Dengan demikian, para prajurit tersebut langsung membagi tugas mereka masing-masing untuk menjaga keamanan di sekitar perkemahan tersebut. Sementara prajurit lainnya segera beristirahat, hal tersebut dilakukan secara bergiliran. "Di antara kalian, tentu hanya sedikit saja yang pernah menginjakkan kaki di daerah ujung timur kerajaan ini," ujar sang panglima berkata di hadapan enam orang prajurit senior yang tengah duduk bersama dengannya. "Benar Panglima, termasuk aku. Jujur saja, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Dulu setiap kali mau bepergian ke tempat ini, kedua orang tuaku selalu melarang," sahut salah seorang prajurit. "Maksudmu dilarang karena apa?" tanya Panglima Lomaya meluruskan pandangannya ke wajah prajuritnya itu. Ia sangat penasaran dengan apa yang dikatakan oleh prajuritnya itu. "Dilarang karena dulu aku masih belum memiliki kemampuan bela diri. Orang tuaku sangat khawatir karena daerah ini banyak perampok dan para pemberontak," jawab prajurit itu
Prajurit itu terlihat ragu. Namun kemudian berkata, “Aku akan menyuruh prajurit lain untuk menyampaikannya. Tetapi aku tidak menjamin bahwa Panglima Lomaya mau menemuimu." Panglima Suta Wira tampak geram mendengar perkataan dari prajurit tersebut. Sehingga, ia membentak keras kepada para prajurit kerajaan Sanggabuana yang ada di hadapannya itu. Terutama kepada prajurit yang tengah berbicara dengan dirinya. "Perlu kalian ketahui, aku datang untuk berbicara langsung dengan pemimpin kalian, dan aku tidak mau bertemu dengan panglima kalian di tempat lain. Panggil ke sini!" suaranya keras dan terkesan jemawa. Keempat prajurit tersebut, masih mampu menahan rasa emosi dalam diri mereka. Meskipun pada kenyataannya mereka sudah merasa gusar, dan ingin sekali melakukan tindakan tegas terhadap Panglima Suta Wira dan para prajuritnya yang semakin tampak bersikap angkuh itu. Empat orang prajurit itu tidak menjawab lagi. Mereka hanya diam dengan sikap sempurna penuh kesiapsiagaan, menilai dan me
Malam itu, di beranda barak. Saketi tengah berbincang santai dengan Panglima Amerya dan para prajurit senior yang bertugas di perbatasan. Ada banyak hal yang ia pertanyakan kepada Panglima Amerya dan juga kepada para prajuritnya. Terkait tugas dan keberadaan para prajurit di barak tersebut. "Berapa bulan sekali, Patih Akilang melakukan pergantian tugas pasukan di barak ini, Paman?" tanya Saketi kepada Panglima Amerya. Panglima Amerya menarik napas dalam-dalam. Kemudian menjawab pertanyaan dari sang pangeran dengan sikap hormatnya, "Satu tahun sekali, Gusti Pangeran. Sedangkan Paman sudah hampir satu tahun bertugas di perbatasan ini, dan belum digantikan." "Kenapa bisa seperti itu, Paman. Seharusnya, Paman meminta kepada Patih Akilang untuk diganti," kata Saketi menanggapi perkataan dari sang panglima. "Tidak ada panglima lain yang dipercaya oleh gusti patih. Selain Paman dan Lomaya untuk menjalankan tugas di wilayah perbatasan ini." "Mungkin Patih Akilang ragu jika pimpinan di ba
Saketi tersenyum, lalu menjawab, “Ya, Paman. Itu yang aku maksud." “Benar, Gusti Pangeran. Memang telah terjadi bentrokan yang hampir meruntuhkan pasukan Paman di sini. Beruntung ada bantuan pasukan dari kerajaan Randakala yang datang. Hingga pada akhirnya pasukan di sini bekerjasama dengan pasukan kerajaan Randakala. Hingga akhirnya berhasil mengusir dan menghancurkan barak prajurit kerajaan Sirnabaya yang ada di wilayah kedaulatan kerajaan Sanggabuana," terang sang panglima. "Ya, aku pun mendengar kabar tersebut," timpal Junada mulai angkat bicara. Sang panglima berpaling ke arah Junada. Kemudian menyahut, "Bukankah, Aki waktu itu masih menjadi bagian penting di kerajaan Sirnabaya?" tanya sang panglima. "Benar, Panglima. Namun, itu semua bukan atas dasar perintahku. Prabu Jala Sena sendiri yang turun tangan memerintahkan Panglima Suta Wira untuk melakukan serangan mendadak terhadap pihak pasukan Sanggabuana," jawab Junada balas tersenyum. "Ya, waktu itu kami pun tidak menduga ba
