"Berdiri!"
Selasih perlahan menoleh ke arah Nenek Bunga Seruni. Perempuan muda berusia dua puluhan warsa itu bangun. Kedua genggaman tangannya penuh serpihan lepih. Mata sembab dan merah itu menatap Nenek Bunga Seruni dan Asta Renggo dengan pandangan tak bersemangat."Kau sudah menghancurkan masa depanku, Biyung," desisnya. "Kau tidak punya hati nurani. Mungkin hatimu juga kau tutupi topeng ketakutan seperti wajahmu!"Kata-kata yang dilontarkan perempuan masih memakai penutup wajah itu bagai petir di tengah malam. Nenek Bunga Seruni terperanjat. Demikian pula dengan Asta Renggo. Namun demikian, keduanya berusaha menutupi keterkejutan yang diciptakan Selasih.Nenek Bunga Seruni merasa anak angkat yang dia besarkan itu sudah melampaui batas. Dia wajib memberi hukuman atasnya."Selasih, tutup mulutmu!"Teriakan Nenek Bunga Seruni menghentikan langkah Sekar Pandan dan Raden Prana Kusuma yang telah agak jauh dari mereka. Keduanya sal"Nenek Bunga Seruni tidak setua aslinya?" Raden Prana Kusuma bergumam heran. Dia yang sering menghadapi banyak orang di luar kota raja masih dapat diperdaya si nenek. Sekar Pandan menghentikan gerakannya. Gadis itu teringat kata-kata Nenek Bunga Seruni saat tengah mengobati dirinya yang keracunan. Wanita itu pernah ditolong kedua orang tuanya saat akan melahirkan anak kedua."Itu berarti usia Nenek Bunga Seruni yang sebenarnya masih muda, Raden." Sekar Pandan menuliskan aksara di telapak tangan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu mengangguk. Kembali ujung jari gadis itu menggurat aksara di telapak tangan hangat milik si pemuda."Hm. Wajahnya rusak, Sekar. Mungkin itu sebabnya dia memakai topeng. Aku mencemaskan masa lalunya," bisik Raden Prana Kusuma. Masa lalu pahit sang nenek ada hubungannya dengan ayahnya. Kepingan kenangan yang tidak ingin dia ingat sama sekali. Menyebabkan dia menjadi orang lain.Sekar Pandan menatapnya sekilas. Gadis itu tidak mengerti de
Saat tahu Selasih mundur karena tidak sanggup melawan guru sekaligus ibu angkatnya, Raden Prana Kusuma mengatakan pada Sekar Pandan akan menolong perempuan itu. Sementara itu, Sekar Pandan menghentikan Nenek Bunga Seruni.Raden Prana Kusuma langsung menyambar tubuh lemah Selasih dan membawanya bersembunyi, saat Nenek Bunga Seruni mengejarnya. Dia membawa perempuan itu bersembunyi di balik pohon tua besar. Tempat persembunyian mereka hampir saja ketahuan kalau Sekar Pandan tidak membuat suara berisik."Aku harus keluar. Hanya Biyung yang bisa mengobatiku," gumam Selasih menahan sakit. Tubuhnya terasa dingin dan aneh. Dia tidak ingin mati saat ini."Jangan. Itu hanya gertakan Asta Renggo padamu. Kau jangan percaya. Lihat yang tergenggam di tangan pemuda itu. Begitu kau keluar, cundrik itu akan dibenamkan ke tubuhmu." Dari mata Selasih meleleh air hangat. Dia memang pantas mati. Tidak seharusnya kebaikan mereka ia balas dengan kelicikan. Diam-diam Selasih me
"Kau tidak ingin aku temani?" Sekar Pandan diam. Dia tidak tahu cara menjelaskan pada gurunya ini. Melihat sikap gadis remaja di depannya kebingungan, Asta Renggo tersenyum."Baiklah. Mungkin kau masih ingin di sini karena belum ingin pergi. Aku akan menunggumu di bawah pohon itu." Pemuda tampan dengan jambang lebat itu menarik kudanya menuju pohon besar. Sekar Pandan berlari mengejar, kuda tunggangannya ditinggal begitu saja. Gadis itu mencoba menjelaskan pada Asta Renggo. "Kau memintaku berangkat sendirian?" Wajah tampan itu keheranan.Sekar Pandan mengangguk pelan."Bagaimana denganmu? Kau akan mencari pedangmu sendiri? Rimba persilatan cukup berbahaya untuk gadis sepertimu."Sekar Pandan sedikit tersinggung dengan kata-kata Asta Renggo. Wajahnya mendongak, dadanya dibusungkan. Dia seperti ingin menantang siapa saja yang berniat menghalanginya. Tangan kecil berkulit kuning langsat itu segera membuat gerakan isyarat bahwa dia berani me
