Dengan demikian, Saketi kembali memacu derap langkah kudanya menuju ke dalam desa tersebut. Saat itu mereka hendak mencari warung, untuk sekadar makan siang dan melakukan istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju barak prajurit. Tiba di sebuah warung makan, mereka langsung turun dari kuda mereka dan segera melangkah masuk ke dalam warung tersebut untuk melaksanakan makan siang terlebih dahulu sebelum mencari tempat istirahat. "Silakan duduk, Raden!" sambut pria paruh baya–sang pemilik warung makan tersebut mengarah kepada Saketi. "Iya, Ki. Terima kasih banyak," jawab Saketi ramah. Kemudian, ia dan kedua pengawalnya langsung duduk di tempat yang sudah disediakan. "Tolong buatkan makanan untuk kami, Ki! Pakai ikan bakar saja!" pinta Saketi kepada sang pemilik warung. "Baik, Raden. Mohon ditunggu sebentar!" Pria paruh baya itu langsung berlalu dari hadapan ketiga pendekar itu, untuk segera menyiapkan makanan yang dipesan oleh Saketi. Usai makan siang, Saketi, Junada, d
Selain itu, Saketi pun langsung menyampaikan niatnya kepada Panglima Amerya. Bahwa kedatangannya itu, selain untuk memantau perkembangan keamanan di wilayah perbatasan, ia pun mendapatkan tugas untuk mencari tahu tentang pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata sesuai perintah Prabu Erlangga. "Menurut kabar dari ayahandaku, bahwa Paman Panglima mengetahui seluk-beluk pedang pusaka Sulaiman milik Ki Wilata, aku dan Sami Aji diperintahkan untuk mengambil pedang tersebut dan menyerahkannya kembali kepada Ki Wilata sebagai pemiliknya," kata sang pangeran menatap wajah sang panglima. Panglima Amerya menarik napas dalam-dalam. Kemudian menjawab lirih dengan sikap penuh hormat, "Pedang pusaka Sulaiman sudah ada di istana kepatihan, hamba sendiri yang merebut pedang tersebut dari tangan Prabu Jala Sena. Semua itu, berkat informasi dari para pemberontak kerajaan Sirnabaya yang memberi petunjuk kepada hamba. Sehingga, hamba berhasil mengambil pedang pusaka itu dari istana kerajaan Sirnabaya." M
Sambil merangkapkan kedua telapak tangannya di atas kepala, dan membungkukkan badan, Lomaya pun menjawab, "Hamba siap, Gusti Pangeran." "Baiklah, jika memang kau siap. Besok kau boleh berangkat bersama dua ratus prajurit!" tandas Saketi memberikan tugas kepada Lomaya. Selain itu, Saketi pun langsung mendaulat Lomaya sebagai seorang panglima yang akan membantu tugas Panglima Amerya di daerah tersebut. Demikianlah, Lomaya pun sangat senang dalam menerima jabatan sebagai panglima, dan merasa siap juga dalam menerima tugas dari sang pangeran. Meskipun sangat besar rintangannya, karena jalur ke desa Ujung Kundar merupakan jalur yang dijuluki sebagai jalur tengkorak. Karena di sepanjang hutan yang menuju ke desa tersebut banyak dihuni oleh para pemberontak Kundar dan juga para perampok yang selalu menggangu kenyamanan orang-orang yang melewati jalur tersebut. * * * Keesokan harinya, Panglima Lomaya dan dua ratus prajuritnya langsung berangkat menuju desa Ujung Kundar yang berada di uju
Dengan demikian, para prajurit tersebut langsung membagi tugas mereka masing-masing untuk menjaga keamanan di sekitar perkemahan tersebut. Sementara prajurit lainnya segera beristirahat, hal tersebut dilakukan secara bergiliran. "Di antara kalian, tentu hanya sedikit saja yang pernah menginjakkan kaki di daerah ujung timur kerajaan ini," ujar sang panglima berkata di hadapan enam orang prajurit senior yang tengah duduk bersama dengannya. "Benar Panglima, termasuk aku. Jujur saja, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Dulu setiap kali mau bepergian ke tempat ini, kedua orang tuaku selalu melarang," sahut salah seorang prajurit. "Maksudmu dilarang karena apa?" tanya Panglima Lomaya meluruskan pandangannya ke wajah prajuritnya itu. Ia sangat penasaran dengan apa yang dikatakan oleh prajuritnya itu. "Dilarang karena dulu aku masih belum memiliki kemampuan bela diri. Orang tuaku sangat khawatir karena daerah ini banyak perampok dan para pemberontak," jawab prajurit itu
