Evan berjongkok, memeriksa gagang pintu yang menurutnya sedikit janggal."Coba kamu lihat gagang pintu ini!" titah Evan yang telah beranjak.Kini giliran Danu berjongkok memperhatikan gagang pintu yang menurutnya terlihat normal, tidak ada yang aneh sama sekali."Semuanya terlihat normal, Pak.""Coba perhatikan lagi!"Danu berusaha mengecek lagi dan masih merasa jika tidak ada sesuatu yang aneh di sana."Pegang gagangnya, kamu akan bisa merasakan ada yang berbeda dari biasanya. Lalu, lihat warna kayu di pinggiran gagang pintu itu! Warnanya sedikit lebih gelap dibanding area lain, yang menandakan jika bagian situ baru saja ditimpa warna lagi," terang Evan sambil berbisik, khawatir ada yang mendengar percakapan mereka."Memang kenapa kalau gelap? Siapa tahu memang warnanya tidak rata.""Bagian lain warnanya terlihat lebih pudar karena termakan usia."Danu mulai mengamati setiap bagian yang Evan sebutkan. Benar saja, saat ia menggosok bagian yang gelap, catnya malah menempel di telunjuk.
Begitu juga dengan Evan yang terdiam sejenak karena terkejut tak menyangka akan bertemu orang yang dikenalnya dengan cara yang kurang baik."Sedang apa di sini? Aku minta maaf untuk kejadian barusan," ujar Evan.Para warga yang sedang berdebat itu langsung terdiam, menoleh ke arah Evan."Ternyata mereka saling mengenal. Sudah kita bubar sekarang.""Sudah seperti drama yang ujung-ujungnya jatuh cinta saja," celetuk salah seorang warga yang membuat wajah perempuan itu memerah.Kerumunan warga itu bubar sesaat setelah tahu jika korban dan penabraknya saling mengenal. Mereka tak ingin ikut ambil pusing masalah orang lain."Anu… maaf, bisa gendong anak saya dulu?""Oh, iya." Evan buru-buru mengambil balita itu dari pelukan ibunya. Kemudian membantu perempuan tersebut berdiri."Terima kasih, Pak.""Tidak perlu sungkan, teman Alana adalah temanku juga. Apalagi akulah yang bersalah di sini," ucap Evan.Wajah Rena mendadak memerah, jelas terlihat meski kulitnya tidak terlalu putih."I-iya… ter
"A-apa maksudmu?" Wajah Evan tiba-tiba bercucuran keringat. Ada perasaan resah dan gelisah yang tak terungkap."Apa itu Alana?" tanya Rena tiba-tiba.Evan rasanya ingin memaki Rena yang tidak tahu situasi. Pria itu merasa jika sahabat Alana terlalu bodoh, tidak mengerti bagaimana berperilaku baik. Hingga akhirnya Ia pun memilih untuk tidak menghiraukan perempuan itu."Aku mendengar suara Rena. Apa kamu masih bersamanya?" Evan ragu, bingung harus menjawab apa. Kemudian memilih diam untuk beberapa saat."Aku sudah tahu semuanya," sambung Alana."Memangnya apa?" Jantung Evan berdebar tak karuan. Setiap ucapan yang Alana lontarkan terasa bagai benda tumpul yang menghantam dada."Berhati-hatilah saat sedang mengemudi! Kamu hampir saja membuat Kak Aldi kehilangan anak dan istrinya." Alana berkata dengan nada meninggi.Evan mengerutkan alisnya, heran dengan sikap Alana yang seolah membela Rena."Yang menyetir itu Danu bukan aku," jawab Evan."Tapi Rena bilang kalau kamu yang membawa mobil.
