Home / Horor / Pewaris Darah Cemani / Panggilan di Tengah Malam

Share

Pewaris Darah Cemani
Pewaris Darah Cemani
Author: Aksara Suci

Panggilan di Tengah Malam

Author: Aksara Suci
last update Last Updated: 2025-01-04 00:14:36

BAB 1

“Mas Den! Mas Den! Tolong saya, tolong …!” Seorang laki-laki paruh baya berteriak kencang dari luar rumah sembari berlari tunggang langgang dengan langkah yang tergopoh-gopoh, membawa tubuh rentanya yang ringkih yang terbalut baju kumal yang sudah usang menuju sebuah pintu pada bangunan kayu jati yang ada di hadapannya. Bangunan kokoh tersebut seolah menyambut kedatangannya dengan kedua daun pintu gerbang yang terbuka lebar dan sempurna.

“Mas Den!” teriaknya sekali lagi.

Mendengar ada suara ribut dari luar, Denjaka yang sedang duduk termenung menatapi Pandu, putra sulung hasil pernikahannya bersama Wintang yang sedang terbaring di atas tempat tidur langsung bangun, bangkit dari tempat duduknya.

“Ada apa Kang Mas?” tanya Wintang, ikut merasa penasaran.

“Tidak tahu, Dik. Biar Kang Mas lihat dulu,” jawab Denjaka, kemudian bergegas berjalan ke luar meninggalkan kamar sang putra kesayangan dengan langkah yang sengaja ia buat agak sedikit cepat.

Menyaksikan langkah demi langkah yang diambil oleh Denjaka, entah kenapa hati Wintang mendadak merasa bimbang tanpa alasan yang jelas. Firasatnya mengatakan, sesuatu hal yang tidak diinginkan akan segera terjadi, menimpa sang suami yang sangat ia cintai.

Merasa khawatir, Wintang tidak bisa tinggal diam. Dengan perasaan yang semakin kian bertambah cemas, Wintang menyusul langkah sang suami yang belum seberapa jauh.

“Widuri, tolong jaga Masmu. Ibu mau menyusul Bapak ke depan,” kata Wintang, menitip pesan kepada gadis kecil berusia lima tahun yang duduk di tepi ranjang tempat Pandu dibaringkan sambil asyik memainkan boneka kesayangan miliknya.

Anak manis itu menoleh, kemudian mengangguk patuk ke arah Wintang.

“Baik, Bu,” balas bocah kecil itu, mengacungkan ibu jari miliknya dengan mantap, serta mengulas senyum yang memamerkan sederet gigi ompong yang ia punya.

Widuri terlihat sangat begitu manis dan menggemaskan. Wajahnya yang polos selalu mencuri perhatian bersama rambut yang selalu dikuncir kuda.

Sudah sepuluh tahun menikah, Denjaka dan Wintang hidup bahagia. Dikarunia dua orang anak, Pandu dan juga Widuri, kebahagiaan keduanya benar-benar sempurna seharusnya.

Namun, tak ada satu hal pun yang sempurna di dunia ini. Begitupun dengan kehidupan rumah tangga keduanya. Segala cobaan silih berganti menghampiri, memaksa Wintang maupun Denjaka harus siap menghadapinya.

Ingin segera sampai mengimabangi langkah demi langkah yang diambil oleh sang suami, Wintang mempercepat jalannya. Ia bahkan menarik sedikit kain jarik berwarna coklat dengan motif batik daun waru yang membalut tubuh bagian bawah, berusaha memperlebar langkah yang ia ambil.

“Mas Den, tolong Winingsih, Mas Den …. Tolong ….” Seorang laki-laki paruh baya berkata dengan suara bergetar, wajahnya pucat pasi seperti tak berdarah lagi, langsung merangkul erat kedua kaki Denjaka begitu Denjaka sampai di ambang pintu.

“Ada apa, Mbah Tarjo?” tanya Denjaka penuh tanda tanya, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan kedatangan Mbah Tarjo yang sangat tiba-tiba.

