Rong Tian terjatuh ke atas gundukan tebal pasir yang terhampar di dasar jurang, Abyss of Suffering.
Kejadian ini merupakan sebuah keberuntungan yang tak terduga, karena tumpukan pasir itu berhasil menyelamatkannya dari maut, atau setidaknya dari patah tulang yang fatal.
Namun, rasa sakit yang tajam di perutnya segera mengingatkannya bahwa ia masih terperangkap dalam penderitaan yang tiada henti.
Dengan tubuh yang dipenuhi luka, ia merangkak lemah, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya.
Di sekelilingnya, puluhan pasang mata berkilauan memantulkan sinar yang tidak wajar, mengelilinginya seperti bayang-bayang yang tak terhindarkan, siap menerkam.
“Serigala…” desahnya pelan dalam hati, perasaan putus asa mulai menyelimuti pikirannya. “Riwayatku habis sudah…”
Dalam keputusasaan yang mencekam, Rong Tian meraih sesuatu yang ada di dekatnya. Namun, yang ia sentuh hanyalah pasir, kasar dan tak berarti.
Ia merasakan kekosongan yang mendalam, kehampaan yang membuatnya semakin terperosok dalam keputusasaan yang menyakitkan.
“Pergi! Pergi!” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, teredam oleh keheningan malam yang menakutkan.
Tanpa disadari, di antara jari-jari tangannya yang tergeletak di pasir, ada sebuah kalung yang terjuntai—seuntai kalung dengan bandul giok hitam yang tampak aneh, namun memancarkan aura yang tak dapat dijelaskan.
Tiba-tiba, di tengah keheningan yang menyeramkan, suara geraman serigala berhenti.
Mata-mata yang berkilau itu, yang sebelumnya tampak penuh dengan kelaparan dan keserakahan, terhenti. Mereka menatap kalung yang ada di tangan Rong Tian dengan rasa takut yang tidak bisa disembunyikan.
“Maju kalau berani…” kata Rong Tian, suaranya hampir menggema, penuh percaya diri, meskipun ia tidak menyadari bahwa keberanian itu bukan datang dari dirinya, melainkan dari aura mengerikan yang terpancar dari bandul giok hitam itu.
Seketika, dengan suara lolongan yang semakin menjauh, satu per satu mata-mata itu lenyap dalam gelapnya malam. Keheningan pun merayap kembali, menyisakan Rong Tian sendirian di atas gundukan pasir yang tebal.
“Langit masih menolongku. Aku belum mati hari ini…” bisiknya, dengan suara lemah namun penuh keheranan, seakan berbicara kepada diri sendiri, bahkan ketika tubuhnya jatuh kembali ke pasir yang lembut.
Namun, rasa sakit di perutnya kembali menyusul, membuatnya mengangkat tangan dan tanpa sengaja memukul area luka di tubuhnya, akibat perusakan paksa inti mutiara energinya oleh kelompok berbaju hitam.
Tiba-tiba...
“Benda apa ini?” pikir Rong Tian, matanya terfokus pada kalung yang masih tergenggam di tangannya. Bandul giok hitam itu terasa semakin berat, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak terduga.
“Kalung giok hitam?” gumamnya, tatapannya terpesona. Ia terdiam sejenak, seolah melupakan rasa sakitnya. Sesuatu tentang bandul ini menarik perhatian, seperti ada sesuatu yang memanggilnya.
"Apakah serigala-serigala itu lari karena melihat kalung ini?" pikirnya dalam kebingungan. Setelah merenung sejenak, ia mulai menyadari bahwa benda ini mungkin memiliki kekuatan yang tak terduga.
Dengan hati-hati, Rong Tian memeriksa lebih seksama kalung giok hitam itu.
Di bawah sinar rembulan yang redup, ia bisa melihat dengan jelas ukiran lima kelelawar yang mengelilingi bandul itu.
Setiap detail pada ukiran itu dibuat dengan sempurna, hingga lima kelelawar itu tampak seperti terbang mengitari awan yang terbentuk di sekitar bandul. Sosok-sosok itu tampak hidup, bergerak dengan kehidupan yang tak kasatmata.