"A-apa maksud Anda, Pak?" Supir taksi online tersebut semakin terlihat gugup."Mobil siapa yang kamu pakai ini? Jangan bilang kalau kamu mencurinya?" Evan berusaha memancing agar pria di depannya mau mengaku."Tidak! Mana mungkin aku mencurinya! Aku hanya sedang menggantikan temanku sebentar. Dia sedang tidak enak badan hari ini!" bantah supir taksi online tersebut.Evan tersenyum simpul. "Kenapa tidak memakai motormu saja? Kenapa harus mobil orang lain, Brian?" timpalnya."A-aku… itu karena naik motor sangat melelahkan, panas, dan banyak debu. Aku akan sakit kalau terus-terusan seperti itu," ujar Brian yang kemudian melepas masker dan kacamata hitamnya, lalu menoleh ke arah Evan dengan tatapan kesal."Hey, hati-hati!" teriak Evan.Baru saja Evan mengingatkan, mobil yang Brian kemudikan malah menabrak gerobak tukang gorengan. Membuat semuanya hancur, bahkan si pedagangnya pun sampai tersiram minyak panas."Ah, menyebalkan… ini semua gara-gara kakak! Kakak harus tanggung jawab!" bentak
Warga berkerumun kembali setelah mengetahui kedatangan polisi. Namun yang terjadi berikutnya sama sekali tak sesuai dengan ekspektasi mereka."Lepaskan! Kenapa bukan pria itu yang Anda tangkap?" ujar pria berbaju kuning yang sejak awal terus saja memprovokasi warga."Karena kamu terus menghasut warga untuk menyudutkan Pak Evan," ujar salah seorang polisi.Di saat bersamaan, sekitar lima mobil keluaran terbaru dari merk ternama tiba-tiba berhenti di dekat mobil polisi yang sedang parkir di depan klinik. Di mana kedatangan mereka membuat para warga yang berkerumun semakin melongo dibuatnya."Pak, maaf lama. Tadi saya mengambil uang ke bank dulu," ucap salah seorang anak buah Evan."Kenapa kamu membawa yang lain? Aku hanya memintamu saja yang datang kemari," ujar Evan bebisik."Karena Anda mengatakan jika sedang banyak orang yang menyudutkan, saya pikir ada masalah besar yang sedang menimpa Bapak," sahut anak buahnya tersebut.Evan membawa sebuah map coklat berisi uang seratus juta itu ke
Evan semakin penasaran dengan apa yang Danu maksud. Apalagi, asistennya itu tampak ragu untuk mengatakannya."Memang apa yang dia bilang sampai membuatmu bingung begitu?" Evan memainkan bolpoin setelah selesai menandatangani beberapa dokumen."Saya takut terjadi salah paham saja. Apalagi Rena ini tidak bisa di tebak," ujar Danu.Sama seperti yang Danu pikirkan, Evan juga merasa jika Rena sedikit aneh, seolah sedang ada sesuatu yang disembunyikannya. Namun begitu, ia tidak bisa berbuat banyak mengingat perempuan itu adalah sahabat baik sang istri."Katakan saja! Kamu hanya terlalu ketakutan," sahut Evan.Ditengah keraguannya itu, Danu pun memberanikan diri untuk mengatakan semuanya."Rena bertanya pada saya, tentang apa yang disukai Pak Evan dari Bu Alana? Apa yang spesial dari Bu Alana? Lalu, apa mungkin Pak Evan bisa menyukai perempuan sepertinya," terang Danu.Evan mengerutkan alis seraya menatap Danu dengan tatapan tajam. "Tadinya aku berusaha untuk tetap berpikir positif, sampai a
"Danu… urus orang itu. Aku sangat lelah hari ini." Evan berlalu pergi, meninggalkan Danu yang sebenarnya malas menemui orang tak dikenal tersebut.Evan langsung ke dalam tanpa menghiraukan kedua mertuanya yang terus memohon meminta Brian dibiarkan masuk.Hingga pada akhirnya Desy dan Rudi bergegas menuju gerbang, khawatir jika terjadi sesuatu pada Brian.Saat hendak naik ke atas, Evan malah berpapasan dengan Cherry yang berjalan menghampirinya."Pak Evan, adiknya Sasa sudah datang tadi pagi. Dia sedang berada di kamar yang sudah Anda sediakan," terang Cherry."Bagaimana keadaannya sekarang?" Evan lagi-lagi harus menghentikan langkahnya."Masih sama seperti kemarin. Tidak ada perkembangan apa pun.""Bagaimana dengan Dokter yang aku minta?""Beliau baru datang satu jam yang lalu, Pak.""Baguslah. Kuharap anak itu bisa cepat pulih kembali." Evan kemudian berlalu, menuju ke lantai atas.Evan merasa jika terlalu banyak hal yang membuatnya terlambat bertemu Alana dan kedua anaknya. Hingga,
"Memang apalagi yang telah diperbuatnya? Kenapa aku harus memaafkannya?" Evan melirik Brian dengan tatapan sinisnya.Padahal Evan tak pernah mengizinkan Brian masuk. Melihat adik iparnya berada di dalam rumah membuat emosinya semakin naik. Ingin rasanya menghajar manusia tidak tahu malu seperti Brian."Brian memang sedikit nakal, tapi dia tidak bermaksud membawa orang ini kemari. Orang inilah yang memaksanya," timpal Desy menunjuk pria yang mengamuk tadi."Kenapa menyalahkanku? Brian sendiri yang bilang kalau mobilku dirusak oleh kakak iparnya yang bernama Evanders." Pria itu tak terima disudutkan oleh Desy."Bohong, kamu yang menghasut dia untuk meminta uang pada Evan karena tahu dia kaya raya, kan?" timpal Desy."Mana aku tahu dia punya ipar kaya! Aku cuma tanya siapa yang merusak mobilku!"Keduanya pun terlibat adu mulut. Baik Desy maupun pria menyebalkan itu, sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Membuat tingkat kemarahan Evan semakin bertambah."Diam!" pekik Evan.Keributan barus