"Pengecut! Mereka justru pergi di saat kami diserang. Awas kau Resi Chamala!" ancam pemuda itu dalam hati.
"Akh!" Semua orang terperanjat saat mendengar pekik kesakitan dari Senayudha. Pemuda itu bergulingan di tanah dengan tangan kanan putus.Di tempat persembunyiannya, Mayang dan ibunya menutupi mulut dengan kedua tangan agar jeritan mereka tidak terdengar oleh para penyerang. Kedua mata mereka berkaca-kaca melihat tangan Senayudha buntung."Kau bayar tangan anakku dengan kedua tanganmu, Bocah!" Dewa Jari Maut murka. Dia melompat menyerang Paksi Jingga dengan jari mautnya. Pedang Sulur Naga berhasil dia cengkeram dengan jari-jari sekuat baja itu.Dewa Jari Maut terus mendorong pedang di tangan Paksi Jingga. Pemuda itupun demikian. Terjadilah saling dorong dengan kekuatan penuh."Aku tidak akan membiarkan diriku kalah untuk kedua kali oleh pedang ini. Justru kau harus membayar semua perbuatanmu beserta bunganya," desis Dewa Jari Maut teSemua anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah menahan napas dengan cemas. Darah membanjiri tubuh Paksi Jingga.Pemuda itu berkelit saat cakar itu kembali akan merobek tubuhnya. Dengan cepat, Dewa Jari Maut memutar tubuhnya untuk mengubah arah serangan. Perubahan yang dilakukan Dewa Jari Maut demikian cepat dan tidak pernah diduga sebelumnya. Jari-jari tajam itu dengan buas merobek punggungnya.Paksi Jingga terhuyung kesakitan. Sebisa mungkin dia menguasai keseimbangan tubuhnya. Kembali Dewa Jari Maut melayangkan jarinya dengan cepat ke arah wajah Paksi Jingga, sedangkan kakinya menendang pergelangan tangan Paksi Jingga yang memegang Pedang Sulur Naga.Kekuatan tendangan itu membuat Pedang Sulur Naga terpental ke udara. Paksi Jingga yang telah kehilangan pedang pusaka milik Sekar Pandan itu segera melompat hendak menangkapnya. "Kau tidak akan bisa mengambilnya, Bocah!" Dewa Jari Maut melesat ke udara. Kakinya berhasil menendang pedang itu lagi hingg
"Hati dan mulutmu berlawanan," tuduh Paksi Jingga setelah melihat raut wajah adiknya."Haruskah Kakang memfitnahnya?" Mahisa Dahana memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. Saudara tuanya mendekatkan wajah ke telinga Mahisa Dahana seraya berbisik. "Kurasa hanya itu jalan terbaik untuk kita.""Bukan untuk kita, tapi untukmu." Sorot mata yang biasanya tidak bergairah menjalani hidup itu kini tajam menusuk. Dia marah karena ayah temannya difitnah."Aih, Mahisa ... Mahisa. Kau jangan terlalu bodoh jadi orang. Dia telah meninggal, siapa yang akan merasa dirugikan dengan pencemaran namanya?" kilah Paksi Jingga enteng."Sekar Pandan! Kau melupakannya.""Hah! Dia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Gadis bisu itu tidak akan mampu membendung kebencian semua orang kepada ayahnya. Aku yakin, Sekar Pandan akan menerima kenyataan bahwa ayahnya pendendam.""Kakang!"Paksi Jingga berjalan meninggalkan adiknya yang masih mar
Sayang, bersamaan dengan jatuhnya anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah, kilatan pedang salah satu penyerang mengenai leher Sari. Pelayan setia Mayang itu jatuh ke rerumputan. Dia diam untuk selamanya. Tindakan anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah yang menaruh dendam pada orang-orang anak buah Dewa Jari Maut telah mengajar. Menciptakan perilaku yang kelewat batas. Mereka tidak memberi ampun pada siapa pun. Mereka begitu menikmati pembalasan dendam yang mereka tahan selama bertahun-tahun. Melihat temannya tewas, anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah yang mengejar Nyai Layangsewu dan Mayang geram. Tanpa belas kasihan, orang itu melempar pedangnya dengan disertai pengerahan tenaga dalam ke arah Nyai Layangsewu.Pedang itu melesat lurus menuju punggung istri Dewa Jari Maut. Wanita itu mengejang saat bilah tipis dan panjang itu menerebos tubuhnya. Pegangan tangannya lepas. Mayang keheranan karena tiba-tiba tangan ibunya terlepas dari genggaman tangannya.