Prajurit itu terlihat ragu. Namun kemudian berkata, “Aku akan menyuruh prajurit lain untuk menyampaikannya. Tetapi aku tidak menjamin bahwa Panglima Lomaya mau menemuimu." Panglima Suta Wira tampak geram mendengar perkataan dari prajurit tersebut. Sehingga, ia membentak keras kepada para prajurit kerajaan Sanggabuana yang ada di hadapannya itu. Terutama kepada prajurit yang tengah berbicara dengan dirinya. "Perlu kalian ketahui, aku datang untuk berbicara langsung dengan pemimpin kalian, dan aku tidak mau bertemu dengan panglima kalian di tempat lain. Panggil ke sini!" suaranya keras dan terkesan jemawa. Keempat prajurit tersebut, masih mampu menahan rasa emosi dalam diri mereka. Meskipun pada kenyataannya mereka sudah merasa gusar, dan ingin sekali melakukan tindakan tegas terhadap Panglima Suta Wira dan para prajuritnya yang semakin tampak bersikap angkuh itu. Empat orang prajurit itu tidak menjawab lagi. Mereka hanya diam dengan sikap sempurna penuh kesiapsiagaan, menilai dan me
Malam itu, di beranda barak. Saketi tengah berbincang santai dengan Panglima Amerya dan para prajurit senior yang bertugas di perbatasan. Ada banyak hal yang ia pertanyakan kepada Panglima Amerya dan juga kepada para prajuritnya. Terkait tugas dan keberadaan para prajurit di barak tersebut. "Berapa bulan sekali, Patih Akilang melakukan pergantian tugas pasukan di barak ini, Paman?" tanya Saketi kepada Panglima Amerya. Panglima Amerya menarik napas dalam-dalam. Kemudian menjawab pertanyaan dari sang pangeran dengan sikap hormatnya, "Satu tahun sekali, Gusti Pangeran. Sedangkan Paman sudah hampir satu tahun bertugas di perbatasan ini, dan belum digantikan." "Kenapa bisa seperti itu, Paman. Seharusnya, Paman meminta kepada Patih Akilang untuk diganti," kata Saketi menanggapi perkataan dari sang panglima. "Tidak ada panglima lain yang dipercaya oleh gusti patih. Selain Paman dan Lomaya untuk menjalankan tugas di wilayah perbatasan ini." "Mungkin Patih Akilang ragu jika pimpinan di ba
Saketi tersenyum, lalu menjawab, “Ya, Paman. Itu yang aku maksud." “Benar, Gusti Pangeran. Memang telah terjadi bentrokan yang hampir meruntuhkan pasukan Paman di sini. Beruntung ada bantuan pasukan dari kerajaan Randakala yang datang. Hingga pada akhirnya pasukan di sini bekerjasama dengan pasukan kerajaan Randakala. Hingga akhirnya berhasil mengusir dan menghancurkan barak prajurit kerajaan Sirnabaya yang ada di wilayah kedaulatan kerajaan Sanggabuana," terang sang panglima. "Ya, aku pun mendengar kabar tersebut," timpal Junada mulai angkat bicara. Sang panglima berpaling ke arah Junada. Kemudian menyahut, "Bukankah, Aki waktu itu masih menjadi bagian penting di kerajaan Sirnabaya?" tanya sang panglima. "Benar, Panglima. Namun, itu semua bukan atas dasar perintahku. Prabu Jala Sena sendiri yang turun tangan memerintahkan Panglima Suta Wira untuk melakukan serangan mendadak terhadap pihak pasukan Sanggabuana," jawab Junada balas tersenyum. "Ya, waktu itu kami pun tidak menduga ba
Junada balas tersenyum, ia hanya diam tidak menyahut perkataan sang pangeran. Senyum di ujung bibirnya merupakan sebuah tanda, bahwa dirinya menanggapi perkataan sang pangeran yang merasa kagum terhadapnya. Tidak terasa perbincangan mereka sampai juga hingga larut malam. Panglima Amerya mempersilakan sang pangeran untuk segera memasuki kamar khusus untuk tamu kehormatan yang telah disiapkan oleh para prajurit di barak tersebut. Namun, Saketi menolaknya. Ia lebih memilih untuk tidur di beranda barak bersama Sami Aji dan juga Junada. "Paman istirahat saja di dalam! Biarkan kami di sini!" kata Saketi sambil tersenyum-senyum. "Aku sudah terbiasa tidur di tempat terbuka" sambungnya. Meskipun dirinya sebagai putra mahkota, namun Saketi tetap bersikap biasa-biasa saja, ia tidak mau diperlakukan istimewa oleh bawahannya. Karena selama ini dirinya sudah terbiasa berbaur dengan para prajurit dan juga dengan rakyat jelata. "Ya, sudah kalau memang seperti itu. Paman juga tidur di sini saja be