Ternyata ancaman Evan tak membuat si pelaku mau menunjukan batang hidungnya. Karenanya, ia lebih memilih untuk melanjutkan saran dari Renald."Kumpulkan semua ponsel kalian sekarang juga!" bentak Evan.Awalnya para pelayan tampak ragu, tetapi pada akhirnya lebih memilih untuk memberikan ponsel mereka karena terus ditekan oleh Evan.Setelah semuanya selesai mengumpulkan ponsel. Evan langsung mengecek satu persatu, tetapi hasilnya nihil. Hingga sesaat kemudian ia menelepon seseorang yang tak lain adalah temannya."Ada apa Evan? Kenapa kamu telepon tengah malam begini?""Cepat datang kemari!" hardik Evan yang kesal karena temannya itu bermalas-malasan."Hey, dasar menyebalkan, meneleponku malam-malam begini cuma untuk marah-marah!""Tiga kali lipat dari honor biasa!" ucap Evan."Aku meluncur ke sana. Berikan alamatmu," pinta temen Evan tersebut.Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya teman Evan yang merupakan peretas itu pun sampai dengan membawa laptop andalannya."Jadi, apa ya
"Apa maksudmu, Deo?" Evan duduk di samping temannya itu."Aku hanya iseng mengecek keadaan rumahmu. Kejadian ini semakin membuatku yakin jika ada orang yang sedang berusaha mengintai. Lalu, lihatlah ini!" Teman Evan yang bernama Deo itu langsung menunjukan layar laptopnya.Di layar laptop tersebut terlihat gambar rumah Evan dari sudut pandang CCTV yang berada di dekat pintu keluar. Namun, ada hal yang sedikit aneh, ada beberapa titik warna merah yang tersebar di beberapa sudut ruangan."Ada apa dengan titik merah ini?" Evan mengerutkan alis, menatap layar laptop dengan sangat serius."Aku telah merancang aplikasi khusus untuk mendeteksi alat penyadap, karena mendengar penjelasan pelayanmu tadi, aku jadi penasaran dengan yang terjadi di rumahmu. Lalu inilah yang terjadi," terang Deo.Saat itu juga, Evan menelepon Danu dan Cherry karena malas mendatangi kamar kedua asistennya itu.Dalam waktu dua menit, Cherry langsung datang. Berbanding dengan Danu yang datang sepuluh menit kemudian.S
Evan lagi-lagi dibuat emosi oleh Danu. Ia pun beranjak menghampiri sang bawahan yang sedang tergeletak di lantai."Danu, bangunlah!" Evan menepuk-nepuk pipi bawahannya itu dan mengguncang-guncangnya.Danu seketika tersadar karena penyebab pingsannya terlalu sepele."Ada hantu, Pak?" Danu menunjuk ke arah sofa."Bodoh! Dia tidak meninggal!" seru Evan."Waktu itu dia berdarah, lalu menutup mata." Danu mengoceh sambil terus menunjuk ke arah Sasa yang tengah duduk di sofa.Sasa hanya tersenyum simpul saat dirinya disebut hantu oleh Danu sampai berulang kali. Seperti baru kemarin perempuan itu terlihat sangat mengenaskan dengan darah yang memenuhi wajahnya. Namun, kini perempuan itu sudah terlihat membaik, tak ada sedikit pun luka di wajahnya."Selamat pagi Pak Danu. Saya masih sehat seperti ini, kenapa dibilang hantu?" Sasa menghampiri Danu yang masih terus mengoceh itu."T-tapi, kemarin…" Wajah Danu pucat, saking ketakutannya."Sudahlah! Jangan penakut begitu! Mana ada hantu di pagi hari!
