Pada hari itu, Saketi tengah bertarung dengan orang-orang yang tidak ia kenal, yang secara tiba-tiba menghadang perjalanannya bersama Junada dan Sami Aji. "Sebaiknya kalian tidak perlu berurusan dengan kami! Aku tidak ingin melukai kalian karena hal bodoh yang kalian lakukan ini!" seru Saketi sambil meluruskan dua bola matanya yang tajam ke arah orang-orang yang menghadang perjalanannya. "Maaf, Pangeran. Biarkan hamba yang menangani mereka!" timpal Sami Aji menghunus pedangnya dan maju dua langkah mendekati sang pangeran. Saketi berpaling ke arah Sami Aji yang sudah berdiri di sampingnya. Lalu, menjawab sambil tersenyum, "Tidak perlu! Kau dan Paman Junada istirahat saja, biarkan aku yang menghadapi mereka!" cegah Saketi sambil tersenyum lebar. Dengan demikian, Sami Aji pun kembali surut dan segera memasukkan pedang dalam genggaman tangannya ke dalam selongsongnya. Demikianlah, orang-orang tersebut langsung melancarkan serangan terhadap Saketi. Mereka dengan sangat ganasnya berusah
Saketi tersenyum-senyum memandang wajah para pendekar tersebut, kemudian berkata, “Benar, ini adalah wilayah kerajaan Sanggabuana yang aman dan tentram, serta memiliki daerah yang luas dan memiliki kekuatan yang tiada taranya di belahan bumi ini. Sebaiknya kalian bergabung saja dengan pihak kerajaan! Prabu Erlangga tantu akan menerima dengan senang hati!" Mendengar perkataan dari Saketi, para pendekar itu seperti merasa ketakutan dan tidak berani lagi untuk melanjutkan aksi mereka dalam melakukan penghadangan terhadap Saketi dan dua pengawalnya. Akan tetapi, mereka tidak mengindahkan ajakan Saketi yang meminta mereka untuk bergabung dengan pihak kerajaan Sanggabuana. Meskipun demikian, Saketi tidak merasa jera. Ia kembali mengajak para pendekar tersebut agar mau bergabung dengan pihak kerajaan dan mengakhiri aksi mereka yang sangat meresahkan itu. "Aku akan senang sekali jika kalian mau bergabung dengan pihak kerajaan," ujar Saketi maju beberapa langkah mendekati posisi berdirinya p
Junada berpaling ke arah Saketi. Kemudian, ia menjawab, “Apakah kau percaya jika Paman mengatakan ini?” Junada balas bertanya sambil tersenyum-senyum. “Tentu, Paman. Karena aku tidak mengenali mereka, dan mereka pun baru kali ini berhadapan denganku. Aku sangat percaya akan pengalaman Paman." Dengan demikian, maka Junada pun langsung menjelaskan apa yang ia ketahui dari dugaannya tersebut. "Paman sangat mengenali Loka Darma, ada kemungkinan para pendekar tadi merupakan bagian dari kelompok pimpinan Loka Darma," tutur Junada. "Mereka sangat mahir dalam melakukan pertarungan, sangat disayangkan jika mereka tidak mau bergabung dengan kerajaan," timpal Sami Aji mulai angkat bicara. Setelah itu, Saketi langsung mengajak Junada dan Sami Aji untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju wilayah perbatasan kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya. Mereka menunggangi kuda berpacu semakin cepat. Mereka ingin segera sampai ke barak prajurit kerajaan Sanggabuana yang berada
Dengan demikian, Saketi kembali memacu derap langkah kudanya menuju ke dalam desa tersebut. Saat itu mereka hendak mencari warung, untuk sekadar makan siang dan melakukan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju barak prajurit. Tiba di sebuah warung makan, mereka langsung turun dari kuda mereka dan segera melangkah masuk ke dalam warung tersebut untuk melaksanakan makan siang terlebih dahulu sebelum mencari tempat istirahat. "Silakan duduk, Raden!" sambut pria paruh baya–sang pemilik warung makan tersebut mengarah kepada Saketi. "Iya, Ki. Terima kasih banyak," jawab Saketi ramah. Kemudian, ia dan kedua pengawalnya langsung duduk di tempat yang sudah disediakan. "Tolong buatkan makanan untuk kami, Ki! Pakai ikan bakar saja!" pinta Saketi kepada sang pemilik warung. "Baik, Raden. Mohon ditunggu sebentar!" Pria paruh baya itu langsung berlalu dari hadapan ketiga pendekar itu, untuk segera menyiapkan makanan yang dipesan oleh Saketi. Usai makan siang, Saketi, Junada, d
