"Tapi, ini hanya masalah sepele. Hanya saja, saya merasa tak nyaman dengan hal itu." Cherry masih terlihat ragu."Katakan saja. Mungkin aku bisa membantumu."Cherry belum benar-benar berani mengatakannya. Sesekali ia tampak menoleh ke belakang, seakan memastikan sesuatu."Ini menyangkut ibu Anda." Lagi-lagi Cherry menunjukan keraguannya.Alana mulai paham mengapa Cherry ragu untuk mengatakan semuanya."Katakan saja. Aku tidak akan membela ibu jika dia berbuat salah."Ucapan Alana barusan membuat Cherry menjadi sedikit memiliki keberanian untuk mengatakan."Ibu Anda telah mengambil alih kamar saya. Bahkan beliau menginginkan semua barang milik saya yang ada di kamar, dan hanya mengizinkan saya membawa pakaian saja," terang Cherry sembari menunduk karena merasa tak enak telah mengadu."Tenang saja, nanti aku akan membicarakannya dengan Ibu. Sebentar lagi suamiku pulang, aku mau menyambutnya dulu," sahut Alana.Cherry mengangkat kepalanya dan mulai berani memandangi sang atasan."Baik, B
Evan terdiam, bingung harus mengatakan apa pada istrinya."Katakan saja! Diammu malah membuatku berpikir yang tidak-tidak." Wajah Alana sudah menunjukan rasa kesal."Itu hanya teman lama saja. Tidak lebih.""Lalu, kenapa kamu terlihat cemas saat aku melihat ponselmu?" Alana semakin curiga, gelagatan sang suami membuatnya berpikiran jelek.Lagi-lagi Evan hanya diam, membuat Alana semakin merasa tak nyaman dengan sikapnya yang seperti sedang menutupi sesuatu."Dia… mantan kekasihku dulu." Evan menunduk, merasa bersalah pada Alana."Kenapa tidak bilang dari awal?""Aku tidak mau kamu salah sangka, Sayang." Evan memeluk Alana, takut jika istrinya itu marah."Dengan kamu banyak berpikir saja sudah membuatku salah paham. Untuk apa dia menelepon?" Mata Alana berkaca-kaca."Aku juga tidak tahu. Sayang, jangan marah, aku hanya mencintaimu saja!" Evan mengecup kening Alana.Ada perasaan ragu di hati Alana. Kepercayaannya pada Evan sedikit berkurang semenjak kejadian kebohongan besar yang dilaku
"Memang apa yang terjadi?" Alana dibuat keheranan dengan pengakuan Evan barusan.Evan terhanyut dalam lamunannya yang kembali melayang ke masa lalu. Waktu di mana ia masih duduk di bangku SMA.Saat itu, hari senin pagi. Di saat semua siswa sedang melaksanakan upacara."Evan, apa kamu tahu rumor tentang Jessica?" tanya salah seorang teman sebangku Evan yang kebetulan sedang berbaris berdekatan."Rumor apa? Aku tidak tahu," sahut Evan yang tengah fokus menatap ke depan.."Pacarmu itu sedang hamil!" bisik teman sebangku Evan.Bagai disambar petir di siang bolong, Evan dibuat terkejut setengah mati. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."I-ini tidak mungkin! Kamu pasti salah dengar!" sanggah Evan."Aku tahu kamu pasti terkejut. Yang jadi masalah sekarang... Jessica bilang kalau dia hamil anakmu." Teman sebangku Evan merasa tak nyaman mengatakannya."Dari mana kamu tahu rumor itu?""Dari temanku yang berjaga di UKS. Jessica sedang berada di sana sambil menangis. Lalu, kabar
Di beberapa video yang dikirim oleh teman Evan itu terlihat jelas siapa saja yang berada di perpustakaan, di hari yang Jessica sebut sebagai saat kesuciannya direnggut."Oh, ternyata seperti ini cara bermainnya." Evan tersenyum penuh kemenangan.Setelah selesai, Evan langsung kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.Meski kini masih mendapat umpatan dan perlakuan tak menyenangkan dari teman-temannya, Evan yang sudah tahu semuanya pun tak merasa takut ataupun cemas.Saat jam pelajaran, semua siswa menatap jijik ke arahnya. begitu juga dengan sang Guru yang pandangannya tak lepas dari Evan."Ibu sudah tidak mau mengajar anak berkelakuan bejat sepertimu. Kamu itu sangat tidak tahu malu, masih berani menampakkan wajah di depan semua orang begini. Sekarang kamu pergi ke ruang BK saja!" hardik Guru tersebut.Rasa kecewanya membuat Evan sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Ia malah kasihan pada teman sekelasnya yang begitu bodoh karena telah menelan rumor mentah-mentah. Hany
