"Kau tidak ingin aku temani?" Sekar Pandan diam. Dia tidak tahu cara menjelaskan pada gurunya ini. Melihat sikap gadis remaja di depannya kebingungan, Asta Renggo tersenyum.
"Baiklah. Mungkin kau masih ingin di sini karena belum ingin pergi. Aku akan menunggumu di bawah pohon itu." Pemuda tampan dengan jambang lebat itu menarik kudanya menuju pohon besar.Sekar Pandan berlari mengejar, kuda tunggangannya ditinggal begitu saja. Gadis itu mencoba menjelaskan pada Asta Renggo. "Kau memintaku berangkat sendirian?" Wajah tampan itu keheranan.Sekar Pandan mengangguk pelan."Bagaimana denganmu? Kau akan mencari pedangmu sendiri? Rimba persilatan cukup berbahaya untuk gadis sepertimu."Sekar Pandan sedikit tersinggung dengan kata-kata Asta Renggo. Wajahnya mendongak, dadanya dibusungkan. Dia seperti ingin menantang siapa saja yang berniat menghalanginya. Tangan kecil berkulit kuning langsat itu segera membuat gerakan isyarat bahwa dia berani meLuka membiru itu ditoreh dengan cundrik ukuran sangat kecil. Darah hitam merembes dari luka torehan. Kembali jari-jarinya menotok titik-titik syaraf di sekitar luka di pundak Selasih. Dengan dialasi dedaunan di pinggangnya, jari-jari lentik dan meruncing itu menekan luka Selasih hingga darah yang bercampur beracun keluar.Racun akibat cakaran Nenek Bunga Seruni sangat ganas. Sekar Pandan tidak ingin ikut terkena racun dari darah perempuan yang tengah ditolongnya. Sekar Pandan melakukan itu berulang kali hingga darah yang keluar dari luka di pundak Selasih berwarna merah.Keringat Sekar Pandan membasahi kening dan leher jenjangnya. Gadis itu mengeluarkan tenaga luar untuk mengeluarkan racun. Selasih membuka mata dengan lemah setelah totokannya dibuka kembali."Kau ..." Perempuan itu ingin bangun. Punggungnya yang tengah disandarkan pada batang pohon terasa pegal, tetapi tubuhnya terasa tak bertenaga. Sekar Pandan melarangnya untuk bangun."Di m
Keadaan Raden Prana Kusuma yang tadi kelelahan akibat menyalurkan hawa murni pada Selasih langsung terobati setelah meminum air dingin pemberian Sekar Pandan."Mungkinkah Sekar Pandan juga merasakan kekuatan air Sungai Dingin?" Pemuda itu bertanya dalam hati. Kekuatan Sekar Pandan dalam hal kanuragan memang mengalami kemajuan pesat setelah berada di tempat indah ini.Dia diam saja saat ujung selendang sutera jingga itu menyeka keringat di kening, leher, dan dadanya. Sekar Pandan begitu perhatian. Dengan lembut dan senyum penuh cinta kasih, Raden Prana Kusuma menggenggam jemari gadisnya."Terima kasih sekali lagi, Sekar." Sekar Pandan tersenyum tipis setelah itu menarik tangannya dari genggaman pemuda yang ia cintai. Kedua pipinya bersemu merah. Namun, sebenarnya hati gadis jelita itu tengah panas karena cemburu. Raden Prana Kusuma yang tidak berpengalaman dalam hal memahami gadis hanya diam dan justru duduk bersemadi.Muda mudi itu merawat Selasih
Di belakang lelaki berkulit legam, lelaki berperut buncit dan berwajah bopeng mengikutinya. Kaki kiri orang itu dinaikkan ke kursi di samping Selasih. Perempuan itu melotot garang."Tidak sopan. Mau apa kalian?" Selasih mulai berang. Sekar Pandan yang duduk di sampingnya tetap tenang menyelesaikan suapan terakhir. Gadis itu tidak ingin membuat keributan di kedai yang ramai ini."Kami tidak akan melakukan apa-apa selama kalian bersikap manis pada Dua Setan dari Gunung Tengkorak." Lelaki berperut buncit tersenyum lebar. Deretan gigi kuning kehitaman menghiasi wajah seramnya membuat perut Selasih mual."Siapa namamu, Manis?" tanya si perut buncit pada Sekar Pandan karena gadis itu lebih cantik dan muda dari Selasih. Sekar Pandan tidak menjawab. Dia justru mengambil buntalan kain milik Raden Prana Kusuma dan miliknya. Dua buntalan kain itu ia dekap erat."Kau takut aku akan mencuri bekalmu?" tanya lelaki pembawa golok tersenyum genit. Sekar Pandan tet
Sekar Pandan ragu ingin melontarkan pertanyaan. Wanita yang mulai beruban itu tetap menunggunya dengan sabar. Bunyi kayu dimakan api terdengar mengisi keheningan dapur malam itu."Apa yang bisa aku bantu, Nini?" Dia bertanya kembali. Sekar Pandan memainkan ujung rambutnya sambil menunduk. Dia tidak tahu cara bertanya pada wanita itu. Kalau memakai gerakan tangan, dia takut hanya cemooh yang didapat. Kalau lewat aksara hanya sedikit orang yang tahu. "Di mana letak Pesanggrahan Nyimas." Sekar Pandan akhirnya mulai mengguratkan aksara demi aksara di telapak tangan si wanita. Wanita berpipi cekung itu bergidik saat telapak tangannya merasakan goresan jari Sekar Pandan. Ada rasa geli di telapak tangannya."Apa yang Nini lakukan?" Dia tertawa.Sekar Pandan akhirnya menghentikan tulisannya. Dia menatap raut wajah istri pemilik kedai yang kegelian. Perkiraannya benar. Wanita desa itu tidak tahu aksara."Nini ingin bergurau?" Sekar Pandan menggel
Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, gadis berselendang jingga itu melesat ringan bagai kain yang tertiup angin. Sekar Pandan menapakkan kakinya yang tanpa alas ke batang pohon yang lebih dekat dengan bangunan Pesanggrahan Nyimas. Cekatan tubuhnya memanjat lebih tinggi.Dari tempatnya ini dia lebih leluasa mengamati keadaan bangunan yang indah, terang, dan ramai. Makin dekat, tawa dan canda para laki-laki hidung belang dan wanita penjaja cinta makin terdengar jelas. Jantung gadis berjuluk Dewi Bunga Malam berdegup kencang. Dia membayangkan Raden Prana Kusuma dan para perempuan lah yang tengah tertawa di dalam."Bagaimana caraku agar bisa masuk ke sana?" Dia mulai gelisah. Api cemburu mulai merayapinya. Perlahan kakinya turun. Dia ingin masuk ke sana layaknya para tamu."Hei, siapa itu!" Dari bawah pohon terdengar bentakan nyaring yang ditujukan kepadanya. Sekar Pandan mengintip dari celah ranting dan pohon. Ada dua laki-laki berotot tengah mendongak
"Kudengar Nyai seorang wanita yang memiliki kotak samudera. Aku hanya ingin mengambil seekor ikan di sana." Raden Prana Kusuma berkata pelan saat mengucapkan kata-kata sandi yang dia dapat dari pemilik kedai.Nyimas Tunjung menutupi mulutnya dengan punggung tangan saat tertawa geli. Kerlingan matanya tajam pada Raden Prana Kusuma."Jadi Tuan tidak ingin dilayani perempuan di sini karena itu?" godanya tak peduli dengan keinginan pemuda di depannya itu."Kau menertawakan aku."Dengan tanpa basa-basi, tangan berkulit putih itu menggenggam tangan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu tersentak. Hampir saja dia mengibaskan tangan itu dengan kasar. Namun, dia segera menahan diri dan menarik tangannya dengan halus. Darah mudanya berdesir aneh saat kulit hangat itu menyentuh kulitnya . Wanita di depannya ini penuh daya pikat yang luar biasa. Raden Prana Kusuma segera menghadirkan bayangan Sekar Pandan untuk benteng pertahanan hatinya di depan Nyimas Tu
Tangan Raden Prana Kusuma mendorong kepala berambut harum milik Nyimas Tunjung dengan halus. Wanita itu merajuk. Dia benar-benar gemas pada pemuda yang usianya masih jauh di bawahnya itu. Dia sudah sedekat ini, tetapi pemuda tampan di sampingnya masih kokoh bertahan."Katakan di mana dia? Waktuku tidak lama, Nyai." Sepasang mata yang biasanya teduh itu kini tajam."Hmm, aku masih belum ingin mengatakannya. Jika aku katakan sekarang, kakang pasti akan pergi. Aih, aku belum tahu nama bagusmu, Kakang." Wanita cantik itu menggenggam jemari Raden Prana Kusuma dengan tersenyum genit.Tangan hangat itu berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman Nyimas Tunjung terlalu kuat. "Katakan, siapa nama Kakang?" bisiknya menggoda.Wajah cantik berbedak dan berbibir merah menyala itu mendekati wajah Raden Prana Kusuma. Tatapan matanya penuh daya pikat. Raden Prana Kusuma bisa merasakan hembusan napasnya. Tahu dirinya dalam perangkap wanita ular, Raden Prana Kusum
Sekar Pandan berkelit ke kiri dan kanan dari mata tajam golok lawannya. Secepat kilat kaki kirinya menghantam perut orang pertama. Orang itu berusaha menangkis tendangan Sekar Pandan. Mulutnya mendesis saat tangannya bersentuhan dengan kaki si gadis. Tangannya terasa patah karena kekuatan kaki Sekar Pandan demikian kuat."Gadis ini tidak bisa dianggap enteng," gumamnya. Temannya terlihat tengah mencecar Sekar Pandan dengan goloknya. Dia segera melompat untuk bergabung. Hati Sekar Pandan yang tengah dilanda marah pada Raden Prana Kusuma segera dilampiaskan pada dua anak buah Nyimas Tunjung.Selendang sutera jingga bergulung-gulung mengacaukan serangan dua lawannya. Di saat mereka kebingungan seperti itu, ujung selendang Sekar Pandan menghantam wajah mereka. Dua Algojo Pesanggrahan Nyimas terjengkang. Saat sinar bulan menerangi wajah mereka, wajah itu bewarna merah bekas sabetan selendang.Sekar Pandan terus mengejar dua lelaki berotot itu dengan serangan ka
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b