“Aku menemukannya di antara tumpukan pasir ini… Apa mungkin ada harta lain yang tersembunyi di bawah sini?” pikir Rong Tian, matanya berbinar.
Meskipun ia merasa lemah, ada secercah harapan yang muncul di dalam dirinya, harapan akan harta spiritual yang dapat membawanya kembali ke jalur abadi.
Jika benar, dan benda ini memiliki kekuatan luar biasa, ia akan membalas dendam. Dalam bayangannya, keempat pria berbaju hitam itu harus merasakan penderitaan yang jauh lebih buruk daripada yang telah mereka berikan.
“Mereka harus tahu betapa sakitnya saat mutiara energi yang dihancurkan di tubuh ini kembali dengan kekuatan yang lebih besar!” pikir Rong Tian sambil mengertakkan gigi.
Beruntung, Rong Tian masih menyimpan kantong penyimpanan tersembunyi di balik baju sastrawannya yang besar dan longgar.
Kantong itu, meski sederhana, cukup mampu menyimpan berbagai barang yang diperlukan—termasuk makanan. Di dalamnya, tersembunyi beberapa ubi rebus yang disiapkan oleh ayahnya.
Sebagai anak kusir kereta yang hidup dalam keterbatasan, ia tidak dibekali uang saat mengikuti ujian negara untuk menjadi pejabat. Semua yang dimilikinya adalah apa yang ayahnya siapkan.
“Bawalah ubi rebus ini, cukup untuk mengenyangkan perutmu selama ujian negara, dari pagi hingga malam!” kata ayahnya, dengan nada penuh perhatian dan kasih sayang.
Saat itu, Rong Tian hanya bisa menerima dengan penuh rasa terima kasih, meskipun tahu bahwa hidup mereka jauh dari cukup.
Kini, di tengah situasi yang jauh lebih mengerikan, ubi rebus itu kembali menyelamatkannya. Setelah beristirahat sejenak, ia menyantap ubi tersebut, merasakan kehangatan yang sedikit mengalir ke dalam tubuhnya yang lelah.
Setelah perutnya kenyang, perlahan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya mulai memudar.
"Aku masih bisa bertahan. Aku bisa menggali pasir ini. Semoga dugaanku tidak salah," pikirnya dalam hati, sebuah harapan yang kembali menyala meski di tengah keputusasaan.
Sebagai seorang pelajar yang mendalami sastra, budaya, dan seni, Rong Tian tahu sedikit tentang dunia kultivasi.
Pengetahuannya tentang energi dalam tubuh sangat terbatas, namun ia memahami satu hal dengan jelas: untuk berkultivasi, dibutuhkan inti mutiara yang dapat menghimpun energi di dalam dantian.
Inti mutiara miliknya telah dihancurkan, dan seharusnya itu berarti ia tak akan bisa melanjutkan jalan kultivasinya.
Namun, meski diselimuti rasa sakit dan keraguan, pikiran itu tak mampu memadamkan semangatnya.
Rong Tian teringat tentang kultivator tingkat tinggi yang memiliki teknik rahasia untuk memulihkan inti mutiara yang rusak. "Jika mereka bisa melakukannya, mungkin aku juga bisa," pikirnya, semangatnya terbangun kembali.
“Aku tak akan menyerah begitu saja!” tekadnya, terus menggali dengan tangan.
Matahari mulai muncul di cakrawala Timur, menyinari gurun dengan cahaya kemerahan. Rong Tian telah menggali pasir semalaman, tangannya terasa kebas dan jari-jarinya penuh darah. Namun, ia tidak berhenti.
Setiap kerukan tanah adalah kesempatan terakhir untuk kembali ke dunia atas dan membalas dendam pada mereka yang telah merusaknya.
Akhirnya, setelah sekian lama menggali, tangannya menyentuh sebuah benda keras di kedalaman dua meter.
