Dia mengamati wajah itu lebih seksama. Seingatnya, saudara tirinya memiliki dua putra. Paksi Jingga dan Mahisa Dahana. Jika pemuda ini Paksi Jingga, usianya kurang tua.
"Kau Mahisa Dahana?""Luar biasa. Ternyata paman masih mengingat keponakannya ini. Aku menghormat pada paman Layangsewu," tukas Mahisa Dahana menyatukan kedua tangannya di depan dada. Dewa Jari Maut menahan diri dari rasa kecewa yang dibuat anak buahnya. Mereka gagal melenyapkan Mahisa Dahana yang waktu itu masih sangat kecil. Anak kecil itu sekarang berdiri di depannya, menentangnya. Darahnya mendidih."Wajah paman pucat. Pasti tidak menyangka kalau hari ini aku berada di depanmu. Kedatanganku ke sini ingin meminta kembali perguruan Tangan Seribu secara baik-baik dari paman," ujar Mahisa Dahana tersenyum penuh arti pada Dewa Jari Maut."Paman sudah lama mengurusi perguruan ayahku, pasti telah lelah. Sudah saatnya sekarang paman beristirahat menikmati hari tua. Ingat paman, manusiaMereka juga mengeluarkan jurus yang sama. Namun, gerakan mereka terlihat ganjil dan tidak nyambung seperti milik anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah."Itu jurus Tangan Seribu yang sudah tidak murni. Teman-teman, kita tunjukkan keampuhan jurus Tangan Seribu yang asli pada mereka. Tangan Dewa Memetik Teratai!" Salah satu anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah berteriak lantang untuk segera membuat formasi baru saat menyerang.Anak buah Senayudha dan Manggala juga mengeluarkan Formasi yang sama. Lagi-lagi bentuknya berbeda dan terlihat kaku. Setiap anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah merubah jurus formasi, anak buah Senayudha dan Manggala juga melawannya dengan jurus yang sama."Gila! Mereka juga memiliki semua jurus kita, Kang," ujar Umang Sari keheranan."Jangan khawatir. Jurus kita lebih baik dari mereka," jawab anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah yang ditunjuk Paksi Jingga sebagai pemimpin penyerangan.Manggala yang sangat perhitun
Di pondoknya, gadis yang memiliki kecantikan luar biasa itu duduk di tepi tempat tidur dengan gelisah. Pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya yang padat berisi. Kening licinnya yang berbedak tampak berkeringat. Pelayan tambunnya tidak kalah gelisah. "Siapa yang telah mengacaukan pernikahan kami, Sari?" Mayang bertanya dengan wajah ketakutan. Dia menekan dadanya yang terasa sakit. Si pelayan tambun segera mengambilkan air minum pada momongannya."Nini Mayang jangan khawatir, pasti ketua bisa mengatasi masalah ini. Ketua, Den Senayudha, dan Manggala adalah orang-orang sakti," hibur Sari sembari mengulurkan air minum untuk Mayang. Gadis itu menerima kendi dari tangan pelayannya.Pintu diketuk orang dari luar. Wajah gadis itu pucat dan tangannya gemetar. "Nini jangan takut. Aku akan memeriksanya." Sari membuka sedikit pintu rumah. Di luar seorang wanita berusia empat dada warsa bersama seorang pelayan masih menunggu. Mereka menengok ke kanan d
"Pendekar Pedang Sulur Naga yang memberikan pedang ini padaku. Dia sudah muak dengan sepak terjangmu. Kau sudah mendapat pengampunan darinya, tetapi malah makin tidak tahu diri. Pedang ini sebagai ganti dirinya akan membuatmu merasakan hukuman.""Bohong! Kau pasti hanya ingin menggertak dengan pedang palsu itu!" Dewa Jari Maut berkata ketus. Pendekar Pedang Sulur Naga tidak akan memberikan pedang pusakanya pada sembarang orang. Konon, pedang itu memiliki kekuatan iblis yang bisa menyerap tenaga dalam si pemegangnya.Pedang itu hanya jinak pada pewarisnya. Tidak mungkin pemuda itu pewaris Pedang Sulur Naga. Dewa Jari Maut masih belum bisa menerima kenyataan bahwa pedang di tangan Paksi Jingga adalah Pedang Sulur Naga yang asli."Jadi pedang itu diambil ayah Sekar Pandan sendiri?" Mahisa Dahana bertanya dalam hati. Jika yang mengambil adalah ayahnya sendiri, pasti Umang Sari dan Palasari tahu kedatangan Pendekar Pedang Sulur Naga saat menemui Sekar Pandan.