Semuanya menoleh ke arah pria yang barusan berteriak. Siapa saja akan terpana melihat penampilan pria dengan setelan jas dan sepatu mengkilap yang ia pakai. Bahkan, gayanya terlalu mewah untuk berada di sekolah dari kalangan orang biasa-biasa."A-anda? Mengapa ada di sini?" tanya Kepala Sekolah seakan ketakutan."Tentu saja untuk mengecek keadaan sekolah yang selama ini Tuan Muda saya gelontorkan uang dengan nominal tidak sedikit," sahut pria itu dengan gaya angkuh yang khas."J-jadi, bukan Anda donaturnya?" Kepala sekolah menghela napas panjang. "Tolong jangan katakan pada Tuan Muda Anda tentang situasi sekarang! Saya tidak ingin beliau berhenti menyumbang ke sekolah ini." Kepala Sekolah mendekati pria itu, mengusap dan menciumi tangan, berusaha mencari muka.Pria dengan setelan jas rapi yang tak lain adalah anak buah Evan itu pun menatap sinis ke arah sang Kepala Sekolah karena memang ia sudah tahu semuanya."Oh, sepertinya percuma, Tuan Muda yang saya maksud itu adalah anak muda ini
"Tentu saja tidak pernah, memangnya siapa perempuan itu?" Alana terus memandangi Evan dengan sinis."Tentu saja kamu!" jawab Evan dengan santai."Aku? Memang kita pernah saling kenal dulu?"Alana berusaha mengingat seseorang yang sangat mirip dengan Evan di masa lalu. Namun, meski berusaha keras untuk mengingat sekalipun, rasanya masih tak ada ingatan tentang seseorang yang mirip dengan suaminya itu di masa lalu."Iya… kamu ingat Cio? itu aku!""Cio? Bocah gemuk yang kabur dari rumah, lalu seharian main denganku itu?""I-iya, kenapa harus sebut bocah gemuk? Aku tidak segemuk itu saat kecil," bantah Evan, merasa tak terima."Oh, jadi itu kamu. Memang tidak terlalu gemuk, tapi pipimu itu mirip bakpao, sangat menggemaskan." Alana tertawa geli, tak menyangka jika suaminya adalah seseorang yang tak pernah ia duga sebelumnya.Akhirnya Alana pun tak cemburu lagi. Mereka berdua malah bernostalgia mengenang masa lalu yang sedikit unik dan lucu."Kamu sedikit berubah, tapi tetap cantik. Seandain
"Sudah, jangan kaget begitu! Ibu juga waktu pertama lihat langsung kaget sepertimu. Sekarang kita temui ke ruang tamu dulu, ya!" Desy terus saja mengoceh sambil menarik Alana yang malas melanjutkan langkahnya."Bu, jangan tarik terus! Aku tidak mau menemui orang itu!" Alana berusaha menghentikan langkahnya.Mau tak mau Desy juga menghentikan langkahnya dan langsung menatap Alana sambil mengerutkan alis."Memang kenapa? Kapan lagi kita bisa bertemu dengan orang sehebat dia, Alana!" Desy Memandangi anaknya itu dengan keheranan.Perdebatan itu terhenti sesaat setelah sang tamu malah menghampiri keduanya."Apa kamu, Alana? Tenang saja, aku tidak memiliki maksud apa pun." Jessica tersenyum manis.Sekilas, siapa saja akan berpikir jika Jessica adalah perempuan baik bertutur lembut. Namun, tidak bagi Alana yang sudah tahu semuanya dari gambaran cerita Evan."Ayo, kita duduk dulu! Sangat tidak nyaman kalau harus ngobrol sambil berdiri begini," ajak Desy, berjalan di depan sambil menuntun Alan
