"Kau menggantungnya?" Tangan berkulit kuning buah langsat itu bergerak membentuk isyarat. Raden Prana Kusuma terdiam. Cuping telinganya bergerak-gerak. Di antara gemericik air sungai dia mendengar langkah kaki menginjak daun-daun kering. Saat kepalanya menoleh, tiga lelaki yang bertugas menjaga keamanan Pesanggrahan Nyimas berlompatan di atas batu-batu sungai.
Sekar Pandan mengenali dua lelaki di antara mereka. Semalam dia telah menghajar mereka hingga masuk semak belukar. Tangan gadis itu mengepal dengan gemas. Sorot matanya tajam."Mereka Algojo Pesanggrahan Nyimas. Mau apa mereka ke sini?" gumam Raden Prana Kusuma. Pemuda itu mencium ada sesuatu yang ganjil atas kedatangan mereka.Tiga orang itu berdiri tepat di atas batu berjarak tiga tombak di depan Raden Prana Kusuma dan Sekar Pandan. Salah satu lelaki memelintir kumis tebalnya. Dua temannya memindai tubuh Sekar Pandan dari atas kepala hingga bawah."Rupanya kau di sini, gadis penyusup!" benSetelah puas menyampaikan isi hatinya, gadis berjuluk Dewi Bunga Malam itu pergi. Nyimas Tunjung tak mampu menahan karena dia masih kaget dengan pemandangan di depannya. Tanpa sengaja, matanya menangkap sebuah benda pusaka terselip di pinggang Sekar Pandan. Keris Naga Kemala menarik perhatiannya selain keanehan diri si gadis."Dia gadis bisu? Oh, Kakang Prana Kusuma. Kenapa kau memilih gadis seperti dia?" gumamnya tidak percaya. "Dan keris pusaka itu. Aku ingat dengan tokoh persilatan yang memiliki senjata keris bergagang kemala. Aih, kenapa aku lupa pendekar itu?"Nyimas Tunjung terus mengingat pemilik keris seperti yang dibawa Sekar Pandan. Tempatnya ini selalu dikunjungi orang-orang penting. Baik dari dunia persilatan maupun kerajaan. Tak heran jika telinganya selalu mendapat kabar apa saja dari mereka. Bahkan kabar yang disimpan Telik sandi kerajaan pun bisa dia korek. Dalam pelukan wanita itu, mereka akan mengatakan semuanya. Sekar Pandan berjalan te
Diam-diam gadis berambut hitam dan panjang bergelombang itu melirik semua tamu. Jantungnya berdegup kencang. Mereka semua terlihat menyimak ucapan orang itu."Aku tidak peduli dia mendapat dukungan Pendekar Pedang Sulur Naga atau tidak," sahut Ki Pring Ireng tenang sambil tetap menikmati minumannya. Lelaki itu memang seperti telah mabuk, tetapi pikiran dan tubuhnya masih segar bugar."Aku juga tidak peduli dengan pendekar plin plan itu. Dulu dia pura-pura menjadi pendekar budiman yang selalu menolong yang lemah. Toh akhirnya sekarang dia menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Dia memang pengecut!" Orang itu makin ketus memaparkan masa lalu Pendekar Pedang Sulur Naga di hadapan para pengunjung Pesanggrahan Nyimas. Darah Sekar Pandan mendidih. Gadis itu memang kurang begitu tahu tentang sepak terjang ayahnya di Jawa Dwipa ini. Namun, jika ada yang menjelekkan nama ayahnya, dia akan memberi pelajaran pada orang itu.Sekar Pandan mengepalkan tangan d
Sekar Pandan terus mendekati Iblis Penyedot Nyawa. Lelaki yang telah kehilangan gigi-giginya itu mendengkus marah. Dia memang tokoh dari golongan dunia persilatan yang membingungkan. Dilihat dari tingkah polahnya pada wanita, sudah dipastikan dia dari golongan hitam. Namun, semua temannya dari golongan putih. Bahkan bicaranya seolah membela tokoh-tokoh persilatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai budi luhur dan kehormatan seorang pendekar.Tangan kanannya yang terhalang meja kayu berputar pelan. Saat tangan itu berputar, sebuah asap hitam tipis keluar dari sela jarinya. Bola mata hitamnya terus mengawasi gerak gerik gadis remaja yang makin mendekat dengan senyum mengejek. Itu bukan senyum kawan yang ingin bergabung untuk menghukum Pendekar Pedang Sulur Naga. "Siapa kau, Gadis kecil?" desisnya dengan mulut berdarah.Sekar Pandan tetap tersenyum manis padanya. Langkahnya ringan. Semua mata memperhatikan gadis itu. Nyimas Tunjung yang penasaran dengan Sekar
