Semua mata tertuju pada Evan. Di ruang tunggu itu tidak hanya ada Dokter dan perawat saja, tetapi ada juga beberapa orang tua bayi yang bernasib sama dengan Evan.Setelah mereka semua terdiam mendengar ucapan Evan. Mendadak beberapa orang tua bayi itu menertawakan perkataan yang menurut mereka konyol.Lain dengan para perawat yang sudah tahu identitas Evan. Mereka lebih memilih diam karena segan pada sang pewaris Lucio tersebut."Jangan pikir karena kamu memiliki uang jadi bisa berkhayal membeli rumah sakit semewah ini. Aku juga pemilik perusahaan di salah satu kawasan industri, tapi tidak arogan sepertimu," ucap salah satu orang tua yang bayinya juga sedang di rawat."Sudahlah, mungkin dia orang kaya baru. Berpikir bisa berbuat seenaknya dengan uang yang tak seberapa," ujar istri dari pria tersebut."Pak Evan, lebih baik pergi ke ruangan saya, kita berbicara empat mata," ajak manajer yang masih tidak yakin dengan ucapan Evan.Evan semakin geram dengan sikap orang-orang yang malah men
Cherry berjalan masuk ke kamar Alana. Ia buru-buru menyambar Bella yang kini tengah di gendong oleh atasannya tersebut."Bu Alana sadarlah!" Cherry mengguncang-guncang tubuh Alana.Alana diam terpaku, duduk di sudut lantai dekat kasur. Tatapannya kosong, tetapi tangannya masih kokoh mendekap sang anak.Suara sirine ambulance semakin mendekat. Mendadak bulir bening jatuh dari mata yang masih menatap kosong."Bu, sadarlah! Bella terus menangis, dia membutuhkan Anda!" seru Cherry.Air mata Alana semakin basah membanjiri pipi. Ekspresi perempuan itu tak berubah, datar, tetapi dipenuhi kesedihan.Saat Cherry tengah berusaha menyadarkan Alana, di saat itu pula Evan muncul dengan napas terengah-engah. Melihat kedatangan suaminya itu, tangis Alana pun pecah."Cherry, ada apa dengan Alana?" Evan menatap keheranan."Sepertinya Bu Alana terpuruk saat mendengar suara ambulance." Cherry seakan tahu isi hati Alana.Evan menghampiri Alana dengan perlahan, kemudian memeluknya."Sayang, Zayn kita pula
Evan terus memperhatikan dari kejauhan, sambil menunggu Danu yang sedang berjalan menuju mobil."Pak, sepertinya nasi uduk yang saya beli tertukar dengan pembeli lain," ucap Danu."Tahu dari mana?" Fokus Evan terpecah saat Danu datang."Ada aroma semur jengkol saat saya sedang mengendusnya" ujar Danu."Jadi kamu mengendus makananku? Makan saja nasi uduk itu! Tidak mungkin seorang Presdir sepertiku memakan sesuatu dengan bau seperti itu!" hardik Evan.Danu menunduk, merasa bersalah pada Evan. Namun, perasaan kesal juga menyelimuti hatinya jika mengingat kembali tukang nasi uduk yang menurutnya sangat tidak profesional dalam berdagang.Karena malas mendapat ocehan atasannya itu, Danu pun langsung menyalakan mesin mobil bersiap untuk melaju."Matikan mesinnya!" titah Evan sambil menatap sepupu jauhnya yang tampak masih asyik berbincang dengan para pemegang saham tersebut."Ada apa, Pak? Apa Bapak masih marah pada saya? Maaf, Pak, saya benar-benar tidak tahu soal nasi uduk itu. Kalau perl
"Memangnya kenapa?" tanya Felix yang juga keheranan.Evan ragu untuk mengatakan karena felix terlihat begitu yakin dengan perusahaan miliknya tersebut. Sebuah perusahaan kecil dengan produk ketinggalan zaman yang tidak memiliki niat berinovasi sama sekali, benar-benar seperti benalu yang ingin menempel pada perusahaan besar dan mencari keuntungan dari nama tersebut."Kenapa harus memilih produk kecantikan yang sudah ketinggalan zaman seperti ini? Dari mana kamu mengambil barangnya? Kenapa tidak memproduksinya sendiri?" cecar Evan."Hey, aku ini sedang mengajak bekerja sama, bukan memintamu mengomentari perusahaanku!" timpal Felix.Evan yang sedang berusaha menghindari pertengkaran dan ingin mengorek informasi tentang kedekatan Felix dan para pemegang saham pun memilih untuk menahan emosi dan mengalah dari sepupunya yang keras kepala tersebut."Kalau begitu bersabarlah dulu, aku akan membahasnya di rapat nanti," ujar Evan yang dadanya sudah bergemuruh kesal.Felix tersenyum senang, waj
