Demikianlah, Rasmini langsung menghampiri Abdullah dan Rangkuti yang sudah bersiap untuk meninggalkan istana, karena tidak mendapatkan izin dari para prajurit penjaga istana untuk bertemu dengan sang raja. "Tunggu, Anak muda!" seru Rasmini sedikit berlari menghampiri Abdullah yang sudah bersiap hendak menaiki kudanya. Dengan demikian, Abdullah pun menghentikan langkahnya. Lalu berbalik arah dan meluruskan pandangannya ke wajah Rasmini tanpa mengucap sepatah kata pun. "Ratu meminta kalian untuk masuk, dan berikan kudamu kepada prajurit! Biarkan mereka yang mengurusnya!" kata Rasmini lirih. Abdullah hanya mengangguk dan segera menyerahkan kudanya kepada prajurit yang berjaga di pintu gerbang istana. Lalu, melangkahkan kakinya mengikuti Rasmini sambil menggendong Rangkuti masuk ke area halaman istana. Rasmini pun langsung membawa Abdullah dan Rangkuti menghadap Ratu Arimbi yang sudah menunggu mereka di pendapa istana bersama seorang pelayan. Tiba di hadapan sang ratu, Abdullah langs
Pada hari itu, Saketi tengah bertarung dengan orang-orang yang tidak ia kenal, yang secara tiba-tiba menghadang perjalanannya bersama Junada dan Sami Aji. "Sebaiknya kalian tidak perlu berurusan dengan kami! Aku tidak ingin melukai kalian karena hal bodoh yang kalian lakukan ini!" seru Saketi sambil meluruskan dua bola matanya yang tajam ke arah orang-orang yang menghadang perjalanannya. "Maaf, Pangeran. Biarkan hamba yang menangani mereka!" timpal Sami Aji menghunus pedangnya dan maju dua langkah mendekati sang pangeran. Saketi berpaling ke arah Sami Aji yang sudah berdiri di sampingnya. Lalu, menjawab sambil tersenyum, "Tidak perlu! Kau dan Paman Junada istirahat saja, biarkan aku yang menghadapi mereka!" cegah Saketi sambil tersenyum lebar. Dengan demikian, Sami Aji pun kembali surut dan segera memasukkan pedang dalam genggaman tangannya ke dalam selongsongnya. Demikianlah, orang-orang tersebut langsung melancarkan serangan terhadap Saketi. Mereka dengan sangat ganasnya berusah
Saketi tersenyum-senyum memandang wajah para pendekar tersebut, kemudian berkata, “Benar, ini adalah wilayah kerajaan Sanggabuana yang aman dan tentram, serta memiliki daerah yang luas dan memiliki kekuatan yang tiada taranya di belahan bumi ini. Sebaiknya kalian bergabung saja dengan pihak kerajaan! Prabu Erlangga tantu akan menerima dengan senang hati!" Mendengar perkataan dari Saketi, para pendekar itu seperti merasa ketakutan dan tidak berani lagi untuk melanjutkan aksi mereka dalam melakukan penghadangan terhadap Saketi dan dua pengawalnya. Akan tetapi, mereka tidak mengindahkan ajakan Saketi yang meminta mereka untuk bergabung dengan pihak kerajaan Sanggabuana. Meskipun demikian, Saketi tidak merasa jera. Ia kembali mengajak para pendekar tersebut agar mau bergabung dengan pihak kerajaan dan mengakhiri aksi mereka yang sangat meresahkan itu. "Aku akan senang sekali jika kalian mau bergabung dengan pihak kerajaan," ujar Saketi maju beberapa langkah mendekati posisi berdirinya p
Junada berpaling ke arah Saketi. Kemudian, ia menjawab, “Apakah kau percaya jika Paman mengatakan ini?” Junada balas bertanya sambil tersenyum-senyum. “Tentu, Paman. Karena aku tidak mengenali mereka, dan mereka pun baru kali ini berhadapan denganku. Aku sangat percaya akan pengalaman Paman." Dengan demikian, maka Junada pun langsung menjelaskan apa yang ia ketahui dari dugaannya tersebut. "Paman sangat mengenali Loka Darma, ada kemungkinan para pendekar tadi merupakan bagian dari kelompok pimpinan Loka Darma," tutur Junada. "Mereka sangat mahir dalam melakukan pertarungan, sangat disayangkan jika mereka tidak mau bergabung dengan kerajaan," timpal Sami Aji mulai angkat bicara. Setelah itu, Saketi langsung mengajak Junada dan Sami Aji untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju wilayah perbatasan kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya. Mereka menunggangi kuda berpacu semakin cepat. Mereka ingin segera sampai ke barak prajurit kerajaan Sanggabuana yang berada