"Aku mau, katakan saja!" Sasa begitu bersemangat."Kalau begitu, berikan aku snack selama sebulan dan antarkan aku sarapan setiap hari selama sebulan juga," ujar Deo dengan tak tahu malunya."Apa kamu gila? Aku bukan pembantumu!" hardik Sasa sambil menolak pinggang.Deo tersenyum seraya menatap Sasa dengan sinis. "Kalau begitu, jangan harap aku memberikan kamar ini!"Deo menutup pintu dengan sangat keras, membuat Sasa terkejut seketika."Dasar menyebalkan. Awas saja!" oceh Sasa yang segera berlalu dari depan kamar Deo dan bergegas menuju ke lantai atas.Evan sudah menunggu Sasa di lantai atas. Ia ingin berbicara empat mata dengan bawahannya itu."Permisi, Pak Evan." Sasa mengintip ruang kerja Evan, memastikan keberadaan sang atasan."Masuklah!" titah Evan yang sudah duduk menunggu.Tidak hanya Evan, di ruangan itu juga ada Cherry yang sedang berdiri tak jauh dari atasannya. Keduanya memang sudah menunggu kedatangan Sasa sejak tadi."Maaf saya terlambat. Jadi ada apa Bapak memanggil sa
Di layar ponselnya terpampang jelas siapa pemilik dari panti asuhan tersebut, lengkap dengan kasus-kasus yang menimpanya. Evan tahu betul siapa orang itu dan siapa orang yang berada di belakangnya."Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Rasanya kebencianku semakin besar pada orang itu." Evan langsung menaruh ponselnya dan menatap langit-langit kamar seraya memikirkan masalahnya tersebut.Saat pikiran Evan tengah melayang-layang entah kemana, dari luar terdengar suara pagar terbuka. Ia langsung menoleh, menyipitkan matanya, berusaha melihat dengan jelas siapa yang baru datang."Alvin?" gumam Evan. "Kenapa dia menjadi begitu tidak tahu malu?"Evan tersenyum miring, mentertawakan Alvin yang sedang dimabuk cinta, tanpa sadar jika dirinya sendiri pun selalu menjadi budak cinta.Merasa lelah, Evan pun meninggalkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi itu."Sayang, aku ke bawah dulu, ya!" Evan mengecup kening Alana yang tengah terlelap.Saat di bawah, ia berpura-pura menuju kamar Deo yang tid
Evan memilih untuk memantau Renald yang tengah menyulap ruang tamu menjadi lebih cantik. Meski bukan seorang profesional, kepala pelayan tersebut seperti memiliki kreativitas tinggi karena hasil dekorasinya begitu menakjubkan."Kerja bagus Renald!" Evan mengacungi jempol."Terima kasih, Pak," sahut Renald dengan wajah datarnya.Tak berselang lama, Danu datang dengan rombongan para pedagang keliling yang dari wajah mereka terlihat kebahagiaan nyang tersirat."Berapa banyak?" Evan menghampiri Danu."Sekitar dua puluh gerobak, Pak. Tapi, diluar masih ada beberapa pedagang yang meminta masuk juga," terang Danu."Suruh masuk saja, jangan membuatku terlihat seperti orang tidak punya uang!" timpal Evan."Baik, Pak," jawab Danu yang tersenyum sekilas.Tiba-tiba terbesit dalam hati Danu yang merasa jika dirinya sangat beruntung telah menjadi asisten dari seseorang seperti Evan. Meski terlihat arogan dan menyebalkan, atasannya itu berhati baik dan memiliki jiwa penolong yang tinggi meski dibalut
"Kak, Alana. Kenapa ada di sini?" tanya bocah kecil tersebut.Alana mengulurkan kedua tangan, berusaha menggapai anak kecil yang sedang berlari menghampirinya itu."Clay… kenapa kamu ada di sini?" Mata Alana lagi-lagi berkaca-kaca."Memang Kak Alana tidak tahu? Mama dan Papa kan sudah ada di surga. Ibu bilang aku harus jadi anak yang baik biar mereka bahagia," ujar anak laki-laki yang berumur lima tahun tersebut.Alana tersenyum menatap pengasuh panti asuhan yang terlihat panik tersebut. Ia langsung tahu jika perempuan itulah yang Clay panggil Ibu."Kakak tidak tahu. Memang apa yang terjadi pada mama dan papa Clay?" Alana berusaha menahan tangisnya yang merasa jika akan mendengar berita buruk dari mulut bocah di hadapannya."Ibu bilang Mama dan Papa sudah meninggal waktu kecelakaan. Clay tidak tahu apa itu meninggal, tapi Clay tahu apa itu surga." Clay tersenyum lebar tanpa mengerti apa yang dia katakan.Alana memeluk bocah kecil itu dengan perasaan sedih. Ia merasa terpukul saat tahu