Luka membiru itu ditoreh dengan cundrik ukuran sangat kecil. Darah hitam merembes dari luka torehan. Kembali jari-jarinya menotok titik-titik syaraf di sekitar luka di pundak Selasih. Dengan dialasi dedaunan di pinggangnya, jari-jari lentik dan meruncing itu menekan luka Selasih hingga darah yang bercampur beracun keluar.Racun akibat cakaran Nenek Bunga Seruni sangat ganas. Sekar Pandan tidak ingin ikut terkena racun dari darah perempuan yang tengah ditolongnya. Sekar Pandan melakukan itu berulang kali hingga darah yang keluar dari luka di pundak Selasih berwarna merah.Keringat Sekar Pandan membasahi kening dan leher jenjangnya. Gadis itu mengeluarkan tenaga luar untuk mengeluarkan racun. Selasih membuka mata dengan lemah setelah totokannya dibuka kembali."Kau ..." Perempuan itu ingin bangun. Punggungnya yang tengah disandarkan pada batang pohon terasa pegal, tetapi tubuhnya terasa tak bertenaga. Sekar Pandan melarangnya untuk bangun."Di m
Keadaan Raden Prana Kusuma yang tadi kelelahan akibat menyalurkan hawa murni pada Selasih langsung terobati setelah meminum air dingin pemberian Sekar Pandan."Mungkinkah Sekar Pandan juga merasakan kekuatan air Sungai Dingin?" Pemuda itu bertanya dalam hati. Kekuatan Sekar Pandan dalam hal kanuragan memang mengalami kemajuan pesat setelah berada di tempat indah ini.Dia diam saja saat ujung selendang sutera jingga itu menyeka keringat di kening, leher, dan dadanya. Sekar Pandan begitu perhatian. Dengan lembut dan senyum penuh cinta kasih, Raden Prana Kusuma menggenggam jemari gadisnya."Terima kasih sekali lagi, Sekar." Sekar Pandan tersenyum tipis setelah itu menarik tangannya dari genggaman pemuda yang ia cintai. Kedua pipinya bersemu merah. Namun, sebenarnya hati gadis jelita itu tengah panas karena cemburu. Raden Prana Kusuma yang tidak berpengalaman dalam hal memahami gadis hanya diam dan justru duduk bersemadi.Muda mudi itu merawat Selasih
Di belakang lelaki berkulit legam, lelaki berperut buncit dan berwajah bopeng mengikutinya. Kaki kiri orang itu dinaikkan ke kursi di samping Selasih. Perempuan itu melotot garang."Tidak sopan. Mau apa kalian?" Selasih mulai berang. Sekar Pandan yang duduk di sampingnya tetap tenang menyelesaikan suapan terakhir. Gadis itu tidak ingin membuat keributan di kedai yang ramai ini."Kami tidak akan melakukan apa-apa selama kalian bersikap manis pada Dua Setan dari Gunung Tengkorak." Lelaki berperut buncit tersenyum lebar. Deretan gigi kuning kehitaman menghiasi wajah seramnya membuat perut Selasih mual."Siapa namamu, Manis?" tanya si perut buncit pada Sekar Pandan karena gadis itu lebih cantik dan muda dari Selasih. Sekar Pandan tidak menjawab. Dia justru mengambil buntalan kain milik Raden Prana Kusuma dan miliknya. Dua buntalan kain itu ia dekap erat."Kau takut aku akan mencuri bekalmu?" tanya lelaki pembawa golok tersenyum genit. Sekar Pandan tet
Sekar Pandan ragu ingin melontarkan pertanyaan. Wanita yang mulai beruban itu tetap menunggunya dengan sabar. Bunyi kayu dimakan api terdengar mengisi keheningan dapur malam itu."Apa yang bisa aku bantu, Nini?" Dia bertanya kembali. Sekar Pandan memainkan ujung rambutnya sambil menunduk. Dia tidak tahu cara bertanya pada wanita itu. Kalau memakai gerakan tangan, dia takut hanya cemooh yang didapat. Kalau lewat aksara hanya sedikit orang yang tahu. "Di mana letak Pesanggrahan Nyimas." Sekar Pandan akhirnya mulai mengguratkan aksara demi aksara di telapak tangan si wanita. Wanita berpipi cekung itu bergidik saat telapak tangannya merasakan goresan jari Sekar Pandan. Ada rasa geli di telapak tangannya."Apa yang Nini lakukan?" Dia tertawa.Sekar Pandan akhirnya menghentikan tulisannya. Dia menatap raut wajah istri pemilik kedai yang kegelian. Perkiraannya benar. Wanita desa itu tidak tahu aksara."Nini ingin bergurau?" Sekar Pandan menggel
Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, gadis berselendang jingga itu melesat ringan bagai kain yang tertiup angin. Sekar Pandan menapakkan kakinya yang tanpa alas ke batang pohon yang lebih dekat dengan bangunan Pesanggrahan Nyimas. Cekatan tubuhnya memanjat lebih tinggi.Dari tempatnya ini dia lebih leluasa mengamati keadaan bangunan yang indah, terang, dan ramai. Makin dekat, tawa dan canda para laki-laki hidung belang dan wanita penjaja cinta makin terdengar jelas. Jantung gadis berjuluk Dewi Bunga Malam berdegup kencang. Dia membayangkan Raden Prana Kusuma dan para perempuan lah yang tengah tertawa di dalam."Bagaimana caraku agar bisa masuk ke sana?" Dia mulai gelisah. Api cemburu mulai merayapinya. Perlahan kakinya turun. Dia ingin masuk ke sana layaknya para tamu."Hei, siapa itu!" Dari bawah pohon terdengar bentakan nyaring yang ditujukan kepadanya. Sekar Pandan mengintip dari celah ranting dan pohon. Ada dua laki-laki berotot tengah mendongak