Selain itu, Saketi pun langsung menyampaikan niatnya kepada Panglima Amerya. Bahwa kedatangannya itu, selain untuk memantau perkembangan keamanan di wilayah perbatasan, ia pun mendapatkan tugas untuk mencari tahu tentang pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata sesuai perintah Prabu Erlangga. "Menurut kabar dari ayahandaku, bahwa Paman Panglima mengetahui seluk-beluk pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata, aku dan Sami Aji diperintahkan untuk mengambil pedang tersebut dan menyerahkannya kembali kepada Ki Wilata sebagai pemiliknya," kata sang pangeran menatap wajah sang panglima. Panglima Amerya menarik napas dalam-dalam. Kemudian menjawab lirih dengan sikap penuh hormat, "Pedang pusaka Sulaiman sudah ada di istana kepatihan, hamba sendiri yang merebut pedang tersebut dari tangan Prabu Jala Sena. Semua itu, berkat informasi dari para pemberontak kerajaan Sirnabaya yang memberi petunjuk kepada hamba. Sehingga, hamba berhasil mengambil pedang pusaka itu dari istana kerajaan Sirnabaya." M
Sambil merangkapkan kedua telapak tangannya di atas kepala, dan membungkukkan badan, Lomaya pun menjawab, "Hamba siap, Gusti Pangeran." "Baiklah, jika memang kau siap. Besok kau boleh berangkat bersama dua ratus prajurit!" tandas Saketi memberikan tugas kepada Lomaya. Selain itu, Saketi pun langsung mendaulat Lomaya sebagai seorang panglima yang akan membantu tugas Panglima Amerya di daerah tersebut. Demikianlah, Lomaya pun sangat senang dalam menerima jabatan sebagai panglima, dan merasa siap juga dalam menerima tugas dari sang pangeran. Meskipun sangat besar rintangannya, karena jalur ke desa Ujung Kundar merupakan jalur yang dijuluki sebagai jalur tengkorak. Karena di sepanjang hutan yang menuju ke desa tersebut banyak dihuni oleh para pemberontak Kundar dan juga para perampok yang selalu menggangu kenyamanan orang-orang yang melewati jalur tersebut. * * * Keesokan harinya, Panglima Lomaya dan dua ratus prajuritnya langsung berangkat menuju desa Ujung Kundar yang berada di uju
Dengan demikian, para prajurit tersebut langsung membagi tugas mereka masing-masing untuk menjaga keamanan di sekitar perkemahan tersebut. Sementara prajurit lainnya segera beristirahat, hal tersebut dilakukan secara bergiliran. "Di antara kalian, tentu hanya sedikit saja yang pernah menginjakkan kaki di daerah ujung timur kerajaan ini," ujar sang panglima berkata di hadapan enam orang prajurit senior yang tengah duduk bersama dengannya. "Benar Panglima, termasuk aku. Jujur saja, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Dulu setiap kali mau bepergian ke tempat ini, kedua orang tuaku selalu melarang," sahut salah seorang prajurit. "Maksudmu dilarang karena apa?" tanya Panglima Lomaya meluruskan pandangannya ke wajah prajuritnya itu. Ia sangat penasaran dengan apa yang dikatakan oleh prajuritnya itu. "Dilarang karena dulu aku masih belum memiliki kemampuan bela diri. Orang tuaku sangat khawatir karena daerah ini banyak perampok dan para pemberontak," jawab prajurit itu
Prajurit itu terlihat ragu. Namun kemudian berkata, “Aku akan menyuruh prajurit lain untuk menyampaikannya. Tetapi aku tidak menjamin bahwa Panglima Lomaya mau menemuimu." Panglima Suta Wira tampak geram mendengar perkataan dari prajurit tersebut. Sehingga, ia membentak keras kepada para prajurit kerajaan Sanggabuana yang ada di hadapannya itu. Terutama kepada prajurit yang tengah berbicara dengan dirinya. "Perlu kalian ketahui, aku datang untuk berbicara langsung dengan pemimpin kalian, dan aku tidak mau bertemu dengan panglima kalian di tempat lain. Panggil ke sini!" suaranya keras dan terkesan jemawa. Keempat prajurit tersebut, masih mampu menahan rasa emosi dalam diri mereka. Meskipun pada kenyataannya mereka sudah merasa gusar, dan ingin sekali melakukan tindakan tegas terhadap Panglima Suta Wira dan para prajuritnya yang semakin tampak bersikap angkuh itu. Empat orang prajurit itu tidak menjawab lagi. Mereka hanya diam dengan sikap sempurna penuh kesiapsiagaan, menilai dan me