"Kalian tidak akan bisa lari dari kami!" Ki Pring Ireng berjumpalitan di atas kepala Raden Prana Kusuma dan Sekar Pandan yang terluka. Lelaki berkulit gelap karena panas matahari itu berdiri tegak di hadapan mereka. Tidak lama kemudian Pendekar Tongkat Genta Emas juga telah sampai.Dua pendekar tangguh ini memiliki ilmu berlari cepat di atas para pendekar yang lain. Ki Pring Ireng menatap Sekar Pandan yang terhuyung karena luka di punggungnya."Kau Dewi Bunga Malam?" tanyanya. Sekar Pandan meringis menahan sakit. Gadis itu merasakan bahwa pisau yang masih menancap di punggungnya mengandung racun. Dia mencari sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Gadis berkalung kerang itu menelan sebutir obat pulung yang bisa menawarkan racun."Kau pemilik Pedang Sulur Naga. Jangan-jangan kau dan Mahisa Aji telah bekerja sama untuk membantu Paksi Jingga merebut perguruan Tangan Seribu." Pendekar Tongkat Genta Emas menuduh Sekar Pandan dengan suara lantang.Nyimas
Sekar Pandan merapikan rambut panjangnya setelah itu digelung jadi satu ke atas. Sebuah ranting kering yang ia temukan di dekat kakinya, disematkan ke gelungan ala kadarnya. Melihat itu, Raden Prana Kusuma teringat cara Putri Dewi Gayatri menggelung rambutnya hingga terlihat rapi.Tanpa meminta persetujuan si gadis, tangannya melepas gelung rambut Sekar Pandan. Sekar Pandan melotot tak suka."Diamlah. Aku hanya ingin merapikan gelung rambutmu." Pemuda berkulit bersih itu mulai memainkan tangannya untuk membuat rambut panjang dan tebal itu rapi. Menggelung rambut wanita ternyata tidak semudah perkiraan. Pikirannya terus mengingat gerakan tangan teman kecilnya saat menggelung rambut. Berkali-kali rambut itu digelung, berkali-kali juga rambut Sekar Pandan terlepas kembali.Sekar Pandan segera meraih tangan Raden Prana Kusuma untuk berhenti. Gadis itu menggeleng. "Tenang saja. Aku pasti bisa merapikan rambutmu. Hanya saja ... kau harus diam dan bersabar."
Sekar Pandan menatap iba pada Mayang. Selama ini pasti dia hidup terlunta-lunta di luar rumah. Dia bisa merasakan kepedihan hidup yang dialami gadis itu. Bedanya, dia hanya kehilangan satu orang yang telah dia anggap saudara. Sedangkan gadis berwajah cantik dan manis itu mungkin lebih dari dirinya."Kita tidak boleh terlalu lama di tempat ini. Mereka bisa menemukan kita. Ayo, kita pergi," ajak Raden Prana Kusuma bangkit berdiri. Dia menengok ke segala arah, seperti khawatir ada musuh yang tiba-tiba datang."Nini Mayang, ikutlah bersama kami." Mayang ragu. Sekar Pandan segera menggamit lengan gadis itu dan mengajak pergi. Mereka menyusuri semak belukar yang rapat. Raden Prana Kusuma berjalan paling depan dengan membawa kayu kering sebesar lengan anak kecil. Pemuda itu bertugas menyibak semak untuk membuat jalan. Sekar Pandan yang berjalan paling akhir pun membawa kayu kering untuk melakukan hal yang sama dengan Raden Prana Kusuma. Sesekali tangan
"Kau ... " Kata-kata itu tidak dilanjutkan Mayang. Gadis itu tidak percaya sekaligus iba pada nasib Sekar Pandan. Wajah cantik itu menatap tidak percaya pada Sekar Pandan. "Bagaimana bisa kau mengalami ini, Sekar Pandan?"Sekar Pandan menjawab pertanyaan gadis itu dengan tersenyum. Baginya, bisa berbicara atau tidak sekarang tidak penting. Yang paling penting dalam hidupnya saat ini hanya mengembalikan nama baik ayahnya karena ulah Paksi Jingga. Entah kenapa dia merasa malas menemui Elang Gunung. Corah yang telah membubuhi minumannya dengan racun warangan dan mencuri pedang pusakanya.Sekarang sudah jelas. Semua kejadian yang menimpanya disebabkan oleh Paksi Jingga. Bisa jadi dia meminta corah licin, seperti komplotan Elang Gunung untuk mengambil Pedang Sulur Naga dan meracuninya. Orang itu memang culas. Isi kepalanya hanya balas dendam. Dia tidak perduli dengan keselamatan orang lain. Padahal dia tahu, Sekar Pandan banyak berjasa pada perkumpulan Sapu Tangan Merah
Putri Dewi Gayatri menatap Mayang dan Sekar Pandan yang baru saja datang. Wajah gadis berwajah manis itu tampak lebih segar dan bersih. Kain pun telah diganti oleh pemilik rumah dengan kain bersih. Dia baru saja mandi di pakiwan yang ada di belakang rumah. Selasih hanya melirik sekilas pada Mayang. Mereka melanjutkan makan dengan tanpa bicara. Malam harinya, Raden Prana Kusuma mengajak semua temannya untuk duduk bersama. Pemilik rumah menyediakan sebuah balai kosong yang ada di samping rumah utama. Sambil duduk bersila beralaskan tikar pandan, mereka mulai mengobrol. Sebenarnya Raden Prana Kusuma hanya ingin mengajak Sekar Pandan membicarakan masalah perguruan Tangan Seribu, tetapi di tempat itu ada Mayang. Gadis itu satu-satunya orang dari perguruan tersebut yang hadir di tempat ini. Rasanya sayang kalau tidak diikut sertakan.Begitu juga dengan Selasih. Dia juga berhubungan dengan komplotan Elang Gunung. Sedangkan untuk Ludro Gempol dan Putri Dewi Gayatri, dia r