Alana membelalak, baru saja datang sudah harus berpapasan dengan wanita paruh baya yang malah menganggapnya pembantu."Maaf, saya bukan pembantu!" tolak Alana yang kemudian berniat pergi dari hadapan perempuan itu."Heh, jangan mentang-mentang kamu sedang hamil, berharap mendapat keringanan dari majikan. Jeng Desi itu memang terlalu baik, pembantu malas begini saja dipelihara," ujar perempuan paruh baya itu seraya mencibir dan mendelik ke arah Alana.Cherry geram dengan sikap perempuan bersanggul tinggi dan riasan tebal itu. Ia pun mendekati perempuan itu sambil mengambil piring kotor yang disodorkan pada Alana, lalu menaruhnya ke lantai."Semuanya, dengarkan saya! Perempuan yang sedang ada di hadapan saya ini adalah pemilik rumah yang sebenarnya!" Cherry berteriak dengan menggunakan bahasa Inggris.Semua mata langsung tertuju pada Cherry, suasana yang semula riuh, kini berubah menjadi sunyi. Orang-orang yang berada di sana seakan terkejut saat asisten Alana itu mendadak berteriak.Be
"Tapi, ini hanya masalah sepele. Hanya saja, saya merasa tak nyaman dengan hal itu." Cherry masih terlihat ragu."Katakan saja. Mungkin aku bisa membantumu."Cherry belum benar-benar berani mengatakannya. Sesekali ia tampak menoleh ke belakang, seakan memastikan sesuatu."Ini menyangkut ibu Anda." Lagi-lagi Cherry menunjukan keraguannya.Alana mulai paham mengapa Cherry ragu untuk mengatakan semuanya."Katakan saja. Aku tidak akan membela ibu jika dia berbuat salah."Ucapan Alana barusan membuat Cherry menjadi sedikit memiliki keberanian untuk mengatakan."Ibu Anda telah mengambil alih kamar saya. Bahkan beliau menginginkan semua barang milik saya yang ada di kamar, dan hanya mengizinkan saya membawa pakaian saja," terang Cherry sembari menunduk karena merasa tak enak telah mengadu."Tenang saja, nanti aku akan membicarakannya dengan Ibu. Sebentar lagi suamiku pulang, aku mau menyambutnya dulu," sahut Alana.Cherry mengangkat kepalanya dan mulai berani memandangi sang atasan."Baik, B
Evan terdiam, bingung harus mengatakan apa pada istrinya."Katakan saja! Diammu malah membuatku berpikir yang tidak-tidak." Wajah Alana sudah menunjukan rasa kesal."Itu hanya teman lama saja. Tidak lebih.""Lalu, kenapa kamu terlihat cemas saat aku melihat ponselmu?" Alana semakin curiga, gelagatan sang suami membuatnya berpikiran jelek.Lagi-lagi Evan hanya diam, membuat Alana semakin merasa tak nyaman dengan sikapnya yang seperti sedang menutupi sesuatu."Dia… mantan kekasihku dulu." Evan menunduk, merasa bersalah pada Alana."Kenapa tidak bilang dari awal?""Aku tidak mau kamu salah sangka, Sayang." Evan memeluk Alana, takut jika istrinya itu marah."Dengan kamu banyak berpikir saja sudah membuatku salah paham. Untuk apa dia menelepon?" Mata Alana berkaca-kaca."Aku juga tidak tahu. Sayang, jangan marah, aku hanya mencintaimu saja!" Evan mengecup kening Alana.Ada perasaan ragu di hati Alana. Kepercayaannya pada Evan sedikit berkurang semenjak kejadian kebohongan besar yang dilaku
"Memang apa yang terjadi?" Alana dibuat keheranan dengan pengakuan Evan barusan.Evan terhanyut dalam lamunannya yang kembali melayang ke masa lalu. Waktu di mana ia masih duduk di bangku SMA.Saat itu, hari senin pagi. Di saat semua siswa sedang melaksanakan upacara."Evan, apa kamu tahu rumor tentang Jessica?" tanya salah seorang teman sebangku Evan yang kebetulan sedang berbaris berdekatan."Rumor apa? Aku tidak tahu," sahut Evan yang tengah fokus menatap ke depan.."Pacarmu itu sedang hamil!" bisik teman sebangku Evan.Bagai disambar petir di siang bolong, Evan dibuat terkejut setengah mati. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."I-ini tidak mungkin! Kamu pasti salah dengar!" sanggah Evan."Aku tahu kamu pasti terkejut. Yang jadi masalah sekarang... Jessica bilang kalau dia hamil anakmu." Teman sebangku Evan merasa tak nyaman mengatakannya."Dari mana kamu tahu rumor itu?""Dari temanku yang berjaga di UKS. Jessica sedang berada di sana sambil menangis. Lalu, kabar