"I-itu, s-saya," perempuan itu terbata, bingung harus menjawab apa.Evan menatap heran, merasa aneh melihat posisi perempuan itu yang terlihat habis menguping."Apa yang kamu inginkan, Sasa?" tanya Danu pada perempuan yang tak lain adalah sekertaris Evan."Saya hanya penasaran, kenapa perbincangan di dalam ruangan terdengar seperti sedang melakukan hal yang tidak-tidak." Sasa menutup mulutnya karena tak sengaja menanyakan hal yang tidak sopan saking gugupnya."Maksudmu, aku dan Pak Evan penyuka sesama jenis?" Danu mengerutkan kening, merasa keheranan."Ah, iya. Maaf telah berpikir seperti itu! Saya tidak sengaja mendengar masalah pribadi Anda," jawab Sasa, menunduk malu.Evan semakin kesal mendengar pengakuan Sasa. Bagaimana mungkin dirinya bisa dianggap penyuka sesama jenis hanya karena sebuah perbincangan saja. Lagipula kenapa harus Danu? Seandainya memang dia melenceng sekalipun, pasti akan memilih laki-laki yang lebih tampan dan maskulin."Masuklah! Berbicara di dalam saja, aku ta
Bagaimana dengan akhir kisah yang lainnya?Danu, sungguh sebuah keberuntungan di pesta kecil. Pelayan yang waktu itu ia temui ternyata sudah sejak lama menaruh perasaan padanya. Tak ingin membuang-buang waktu, asisten Evan tersebut langsung melamar sang gadis dan buru-buru menentukan tanggal pernikahan.Cherry dan Alvin, benar-benar sesuatu yang tak terduga. Berawal dari sebuah sandiwara, perempuan yang sama sekali tak pernah mengenal cinta itu pun pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hati pada laki-laki yang pantang menyerah untuk memperjuangkannya. Meski Alvin sedikit lebih lemah darinya, pria itu selalu saja berusaha melindungi dalam situasi apa pun. Benar-benar sosok yang sangat Cherry impikan.Sasa dan Deo, mereka terus bertengkar sampai akhirnya muncul perasaan saling suka. 'Bisa karena biasa', mungkin itulah salah satu pepatah yang cocok untuk mereka, mengingat kebencian mereka awalnya begitu mendalam, tetapi bisa-bisanya malah berubah menjadi rasa suka.Brian, beberapa kali b
"Sayang hati-hati! Kamu sedang menggendong Zayn," teriak Alana."Ya, tenang saja," sahut Evan yang sekilas menoleh ke arah Alana.Dengan menggendong Zayn, Evan yang sudah bersemangat pun menghampiri mobil tersebut. Lalu semua yang berada dalam kendaraan itu pun keluar bersamaan.Evan menghampiri sang kakek yang tengah diangkat ajudannya ke kursi roda."Kakek, tumben sekali. Ada perlu apa?" tanya Evan dengan tatapan bahagia bertemu sang kakek."Dasar cucu durhaka! Bukannya menanyakan kabar malah tanya ada perlu apa!" hardik Willy.Evan tertawa melihat kakeknya itu marah. "Ayo masuk dulu."Disaat bersamaan muncul Jeny yang sejak tadi hanya diam di dalam mobil tak berani menunjukan batang hidungnya. Ia tampak malu-malu karena sadar pernah melakukan kesalahan.Evan yang hatinya sedang dalam keadaan baik pun tak memperdulikan masalah yang telah berlalu. Ia malah tersenyum menatap ibunya itu."Ibu, ayo masuk! kebetulan aku akan mengadakan pesta kecil-kecilan," ajak Evan seraya melambai ke ar
Tanpa berpikir dua kali, Evan langsung pulang meski Candra sempat mengundangnya untuk makan siang merayakan keberhasilan rencana mereka."Maaf, mungkin lain kali," ujar Evan yang pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana."Tidak masalah, lain kali masih bisa. Pulang dulu saja, istrimu sudah menunggu di rumah," ujar Candra.Evan tersenyum simpul. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain waktu."Evan berlari menuju mobil, diikuti oleh Danu dan Deo yang juga tampak gelisah, khawatir terjadi sesuatu di rumah.Danu langsung melajukan mobil dengan kecepatan melebihi biasanya.Selama perjalanan, Evan tak hentinya menelepon Alana. Namun, hasilnya nihil karena tak sekalipun sang istri menjawab panggilan tersebut."Apa yang terjadi?" Evan mengacak-acak rambutnya, saking kesal."Seharusnya tidak terjadi apa-apa, semua musuh sudah berada dalam genggaman kita. Kecuali…" Deo seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya."Apa? Kenapa kamu selalu saja menyebalkan!" hardik Evan."Hey tenanglah, kamu terla
