Di beberapa video yang dikirim oleh teman Evan itu terlihat jelas siapa saja yang berada di perpustakaan, di hari yang Jessica sebut sebagai saat kesuciannya direnggut."Oh, ternyata seperti ini cara bermainnya." Evan tersenyum penuh kemenangan.Setelah selesai, Evan langsung kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.Meski kini masih mendapat umpatan dan perlakuan tak menyenangkan dari teman-temannya, Evan yang sudah tahu semuanya pun tak merasa takut ataupun cemas.Saat jam pelajaran, semua siswa menatap jijik ke arahnya. begitu juga dengan sang Guru yang pandangannya tak lepas dari Evan."Ibu sudah tidak mau mengajar anak berkelakuan bejat sepertimu. Kamu itu sangat tidak tahu malu, masih berani menampakkan wajah di depan semua orang begini. Sekarang kamu pergi ke ruang BK saja!" hardik Guru tersebut.Rasa kecewanya membuat Evan sudah tak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Ia malah kasihan pada teman sekelasnya yang begitu bodoh karena telah menelan rumor mentah-mentah. Hany
Semuanya menoleh ke arah pria yang barusan berteriak. Siapa saja akan terpana melihat penampilan pria dengan setelan jas dan sepatu mengkilap yang ia pakai. Bahkan, gayanya terlalu mewah untuk berada di sekolah dari kalangan orang biasa-biasa."A-anda? Mengapa ada di sini?" tanya Kepala Sekolah seakan ketakutan."Tentu saja untuk mengecek keadaan sekolah yang selama ini Tuan Muda saya gelontorkan uang dengan nominal tidak sedikit," sahut pria itu dengan gaya angkuh yang khas."J-jadi, bukan Anda donaturnya?" Kepala sekolah menghela napas panjang. "Tolong jangan katakan pada Tuan Muda Anda tentang situasi sekarang! Saya tidak ingin beliau berhenti menyumbang ke sekolah ini." Kepala Sekolah mendekati pria itu, mengusap dan menciumi tangan, berusaha mencari muka.Pria dengan setelan jas rapi yang tak lain adalah anak buah Evan itu pun menatap sinis ke arah sang Kepala Sekolah karena memang ia sudah tahu semuanya."Oh, sepertinya percuma, Tuan Muda yang saya maksud itu adalah anak muda ini
"Tentu saja tidak pernah, memangnya siapa perempuan itu?" Alana terus memandangi Evan dengan sinis."Tentu saja kamu!" jawab Evan dengan santai."Aku? Memang kita pernah saling kenal dulu?"Alana berusaha mengingat seseorang yang sangat mirip dengan Evan di masa lalu. Namun, meski berusaha keras untuk mengingat sekalipun, rasanya masih tak ada ingatan tentang seseorang yang mirip dengan suaminya itu di masa lalu."Iya… kamu ingat Cio? itu aku!""Cio? Bocah gemuk yang kabur dari rumah, lalu seharian main denganku itu?""I-iya, kenapa harus sebut bocah gemuk? Aku tidak segemuk itu saat kecil," bantah Evan, merasa tak terima."Oh, jadi itu kamu. Memang tidak terlalu gemuk, tapi pipimu itu mirip bakpao, sangat menggemaskan." Alana tertawa geli, tak menyangka jika suaminya adalah seseorang yang tak pernah ia duga sebelumnya.Akhirnya Alana pun tak cemburu lagi. Mereka berdua malah bernostalgia mengenang masa lalu yang sedikit unik dan lucu."Kamu sedikit berubah, tapi tetap cantik. Seandain
"Sudah, jangan kaget begitu! Ibu juga waktu pertama lihat langsung kaget sepertimu. Sekarang kita temui ke ruang tamu dulu, ya!" Desy terus saja mengoceh sambil menarik Alana yang malas melanjutkan langkahnya."Bu, jangan tarik terus! Aku tidak mau menemui orang itu!" Alana berusaha menghentikan langkahnya.Mau tak mau Desy juga menghentikan langkahnya dan langsung menatap Alana sambil mengerutkan alis."Memang kenapa? Kapan lagi kita bisa bertemu dengan orang sehebat dia, Alana!" Desy Memandangi anaknya itu dengan keheranan.Perdebatan itu terhenti sesaat setelah sang tamu malah menghampiri keduanya."Apa kamu, Alana? Tenang saja, aku tidak memiliki maksud apa pun." Jessica tersenyum manis.Sekilas, siapa saja akan berpikir jika Jessica adalah perempuan baik bertutur lembut. Namun, tidak bagi Alana yang sudah tahu semuanya dari gambaran cerita Evan."Ayo, kita duduk dulu! Sangat tidak nyaman kalau harus ngobrol sambil berdiri begini," ajak Desy, berjalan di depan sambil menuntun Alan
