Evan sedikit tahu siapa orang yang sedang berada di luar, tetapi masih ingin memastikan saja apa maksud dan tujuan dia datang dengan cara seperti itu."Ayo ikut aku!" Danu menyeret masuk seseorang yang mengenakan hoodie hitam dan masker."Lepaskan! Aku datang kemari dengan baik-baik," ucap perempuan tersebut."Baik-baik? Cara berpakaianmu saja sudah menunjukan kalau kedatanganmu kemari sangatlah tidak sopan!" hardik Evan."Tapi, saya masuk pintu depan dengan cara baik. Saya juga sempat menyapa beberapa rekan saya dulu," timpal perempuan yang ternyata adalah Sasa."Lalu, kenapa kamu mengendap-endap di depan ruanganku?" Evan menatap sinis ke arah Sasa."I-itu… saya ingin mengambil barang yang ketinggalan," sahut Sasa, menunduk sambil memainkan jarinya karena gugup.Suasana mendadak hening. Evan sengaja diam agar Sasa mau mengatakan yang sejujurnya tentang tujuannya datang kemari.Sasa yang semakin gugup karena terus mendapat tatapan sinis dari mantan atasannya itu pun memilih untuk maju
Disaat bersamaan, ambulance datang."Ikuti ambulance tersebut, jangan sampai ada orang jahat yang mengincarnya lagi!" titah Evan, seraya meremas bahu anak buah yang tadi ia perintahkan untuk mengantar Sasa. "Jangan sampai terulang lagi kejadian tadi," bisiknya."B-baik, Pak," jawab anak buahnya itu.Evan pun kembali ke ruangannya dengan perasaan emosi yang sudah sampai ubun-ubun. Ia tak menyangka jika masalah rumor kemarin tidak sesederhana yang dibayangkannya.Saat sampai di ruangan, Evan terus termenung memikirkan siapa dalang di balik semau kejadian yang dialaminya."Pak, apa yang terjadi pada Sasa?" Danu memecah lamunan Evan."Seseorang sengaja menabraknya. Aku yakin jika masalah Rumor kemarin hanyalah permulaan saja," terang Evan.Danu mendadak merinding. "Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Pak? Tiba-tiba saya merasa tidak aman berada di sini."Evan membelalak. "Benar, semua pasti menyangkut perusahaan ini! Kita harus berhati-hati mulai sekarang," ucapnya.Tanpa terasa jam s
"Alana, tolong kasihani Brian. Bagaimanapun juga dia adalah adikmu." Rudi tampak berusaha membantu Desy karena Alana terus diam tak mengatakan sepatah kata pun."I-iya, Alana. Tolong kasihani Brian," sambung Desy lagi.Alana menaruh sendok dan garpu dengan sedikit di hentakan, lalu menatap kedua orang tuanya itu dengan tajam."Ayah, Ibu! Brian itu sudah dewasa, kenapa tidak biarkan dia mencari uang sendiri?" ucap Alana yang merasa sedikit jengkel dengan perlakuan kedua orang tuanya pada Brian.Desy dan Rudy saling tatap, tak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Alana. Mereka sebenarnya ingin Brian ikut mencicipi hidup enak dari kekayaan Alana dan tidak ingin anak laki-lakinya itu kelelahan akibat bekerja."Tapi, kasihan Brian. Dia tidak pernah mengenal dunia kerja, lagipula, umurnya masih terlalu muda untuk mulai bekerja. Ibu ingin dia puas mencicipi masa mudanya dulu." Desy mengatakan hal menjengkelkan dengan wajah memelas, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi semaki
Evan terkejut, lalu tanpa sengaja menjatuhkan ponselnya dari genggaman. Alana yang sudah diselimuti rasa cemburu itu memilih untuk memungut ponsel sang suami dan mendengar apa yang sedang orang di balik telepon bicarakan."Saya sangat berterima kasih atas bantuannya. Saya tidak tahu harus bagaimana membalas semua kebaikan Bapak," ucap perempuan dibalik telepon.Alana mengerutkan kening, kemudian mendelik menatap Evan. "Apa maksudnya ini?""Tidak ada maksud apa-apa, dia hanya ingin mengucapkan terima kasih saja, tidak lebih!" timpal Evan.Dada Alana bergemuruh hebat, rasanya sedikit menyesakkan saat tahu Evan berbincang dengan perempuan lain di telepon, lalu berusaha menjauh agar tak terdengar olehnya."Kenapa harus menghindar dariku? Apa sebegitu takutnya ketahuan olehku?" timpal Alana dengan tatapan sinisnya."Tidak, bukan begitu, dia cuma karyawan yang pernah aku bantu dan ingin mengucapkan terima kasih." Evan mendekati Alana memegangi tangan istrinya itu."Lalu kenapa sampai harus m
Evan berjongkok, memeriksa gagang pintu yang menurutnya sedikit janggal."Coba kamu lihat gagang pintu ini!" titah Evan yang telah beranjak.Kini giliran Danu berjongkok memperhatikan gagang pintu yang menurutnya terlihat normal, tidak ada yang aneh sama sekali."Semuanya terlihat normal, Pak.""Coba perhatikan lagi!"Danu berusaha mengecek lagi dan masih merasa jika tidak ada sesuatu yang aneh di sana."Pegang gagangnya, kamu akan bisa merasakan ada yang berbeda dari biasanya. Lalu, lihat warna kayu di pinggiran gagang pintu itu! Warnanya sedikit lebih gelap dibanding area lain, yang menandakan jika bagian situ baru saja ditimpa warna lagi," terang Evan sambil berbisik, khawatir ada yang mendengar percakapan mereka."Memang kenapa kalau gelap? Siapa tahu memang warnanya tidak rata.""Bagian lain warnanya terlihat lebih pudar karena termakan usia."Danu mulai mengamati setiap bagian yang Evan sebutkan. Benar saja, saat ia menggosok bagian yang gelap, catnya malah menempel di telunjuk.
