"Kapan kau akan menemukan seorang gadis? Prana Kusuma telah menemukan calon pendampingnya." Nenek Bunga Seruni menyusun perkakas di dalam rak kayu.
"Ibu. Aku belum bisa mencari gadis lain sebelum membalaskan kematiannya." Asta Renggo mengambil air minum dari kendi lalu meminumnya."Kau sendiri belum punya bukti. Bagaimana membalas dendam?" sindir Nenek Bunga Seruni melirik anak lelakinya."Sudahlah, Bu. Mungkin besuk aku harus melaksanakan rencanaku yang tertunda karena menolong Sekar Pandan," ujar Asta Renggo seraya meletakkan kendi dari tanah liat ke meja. Pisang rebus yang terhidang di piring tanah liat menggugah seleranya. Pemuda itu mengupas pisang rebus yang disuguhkan ibunya.Asta Renggo ingat, gara-gara menolong Sekar Pandan yang keracunan, dia mengurungkan perjalanan menyelidiki kematian sang kekasih. Berhubung keadaan Sekar Pandan kini telah pulih, dia bisa pergi mencari pembunuh gadis yang dicintainya."Kurasa itu lebih baik. I"Kau mengambil lepih milik Guru?" Selasih mencoba memancing Sekar Pandan yang lugu. Gadis itu menggeleng sambil menguatkan ikatan pada kain."Lalu bagaimana kau bisa mendapatkan lepih itu?" Selasih bertanya lagi. Sekar Pandan menatap manik mata perempuan di depannya. Tatapan perempuan itu penuh curiga. Sekar Pandan tidak peduli. Gadis itu justru mendekap kitab Godhong Usodo miliknya."Dasar pencuri! Kau ke sini pasti ingin mencuri barang-barang berharga milik Guru. Gadis tidak berterima kasih." Selasih menuduh Sekar Pandan dengan berapi-api. Sekar Pandan terperanjat. Dia tidak menyangka kalau Selasih menuduhnya sebagai corah, pencuri yang sangat dibenci kerajaan."Aku ... bukan ... Corah!" Mulut Sekar Pandan bergerak pelan. Namun, suaranya tetap tidak keluar. Gadis itu bisu bukan dari lahir, tetapi bisu karena kehilangan suara akibat ramuan obat yang diberikan oleh salah satu ayah angkatnya. Seorang datuk persilatan yang berwatak aneh. Jadi, tent
Malam ini dia bekerja keras mempelajari isi kitab. Yang dikhawatirkan Sekar Pandan dan Raden Prana Kusuma terbukti. Malam itu, Selasih menutupi tubuh atasnya dengan selimut hitam. Tidak lupa wajahnya ditutupi kain hitam pula.Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, perempuan itu melesat ke atas atap rumah yang telah berlubang. Kaki tanpa alas itu berjalan mengendap-endap di atap rumah. Angin malam yang dingin menyapa wajahnya. Dia menuju atap kamar Sekar Pandan.Pelan, tangannya membuka genting atap kamar Sekar Pandan. Di bawah sana, gadis yang menebarkan bau harum alami itu masih membaca lepih. Bibir Selasih tersenyum lebar. "Sebentar lagi kitab itu akan menjadi milikku."Selasih mencoba ikut membaca lepih di tangan Sekar Pandan dari atas. Jarak yang jauh dan terbatasnya pencahayaan, membuat perempuan itu kesusahan dalam membaca. Itu makin membuat dia penasaran ingin membacanya. Tanpa sadar, tangannya menggeser genting. Selasih me
"Kau tidak punya hak berbicara," sentak Nenek Bunga Seruni berang. Wanita itu tidak suka ada orang luar turut campur dalam urusan pribadinya."Dia gadis yang aku cintai, tentu berhak membelanya," bantah Raden Prana Kusuma tidak mau kalah. Nenek Bunga Seruni melotot. Matanya yang lebar makin lebar dan menyeramkan."Kalian semua ingin melawanku?! Majulah. Aku tidak gentar menghadapi kalian." Nenek Bunga Seruni kembali memasang kuda-kuda. Darahnya mendidih karena orang-orang muda ini mulai berani padanya.Melihat kemarahan gurunya, Sekar Pandan menjatuhkan diri bersimpuh di depan Nenek Bunga Seruni. Gadis belasan warsa itu menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Wajah jelitanya mendongak dan memelas. Nenek Bunga Seruni memalingkan muka dengan tidak suka."Walaupun kau duduk bersimpuh seharian, itu tidak akan mengubah pendirianku, Sekar Pandan," gumam wanita tua itu ketus."Nenek Bunga Seruni, aku mengenal banyak penggawa di istana Maj
Selasih terus berlari memanggul tubuh Sekar Pandan yang pingsan. Sinar bulan separuh membantu wanita cantik itu mengenali jalan di Lembah Seribu Bunga. Dia berlari mengikuti arah cahaya bulan. Sesekali melompati semak bunga liar atau kayu kering yang tumbang.Sekar Pandan yang berada di atas pundak Selasih mulai memejamkan matanya. Gadis bisu itu mengerahkan hawa murni untuk melepaskan totokan Selasih ditubuhnya. Usahanya berhasil. Perlahan kekuatan totokan Selasih memudar. Saat Selasih berhenti karena kecapekan, Sekar Pandan menekan punggung perempuan itu untuk tumpuan. Selanjutnya dia melenting ke udara. Beberapa kali membuat gerakan indah. Selendang sutera jingga melesat ke atas pohon. Ujung selendang itu membelit batang pohon.Selasih terkejut melihat tubuh Sekar Pandan telah bergelayutan di atas pohon. Kedua kaki gadis itu menapak tanah dengan ringan."Kau! ... Kau bisa melepaskan totokanku?"Sekar Pandan tersenyum lebar. Gadis berg
