Nyai Ratna Kemuning menahan marah. Dia tahu, perguruan Tangan Seribu dulu merupakan golongan putih. Sejak dipimpin Dewa Jari Maut, perguruan itu berubah di mata semua pendrkar. Itu artinya dia akan bertemu dengan banyak pendekar dari golongan hitam yang memiliki sifat dan kebiasaan aneh. Wanita cantik itu melirik semua orang. Perguruan Tangan Seribu dan perkumpulan Kencana Emas telah menjalin persahabatan sejak dulu dengan ketua yang lama. Sebagai penerus ketua, Nyai Ratna Kemuning harus tetap menjalin hubungan baik dengan mereka. Walaupun dia tahu, ketua baru yang ada di depannya ini selalu bertindak telengas.
Mata Ki Sempana tidak lepas dari Nyai Ratna Kemuning dan Dewa Jari Maut. Dalam hati dia menyayangkan wanita-wanita yang mensucikan diri itu datang ke tempat ini. Dia tidak ingin mereka ikut terlibat dalam penyerangan yang telah direncanakan perkumpulan Sapu Tangan Merah. Diam-diam dia berdoa agar mereka cepat pergi."Hubungan perguruan Tangan Seribu dan perkDua jari Dewa Jari Maut bahkan bisa membelah kayu dan batu. Kali ini mereka ingin melihat kepala orang itu terbelah oleh jari Dewa Jari Maut yang tajam.Manggala melihat kerusuhan yang dilakukan kelompok kesenian akan mempengaruhi pikiran polos istrinya. Dia segera meminta pelayan Mayang untuk membawanya pergi ke kamar. Dia yakin, Dewa Jari Maut mampu mengatasi para nayaga itu. Laki-laki berperawakan tinggi tegap itu pergi memeriksa tempat lain. Penciumannya yang tajam sejak tadi mencium sesuatu yang terbakar. Dengan ketakutan Mayang masuk ke dalam kamarnya. Pertarungan antara Ki Sempana dan Dewa Jari Maut berjalan seru. Kesaktian laki-laki yang memiliki nama muda Layangsewu itu masih di atas angin, walaupun para nayaga lain ikut mengeroyoknya. Dihadapan ketua perguruan Tangan Seribu mereka bagai lalat yang mudah di bunuh.Umang Sari dan Palasari saling pandang. Keduanya sama-sama mengangguk. Tangan halus mereka mengeluarkan sebilah pisau dari balik ika
Dia mengamati wajah itu lebih seksama. Seingatnya, saudara tirinya memiliki dua putra. Paksi Jingga dan Mahisa Dahana. Jika pemuda ini Paksi Jingga, usianya kurang tua."Kau Mahisa Dahana?""Luar biasa. Ternyata paman masih mengingat keponakannya ini. Aku menghormat pada paman Layangsewu," tukas Mahisa Dahana menyatukan kedua tangannya di depan dada. Dewa Jari Maut menahan diri dari rasa kecewa yang dibuat anak buahnya. Mereka gagal melenyapkan Mahisa Dahana yang waktu itu masih sangat kecil. Anak kecil itu sekarang berdiri di depannya, menentangnya. Darahnya mendidih."Wajah paman pucat. Pasti tidak menyangka kalau hari ini aku berada di depanmu. Kedatanganku ke sini ingin meminta kembali perguruan Tangan Seribu secara baik-baik dari paman," ujar Mahisa Dahana tersenyum penuh arti pada Dewa Jari Maut."Paman sudah lama mengurusi perguruan ayahku, pasti telah lelah. Sudah saatnya sekarang paman beristirahat menikmati hari tua. Ingat paman, manusia
Mereka juga mengeluarkan jurus yang sama. Namun, gerakan mereka terlihat ganjil dan tidak nyambung seperti milik anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah."Itu jurus Tangan Seribu yang sudah tidak murni. Teman-teman, kita tunjukkan keampuhan jurus Tangan Seribu yang asli pada mereka. Tangan Dewa Memetik Teratai!" Salah satu anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah berteriak lantang untuk segera membuat formasi baru saat menyerang.Anak buah Senayudha dan Manggala juga mengeluarkan Formasi yang sama. Lagi-lagi bentuknya berbeda dan terlihat kaku. Setiap anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah merubah jurus formasi, anak buah Senayudha dan Manggala juga melawannya dengan jurus yang sama."Gila! Mereka juga memiliki semua jurus kita, Kang," ujar Umang Sari keheranan."Jangan khawatir. Jurus kita lebih baik dari mereka," jawab anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah yang ditunjuk Paksi Jingga sebagai pemimpin penyerangan.Manggala yang sangat perhitun