"Iya, Pak?" Danu buru-buru beranjak, menghampiri Evan yang terlihat sedang kesal."Apa-apaan ini?" Evan menunjuk foto dalam bingkai tersebut."Foto keluarga Anda kan, Pak?""Aku tahu, tapi apa maksudnya ini?" Evan menunjuk lagi ke foto tersebut."Itu, kan Bapak. Masa tidak tahu," jawab Danu dengan santainya.Evan semakin geram dibuat Danu, rasanya ingin meneriaki bawahannya itu dengan sangat kencang."Kenapa kamu harus menempel gambarku di foto ini? Lihatlah! Foto yang seharusnya bagus malah berubah aneh," hardik Evan."Tidak ada yang aneh, malah sangat bagus seperti cover buku novel," sanggah Danu.Evan semakin kesal dengan kelakuan konyol anak buahnya tersebut. Ia memelototi Danu yang kini seperti tak merasa bersalah."Permisi…" seseorang mengetuk pintu."Masuk!" titah Evan.Orang itu pun masuk mendekati Evan. "Pak Evan diminta untuk datang segera ke ruang rapat," ucapnya.Evan buru-buru menatap jam tangannya, baru sadar jika rapat seharusnya sudah berjalan sejak lima belas menit lal
Evan sedikit tahu siapa orang yang sedang berada di luar, tetapi masih ingin memastikan saja apa maksud dan tujuan dia datang dengan cara seperti itu."Ayo ikut aku!" Danu menyeret masuk seseorang yang mengenakan hoodie hitam dan masker."Lepaskan! Aku datang kemari dengan baik-baik," ucap perempuan tersebut."Baik-baik? Cara berpakaianmu saja sudah menunjukan kalau kedatanganmu kemari sangatlah tidak sopan!" hardik Evan."Tapi, saya masuk pintu depan dengan cara baik. Saya juga sempat menyapa beberapa rekan saya dulu," timpal perempuan yang ternyata adalah Sasa."Lalu, kenapa kamu mengendap-endap di depan ruanganku?" Evan menatap sinis ke arah Sasa."I-itu… saya ingin mengambil barang yang ketinggalan," sahut Sasa, menunduk sambil memainkan jarinya karena gugup.Suasana mendadak hening. Evan sengaja diam agar Sasa mau mengatakan yang sejujurnya tentang tujuannya datang kemari.Sasa yang semakin gugup karena terus mendapat tatapan sinis dari mantan atasannya itu pun memilih untuk maju
Disaat bersamaan, ambulance datang."Ikuti ambulance tersebut, jangan sampai ada orang jahat yang mengincarnya lagi!" titah Evan, seraya meremas bahu anak buah yang tadi ia perintahkan untuk mengantar Sasa. "Jangan sampai terulang lagi kejadian tadi," bisiknya."B-baik, Pak," jawab anak buahnya itu.Evan pun kembali ke ruangannya dengan perasaan emosi yang sudah sampai ubun-ubun. Ia tak menyangka jika masalah rumor kemarin tidak sesederhana yang dibayangkannya.Saat sampai di ruangan, Evan terus termenung memikirkan siapa dalang di balik semau kejadian yang dialaminya."Pak, apa yang terjadi pada Sasa?" Danu memecah lamunan Evan."Seseorang sengaja menabraknya. Aku yakin jika masalah Rumor kemarin hanyalah permulaan saja," terang Evan.Danu mendadak merinding. "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Pak? Tiba-tiba saya merasa tidak aman berada di sini."Evan membelalak. "Benar, semua pasti menyangkut perusahaan ini! Kita harus berhati-hati mulai sekarang," ucapnya.Tanpa terasa jam s
"Alana, tolong kasihani Brian. Bagaimanapun juga dia adalah adikmu." Rudi tampak berusaha membantu Desy karena Alana terus diam tak mengatakan sepatah kata pun."I-iya, Alana. Tolong kasihani Brian," sambung Desy lagi.Alana menaruh sendok dan garpu dengan sedikit di hentakan, lalu menatap kedua orang tuanya itu dengan tajam."Ayah, Ibu! Brian itu sudah dewasa, kenapa tidak biarkan dia mencari uang sendiri?" ucap Alana yang merasa sedikit jengkel dengan perlakuan kedua orang tuanya pada Brian.Desy dan Rudy saling tatap, tak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Alana. Mereka sebenarnya ingin Brian ikut mencicipi hidup enak dari kekayaan Alana dan tidak ingin anak laki-lakinya itu kelelahan akibat bekerja."Tapi, kasihan Brian. Dia tidak pernah mengenal dunia kerja, lagipula, umurnya masih terlalu muda untuk mulai bekerja. Ibu ingin dia puas mencicipi masa mudanya dulu." Desy mengatakan hal menjengkelkan dengan wajah memelas, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi semaki