidupnya.Pertanyaan Evan membawa Alana dalam lamunan, ia mengingat kembali
"Lalu, apa mereka menyentuhmu? Apa yang terjadi setelahnya?" Evan menggenggam tangan istrinya itu dengan sangat erat. Perasaan cemburu bercampur kesal sudah membuat dadanya terasa sesak."Sebelum kesadaranku benar-benar hilang, aku masih bisa mendengar beberapa orang datang dan terjadi perkelahian di sana," terang Alana yang tampak melamun mengingat kejadian tak menyenangkan itu."Lalu apa yang terjadi saat kamu siuman?""Tahu-tahu aku sudah di Thailand, berbaring di asrama." Alana menghela napas dalam.Evan mengepalkan tangannya. ia benar-benar kesal saat tahu seperti apa kejadian yang sebenarnya menimpa Alana. Ia bersumpah akan memberi hukuman setimpal pada orang yang telah membuat perempuan yang sangat ia cintai sampai menderita."Mengapa kamu baru cerita sekarang?" Raut wajah Evan menunjukan kekhawatiran."Karena melihat Natasha membuatku ingat kejadian di malam dia mengusirku," terang Alana dengan napas tak beraturan saking kesalnya.Mendengar hal itu, Evan yang sejak wah sudah te
Alana mengerutkan alis. "Kita bicara di sini saja, Bu," sahutnya."Tidak, aku tak ingin Evan dengar!" Lagi-lagi Jeni sangat ketus."Kalau begitu, di taman samping saja," ajak Alana berusaha meraih tangan mertuanya untuk menuntun menuju taman.Namun, Jeni sama sekali tak ingin disentuh oleh Alana. Ia menepis tangan menantunya itu dengan ekspresi jijik."Jangan pernah menyentuhku!""Oh, baik, Bu," jawab Alana dengan ekspresi datar.Keduanya berjalan menuju ke bagian samping rumah. Terdapat halaman dengan taman yang begitu indah di sana. Tak ketinggalan ada air mancur kecil yang dikelilingi deretan bunga warna-warni sebagai penambah kesan indah dan asri.Dada Jeni semakin terasa sesak, bukan tanpa alasan, ada perasaan cemburu yang sejenak terlintas di benaknya. Ia merasa jika Evan terlalu memanjakan perempuan yang bahkan hanya berasal dari keluarga miskin. Berbanding dengan dirinya yang berasal dari keturunan keluarga terpandang, tetapi tidak mendapat cinta sang suami.Dulu, Jeni pernah
Evan tetap memilih pergi meski tau jika istrinya sedikit berat untuk mengizinkan. Namun, mau bagaimana lagi, masalah ini harus segera ia selesaikan demi bisa membalas semua penderitaan yang telah Alana alami.Saking bersemangat, Evan sampai lupa jika di rumahnya ada lift dan berjalan perlahan menuruni anak tangga meski sedikit melelahkan."Kita pergi sekarang!" titah Evan pada Danu yang sudah menunggunya di bawah tangga."Apa perlu membawa pengawal lain?""Tidak usah. Kamu saja sudah cukup, di sana juga ada anak buah Kakek yang sudah menunggu." Evan berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke halaman depan, di mana mobil sport hitam miliknya sudah terparkir.Merasa tertinggal dari sang atasan, Danu langsung berlari mendahului Evan."Kamu sangat tidak sopan!" protes Evan."Tapi, saya sengaja berlari agar bisa membukakan pintu untuk Bapak," balas Danu.Evan tak menjawab ucapan Danu. Bagaimanapun, apa yang dikatakan sang bawahan ada benarnya. Hanya saja egonya yang tinggi, membuatnya tak ingin