"Apa maksudmu, Deo?" Evan menatap temannya itu dengan tatapan heran."Kamu lihat saja!" titah Deo.Beberapa menit menjelang berakhirnya sesi visi misi, Anwar sempat menunjukan beberapa program hebat yang ia rencanakan akan dikerjakan jika dirinya terpilih menjadi walikota nanti."Beberapa lahan kosong akan saya buat menjadi taman yang sisi lainnya dikhususkan untuk area bermain anak-anak. Ini salah satu contoh desain taman." Anwar menunjuk ke layar besar dengan penuh percaya diri.Namun, yang muncul di layar tersebut bukanlah apa yang Anwar maksudkan, melainkan sebuah video di mana dirinya sedang berjabat tangan dengan si pemilik panti asuhan. Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru."Bagaimana dengan uang dari donatur panti asuhanmu?" tanya Anwar yang wajahnya terpampang jelas dalam video tersebut."Sudah saya transfer semua ke rekening Bapak, bahkan uang hasil mengemis dan mengamen anak-anak pun sudah saya setor," ujar pemilik panti asuhan yang tampak begitu hormat pada Anwar."B
Danu langsung menoleh ke arah Deo. Ia merasa jika ternyata ada yang berpenampilan lebih parah darinya. Gelak tawa seakan membuat sang bos dan asistennya itu sedikit melupakan ketegangan yang akan mereka hadapi.Deo masih belum sadar jika dirinya sedang menjadi bahan tertawaan. Ia pun langsung masuk dan duduk di samping Evan dengan santainya."Maaf, tadi aku terlalu lama menyiapkan penyamaran ini," ujar Deo, "ayo kita berangkat sekarang!"Danu langsung melajukan mobil murah yang sengaja dipinjam untuk mendukung penyamaran tersebut."Kenapa kamu harus menyamar jadi perempuan?" Evan bertanya sambil terus terbahak-bahak. "Lalu, kenapa dadamu menggembung begitu?""Setidaknya penampilan ini akan membuatku mudah menyelinap ke belakang layar," ujar Deo yang sedang fokus menatap layar ponselnya.Alasan Deo tak membuat Evan berhenti tertawa. Ia terus saja terpingkal setiap kali menatap Danu dan Deo, merasa jika kini mereka terlihat seperti grup lawak."Berhenti tertawa! Kita ini sedang berangka
Laki-laki jahat di depan Evan tertawa puas, merasa kemenangan telah berada di tangannya.Karena kalah jumlah, anak buah Evan tak bisa menghalau lagi orang-orang yang baru saja datang itu. Meski begitu, beberapa di antaranya masih berusaha menghadang meski pada akhirnya berakhir lengah dan pihak Dody berhasil melumpuhkannya."Menyerahlah, Evanders. Kami bukanlah lawanmu!" timpal pria yang berada di hadapan Evan."Menyerah? Aku tidak takut pada penjahat yang memakan uang anak yatim piatu seperti kalian!" balas Evan."Masih besar kepala juga rupanya? Apa kamu tidak sadar dengan kondisimu sendiri? Jangan sok menjadi pahlawan jika diri sendiri saja sedang dalam keadaan terdesak," ujar pria tersebut."Aku, terdesak? Seharusnya kamu sedikit menoleh ke belakang." Evan pada akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan saat tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pria jahat di hadapan Evan awalnya ragu, tetapi pada akhirnya memilih untuk menoleh saat ia merasa jika suasana menjadi sedikit hening.