Evan mulai tertarik dengan apa yang Danu katakan. Karenanya, ia memilih untuk keluar kamar, menjauh dari Alana agar dia tidak menjadi cemas."Informasi apa?" ucap Evan yang kini sudah berada di dekat tangga."Soal Dody. Saya melihat dia sedang berbincang dengan seorang laki-laki di dekat panti asuhan," terang Danu."Kamu tahu siapa orang yang sedang bersama Dody itu?""Saya tidak tahu pasti, hanya saja Clay terus merengek, dia bilang kalau bos jahat."Evan mengerutkan alis, masih bingung dengan keterangan Danu yang sedikit aneh. Bos? Seorang anak kecil ketakutan, menyebut bos jahat saja sudah terasa ganjil."Apa kamu mengambil foto Dody?""Ya, saya sudah mengambil fotonya untuk berjaga-jaga," terang Danu."Bagus, kirim padaku sekarang," titah Evan yang langsung menutup telepon.Evan Kembali ke kamar di mana ternyata Alana sedang duduk menunggunya."Ada apa? Yang tadi menelepon Danu bukan?" Wajah Alana menunjukan perasaan cemas."Iya Danu," jawab Evan."Ada apa? Apa ada sesuatu yang ter
Bagaimana dengan akhir kisah yang lainnya?Danu, sungguh sebuah keberuntungan di pesta kecil. Pelayan yang waktu itu ia temui ternyata sudah sejak lama menaruh perasaan padanya. Tak ingin membuang-buang waktu, asisten Evan tersebut langsung melamar sang gadis dan buru-buru menentukan tanggal pernikahan.Cherry dan Alvin, benar-benar sesuatu yang tak terduga. Berawal dari sebuah sandiwara, perempuan yang sama sekali tak pernah mengenal cinta itu pun pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hati pada laki-laki yang pantang menyerah untuk memperjuangkannya. Meski Alvin sedikit lebih lemah darinya, pria itu selalu saja berusaha melindungi dalam situasi apa pun. Benar-benar sosok yang sangat Cherry impikan.Sasa dan Deo, mereka terus bertengkar sampai akhirnya muncul perasaan saling suka. 'Bisa karena biasa', mungkin itulah salah satu pepatah yang cocok untuk mereka, mengingat kebencian mereka awalnya begitu mendalam, tetapi bisa-bisanya malah berubah menjadi rasa suka.Brian, beberapa kali b
"Sayang hati-hati! Kamu sedang menggendong Zayn," teriak Alana."Ya, tenang saja," sahut Evan yang sekilas menoleh ke arah Alana.Dengan menggendong Zayn, Evan yang sudah bersemangat pun menghampiri mobil tersebut. Lalu semua yang berada dalam kendaraan itu pun keluar bersamaan.Evan menghampiri sang kakek yang tengah diangkat ajudannya ke kursi roda."Kakek, tumben sekali. Ada perlu apa?" tanya Evan dengan tatapan bahagia bertemu sang kakek."Dasar cucu durhaka! Bukannya menanyakan kabar malah tanya ada perlu apa!" hardik Willy.Evan tertawa melihat kakeknya itu marah. "Ayo masuk dulu."Disaat bersamaan muncul Jeny yang sejak tadi hanya diam di dalam mobil tak berani menunjukan batang hidungnya. Ia tampak malu-malu karena sadar pernah melakukan kesalahan.Evan yang hatinya sedang dalam keadaan baik pun tak memperdulikan masalah yang telah berlalu. Ia malah tersenyum menatap ibunya itu."Ibu, ayo masuk! kebetulan aku akan mengadakan pesta kecil-kecilan," ajak Evan seraya melambai ke ar