“Peti kayu? Kayu harum?” pikirnya, kebingungannya terbalut rasa lelah yang luar biasa. “Apakah aku begitu beruntung, menemukan warisan dari pemilik kalung giok berukir lima kelelawar hitam?”
Di tengah rasa sakit yang mendera tubuhnya, ia berhasil menarik peti kayu itu ke permukaan. Di bawah sinar matahari pagi yang semakin terang, Rong Tian menatap peti itu.
Ukurannya sekitar satu meter, berbau harum yang samar-samar tercium meski terbungkus pasir dan debu. Aura misterius dan menakutkan memancar dari permukaannya, membuat Rong Tian terdiam sejenak.
Tangan yang gemetar dan penuh darah itu menyapu permukaan peti, merasakan keanehan dan kekuatan yang tersembunyi di baliknya.
Dengan hati-hati, ia bersiap untuk membuka peti itu, berdoa dalam hati agar harapannya tidak sia-sia.
Bersambung
Ternyata, untuk membuka peti kecil itu, Rong Tian tidak memerlukan tenaga besar atau keterampilan khusus.“Semoga ini berhasil,” gumamnya pelan, menekan tombol panel di peti dengan hati-hati. Bunyi ‘Klik’ terdengar seiring dengan pergerakan mekanisme di dalamnya, menandakan bahwa peti itu siap terbuka.Saat tutup peti terangkat, aura kuno yang pekat, ditambah dengan bau lembap yang sangat tua, langsung tercium.Rong Tian menarik napas dalam-dalam, merasakan betapa tuanya benda ini. Ia mengangkat penutupnya dengan gerakan cekatan, seolah khawatir jika gerakan yang salah akan merusak benda berharga di dalamnya.Cahaya temaram menyinari isi peti, menampakkan sebuah busana yang sudah lama namun tidak rusak tersembunyi di bagian paling atas.Rong Tian mengangkat benda itu dengan hati-hati. Sebuah jubah hitam dengan motif rumit berwarna emas di tiap sisi.Jubah panjang dan lembut itu terasa lentur di tangannya, seakan mengundang untuk segera dikenakan."Busana ini... terlihat penuh misteri,
Rong Tian menarik napas dalam, menenangkan debaran jantungnya. Ia menendang tanah berpasir dengan ujung sepatu, menguji daya dorongnya.Sensasi aneh yang sempat menyelimuti pikirannya perlahan menghilang, berganti dengan pemahaman akan keunikan sepatu ini.WUUT!Tubuhnya terangkat dengan kecepatan mengagumkan, melayang lima meter di udara. Jubah hitam yang ia kenakan berkibar liar, membuka lebar seperti sayap kelelawar yang hendak memburu mangsa dimalam hari.Lalu sesuatu terjadi.Hembusan angin tipis nyaris tak terdengar, namun tubuhnya kembali terangkat, kali ini lebih tinggi dari yang ia perkirakan. Rong Tian terbelalak, gua yang seharusnya menjadi tujuannya kini terlewatkan begitu saja!Ia mengeraskan rahangnya. "Begini cara kerjanya...!" gumamnya, nyaris tak percaya.Ia memicingkan mata, memperhatikan lebih saksama. Jubah hitam itu ternyata bukan sekadar kain biasa.Di baliknya, terdapat dua baling-baling kecil yang tersembunyi, nyaris tak terlihat. Sedangkan sepatu yang ia pakai
Semenjak pertempuran dahsyat yang mengguncang dunia lebih dari seratus tahun lalu, pertarungan dua Immortal yang legendaris telah mengubah wajah Benua Longhai selamanya.Dua sosok abadi itu, dengan kekuatan yang melebihi batas imajinasi manusia biasa, mengamuk di medan pertempuran – langit. Mereka menghancurkan segala sesuatu yang ada di sekitar mereka—bumi terbelah, langit terbakar.Kekuatan mereka tidak hanya merobek tatanan alam, tetapi juga mengubah dataran fisik yang ada di Benua Longhai.Pertempuran yang berlangsung tanpa ampun itu menimbulkan konsekuensi yang tak terbayangkan.Selama pertarungan itu, daratan yang sebelumnya tenggelam di dalam lautan muncul kembali ke permukaan, menyebabkan terjadinya penyatuan dua benua yang selama ini terpisah.Benua Longhai yang legendaris kini bergabung dengan Benua Podura, menjadikannya satu kesatuan daratan yang luas.Para saksi sejarah mencatat bahwa pemenang dari pertempuran itu adalah Rong Guo, pemimpin Sekte Wudang yang legendaris.Kem