Begitu juga dengan Evan yang terdiam sejenak karena terkejut tak menyangka akan bertemu orang yang dikenalnya dengan cara yang kurang baik."Sedang apa di sini? Aku minta maaf untuk kejadian barusan," ujar Evan.Para warga yang sedang berdebat itu langsung terdiam, menoleh ke arah Evan."Ternyata mereka saling mengenal. Sudah kita bubar sekarang.""Sudah seperti drama yang ujung-ujungnya jatuh cinta saja," celetuk salah seorang warga yang membuat wajah perempuan itu memerah.Kerumunan warga itu bubar sesaat setelah tahu jika korban dan penabraknya saling mengenal. Mereka tak ingin ikut ambil pusing masalah orang lain."Anu… maaf, bisa gendong anak saya dulu?""Oh, iya." Evan buru-buru mengambil balita itu dari pelukan ibunya. Kemudian membantu perempuan tersebut berdiri."Terima kasih, Pak.""Tidak perlu sungkan, teman Alana adalah temanku juga. Apalagi akulah yang bersalah di sini," ucap Evan.Wajah Rena mendadak memerah, jelas terlihat meski kulitnya tidak terlalu putih."I-iya… ter
"A-apa maksudmu?" Wajah Evan tiba-tiba bercucuran keringat. Ada perasaan resah dan gelisah yang tak terungkap."Apa itu Alana?" tanya Rena tiba-tiba.Evan rasanya ingin memaki Rena yang tidak tahu situasi. Pria itu merasa jika sahabat Alana terlalu bodoh, tidak mengerti bagaimana berperilaku baik. Hingga akhirnya Ia pun memilih untuk tidak menghiraukan perempuan itu."Aku mendengar suara Rena. Apa kamu masih bersamanya?" Evan ragu, bingung harus menjawab apa. Kemudian memilih diam untuk beberapa saat."Aku sudah tahu semuanya," sambung Alana."Memangnya apa?" Jantung Evan berdebar tak karuan. Setiap ucapan yang Alana lontarkan terasa bagai benda tumpul yang menghantam dada."Berhati-hatilah saat sedang mengemudi! Kamu hampir saja membuat Kak Aldi kehilangan anak dan istrinya." Alana berkata dengan nada meninggi.Evan mengerutkan alisnya, heran dengan sikap Alana yang seolah membela Rena."Yang menyetir itu Danu bukan aku," jawab Evan."Tapi Rena bilang kalau kamu yang membawa mobil.
"A-apa maksud Anda, Pak?" Supir taksi online tersebut semakin terlihat gugup."Mobil siapa yang kamu pakai ini? Jangan bilang kalau kamu mencurinya?" Evan berusaha memancing agar pria di depannya mau mengaku."Tidak! Mana mungkin aku mencurinya! Aku hanya sedang menggantikan temanku sebentar. Dia sedang tidak enak badan hari ini!" bantah supir taksi online tersebut.Evan tersenyum simpul. "Kenapa tidak memakai motormu saja? Kenapa harus mobil orang lain, Brian?" timpalnya."A-aku… itu karena naik motor sangat melelahkan, panas, dan banyak debu. Aku akan sakit kalau terus-terusan seperti itu," ujar Brian yang kemudian melepas masker dan kacamata hitamnya, lalu menoleh ke arah Evan dengan tatapan kesal."Hey, hati-hati!" teriak Evan.Baru saja Evan mengingatkan, mobil yang Brian kemudikan malah menabrak gerobak tukang gorengan. Membuat semuanya hancur, bahkan si pedagangnya pun sampai tersiram minyak panas."Ah, menyebalkan… ini semua gara-gara kakak! Kakak harus tanggung jawab!" bentak