Junada balas tersenyum, ia hanya diam tidak menyahut perkataan sang pangeran. Senyum di ujung bibirnya merupakan sebuah tanda, bahwa dirinya menanggapi perkataan sang pangeran yang merasa kagum terhadapnya. Tidak terasa perbincangan mereka sampai juga hingga larut malam. Panglima Amerya mempersilakan sang pangeran untuk segera memasuki kamar khusus untuk tamu kehormatan yang telah disiapkan oleh para prajurit di barak tersebut. Namun, Saketi menolaknya. Ia lebih memilih untuk tidur di beranda barak bersama Sami Aji dan juga Junada. "Paman istirahat saja di dalam! Biarkan kami di sini!" kata Saketi sambil tersenyum-senyum. "Aku sudah terbiasa tidur di tempat terbuka" sambungnya. Meskipun dirinya sebagai putra mahkota, namun Saketi tetap bersikap biasa-biasa saja, ia tidak mau diperlakukan istimewa oleh bawahannya. Karena selama ini dirinya sudah terbiasa berbaur dengan para prajurit dan juga dengan rakyat jelata. "Ya, sudah kalau memang seperti itu. Paman juga tidur di sini saja be
Sehingga para prajurit yang mendengarnya, tampak kaget dan mereka pun segera menghentikan pertempuran itu. Para prajurit dari kedua belah pihak mulai surut ke belakang. Bahkan yang bertempur di ujung hutan pun, dapat juga mendengar teriakan sang pangeran. Dengan demikian, mereka langsung menghentikan pertempuran itu. “Ternyata mereka telah melakukan tindakan di luar kesepakatan," desis Saketi. "Tetapi kita tidak boleh gentar. Kita tetap maju, dan harus membalas perlakuan mereka!" seru Saketi kepada para prajuritnya. "Baik, Gusti Pangeran," jawab para prajurit itu serentak. "Kematian mereka adalah imbalannya, bagi setiap prajurit kita yang gugur," ujar Saketi bernada tinggi. Para prajurit Sirnabaya yang mendengar suara Saketi, mulai merasa cemas. Seketika itu, jiwa dan pikiran mereka diselimuti rasa kekhawatiran yang begitu besar. Jantung mereka seketika berdegub kencang, tubuh mereka pun seakan-akan bergetar, karena takut mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Saketi. Sepe
Dua hari sebelumnya .... Serangan tersebut berawal karena ada kecurigaan dari pihak pasukan kerajaan Sirnabaya. Karena dua hari yang lalu mereka menemukan empat orang prajurit mereka dalam keadaan tewas di pinggiran sungai yang ada di wilayah perbatasan itu. Sehingga mereka menuduh para prajurit kerajaan Sanggabuana sebagai pelakunya. "Panglima!" teriak salah seorang prajurit berlari menuju ke arah barak. "Ada apa, Prajurit," tanya sang panglima menatap tajam wajah prajuritnya. "Aku menemukan mayat prajurit kita, Panglima," jawab prajurit itu terengah-engah. Pria bertubuh kekar dan berkumis tebal itu tampak kaget dengan keterangan dari prajuritnya. "Di mana kau menemukan mereka?" "Di sungai, Panglima." Demikianlah, maka pemimpin prajurit itu pun langsung mengajak para prajuritnya untuk mengevakuasi jasad empat orang prajurit yang ditemukan tewas di pinggiran sungai. Benar saja yang dikatakan oleh prajuritnya. Setibanya di lokasi tersebut, sang panglima mendapati keempat prajur
Para prajurit itu sangatlah kagum ketika melihat kemampuan ilmu bela diri yang sudah ditunjukkan oleh Saketi beberapa waktu lalu. Begitupun dengan prajurit lainnya, mereka merasa bangga terhadap Saketi yang memiliki kelebihan dari yang lain. Dengan demikian sebagian dari prajurit-prajurit tersebut, tumbuh hasrat ingin sesegera mungkin membenturkan diri dengan prajurit kerajaan Sirnabaya yang ada di wilayah perbatasan. Mereka merasa bahwa mereka memiliki kemampuan yang akan dapat menandingi kekuatan prajurit-prajurit Sirnabaya, jika benar-benar terjadi lagi benturan kekuatan itu. “Sekali-kali prajurit Sirnabaya itu harus kita lawan dengan kekerasan agar mereka jera serta sadar diri, bahwa mereka bukanlah para prajurit yang memiliki kemampuan luar biasa," gumam seorang prajurit dari pihak kerajaan Sanggabuana. "Tapi, kita tetap harus menunggu titah Panglima Amerya. Kita tidak bisa bertindak sembarangan," sahut kawannya. "Ya, kau benar. Kita ini harus patuh kepada pemimpin kita di si
Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Setelah selesai makan siang dan beristirahat sebentar, sang raja dan para punggawanya kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa yang berada di pinggiran kadipaten Kunadapa. Selanjutnya mereka akan meneruskan perjalanan tersebut kembali memasuki hutan agar segera sampai di kuta utama Randakala.Senapati Lintang merasa senang, bahwa dirinya sudah bisa menjadi bagian dari pasukan kerajaan Sanggabuana meskipun bukan tumpah darah nenek moyangnya, karena Randakala adalah tumpah darah dirinya yang sebenarnya."Terima kasih banyak Gusti Prabu, karena hamba sudah diajak dalam misi ini. Hari ini hamba bisa kembali melihat pemandangan indah di tanah kelahiran hamba," ucap Senapati Lintang tampak semringah."Apakah Senapati masih memiliki sanak saudara di kerajaan ini? Jika masih, alangkah baiknya nanti kita mampir saja terlebih dahulu.""Sudah tidak ada, Gusti Prabu. Keluarga hamba sudah tewas semua semenjak peristiwa agresi yang dilakukan oleh pihak kerajaan Tonggon," jawab Senapati Lin
Prabu Erlangga hanya diam menyimak perbincangan para pengawalnya dengan pemuda tersebut. Ia khawatir jika terlalu banyak bicara, Burama tentu akan mengetahui tentang penyamarannya itu, sehingga Prabu Erlangga lebih memilih diam dan menyimak dengan santai penuturan dari pemuda desa tersebut."Apakah raja tidak bertindak tegas terhadap pihak yang bersekutu dengan pemerintah kerajaan Kuta Waluya?" tanya Senapati Lintang."Sang raja hanya diam saja, entah kenapa? Aku pun tidak mengerti apa yang ada dalam pikirkan sang raja. Seakan-akan, dirinya seperti bersembunyi di dalam terang," jawab Burama lirih."Kau jangan berprasangka buruk terhadap pemimpin kerajaan ini. Bisa jadi, itu semua dikarenakan adanya kesimpangsiuran, karena aku yakin bahwa pemimpin kerajaan ini sungguh menyayangi rakyatnya," timpal Senapati Lintang.Burama hanya tersenyum menanggapi perkataan Senapati Lintang. Lalu berkata lagi, "Ketika terjadi pertentangan yang menabur benih perpecahan, aku sebagai rakyat kecil lebih m
Sembilan hari berikutnya ....Prabu Erlangga bersama ratusan prajurit pengawal, sudah berada di wilayah kerajaan Randakala. Hampir satu pekan lamanya, mereka melakukan perjalanan dari kerajaan Sanggabuana menuju wilayah kerajaan tersebut.Perjalanan itu dimulai dari istana menuju kepatihan Kuta Gandok, kepatihan Waluya Jaya, dan terakhir masuk ke wilayah kerajaan Randakala melalui jalur timur kepatihan Waluya Jaya."Kita ini sudah masuk ke wilayah kadipaten Kunadapa," kata sang raja sedikit memperlambat laju kudanya. "Di masa lalu aku pernah berkelana di tempat ini, dan itu berlangsung hampir dua tahun lamanya bersama Paman Landuka," lanjut sang raja berkata kepada Senapati Lintang dan para prajurit lainnya.Tempat yang indah dengan panorama alam yang sungguh menakjubkan, memukau pandangan. Tampak bukit-bukit menjulang tinggi dengan pepohonan lebat menghijau menambah warna bagi keindahan alam di kerajaan tersebut, yang sebagian besar dihuni oleh suku yang sama dengan yang ada di keraj