Evan langsung keluar dari mobil saat sudah berada di depan gerbang. Ia buru-buru menghampiri security yang sedang berusaha mengusir seorang ojek online."Ada apa ini?" tanya Evan, berjalan mendekat."Ini, Pak. Orang ini bilang Bu Alana memesan bakso. Tapi saat saya ingin melihat isi pesannya, dia bilang kalau itu privasi," terang security."Sudah kamu tanyakan pada Alana, apa dia memesan bakso?" Evan terus menatap ojek online yang sejak tadi terus menunduk."Sudah, Bu Alana bilang memang pesan bakso. Plat nomornya pun sama dengan yang ada di aplikasi. Saya ingin mengeceknya lagi untuk memastikan saja," ujar security tersebut.Evan masih terus memandangi tukang ojek online tersebut dengan wajah datarnya."Apa Alana memesan Bakso Mas Jo? dia sangat menyukai itu.""Benar, Pak. Seperti yang Anda bilang, ini memang Bakso Mas Jo," ucap tukang ojek tersebut seraya menatap security dengan tatapan penuh kemenangan.Evan tersenyum simpul seraya menatap pria tersebut. "Berapa totalnya?""Dua rat
Evan buru-buru menelepon anak buahnya dengan perasaan cemas dan gelisah."Ada apa, Pak?" tanya anak buah Evan dengan suara yang terdengar santai."Perketat keamanan rumah! Jaga setiap sudut jangan sampai ada yang terlewatkan. Jangan biarkan siapa pun masuk!" seru Evan."Baik, Pak," jawab anak buah Evan yang dari nada suaranya terdengar serius.Evan menutup telepon, lalu berjalan menuju ruang kerjanya yang telah berantakan. Beruntung sebelumnya ia telah mengamankan seluruh barang bukti."Pak, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?" Danu mengekor sejak tadi, rasa penasarannya semakin besar saat melihat perubahan wajah Evan yang menjadi tampak semakin emosi.Namun, bukannya menjawab, Evan malah langsung mencari nomor kontak dan menekannya untuk melakukan panggilan."Orang itu masih di tempatmu?""Ya, dia masih bersama saya. Ada apa, Pak?""Cepat pindah dari tempat itu sekarang! Dody sudah mengirim pesan pada orang-orangnya, di sana sudah tidak aman!" Evan semakin gelisah."Tapi, saya
Alana tertawa geli melihat ekspresi Evan yang terlihat muak saat memandangi setiap foto di tangannya."Foto ini terlihat seperti sungguhan. Jika bukan karena kamu menunjukan gambar aslinya, mungkin aku masih akan terus tertipu," terang Alana yang masih tertawa."Orang di foto sangat jelek, wajahku terlihat aneh, tidak simetris pula." "Sudahlah, bakar saja fotonya. Aku lupa membuangnya kemarin."Evan beranjak, bergegas ke teras kamarnya hanya demi untuk membakar foto-foto dirinya bersama banyak perempuan pemberian Jessica untuk Alana saat itu.Dengan perasaan kesal, Evan membakar foto tersebut satu persatu. Sekilas terbesit bayangan kejadian dengan Jessica saat itu. Ia sangat yakin jika semua masalah yang terkait dengannya memiliki satu sumber yang sama, di mana orang tersebut memang berniat membuat rumor buruk demi menjatuhkannya."Akan kubasmi semua hama di Lucio Group." Evan mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.Bayangan akan kehidupan yang tenang saat menguasai Lucio Group tern