“Bunuh dia!” perintah Mo Zhengsheng. Suaranya penuh ancaman, memotong udara seperti pedang.Telunjuknya menunjuk lurus ke arah makhluk misterius berbentuk kelelawar yang melayang di kegelapan malam.Disisi lain, sayap kelelawar raksasa itu terlihat lebar, dan membentuk siluet menakutkan di bawah cahaya bulan sabit.“Formasi Pedang!” teriak Han Shan. Wajahnya yang penuh bekas luka tampak garang di bawah bayangan malam.Suaranya menggema, memecah keheningan, tampak berusaha membangkitkan semangat para kultivator.Dalam gelapnya malam, sepuluh kultivator segera bergerak. Mereka membentuk formasi pedang dengan presisi yang telah dilatih ratusan kali.Mo Zhengsheng, sebagai pemimpin, melangkah maju. Golok di tangannya berkilat, lalu diayunkannya ke arah cakrawala dengan gerakan cepat dan mematikan.Tsing!Kilatan golok menyambar seperti petir, memotong udara dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Energi spiritual yang terkumpul di mata golok itu berlari ke udara, siap memanggang makhluk
Rong Tian melangkah mundur ke bagian terdalam kamarnya dengan napas tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Suara kaki empat sosok tinggi besar mengenakan topeng terasa mengancam.Dia tahu, ini mungkin akan menjadi malam terakhirnya...>>> Kota Biramaki perlahan tenggelam dalam keheningan malam. Jalanan yang ramai tadi siang kini sepi, hanya diterangi oleh lentera-lentera temaram yang bergoyang ditiup angin.Suara langkah petugas penjaga malam berderap di kejauhan, mengumumkan bahwa waktu kentongan pertama telah tiba.Teng – teng – teng. Suara kentongan bergema, menandakan awal malam yang panjang.Namun, di sebuah kamar sempit dan sederhana di belakang rumah megah Wakil Menteri Adat dan Budaya Kekaisaran Bai Feng, Rong Tian masih terjaga. Kamar itu, meskipun kecil, menjadi saksi bisu kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Hari ini, pengumuman ujian negara telah diumumkan, dan Rong Tian dinyatakan gagal.Sebagai anak kusir kereta wakil menteri, kehidup
Seperti yang sudah diperkirakan, perjalanan menuju Gurun Hadarac memakan waktu lebih dari satu minggu. Rong Tian hanya terdiam sepanjang perjalanan. Bagaimana mungkin dia bisa berbicara?Setiap kali mencoba mengemukakan pendapatnya, bukan hanya tamparan yang diterimanya, tetapi juga pukulan-pukulan keras yang membuat tubuhnya remuk.Akibatnya, wajahnya babak belur. Matanya bengkak, dan seluruh tubuhnya dipenuhi memar kebiruan. Kondisinya sungguh menyiksa.Ditambah lagi, tangannya diikat ke belakang, dan kakinya pun tak bisa bergerak bebas.“Tuan... aku lapar,” gumam Rong Tian dengan suara parau. Mulutnya terasa kaku, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk berbicara dengan jelas.“Haha, kamu lapar? Anjing hina seperti kamu tak pantas menikmati makanan enak!” ejek salah satu pria berbaju hitam.Dengan gerakan kasar, dia melempar sepotong roti kukus yang sudah mengeras ke arah Rong Tian.Tawa riuh pun meledak di antara kawan-kawannya.Tak ada sedikit pun rasa iba saat mereka menyak