Di ruang utama istana, Prabu Erlangga sedang berbincang dengan Mahapatih Randu Aji dan juga para penasihat istana. Mereka sedang membahas tentang keamanan batas wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya.Di wilayah tersebut setiap harinya sering terjadi penyelundupan barang-barang ilegal dari para penduduk kerajaan Kuta Waluya. Mereka masuk tanpa izin melewati jalur-jalur tikus yang ada di dalam hutan di sepanjang perbatasan.Mereka sangat cerdik dan pintar ketika melancarkan aksi mereka, sehingga pihak prajurit keamanan tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka."Seharusnya, kita ini sudah membangun tembok raksasa sebagai pembatas wilayah kerajaan, agar para penyusup dari Kuta Waluya tidak mudah memasuki wilayah kerajaan ini!" ujar Prabu Erlangga di sela perbincangannya dengan para petinggi istana."Benar, Gusti Prabu. Saat ini memang sudah waktunya kita untuk membangun tembok raksasa di sepanjang perbatasan wilayah kerajaan Kuta Waluya," sahut Anggadita men
Singkat cerita ....Senapati Lintang dan rombongannya sudah berhasil menangkap Sukara yang selama ini menjadi buruan pihak kerajaan Sanggabuana. Namun, ketika dalam perjalanan menuju pulang ke Sanggabuana. Sukara nekat melarikan diri, pada akhirnya dua prajurit pengawal dengan terpaksa melemparkan tombak ke tubuh Sukara, hingga penjahat itu pun tewas dan tubuhnya jatuh ke jurang."Tidak apa-apa dia tewas juga, yang terpenting keris ini sudah berhasil kita ambil," kata Saketi lirih sambil menggenggam sebilah keris pusaka milik Kyai Bagaswara.Keris tersebut akan dibawa ke istana, dan akan disimpan di museum kerajaan. Semua berdasarkan restu Kyai Bagaswara yang sudah menghibahkan keris pusaka miliknya kepada pihak kerajaan Sanggabuana."Dia nekat melarikan diri, karena takut jika tiba di istana akan dijatuhi hukuman mati oleh sang raja," kata Senapati Lintang."Benar, Paman. Sehingga Sukara nekat mengambil keputusan seperti itu," sahut Saketi.Beberapa hari kemudian ....Abdullah dan be
Senapati Lintang dan semua yang ada di tempat tersebut, mengerutkan kening. Mereka merasa heran dengan sikap pemerintah kerajaan tersebut. Mengapa tidak menghukum Sukara yang sudah jelas telah melakukan tindakan melawan hukum."Ada apa dengan Sukara? Kenapa pihak pemerintah kerajaan tidak menjatuhi hukuman untuknya, Ki?" tanya Saketi mengerutkan keningnya menatap wajah pria senja itu."Entahlah, kami pun tidak mengetahui alasan tersebut. Namun, yang paling membuat kami kecewa adalah, Raja justru menjadikan Sukara sebagai seorang punggawa. Meski pada akhirnya, di dipecat karena sudah melakukan kesalahan besar."Apa yang dikatakan oleh Ki Rustapa tentang Sukara memang senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jundaka beberapa hari lalu kepada Saketi dan yang lainnya.Tidak terasa, perbincangan mereka tiba di waktu tengah malam. Dengan demikian, Ki Rustapa langsung mempersilakan para tamunya itu untuk segera beristirahat.***Di tempat terpisah tepatnya di sebelah timur dari kediaman
Apa yang ada dalam benak sang senapati, ternyata senada dengan apa yang dipikirkan oleh Saketi dan Sami Aji. Mereka khawatir jika Salima dan Ki Rustapa tahu tentang jati diri mereka yang sesungguhnya. Sudah barang tentu, keduanya akan kecewa dan bahkan akan melaporkan semuanya kepada pihak prajurit kerajaan Kuta Waluya.Meskipun seperti itu, Senapati Lintang pun akhirnya tetap mengizinkan Salima untuk ikut bersama rombongannya. Senapati Lintang sudah memiliki rencana, dirinya akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada pemuda itu ketika mereka sudah tiba di kademangan Duri Jaya.Dengan raut wajah berbinar-binar, Salima kemudian berkata kepada Senapati Lintang sembari merangkapkan kedua telapak tangannya."Bagaimana, Paman. Apakah Paman mengizinkan aku untuk ikut bersama rombongan ini?" tanya Salima penuh hormat.Dari raut wajahnya terpancar asa yang begitu besarnya. Dia sangat berharap agar Senapati Lintang menyetujui keinginannya itu.Setelah mempertimbangkan semuanya, maka Senapati L