Selasih diam kembali. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Tangannya mencengkeram gagang pedang pendek dengan kuat. Ada gejolak perasaan yang sulit diungkapkan."Kau mengkhianati aku, Selasih. Kau telah menjadi penyebab terbunuhnya anak keduaku. Aku masih mengampuni dosa-dosamu kala itu hingga sekarang."Sinar mata Selasih tampak gelisah. Dia membenarkan ucapan gurunya. Sejauh ini Nenek Bunga Seruni memang tidak pernah memburunya untuk balas dendam.Nenek Bunga Seruni terkikik. Suaranya menyimpan kepahitan hidup. "Kurasa aku adalah ibu paling bodoh di seluruh Jawa Dwipa karena membiarkan pembunuh putranya masih bergentayangan menebar kejahatan. Bagaimana menurutmu, Selasih?"Selasih terhuyung. Perempuan itu tahu arti kata-kata gurunya. Dia memang tidak pantas untuk diampuni. Namun, gurunya juga tidak pantas dipanggil guru. Pengorbanan, pengabdian, dan kepatuhannya selama bertahun-tahun di Lembah Seribu Bunga hanya mendapat imbalan tak seberapa.
"Berdiri!"Selasih perlahan menoleh ke arah Nenek Bunga Seruni. Perempuan muda berusia dua puluhan warsa itu bangun. Kedua genggaman tangannya penuh serpihan lepih. Mata sembab dan merah itu menatap Nenek Bunga Seruni dan Asta Renggo dengan pandangan tak bersemangat."Kau sudah menghancurkan masa depanku, Biyung," desisnya. "Kau tidak punya hati nurani. Mungkin hatimu juga kau tutupi topeng ketakutan seperti wajahmu!"Kata-kata yang dilontarkan perempuan masih memakai penutup wajah itu bagai petir di tengah malam. Nenek Bunga Seruni terperanjat. Demikian pula dengan Asta Renggo. Namun demikian, keduanya berusaha menutupi keterkejutan yang diciptakan Selasih.Nenek Bunga Seruni merasa anak angkat yang dia besarkan itu sudah melampaui batas. Dia wajib memberi hukuman atasnya."Selasih, tutup mulutmu!" Teriakan Nenek Bunga Seruni menghentikan langkah Sekar Pandan dan Raden Prana Kusuma yang telah agak jauh dari mereka. Keduanya sal
"Nenek Bunga Seruni tidak setua aslinya?" Raden Prana Kusuma bergumam heran. Dia yang sering menghadapi banyak orang di luar kota raja masih dapat diperdaya si nenek. Sekar Pandan menghentikan gerakannya. Gadis itu teringat kata-kata Nenek Bunga Seruni saat tengah mengobati dirinya yang keracunan. Wanita itu pernah ditolong kedua orang tuanya saat akan melahirkan anak kedua."Itu berarti usia Nenek Bunga Seruni yang sebenarnya masih muda, Raden." Sekar Pandan menuliskan aksara di telapak tangan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu mengangguk. Kembali ujung jari gadis itu menggurat aksara di telapak tangan hangat milik si pemuda."Hm. Wajahnya rusak, Sekar. Mungkin itu sebabnya dia memakai topeng. Aku mencemaskan masa lalunya," bisik Raden Prana Kusuma. Masa lalu pahit sang nenek ada hubungannya dengan ayahnya. Kepingan kenangan yang tidak ingin dia ingat sama sekali. Menyebabkan dia menjadi orang lain.Sekar Pandan menatapnya sekilas. Gadis itu tidak mengerti de
Saat tahu Selasih mundur karena tidak sanggup melawan guru sekaligus ibu angkatnya, Raden Prana Kusuma mengatakan pada Sekar Pandan akan menolong perempuan itu. Sementara itu, Sekar Pandan menghentikan Nenek Bunga Seruni.Raden Prana Kusuma langsung menyambar tubuh lemah Selasih dan membawanya bersembunyi, saat Nenek Bunga Seruni mengejarnya. Dia membawa perempuan itu bersembunyi di balik pohon tua besar. Tempat persembunyian mereka hampir saja ketahuan kalau Sekar Pandan tidak membuat suara berisik."Aku harus keluar. Hanya Biyung yang bisa mengobatiku," gumam Selasih menahan sakit. Tubuhnya terasa dingin dan aneh. Dia tidak ingin mati saat ini."Jangan. Itu hanya gertakan Asta Renggo padamu. Kau jangan percaya. Lihat yang tergenggam di tangan pemuda itu. Begitu kau keluar, cundrik itu akan dibenamkan ke tubuhmu." Dari mata Selasih meleleh air hangat. Dia memang pantas mati. Tidak seharusnya kebaikan mereka ia balas dengan kelicikan. Diam-diam Selasih me