Dengan demikian, Saketi kembali memacu derap langkah kudanya menuju ke dalam desa tersebut. Saat itu mereka hendak mencari warung, untuk sekadar makan siang dan melakukan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju barak prajurit. Tiba di sebuah warung makan, mereka langsung turun dari kuda mereka dan segera melangkah masuk ke dalam warung tersebut untuk melaksanakan makan siang terlebih dahulu sebelum mencari tempat istirahat. "Silakan duduk, Raden!" sambut pria paruh baya–sang pemilik warung makan tersebut mengarah kepada Saketi. "Iya, Ki. Terima kasih banyak," jawab Saketi ramah. Kemudian, ia dan kedua pengawalnya langsung duduk di tempat yang sudah disediakan. "Tolong buatkan makanan untuk kami, Ki! Pakai ikan bakar saja!" pinta Saketi kepada sang pemilik warung. "Baik, Raden. Mohon ditunggu sebentar!" Pria paruh baya itu langsung berlalu dari hadapan ketiga pendekar itu, untuk segera menyiapkan makanan yang dipesan oleh Saketi. Usai makan siang, Saketi, Junada, d
Selain itu, Saketi pun langsung menyampaikan niatnya kepada Panglima Amerya. Bahwa kedatangannya itu, selain untuk memantau perkembangan keamanan di wilayah perbatasan, ia pun mendapatkan tugas untuk mencari tahu tentang pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata sesuai perintah Prabu Erlangga. "Menurut kabar dari ayahandaku, bahwa Paman Panglima mengetahui seluk-beluk pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata, aku dan Sami Aji diperintahkan untuk mengambil pedang tersebut dan menyerahkannya kembali kepada Ki Wilata sebagai pemiliknya," kata sang pangeran menatap wajah sang panglima. Panglima Amerya menarik napas dalam-dalam. Kemudian menjawab lirih dengan sikap penuh hormat, "Pedang pusaka Sulaiman sudah ada di istana kepatihan, hamba sendiri yang merebut pedang tersebut dari tangan Prabu Jala Sena. Semua itu, berkat informasi dari para pemberontak kerajaan Sirnabaya yang memberi petunjuk kepada hamba. Sehingga, hamba berhasil mengambil pedang pusaka itu dari istana kerajaan Sirnabaya." M
Sambil merangkapkan kedua telapak tangannya di atas kepala, dan membungkukkan badan, Lomaya pun menjawab, "Hamba siap, Gusti Pangeran." "Baiklah, jika memang kau siap. Besok kau boleh berangkat bersama dua ratus prajurit!" tandas Saketi memberikan tugas kepada Lomaya. Selain itu, Saketi pun langsung mendaulat Lomaya sebagai seorang panglima yang akan membantu tugas Panglima Amerya di daerah tersebut. Demikianlah, Lomaya pun sangat senang dalam menerima jabatan sebagai panglima, dan merasa siap juga dalam menerima tugas dari sang pangeran. Meskipun sangat besar rintangannya, karena jalur ke desa Ujung Kundar merupakan jalur yang dijuluki sebagai jalur tengkorak. Karena di sepanjang hutan yang menuju ke desa tersebut banyak dihuni oleh para pemberontak Kundar dan juga para perampok yang selalu menggangu kenyamanan orang-orang yang melewati jalur tersebut. * * * Keesokan harinya, Panglima Lomaya dan dua ratus prajuritnya langsung berangkat menuju desa Ujung Kundar yang berada di uju
Dengan demikian, para prajurit tersebut langsung membagi tugas mereka masing-masing untuk menjaga keamanan di sekitar perkemahan tersebut. Sementara prajurit lainnya segera beristirahat, hal tersebut dilakukan secara bergiliran. "Di antara kalian, tentu hanya sedikit saja yang pernah menginjakkan kaki di daerah ujung timur kerajaan ini," ujar sang panglima berkata di hadapan enam orang prajurit senior yang tengah duduk bersama dengannya. "Benar Panglima, termasuk aku. Jujur saja, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Dulu setiap kali mau bepergian ke tempat ini, kedua orang tuaku selalu melarang," sahut salah seorang prajurit. "Maksudmu dilarang karena apa?" tanya Panglima Lomaya meluruskan pandangannya ke wajah prajuritnya itu. Ia sangat penasaran dengan apa yang dikatakan oleh prajuritnya itu. "Dilarang karena dulu aku masih belum memiliki kemampuan bela diri. Orang tuaku sangat khawatir karena daerah ini banyak perampok dan para pemberontak," jawab prajurit itu
Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Setelah selesai makan siang dan beristirahat sebentar, sang raja dan para punggawanya kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa yang berada di pinggiran kadipaten Kunadapa. Selanjutnya mereka akan meneruskan perjalanan tersebut kembali memasuki hutan agar segera sampai di kuta utama Randakala.Senapati Lintang merasa senang, bahwa dirinya sudah bisa menjadi bagian dari pasukan kerajaan Sanggabuana meskipun bukan tumpah darah nenek moyangnya, karena Randakala adalah tumpah darah dirinya yang sebenarnya."Terima kasih banyak Gusti Prabu, karena hamba sudah diajak dalam misi ini. Hari ini hamba bisa kembali melihat pemandangan indah di tanah kelahiran hamba," ucap Senapati Lintang tampak semringah."Apakah Senapati masih memiliki sanak saudara di kerajaan ini? Jika masih, alangkah baiknya nanti kita mampir saja terlebih dahulu.""Sudah tidak ada, Gusti Prabu. Keluarga hamba sudah tewas semua semenjak peristiwa agresi yang dilakukan oleh pihak kerajaan Tonggon," jawab Senapati Lin
Prabu Erlangga hanya diam menyimak perbincangan para pengawalnya dengan pemuda tersebut. Ia khawatir jika terlalu banyak bicara, Burama tentu akan mengetahui tentang penyamarannya itu, sehingga Prabu Erlangga lebih memilih diam dan menyimak dengan santai penuturan dari pemuda desa tersebut."Apakah raja tidak bertindak tegas terhadap pihak yang bersekutu dengan pemerintah kerajaan Kuta Waluya?" tanya Senapati Lintang."Sang raja hanya diam saja, entah kenapa? Aku pun tidak mengerti apa yang ada dalam pikirkan sang raja. Seakan-akan, dirinya seperti bersembunyi di dalam terang," jawab Burama lirih."Kau jangan berprasangka buruk terhadap pemimpin kerajaan ini. Bisa jadi, itu semua dikarenakan adanya kesimpangsiuran, karena aku yakin bahwa pemimpin kerajaan ini sungguh menyayangi rakyatnya," timpal Senapati Lintang.Burama hanya tersenyum menanggapi perkataan Senapati Lintang. Lalu berkata lagi, "Ketika terjadi pertentangan yang menabur benih perpecahan, aku sebagai rakyat kecil lebih m
Sembilan hari berikutnya ....Prabu Erlangga bersama ratusan prajurit pengawal, sudah berada di wilayah kerajaan Randakala. Hampir satu pekan lamanya, mereka melakukan perjalanan dari kerajaan Sanggabuana menuju wilayah kerajaan tersebut.Perjalanan itu dimulai dari istana menuju kepatihan Kuta Gandok, kepatihan Waluya Jaya, dan terakhir masuk ke wilayah kerajaan Randakala melalui jalur timur kepatihan Waluya Jaya."Kita ini sudah masuk ke wilayah kadipaten Kunadapa," kata sang raja sedikit memperlambat laju kudanya. "Di masa lalu aku pernah berkelana di tempat ini, dan itu berlangsung hampir dua tahun lamanya bersama Paman Landuka," lanjut sang raja berkata kepada Senapati Lintang dan para prajurit lainnya.Tempat yang indah dengan panorama alam yang sungguh menakjubkan, memukau pandangan. Tampak bukit-bukit menjulang tinggi dengan pepohonan lebat menghijau menambah warna bagi keindahan alam di kerajaan tersebut, yang sebagian besar dihuni oleh suku yang sama dengan yang ada di keraj