Tak enak hati orang yang jauh lebih tua dari dirinya berada sejajar dengan kakinya, Denjaka buru-buru membungkukkan badan, membimbing tubuh ringkih itu untuk sejajar dengan dirinya. Tidak menolak, Mbah Tarjo menurut, membiarkan Denjaka membimbing tubuhnya begitu saja.

“Tolong Winingsih, Den,” ucap Mbah Tarjo berulang-ulang kali dengan derai air mata serta raut wajah penuh ketidak berdayaan, tidak tahu harus berbuat apa selain meminta bantuan kepada Denjaka.

“Iya, Winingsih kenapa, Mbah? Tolong ceritakan pelan-pelan,” kata Denjaka, berusaha menenangkan Mbah Tarjo.

Tahu harus berbuat apa, melihat Mbah Tarjo tersengal-sengal, tampak kesulitan bernafas dengan nafasnya yang ngos-ngosan, dengan cekatan, Wintang yang hampir sampai malah kembali masuk ke dalam rumah, berpindah haluan menuju ke arah dapur untuk mengambilkan segelas air putih untuk tamu yang malam-malam datang tak diundang ke rumah kediaman ia dan keluarga kecilnya.

“Ini Mbah, diminum dulu,” kata Wintang setelah beberapa saat pergi dan langsung kembali, menyodorkan segelas air putih yang ia bawa di atas sebuah nampan kayu dengan ukiran cantik memenuhi bagian pinggir nampan yang ia bawa, memberi kesan sederhana namun penuh pesona, sama persis seperti dirinya.

Dengan kedua netra tua yang sudah terlanjur basah, Mbah Tarjo menatap Wintang penuh binar, mengambil alih gelas di tangan Wintang dengan tangan yang gemetaran.

Glek! Glek! Glek!

Mbah Tarjo menenggak habis segelas air putih yang disuguhkan untuk dirinya, kemudian menggenggam erat gelas yang ia pegang, menahan gemetar di tubuhnya yang semakin tidak karu-karuan mengingat keadaan sang putri kesayangan yang ia tinggal di rumah bersama Mbok Marni, istri tercintanya yang juga sudah tak muda lagi juga.

“Sekarang sampean cerita o, Mbah. Sebenarnya ada apa? Ceritakan dengan pelan-pelan,” kata Denjaka penuh kehati-hatian setelah memastikan Mbah Tarjo mulai agak sedikit merasa tenang.

“Tulungo Mbahmu ini, Nang …. Tulungono,” jawab Mbah Tarjo masih kesulitan menceritakan maksud dan tujuan dirinya datang kemari malam-malam buta begini.

“Iya, apa yang harus saya lakukan agar bisa menolong sampean, Mbah? Monggo sampean jelaskan saja, tidak perlu merasa sungkan,” pinta Denjaka masih belum bisa menangkap maksud dan tujuan kedatangan akan Mbah Tarjo ke padepokan peninggalan Mas Cahyo yang diwariskan kepada dirinya.

“Pokoknya sampean ikut saja ke rumah si Mbah. Sampean akan tahu sendiri nanti. Si Mbah bingung kalau harus menceritakan semua, sebab Si Mbah pun tidak tahu apa yang terjadi kepada Winingsih, Den,” kata Mbah Tarjo malah mengajak Denjaka untuk datang ke rumahnya.

Sejenak, Denjaka melempar pandang ke arah Wintang, meminta pendapat kepada sang istri yang berdiri tepat di belakang Mbah Tarjo tanpa berkata apa-apa, hanya lewat tatapan mata yang sarat akan makna.

Takut sesuatu yang buruk telah terjadi kepada Winingsih, gadis ayu yang begitu sangat ramah serta berbudi pekerti luhur, Wintang mengedipkan kedua matanya, membolehkan suaminya untuk pergi.