Tanpa berpikir dua kali, Evan langsung pulang meski Candra sempat mengundangnya untuk makan siang merayakan keberhasilan rencana mereka."Maaf, mungkin lain kali," ujar Evan yang pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana."Tidak masalah, lain kali masih bisa. Pulang dulu saja, istrimu sudah menunggu di rumah," ujar Candra.Evan tersenyum simpul. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain waktu."Evan berlari menuju mobil, diikuti oleh Danu dan Deo yang juga tampak gelisah, khawatir terjadi sesuatu di rumah.Danu langsung melajukan mobil dengan kecepatan melebihi biasanya.Selama perjalanan, Evan tak hentinya menelepon Alana. Namun, hasilnya nihil karena tak sekalipun sang istri menjawab panggilan tersebut."Apa yang terjadi?" Evan mengacak-acak rambutnya, saking kesal."Seharusnya tidak terjadi apa-apa, semua musuh sudah berada dalam genggaman kita. Kecuali…" Deo seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya."Apa? Kenapa kamu selalu saja menyebalkan!" hardik Evan."Hey tenanglah, kamu terla
"Apa maksudmu, Deo?" Evan menatap temannya itu dengan tatapan heran."Kamu lihat saja!" titah Deo.Beberapa menit menjelang berakhirnya sesi visi misi, Anwar sempat menunjukan beberapa program hebat yang ia rencanakan akan dikerjakan jika dirinya terpilih menjadi walikota nanti."Beberapa lahan kosong akan saya buat menjadi taman yang sisi lainnya dikhususkan untuk area bermain anak-anak. Ini salah satu contoh desain taman." Anwar menunjuk ke layar besar dengan penuh percaya diri.Namun, yang muncul di layar tersebut bukanlah apa yang Anwar maksudkan, melainkan sebuah video di mana dirinya sedang berjabat tangan dengan si pemilik panti asuhan. Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru."Bagaimana dengan uang dari donatur panti asuhanmu?" tanya Anwar yang wajahnya terpampang jelas dalam video tersebut."Sudah saya transfer semua ke rekening Bapak, bahkan uang hasil mengemis dan mengamen anak-anak pun sudah saya setor," ujar pemilik panti asuhan yang tampak begitu hormat pada Anwar."B
Danu langsung menoleh ke arah Deo. Ia merasa jika ternyata ada yang berpenampilan lebih parah darinya. Gelak tawa seakan membuat sang bos dan asistennya itu sedikit melupakan ketegangan yang akan mereka hadapi.Deo masih belum sadar jika dirinya sedang menjadi bahan tertawaan. Ia pun langsung masuk dan duduk di samping Evan dengan santainya."Maaf, tadi aku terlalu lama menyiapkan penyamaran ini," ujar Deo, "ayo kita berangkat sekarang!"Danu langsung melajukan mobil murah yang sengaja dipinjam untuk mendukung penyamaran tersebut."Kenapa kamu harus menyamar jadi perempuan?" Evan bertanya sambil terus terbahak-bahak. "Lalu, kenapa dadamu menggembung begitu?""Setidaknya penampilan ini akan membuatku mudah menyelinap ke belakang layar," ujar Deo yang sedang fokus menatap layar ponselnya.Alasan Deo tak membuat Evan berhenti tertawa. Ia terus saja terpingkal setiap kali menatap Danu dan Deo, merasa jika kini mereka terlihat seperti grup lawak."Berhenti tertawa! Kita ini sedang berangka
Laki-laki jahat di depan Evan tertawa puas, merasa kemenangan telah berada di tangannya.Karena kalah jumlah, anak buah Evan tak bisa menghalau lagi orang-orang yang baru saja datang itu. Meski begitu, beberapa di antaranya masih berusaha menghadang meski pada akhirnya berakhir lengah dan pihak Dody berhasil melumpuhkannya."Menyerahlah, Evanders. Kami bukanlah lawanmu!" timpal pria yang berada di hadapan Evan."Menyerah? Aku tidak takut pada penjahat yang memakan uang anak yatim piatu seperti kalian!" balas Evan."Masih besar kepala juga rupanya? Apa kamu tidak sadar dengan kondisimu sendiri? Jangan sok menjadi pahlawan jika diri sendiri saja sedang dalam keadaan terdesak," ujar pria tersebut."Aku, terdesak? Seharusnya kamu sedikit menoleh ke belakang." Evan pada akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan saat tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pria jahat di hadapan Evan awalnya ragu, tetapi pada akhirnya memilih untuk menoleh saat ia merasa jika suasana menjadi sedikit hening.