"I-itu, s-saya," perempuan itu terbata, bingung harus menjawab apa.Evan menatap heran, merasa aneh melihat posisi perempuan itu yang terlihat habis menguping."Apa yang kamu inginkan, Sasa?" tanya Danu pada perempuan yang tak lain adalah sekertaris Evan."Saya hanya penasaran, kenapa perbincangan di dalam ruangan terdengar seperti sedang melakukan hal yang tidak-tidak." Sasa menutup mulutnya karena tak sengaja menanyakan hal yang tidak sopan saking gugupnya."Maksudmu, aku dan Pak Evan penyuka sesama jenis?" Danu mengerutkan kening, merasa keheranan."Ah, iya. Maaf telah berpikir seperti itu! Saya tidak sengaja mendengar masalah pribadi Anda," jawab Sasa, menunduk malu.Evan semakin kesal mendengar pengakuan Sasa. Bagaimana mungkin dirinya bisa dianggap penyuka sesama jenis hanya karena sebuah perbincangan saja. Lagipula kenapa harus Danu? Seandainya memang dia melenceng sekalipun, pasti akan memilih laki-laki yang lebih tampan dan maskulin."Masuklah! Berbicara di dalam saja, aku ta
"Saya tidak yakin, Pak! Tapi sepertinya masalah ini mulai semakin serius," bisik Danu yang masih berdiri di balik pintu.Alana sekilas mendengar perbincangan tersebut, tetapi pura-pura tak mendengarnya dan memilih menunggu Evan menceritakan semuanya sendiri dibanding menanyakan langsung meski sudah diliputi rasa penasaran."Kita berbicara di luar saja. Aku khawatir Alana mendengarnya," ajak Evan yang kemudian keluar dari kamar dan menuju ruang kerja diikuti oleh Danu.Alana beranjak, mulai penasaran dengan perbincangan suaminya itu dan memilih untuk mengikuti dari belakang sambil mengendap-endap.Evan tak menyadari jika sedang diikuti, lalu masuk ke ruang kerja begitu saja tanpa mengecek sekeliling."Siapa yang mengirim foto ini padamu?" tanya Evan sambil berjalan duduk menuju kursi kerjanya."Foto ini sudah menyebar, Pak. Bukan hanya dimiliki oleh satu atau dua orang saja, tapi hampir semua karyawan memilikinya karena awalnya tersebar di grup chatting milik perusahaan," terang Danu."
Evan buru-buru mengeluarkan ponselnya dan memotret dua orang menyebalkan yang sedang berbelanja."Apa dengan begini bisa berhasil?" Alana mendongak menatap Evan."Semoga saja. Aku tidak tahu jika belum mencobanya," sahut Evan."Semoga berhasil," bisik Alana sambil tertawa.Mereka pun segera pergi menjauh dari sana kemudian bergegas melanjutkan mencari toko perlengkapan bayi.Evan dengan sabar mendorong kursi roda meski rasanya sedikit lelah karena memang belum sempat istirahat setelah pulang kerja tadi."Sayang, yang itu saja!" Alana menunjuk ke salah satu toko perlengkapan bayi yang berada di paling ujung."Ayo, kita kesana!" Evan mendorong Alana dengan sangat bersemangat.Saat pertama masuk, mereka langsung disuguhi perlengkapan bayi yang lucu-lucu dan menggemaskan, membuat siapa saja ingin membeli semua yang ada di sana."Sayang, apa aku boleh berdiri sekarang?" Alana merasa tak leluasa duduk di kursi roda."Tidak, kamu jangan terlalu kecapean! Bilang saja mau yang mana, biar aku am
"Alana, ini tidak seperti yang kamu duga! Dia yang terus menggodaku, aku belum sempat menghentikan sikap kurang ajarnya ini!" Evan menepis tangan Jessica yang secara tiba-tiba menyambar wajahnya dengan tak tahu malu.Alana hanya diam, tak menjawab ucapan suaminya yang sedang berusaha membela diri tersebut. Ia bahkan langsung duduk begitu saja di samping Evan, membuat Jessica merasa telah menjadi pemenangnya.Namun, apa yang dilakukan Alana selanjutnya begitu mengejutkan. Ia menekan tombol untuk menutup jendela mobil secara otomatis. Jessica pun seketika terkejut dan hampir saja terjepit."Kita pergi sekarang!" titah Alana."Tapi, apa kamu marah padaku?" Evan merasa cemas, takut istrinya itu akan mendiamkannya di sepanjang jalan nanti."Tidak, aku sudah melihat semuanya sejak tadi. Natasha itu memang perempuan penggoda, tapi kamu malah tidak bisa mengatasinya dengan kepala dingin," protes Alana.Evan menelan saliva, merasa bodoh sekaligus bersalah. Jika sejak awal ia tak mengikuti emosi