Sadar akan isyarat yang diberikan oleh sang istri tercinta, Denjaka yang masih merasa bimbang beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Mbah Tarjo sebentar, menghampiri Wintang yang juga berada tak jauh dari sana.

“Kamu yakin, Dik?” tanya Denjaka merasa ragu.

“Pergilah, Mas …. Ikuti kata hatimu,” jawab Wintang sembari tersenyum sangat manis, menepuk pelan dengan lembut dada kiri milik sang suami.

Sebagai seorang istri, Wintang memang tahu betul keinginan sang suami yang selalu merasa terpanggil untuk membantu orang-orang yang tengah kesulitan. Meski sudah larut malam, tentu saja Wintang tidak berniat untuk melarang. Apa lagi, setelah sekian lama, baru kali ini lagi seseorang datang untuk meminta bantuan dari Denjaka.

“Pandu bagaimana?” tanya Denjaka masih belum bisa membuang rasa ragu yang membelenggu kalbu.

“Kamu tenang saja, Mas. Biar saya yang menjaga Pandu,” balas Wintang, lengkap dengan senyum yang masih merekah sempurna.

“Tapi—.”

Related chapters

  • Pewaris Darah Cemani   Langkah Keraguan

    BAB 2“Tenang saja, Mas. Saya tidak sendirian. Kan ada Widuri yang akan menemani,” kata Wintang lagi, memotong keraguan sang suami, menoleh ke arah gadis kecil menggemaskan yang menyembulkan kepalanya dari balik ruangan, memperhatikan kedua orang tuanya secara diam-diam.Biasanya, jika Wintang sudah menyebut namanya dengan bangga, Widuri akan datang menyahut, membenarkan apa yang sang ibunda katakan dengan mantap. Namun kali ini, Widuri tidak melakukannya. Ia justru tampak berbeda dari biasanya.Tetapi berdiri di ambang pintu dan menyembulkan bagian kepalanya, gadis kecil itu malah menatap binar ke arah sang ayah sambil menggigit pelan bibir bawahnya. Kedua netranya hampir basah dengan keberadaan cairan bening yang berkumpul di bawah pelupuk mata. Ekspresi penuh harap-harap cemas juga tergambar jelas di wajah pemilik pipi cabi nan menggemaskan tersebut, seolah tidak ingin memberi izin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan dirinya di rumah."Ya sudah, Kang Mas berangkat dulu," kat

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pewaris Darah Cemani   Perpisahan dan Harapan

    BAB 3Tak berselang lama dengan kendaraan roda dua milik Denjaka keluar halaman meninggalkan padepokan, Bumi datang mengendarai sepeda motor kesayangannya, memarkirkannya di samping pintu masuk sembari menoleh ke belakang, menatap heran motor Denjaka yang sempat berpapasan dengan dirinya."Jaka mau pergi ke mana itu, Nduk?" tanya Bumi yang belum turun dari kuda besi miliknya, bertanya kepada Wintang yang masih berdiri di ambang pintu, melepas kepergian sang suami dengan panjatan doa yang tidak ada putus-putusnya, berharap Allah subhanahu wata'ala senantiasa melindungi suami tercintanya dimanapun berada."Ke rumah Mbah Tarjo, Mas," jawab Wintang sembari berjalan turun menapaki satu persatu beberapa deretan anak tangga, menghampiri Bumi yang baru saja datang, menyambutnya dengan ciuman tangan yang amat begitu takzim."Tumben," kata Bumi penuh rasa heran."Ono opo toh?" tanya Bumi penasaran."Kurang tahu, Mas. Tadi Mbah Tarjo datang minta tolong supaya Kang Mas Jaka mau menolong Winingsi

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pewaris Darah Cemani   Misteri Kenangan di Kampung Mati