Di ruang utama istana, Prabu Erlangga sedang berbincang dengan Mahapatih Randu Aji dan juga para penasihat istana. Mereka sedang membahas tentang keamanan batas wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya.Di wilayah tersebut setiap harinya sering terjadi penyelundupan barang-barang ilegal dari para penduduk kerajaan Kuta Waluya. Mereka masuk tanpa izin melewati jalur-jalur tikus yang ada di dalam hutan di sepanjang perbatasan.Mereka sangat cerdik dan pintar ketika melancarkan aksi mereka, sehingga pihak prajurit keamanan tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka."Seharusnya, kita ini sudah membangun tembok raksasa sebagai pembatas wilayah kerajaan, agar para penyusup dari Kuta Waluya tidak mudah memasuki wilayah kerajaan ini!" ujar Prabu Erlangga di sela perbincangannya dengan para petinggi istana."Benar, Gusti Prabu. Saat ini memang sudah waktunya kita untuk membangun tembok raksasa di sepanjang perbatasan wilayah kerajaan Kuta Waluya," sahut Anggadita men
Singkat cerita ....Senapati Lintang dan rombongannya sudah berhasil menangkap Sukara yang selama ini menjadi buruan pihak kerajaan Sanggabuana. Namun, ketika dalam perjalanan menuju pulang ke Sanggabuana. Sukara nekat melarikan diri, pada akhirnya dua prajurit pengawal dengan terpaksa melemparkan tombak ke tubuh Sukara, hingga penjahat itu pun tewas dan tubuhnya jatuh ke jurang."Tidak apa-apa dia tewas juga, yang terpenting keris ini sudah berhasil kita ambil," kata Saketi lirih sambil menggenggam sebilah keris pusaka milik Kyai Bagaswara.Keris tersebut akan dibawa ke istana, dan akan disimpan di museum kerajaan. Semua berdasarkan restu Kyai Bagaswara yang sudah menghibahkan keris pusaka miliknya kepada pihak kerajaan Sanggabuana."Dia nekat melarikan diri, karena takut jika tiba di istana akan dijatuhi hukuman mati oleh sang raja," kata Senapati Lintang."Benar, Paman. Sehingga Sukara nekat mengambil keputusan seperti itu," sahut Saketi.Beberapa hari kemudian ....Abdullah dan be
Senapati Lintang dan semua yang ada di tempat tersebut, mengerutkan kening. Mereka merasa heran dengan sikap pemerintah kerajaan tersebut. Mengapa tidak menghukum Sukara yang sudah jelas telah melakukan tindakan melawan hukum."Ada apa dengan Sukara? Kenapa pihak pemerintah kerajaan tidak menjatuhi hukuman untuknya, Ki?" tanya Saketi mengerutkan keningnya menatap wajah pria senja itu."Entahlah, kami pun tidak mengetahui alasan tersebut. Namun, yang paling membuat kami kecewa adalah, Raja justru menjadikan Sukara sebagai seorang punggawa. Meski pada akhirnya, di dipecat karena sudah melakukan kesalahan besar."Apa yang dikatakan oleh Ki Rustapa tentang Sukara memang senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jundaka beberapa hari lalu kepada Saketi dan yang lainnya.Tidak terasa, perbincangan mereka tiba di waktu tengah malam. Dengan demikian, Ki Rustapa langsung mempersilakan para tamunya itu untuk segera beristirahat.***Di tempat terpisah tepatnya di sebelah timur dari kediaman
Apa yang ada dalam benak sang senapati, ternyata senada dengan apa yang dipikirkan oleh Saketi dan Sami Aji. Mereka khawatir jika Salima dan Ki Rustapa tahu tentang jati diri mereka yang sesungguhnya. Sudah barang tentu, keduanya akan kecewa dan bahkan akan melaporkan semuanya kepada pihak prajurit kerajaan Kuta Waluya.Meskipun seperti itu, Senapati Lintang pun akhirnya tetap mengizinkan Salima untuk ikut bersama rombongannya. Senapati Lintang sudah memiliki rencana, dirinya akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada pemuda itu ketika mereka sudah tiba di kademangan Duri Jaya.Dengan raut wajah berbinar-binar, Salima kemudian berkata kepada Senapati Lintang sembari merangkapkan kedua telapak tangannya."Bagaimana, Paman. Apakah Paman mengizinkan aku untuk ikut bersama rombongan ini?" tanya Salima penuh hormat.Dari raut wajahnya terpancar asa yang begitu besarnya. Dia sangat berharap agar Senapati Lintang menyetujui keinginannya itu.Setelah mempertimbangkan semuanya, maka Senapati L