Mahisa Dahana duduk bersama Ki Sempana dan Ki Gondo yang saat itu diangkat sebagai penasihat perguruan. Pemuda itu teringat ibunya, Nyai Anjarsewu yang telah meninggal. Seandainya ibunya itu masih hidup, tentu ikut merasakan kebahagiaan hari ini.Paksi Jingga melihat Mahisa Dahana. Adiknya itu memiliki hati lemah. Pantas tadi dia mendapat laporan bahwa dia sengaja membiarkan anak gadis Dewa Jari Maut hidup."Anggap saja hari ini hari bagus karena aku ditetapkan sebagai ketua baru, Mahisa. Akan tetapi, aku tidak akan mengampunimu jika kau melakukan hal bodoh lagi," gumam Paksi Jingga geram dengan tingkah adiknya."Sebenarnya hari ini aku tidak ingin membicarakan hal ini, tapi ini sungguh penting untuk kelangsungan perguruan kita. Manggala dan istrinya berhasil melarikan diri. Untuk itu aku ingin menugaskan seseorang yang paling tepat untuk menangkap mereka." Paksi Jingga tersenyum penuh arti pada semua orang.Semua orang bertanya-tanya. Siapa orang
Mereka memasukkan pedang kembali ke warangkanya. Dengan tersenyum licik, keduanya bermaksud memanfaatkan Raden Prana Kusuma untuk diperas. Mereka yakin, dengan memanfaatkan Senopati itu, uang yang banyak akan mereka dapatkan."Kami akan membantumu, tapi kau harus membayar uang muka terlebih dahulu," ujar si tompel menaikan alisnya. Raden Prana Kusuma tersenyum. Tangannya merogoh pinggang. Kantung kecil berisi keping uang dia lemparkan ke depan dua komplotan Elang Gunung."Ambillah."Mereka tersenyum puas saat membuka kantung dan melihat isinya. Uang itu sangat banyak untuk ukuran uang muka."Baik, kemarilah." Mereka mengajak Raden Prana Kusuma menuju bawah pohon rindang."Gadis bisu itu kami lihat menaiki kuda menuju selatan." Teman si tompel mulai memberi keterangan bohong. Pemuda gagah dan tampan itu diam-diam mengepalkan tangan di belakang punggung."Kalian tahu kemana tujuannya?" tanya Raden Prana Kusuma memancing. Dengan rau
"Itu karena aku sudah menganggap Sekar Pandan sebagai adikku sendiri. Di tanah Jawa Dwipa ini dia tidak memiliki siapapun. Saudara angkatnya sendiri menghilang entah kemana.""Saya tahu, tapi Raden terlalu perhatian padanya. Pantas saja jika Gusti putri Dewi Gayatri cemburu," omel Ludro Gempol. Dia selalu membela gadis yang akan dijodohkan dengan junjungannya itu."Eh? Apa kau bilang? Dia cemburu? Aku adalah pemuda yang tidak bisa memilih calon istriku sendiri karena urusan itu sudah ditangani keluarga istana. Bagaimana dia bisa cemburu?" Mata pemuda itu menatap penuh tanda tanya pada pelayannya. Ludro Gempol hanya mengangkat pundak."Gadis itu pasti beruntung jika mendapatkan hati Raden," cetus Ludro Gempol."Sudahlah. Kembalilah pada Nimas Dewi Gayatri agar tidak cemas.""Raden, jaga dirimu baik-baik." Lelaki tinggi dan gagah itu tidak tega meninggalkan junjungan yang harus dia jaga itu sendirian. Sepeninggal Ludro Gempol, dia
Selasih memiliki pinggang ramping dan tubuh layaknya seorang gadis yang baru mekar menjadi dewasa."Mengapa kalian bercerai? Kau masih muda. Sayang kalau harus berpisah dengan laki-laki yang melindungi kamu," tukas Raden Prana Kusuma. Buru-buru pemuda itu membelokkan kakinya ke kanan saat Selasih tiba-tiba menyuruhnya mengambil jalan kanan."Banyak hal menjadi pemicu perceraian kami. Apakah Kakang Prana belum menikah?" Selasih memberanikan diri."Aku belum menikah," jawab Raden Prana Kusuma. Pemuda itu merunduk saat sulur-sulur tumbuhan bergelayutan di sepanjang jalan. Tiba-tiba dia teringat Sekar Pandan."Perempuan yang mendapatkan Kakang pasti sangat beruntung," gumam Selasih tersenyum manis. Namun, Senopati muda itu tidak beruntung karena dia berada di depan si perempuan.Entah sejak dia berusia berapa warsa terjadi kesepakatan antara orang tuanya dengan keluarga Kerajaan. Mereka membuat kesepakatan bahwa perjodohannya harus diatur kel
"Aku Prana Kusuma mengucapkan terima kasih, Nenek Bunga Seruni," ucap Raden Prana Kusuma tersenyum. Pemuda itu bersandar pada dinding. Dia merasa keadaannya lebih baik. Yang dikatakan Selasih tentang Nenek Bunga Seruni ternyata benar. Wanita itu bukan orang bhumi Majapahit. Dia berasal dari India."Nenek berasal dari India daerah mana?" Dia bertanya dengan halus tapi jelas."Apa pedulimu?" Bukan jawaban yang keluar dari mulutnya tetapi serangan pertanyaan balik."Aku kenal banyak pedagang dari India." Nenek Bunga Seruni menatap wajah Raden Prana Kusuma lekat-lekat. Cahaya dari jendela yang ada di samping pemuda itu menunjukkan raut wajahnya dengan jelas. Wajah itu terkejut."Kau dari kota raja, Anak muda?" Dia bertanya dengan pelan. Sepasang mata lebar dengan celak tebal itu tidak berkedip menatap tamunya."Aku hanya pengembara yang tidak memiliki rumah. Kebetulan aku sering berjumpa dengan orang-orang asing yang masuk ke wilayah Majapahi