“Bunuh dia!” perintah Mo Zhengsheng. Suaranya penuh ancaman, memotong udara seperti pedang.Telunjuknya menunjuk lurus ke arah makhluk misterius berbentuk kelelawar yang melayang di kegelapan malam.Disisi lain, sayap kelelawar raksasa itu terlihat lebar, dan membentuk siluet menakutkan di bawah cahaya bulan sabit.“Formasi Pedang!” teriak Han Shan. Wajahnya yang penuh bekas luka tampak garang di bawah bayangan malam.Suaranya menggema, memecah keheningan, tampak berusaha membangkitkan semangat para kultivator.Dalam gelapnya malam, sepuluh kultivator segera bergerak. Mereka membentuk formasi pedang dengan presisi yang telah dilatih ratusan kali.Mo Zhengsheng, sebagai pemimpin, melangkah maju. Golok di tangannya berkilat, lalu diayunkannya ke arah cakrawala dengan gerakan cepat dan mematikan.Tsing!Kilatan golok menyambar seperti petir, memotong udara dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Energi spiritual yang terkumpul di mata golok itu berlari ke udara, siap memanggang makhluk
Semenjak pertempuran dahsyat yang mengguncang dunia lebih dari seratus tahun lalu, pertarungan dua Immortal yang legendaris telah mengubah wajah Benua Longhai selamanya.Dua sosok abadi itu, dengan kekuatan yang melebihi batas imajinasi manusia biasa, mengamuk di medan pertempuran – langit. Mereka menghancurkan segala sesuatu yang ada di sekitar mereka—bumi terbelah, langit terbakar.Kekuatan mereka tidak hanya merobek tatanan alam, tetapi juga mengubah dataran fisik yang ada di Benua Longhai.Pertempuran yang berlangsung tanpa ampun itu menimbulkan konsekuensi yang tak terbayangkan.Selama pertarungan itu, daratan yang sebelumnya tenggelam di dalam lautan muncul kembali ke permukaan, menyebabkan terjadinya penyatuan dua benua yang selama ini terpisah.Benua Longhai yang legendaris kini bergabung dengan Benua Podura, menjadikannya satu kesatuan daratan yang luas.Para saksi sejarah mencatat bahwa pemenang dari pertempuran itu adalah Rong Guo, pemimpin Sekte Wudang yang legendaris.Kem
Rong Tian menarik napas dalam, menenangkan debaran jantungnya. Ia menendang tanah berpasir dengan ujung sepatu, menguji daya dorongnya.Sensasi aneh yang sempat menyelimuti pikirannya perlahan menghilang, berganti dengan pemahaman akan keunikan sepatu ini.WUUT!Tubuhnya terangkat dengan kecepatan mengagumkan, melayang lima meter di udara. Jubah hitam yang ia kenakan berkibar liar, membuka lebar seperti sayap kelelawar yang hendak memburu mangsa dimalam hari.Lalu sesuatu terjadi.Hembusan angin tipis nyaris tak terdengar, namun tubuhnya kembali terangkat, kali ini lebih tinggi dari yang ia perkirakan. Rong Tian terbelalak, gua yang seharusnya menjadi tujuannya kini terlewatkan begitu saja!Ia mengeraskan rahangnya. "Begini cara kerjanya...!" gumamnya, nyaris tak percaya.Ia memicingkan mata, memperhatikan lebih saksama. Jubah hitam itu ternyata bukan sekadar kain biasa.Di baliknya, terdapat dua baling-baling kecil yang tersembunyi, nyaris tak terlihat. Sedangkan sepatu yang ia pakai
Ternyata, untuk membuka peti kecil itu, Rong Tian tidak memerlukan tenaga besar atau keterampilan khusus.“Semoga ini berhasil,” gumamnya pelan, menekan tombol panel di peti dengan hati-hati. Bunyi ‘Klik’ terdengar seiring dengan pergerakan mekanisme di dalamnya, menandakan bahwa peti itu siap terbuka.Saat tutup peti terangkat, aura kuno yang pekat, ditambah dengan bau lembap yang sangat tua, langsung tercium.Rong Tian menarik napas dalam-dalam, merasakan betapa tuanya benda ini. Ia mengangkat penutupnya dengan gerakan cekatan, seolah khawatir jika gerakan yang salah akan merusak benda berharga di dalamnya.Cahaya temaram menyinari isi peti, menampakkan sebuah busana yang sudah lama namun tidak rusak tersembunyi di bagian paling atas.Rong Tian mengangkat benda itu dengan hati-hati. Sebuah jubah hitam dengan motif rumit berwarna emas di tiap sisi.Jubah panjang dan lembut itu terasa lentur di tangannya, seakan mengundang untuk segera dikenakan."Busana ini... terlihat penuh misteri,