    BAB 4Ngeeeeng ….Suara mesin motor terdengar jelas, menggema ke indra pendengaran, terpantulkan oleh suasana malam yang sangat hening, berhasil menyamarkan suara katak yang sedang bergembira ria saling bersahutan menyambut genangan air yang terkumpul dari tetesan air hujan serta suara serangga kecil lainnya yang ikut mendominasi kidung pada malam hari.“Wis, Mbah. Sudah bisa di buka matanya. Alhamdulillah semua aman, kita selamat sampai tujuan. Insya Allah,” kata Denjaka, berhasil menebak dengan tepat jika saat ini Mbah Tarjo sedang menutup kedua matanya, menanti dengan harap-harap cemas akan keberhasilan Denjaka mengendalikan motornya melewati jalanan mengerikan yang hampir mirip dengan titian siratul mustaqim.Mendengar apa yang Denjaka katakan, pelan-pelan Mbah Tarjo mulai memberanikan diri membuka kedua matanya sedikit demi sedikit. Untuk memastikan bahwa dirinya sudah aman seperti yang Denjaka ucapkan, Mbah Tarjo mengedarkan pandangan ke arah kiri dan kanan, celingukan sampai ke

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pewaris Darah Cemani   Jejak Tragedi

    BAB 5Keadaan para gadis sangat mengenaskan, sudah membusuk dan dipenuhi belatung-belatung kecil yang menjadikan mayat-mayat itu menjadi sebuah santapan, membuat warga tersebut kaget bukan main, sampai-sampai tubuhnya ambruk ke belakang dan kehilangan kemampuan untuk berjalan.Sambil merangkak dan bergemetaran, warga tersebut berusaha pulang ke rumah, menyampaikan hasil penemuannya kepada setiap warga yang berhasil ia temui sepanjang jalan.Penemuan tersebut berhasil membuat geger seluruh warga desa. Suasana desa yang sedang tidak baik-baik saja jadi tambah berduka dan bertanya-tanya siapa pelaku sebenarnya dan atas dasar apa melakukan ini semua.Banyak para orang tua dari gadis yang turut menjadi korban mendadak gila karena kehilangan putri kesayangan mereka secara tak biasa. Bahkan, ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena tak tahan menanggung duka.Tak cukup sampai di situ, duka para warga desa kian bertambah ketika sebuah teror datang menghantui seluruh warga desa. Penampakan ad

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pewaris Darah Cemani   Makhluk Penuh Ancaman

    Namun, merasa yakin bahwa Mbah Tarjo tidak mungkin rela berjalan kaki jauh-jauh datang ke padepokan menemui dirinya hanya untuk menipu, Denjaka mencoba menepis prasangka buruk di hatinya, membuang jauh-jauh rasa ragu yang ada di dalam dada. Lagi pula, Denjaka sangat tahu jika Mbah Tarjo bukan orang jahat meski takdir tak selalu memihak orang tua yang sudah ia kenal sejak lama tersebut.Kreeet … kreeet … kreeet ….Setiap kali memindahkan langkah, lantai rumah Mbah Tarjo mengeluarkan suara derit lumayan berisik, membuat Denjaka semakin rikuh dan meningkatkan penuh kehati-hatian di dalam diri setiap kali mengambil langkahnya yang sengaja sudah ia buat pelan. Minimnya cahaya penerangan yang ada juga semakin mengundang keraguan di hati Denjaka. Meski sudah mencoba, Denjaka tidak bisa mempercayai langkah kaki yang ia ambil sendiri.Menyusul langkah Denjaka yang sudah masuk lebih dulu, Mbah Tarjo mengambil lampu dimar yang ditempel di salah satu sisi dinding rumahnya terlebih dahulu, membawa