Di beberapa video yang dikirim oleh teman Evan itu terlihat jelas siapa saja yang berada di perpustakaan, di hari yang Jessica sebut sebagai saat kesuciannya direnggut."Oh, ternyata seperti ini cara bermainnya." Evan tersenyum penuh kemenangan.Setelah selesai, Evan langsung kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.Meski kini masih mendapat umpatan dan perlakuan tak menyenangkan dari teman-temannya, Evan yang sudah tahu semuanya pun tak merasa takut ataupun cemas.Saat jam pelajaran, semua siswa menatap jijik ke arahnya. begitu juga dengan sang Guru yang pandangannya tak lepas dari Evan."Ibu sudah tidak mau mengajar anak berkelakuan bejat sepertimu. Kamu itu sangat tidak tahu malu, masih berani menampakkan wajah di depan semua orang begini. Sekarang kamu pergi ke ruang BK saja!" hardik Guru tersebut.Rasa kecewanya membuat Evan sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Ia malah kasihan pada teman sekelasnya yang begitu bodoh karena telah menelan rumor mentah-mentah. Hany
Semuanya menoleh ke arah pria yang barusan berteriak. Siapa saja akan terpana melihat penampilan pria dengan setelan jas dan sepatu mengkilap yang ia pakai. Bahkan, gayanya terlalu mewah untuk berada di sekolah dari kalangan orang biasa-biasa."A-anda? Mengapa ada di sini?" tanya Kepala Sekolah seakan ketakutan."Tentu saja untuk mengecek keadaan sekolah yang selama ini Tuan Muda saya gelontorkan uang dengan nominal tidak sedikit," sahut pria itu dengan gaya angkuh yang khas."J-jadi, bukan Anda donaturnya?" Kepala sekolah menghela napas panjang. "Tolong jangan katakan pada Tuan Muda Anda tentang situasi sekarang! Saya tidak ingin beliau berhenti menyumbang ke sekolah ini." Kepala Sekolah mendekati pria itu, mengusap dan menciumi tangan, berusaha mencari muka.Pria dengan setelan jas rapi yang tak lain adalah anak buah Evan itu pun menatap sinis ke arah sang Kepala Sekolah karena memang ia sudah tahu semuanya."Oh, sepertinya percuma, Tuan Muda yang saya maksud itu adalah anak muda ini
"Tentu saja tidak pernah, memangnya siapa perempuan itu?" Alana terus memandangi Evan dengan sinis."Tentu saja kamu!" jawab Evan dengan santai."Aku? Memang kita pernah saling kenal dulu?"Alana berusaha mengingat seseorang yang sangat mirip dengan Evan di masa lalu. Namun, meski berusaha keras untuk mengingat sekalipun, rasanya masih tak ada ingatan tentang seseorang yang mirip dengan suaminya itu di masa lalu."Iya… kamu ingat Cio? itu aku!""Cio? Bocah gemuk yang kabur dari rumah, lalu seharian main denganku itu?""I-iya, kenapa harus sebut bocah gemuk? Aku tidak segemuk itu saat kecil," bantah Evan, merasa tak terima."Oh, jadi itu kamu. Memang tidak terlalu gemuk, tapi pipimu itu mirip bakpao, sangat menggemaskan." Alana tertawa geli, tak menyangka jika suaminya adalah seseorang yang tak pernah ia duga sebelumnya.Akhirnya Alana pun tak cemburu lagi. Mereka berdua malah bernostalgia mengenang masa lalu yang sedikit unik dan lucu."Kamu sedikit berubah, tapi tetap cantik. Seandain
"Sudah, jangan kaget begitu! Ibu juga waktu pertama lihat langsung kaget sepertimu. Sekarang kita temui ke ruang tamu dulu, ya!" Desy terus saja mengoceh sambil menarik Alana yang malas melanjutkan langkahnya."Bu, jangan tarik terus! Aku tidak mau menemui orang itu!" Alana berusaha menghentikan langkahnya.Mau tak mau Desy juga menghentikan langkahnya dan langsung menatap Alana sambil mengerutkan alis."Memang kenapa? Kapan lagi kita bisa bertemu dengan orang sehebat dia, Alana!" Desy Memandangi anaknya itu dengan keheranan.Perdebatan itu terhenti sesaat setelah sang tamu malah menghampiri keduanya."Apa kamu, Alana? Tenang saja, aku tidak memiliki maksud apa pun." Jessica tersenyum manis.Sekilas, siapa saja akan berpikir jika Jessica adalah perempuan baik bertutur lembut. Namun, tidak bagi Alana yang sudah tahu semuanya dari gambaran cerita Evan."Ayo, kita duduk dulu! Sangat tidak nyaman kalau harus ngobrol sambil berdiri begini," ajak Desy, berjalan di depan sambil menuntun Alan