"Pengecut! Mereka justru pergi di saat kami diserang. Awas kau Resi Chamala!" ancam pemuda itu dalam hati. "Akh!" Semua orang terperanjat saat mendengar pekik kesakitan dari Senayudha. Pemuda itu bergulingan di tanah dengan tangan kanan putus.Di tempat persembunyiannya, Mayang dan ibunya menutupi mulut dengan kedua tangan agar jeritan mereka tidak terdengar oleh para penyerang. Kedua mata mereka berkaca-kaca melihat tangan Senayudha buntung."Kau bayar tangan anakku dengan kedua tanganmu, Bocah!" Dewa Jari Maut murka. Dia melompat menyerang Paksi Jingga dengan jari mautnya. Pedang Sulur Naga berhasil dia cengkeram dengan jari-jari sekuat baja itu.Dewa Jari Maut terus mendorong pedang di tangan Paksi Jingga. Pemuda itupun demikian. Terjadilah saling dorong dengan kekuatan penuh."Aku tidak akan membiarkan diriku kalah untuk kedua kali oleh pedang ini. Justru kau harus membayar semua perbuatanmu beserta bunganya," desis Dewa Jari Maut te
Semua anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah menahan napas dengan cemas. Darah membanjiri tubuh Paksi Jingga.Pemuda itu berkelit saat cakar itu kembali akan merobek tubuhnya. Dengan cepat, Dewa Jari Maut memutar tubuhnya untuk mengubah arah serangan. Perubahan yang dilakukan Dewa Jari Maut demikian cepat dan tidak pernah diduga sebelumnya. Jari-jari tajam itu dengan buas merobek punggungnya.Paksi Jingga terhuyung kesakitan. Sebisa mungkin dia menguasai keseimbangan tubuhnya. Kembali Dewa Jari Maut melayangkan jarinya dengan cepat ke arah wajah Paksi Jingga, sedangkan kakinya menendang pergelangan tangan Paksi Jingga yang memegang Pedang Sulur Naga.Kekuatan tendangan itu membuat Pedang Sulur Naga terpental ke udara. Paksi Jingga yang telah kehilangan pedang pusaka milik Sekar Pandan itu segera melompat hendak menangkapnya. "Kau tidak akan bisa mengambilnya, Bocah!" Dewa Jari Maut melesat ke udara. Kakinya berhasil menendang pedang itu lagi hingg
"Hati dan mulutmu berlawanan," tuduh Paksi Jingga setelah melihat raut wajah adiknya."Haruskah Kakang memfitnahnya?" Mahisa Dahana memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. Saudara tuanya mendekatkan wajah ke telinga Mahisa Dahana seraya berbisik. "Kurasa hanya itu jalan terbaik untuk kita.""Bukan untuk kita, tapi untukmu." Sorot mata yang biasanya tidak bergairah menjalani hidup itu kini tajam menusuk. Dia marah karena ayah temannya difitnah."Aih, Mahisa ... Mahisa. Kau jangan terlalu bodoh jadi orang. Dia telah meninggal, siapa yang akan merasa dirugikan dengan pencemaran namanya?" kilah Paksi Jingga enteng."Sekar Pandan! Kau melupakannya.""Hah! Dia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Gadis bisu itu tidak akan mampu membendung kebencian semua orang kepada ayahnya. Aku yakin, Sekar Pandan akan menerima kenyataan bahwa ayahnya pendendam.""Kakang!"Paksi Jingga berjalan meninggalkan adiknya yang masih mar
Sayang, bersamaan dengan jatuhnya anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah, kilatan pedang salah satu penyerang mengenai leher Sari. Pelayan setia Mayang itu jatuh ke rerumputan. Dia diam untuk selamanya. Tindakan anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah yang menaruh dendam pada orang-orang anak buah Dewa Jari Maut telah mengajar. Menciptakan perilaku yang kelewat batas. Mereka tidak memberi ampun pada siapa pun. Mereka begitu menikmati pembalasan dendam yang mereka tahan selama bertahun-tahun. Melihat temannya tewas, anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah yang mengejar Nyai Layangsewu dan Mayang geram. Tanpa belas kasihan, orang itu melempar pedangnya dengan disertai pengerahan tenaga dalam ke arah Nyai Layangsewu.Pedang itu melesat lurus menuju punggung istri Dewa Jari Maut. Wanita itu mengejang saat bilah tipis dan panjang itu menerebos tubuhnya. Pegangan tangannya lepas. Mayang keheranan karena tiba-tiba tangan ibunya terlepas dari genggaman tangannya.
Mahisa Dahana duduk bersama Ki Sempana dan Ki Gondo yang saat itu diangkat sebagai penasihat perguruan. Pemuda itu teringat ibunya, Nyai Anjarsewu yang telah meninggal. Seandainya ibunya itu masih hidup, tentu ikut merasakan kebahagiaan hari ini.Paksi Jingga melihat Mahisa Dahana. Adiknya itu memiliki hati lemah. Pantas tadi dia mendapat laporan bahwa dia sengaja membiarkan anak gadis Dewa Jari Maut hidup."Anggap saja hari ini hari bagus karena aku ditetapkan sebagai ketua baru, Mahisa. Akan tetapi, aku tidak akan mengampunimu jika kau melakukan hal bodoh lagi," gumam Paksi Jingga geram dengan tingkah adiknya."Sebenarnya hari ini aku tidak ingin membicarakan hal ini, tapi ini sungguh penting untuk kelangsungan perguruan kita. Manggala dan istrinya berhasil melarikan diri. Untuk itu aku ingin menugaskan seseorang yang paling tepat untuk menangkap mereka." Paksi Jingga tersenyum penuh arti pada semua orang.Semua orang bertanya-tanya. Siapa orang