Di pondoknya, gadis yang memiliki kecantikan luar biasa itu duduk di tepi tempat tidur dengan gelisah. Pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya yang padat berisi. Kening licinnya yang berbedak tampak berkeringat. Pelayan tambunnya tidak kalah gelisah. "Siapa yang telah mengacaukan pernikahan kami, Sari?" Mayang bertanya dengan wajah ketakutan. Dia menekan dadanya yang terasa sakit. Si pelayan tambun segera mengambilkan air minum pada momongannya."Nini Mayang jangan khawatir, pasti ketua bisa mengatasi masalah ini. Ketua, Den Senayudha, dan Manggala adalah orang-orang sakti," hibur Sari sembari mengulurkan air minum untuk Mayang. Gadis itu menerima kendi dari tangan pelayannya.Pintu diketuk orang dari luar. Wajah gadis itu pucat dan tangannya gemetar. "Nini jangan takut. Aku akan memeriksanya." Sari membuka sedikit pintu rumah. Di luar seorang wanita berusia empat dada warsa bersama seorang pelayan masih menunggu. Mereka menengok ke kanan d
"Pendekar Pedang Sulur Naga yang memberikan pedang ini padaku. Dia sudah muak dengan sepak terjangmu. Kau sudah mendapat pengampunan darinya, tetapi malah makin tidak tahu diri. Pedang ini sebagai ganti dirinya akan membuatmu merasakan hukuman.""Bohong! Kau pasti hanya ingin menggertak dengan pedang palsu itu!" Dewa Jari Maut berkata ketus. Pendekar Pedang Sulur Naga tidak akan memberikan pedang pusakanya pada sembarang orang. Konon, pedang itu memiliki kekuatan iblis yang bisa menyerap tenaga dalam si pemegangnya.Pedang itu hanya jinak pada pewarisnya. Tidak mungkin pemuda itu pewaris Pedang Sulur Naga. Dewa Jari Maut masih belum bisa menerima kenyataan bahwa pedang di tangan Paksi Jingga adalah Pedang Sulur Naga yang asli."Jadi pedang itu diambil ayah Sekar Pandan sendiri?" Mahisa Dahana bertanya dalam hati. Jika yang mengambil adalah ayahnya sendiri, pasti Umang Sari dan Palasari tahu kedatangan Pendekar Pedang Sulur Naga saat menemui Sekar Pandan.
"Pengecut! Mereka justru pergi di saat kami diserang. Awas kau Resi Chamala!" ancam pemuda itu dalam hati. "Akh!" Semua orang terperanjat saat mendengar pekik kesakitan dari Senayudha. Pemuda itu bergulingan di tanah dengan tangan kanan putus.Di tempat persembunyiannya, Mayang dan ibunya menutupi mulut dengan kedua tangan agar jeritan mereka tidak terdengar oleh para penyerang. Kedua mata mereka berkaca-kaca melihat tangan Senayudha buntung."Kau bayar tangan anakku dengan kedua tanganmu, Bocah!" Dewa Jari Maut murka. Dia melompat menyerang Paksi Jingga dengan jari mautnya. Pedang Sulur Naga berhasil dia cengkeram dengan jari-jari sekuat baja itu.Dewa Jari Maut terus mendorong pedang di tangan Paksi Jingga. Pemuda itupun demikian. Terjadilah saling dorong dengan kekuatan penuh."Aku tidak akan membiarkan diriku kalah untuk kedua kali oleh pedang ini. Justru kau harus membayar semua perbuatanmu beserta bunganya," desis Dewa Jari Maut te
Semua anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah menahan napas dengan cemas. Darah membanjiri tubuh Paksi Jingga.Pemuda itu berkelit saat cakar itu kembali akan merobek tubuhnya. Dengan cepat, Dewa Jari Maut memutar tubuhnya untuk mengubah arah serangan. Perubahan yang dilakukan Dewa Jari Maut demikian cepat dan tidak pernah diduga sebelumnya. Jari-jari tajam itu dengan buas merobek punggungnya.Paksi Jingga terhuyung kesakitan. Sebisa mungkin dia menguasai keseimbangan tubuhnya. Kembali Dewa Jari Maut melayangkan jarinya dengan cepat ke arah wajah Paksi Jingga, sedangkan kakinya menendang pergelangan tangan Paksi Jingga yang memegang Pedang Sulur Naga.Kekuatan tendangan itu membuat Pedang Sulur Naga terpental ke udara. Paksi Jingga yang telah kehilangan pedang pusaka milik Sekar Pandan itu segera melompat hendak menangkapnya. "Kau tidak akan bisa mengambilnya, Bocah!" Dewa Jari Maut melesat ke udara. Kakinya berhasil menendang pedang itu lagi hingg
"Hati dan mulutmu berlawanan," tuduh Paksi Jingga setelah melihat raut wajah adiknya."Haruskah Kakang memfitnahnya?" Mahisa Dahana memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. Saudara tuanya mendekatkan wajah ke telinga Mahisa Dahana seraya berbisik. "Kurasa hanya itu jalan terbaik untuk kita.""Bukan untuk kita, tapi untukmu." Sorot mata yang biasanya tidak bergairah menjalani hidup itu kini tajam menusuk. Dia marah karena ayah temannya difitnah."Aih, Mahisa ... Mahisa. Kau jangan terlalu bodoh jadi orang. Dia telah meninggal, siapa yang akan merasa dirugikan dengan pencemaran namanya?" kilah Paksi Jingga enteng."Sekar Pandan! Kau melupakannya.""Hah! Dia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Gadis bisu itu tidak akan mampu membendung kebencian semua orang kepada ayahnya. Aku yakin, Sekar Pandan akan menerima kenyataan bahwa ayahnya pendendam.""Kakang!"Paksi Jingga berjalan meninggalkan adiknya yang masih mar
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b