Evan langsung keluar dari mobil saat sudah berada di depan gerbang. Ia buru-buru menghampiri security yang sedang berusaha mengusir seorang ojek online."Ada apa ini?" tanya Evan, berjalan mendekat."Ini, Pak. Orang ini bilang Bu Alana memesan bakso. Tapi saat saya ingin melihat isi pesannya, dia bilang kalau itu privasi," terang security."Sudah kamu tanyakan pada Alana, apa dia memesan bakso?" Evan terus menatap ojek online yang sejak tadi terus menunduk."Sudah, Bu Alana bilang memang pesan bakso. Plat nomornya pun sama dengan yang ada di aplikasi. Saya ingin mengeceknya lagi untuk memastikan saja," ujar security tersebut.Evan masih terus memandangi tukang ojek online tersebut dengan wajah datarnya."Apa Alana memesan Bakso Mas Jo? dia sangat menyukai itu.""Benar, Pak. Seperti yang Anda bilang, ini memang Bakso Mas Jo," ucap tukang ojek tersebut seraya menatap security dengan tatapan penuh kemenangan.Evan tersenyum simpul seraya menatap pria tersebut. "Berapa totalnya?""Dua rat
Evan buru-buru menelepon anak buahnya dengan perasaan cemas dan gelisah."Ada apa, Pak?" tanya anak buah Evan dengan suara yang terdengar santai."Perketat keamanan rumah! Jaga setiap sudut jangan sampai ada yang terlewatkan. Jangan biarkan siapa pun masuk!" seru Evan."Baik, Pak," jawab anak buah Evan yang dari nada suaranya terdengar serius.Evan menutup telepon, lalu berjalan menuju ruang kerjanya yang telah berantakan. Beruntung sebelumnya ia telah mengamankan seluruh barang bukti."Pak, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?" Danu mengekor sejak tadi, rasa penasarannya semakin besar saat melihat perubahan wajah Evan yang menjadi tampak semakin emosi.Namun, bukannya menjawab, Evan malah langsung mencari nomor kontak dan menekannya untuk melakukan panggilan."Orang itu masih di tempatmu?""Ya, dia masih bersama saya. Ada apa, Pak?""Cepat pindah dari tempat itu sekarang! Dody sudah mengirim pesan pada orang-orangnya, di sana sudah tidak aman!" Evan semakin gelisah."Tapi, saya
Alana tertawa geli melihat ekspresi Evan yang terlihat muak saat memandangi setiap foto di tangannya."Foto ini terlihat seperti sungguhan. Jika bukan karena kamu menunjukan gambar aslinya, mungkin aku masih akan terus tertipu," terang Alana yang masih tertawa."Orang di foto sangat jelek, wajahku terlihat aneh, tidak simetris pula." "Sudahlah, bakar saja fotonya. Aku lupa membuangnya kemarin."Evan beranjak, bergegas ke teras kamarnya hanya demi untuk membakar foto-foto dirinya bersama banyak perempuan pemberian Jessica untuk Alana saat itu.Dengan perasaan kesal, Evan membakar foto tersebut satu persatu. Sekilas terbesit bayangan kejadian dengan Jessica saat itu. Ia sangat yakin jika semua masalah yang terkait dengannya memiliki satu sumber yang sama, di mana orang tersebut memang berniat membuat rumor buruk demi menjatuhkannya."Akan kubasmi semua hama di Lucio Group." Evan mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.Bayangan akan kehidupan yang tenang saat menguasai Lucio Group tern