Rong Tian terjatuh ke atas gundukan tebal pasir yang terhampar di dasar jurang, Abyss of Suffering.Kejadian ini merupakan sebuah keberuntungan yang tak terduga, karena tumpukan pasir itu berhasil menyelamatkannya dari maut, atau setidaknya dari patah tulang yang fatal.Namun, rasa sakit yang tajam di perutnya segera mengingatkannya bahwa ia masih terperangkap dalam penderitaan yang tiada henti.Dengan tubuh yang dipenuhi luka, ia merangkak lemah, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya.Di sekelilingnya, puluhan pasang mata berkilauan memantulkan sinar yang tidak wajar, mengelilinginya seperti bayang-bayang yang tak terhindarkan, siap menerkam.“Serigala…” desahnya pelan dalam hati, perasaan putus asa mulai menyelimuti pikirannya. “Riwayatku habis sudah…”Dalam keputusasaan yang mencekam, Rong Tian meraih sesuatu yang ada di dekatnya. Namun, yang ia sentuh hanyalah pasir, kasar dan tak berarti.Ia merasakan kekosongan yang mendalam, kehampaan yang membuatnya semakin terperosok da
Seperti yang sudah diperkirakan, perjalanan menuju Gurun Hadarac memakan waktu lebih dari satu minggu. Rong Tian hanya terdiam sepanjang perjalanan. Bagaimana mungkin dia bisa berbicara?Setiap kali mencoba mengemukakan pendapatnya, bukan hanya tamparan yang diterimanya, tetapi juga pukulan-pukulan keras yang membuat tubuhnya remuk.Akibatnya, wajahnya babak belur. Matanya bengkak, dan seluruh tubuhnya dipenuhi memar kebiruan. Kondisinya sungguh menyiksa.Ditambah lagi, tangannya diikat ke belakang, dan kakinya pun tak bisa bergerak bebas.“Tuan... aku lapar,” gumam Rong Tian dengan suara parau. Mulutnya terasa kaku, seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk berbicara dengan jelas.“Haha, kamu lapar? Anjing hina seperti kamu tak pantas menikmati makanan enak!” ejek salah satu pria berbaju hitam.Dengan gerakan kasar, dia melempar sepotong roti kukus yang sudah mengeras ke arah Rong Tian.Tawa riuh pun meledak di antara kawan-kawannya.Tak ada sedikit pun rasa iba saat mereka menyak
Rong Tian melangkah mundur ke bagian terdalam kamarnya dengan napas tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Suara kaki empat sosok tinggi besar mengenakan topeng terasa mengancam.Dia tahu, ini mungkin akan menjadi malam terakhirnya...>>> Kota Biramaki perlahan tenggelam dalam keheningan malam. Jalanan yang ramai tadi siang kini sepi, hanya diterangi oleh lentera-lentera temaram yang bergoyang ditiup angin.Suara langkah petugas penjaga malam berderap di kejauhan, mengumumkan bahwa waktu kentongan pertama telah tiba.Teng – teng – teng. Suara kentongan bergema, menandakan awal malam yang panjang.Namun, di sebuah kamar sempit dan sederhana di belakang rumah megah Wakil Menteri Adat dan Budaya Kekaisaran Bai Feng, Rong Tian masih terjaga. Kamar itu, meskipun kecil, menjadi saksi bisu kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Hari ini, pengumuman ujian negara telah diumumkan, dan Rong Tian dinyatakan gagal.Sebagai anak kusir kereta wakil menteri, kehidup