    Last Updated : 2025-01-08
  • Pewaris Darah Cemani   Rindu yang Membahayakan

    Di tempat lain ….“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan

    Last Updated : 2025-01-08
  • Pewaris Darah Cemani   Sosok Pandu

    Dengan susah payah, gadis kecil itu berjingkit, berusaha meraih gagang pintu agar bisa membukanya. Beberapa kali, Widuri sempat gagal. Tubuhnya yang belum seberapa tinggi tidak berhasil meraih gagang pintu di hadapannya.Namun, Widuri tidak menyerah begitu saja. Dengan semangat yang membuatnya pantang menyerah, Widuri terus mencoba.Sekali lagi, Widuri kembali gagal. Sudah berusaha melompatkan kedua kakinya tinggi-tinggi berulang-ulang kali, tetap saja tangannya tak sampai meraih gagang pintu yang sejak tadi menjadi incarannya.Sadar jika usahanya akan tetap sia-sia, gadis kecil itu memilih berhenti sejenak, tidak lagi melanjutkan usaha dan kerja keras yang sebelumnya ia lakukan penuh semangat. Akan tetapi, Widuri sama sekali tidak menyerah. Dalam diam, Widuri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menyapu setiap inci sela dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membantu dirinya agar bisa berhasil meraih gagang pintu dan me

    Last Updated : 2025-01-09
  • Pewaris Darah Cemani   Langkah Penuh Bahaya

    Tak berniat menjawab pertanyaan dari Widuri, Pandu bergeming, tetap diam seribu bahasa sambil terus membimbing Widuri mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Pelan tapi pasti, langkah yang Pandu dan Widuri ambil semakin lama semakin jauh. Tanpa terasa, keduanya sampai hampir sampai ke gawang pintu gerbang, batas area padepokan dengan jalanan poros perkampungan. Teringat akan pesan yang selalu ibunya berikan, Widuri mendadak berhenti. Widuri tertahan, enggan meninggalkan area padepokan. Atas keputusannya itu, sosok Pandu yang sejak tadi menggandeng tangannya kini menoleh, menatap Widuri penuh kekecewaan. “Ibu bilang kita tidak boleh keluar, Mas,” ucap bocah kecil itu, mencoba mengingatkan pesan sang ibunda kepada Kang Masnya itu, berharap Pandu mau berhenti dan tak lagi meneruskan perjalanan yang saat ini mereka berdua lakukan tanpa sempat membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelumnya. Namun, seolah tidak ped

    Last Updated : 2025-01-09

Latest chapter

  • Pewaris Darah Cemani   Langkah Penuh Bahaya

    Tak berniat menjawab pertanyaan dari Widuri, Pandu bergeming, tetap diam seribu bahasa sambil terus membimbing Widuri mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Pelan tapi pasti, langkah yang Pandu dan Widuri ambil semakin lama semakin jauh. Tanpa terasa, keduanya sampai hampir sampai ke gawang pintu gerbang, batas area padepokan dengan jalanan poros perkampungan. Teringat akan pesan yang selalu ibunya berikan, Widuri mendadak berhenti. Widuri tertahan, enggan meninggalkan area padepokan. Atas keputusannya itu, sosok Pandu yang sejak tadi menggandeng tangannya kini menoleh, menatap Widuri penuh kekecewaan. “Ibu bilang kita tidak boleh keluar, Mas,” ucap bocah kecil itu, mencoba mengingatkan pesan sang ibunda kepada Kang Masnya itu, berharap Pandu mau berhenti dan tak lagi meneruskan perjalanan yang saat ini mereka berdua lakukan tanpa sempat membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelumnya. Namun, seolah tidak ped

  • Pewaris Darah Cemani   Sosok Pandu

    Dengan susah payah, gadis kecil itu berjingkit, berusaha meraih gagang pintu agar bisa membukanya. Beberapa kali, Widuri sempat gagal. Tubuhnya yang belum seberapa tinggi tidak berhasil meraih gagang pintu di hadapannya.Namun, Widuri tidak menyerah begitu saja. Dengan semangat yang membuatnya pantang menyerah, Widuri terus mencoba.Sekali lagi, Widuri kembali gagal. Sudah berusaha melompatkan kedua kakinya tinggi-tinggi berulang-ulang kali, tetap saja tangannya tak sampai meraih gagang pintu yang sejak tadi menjadi incarannya.Sadar jika usahanya akan tetap sia-sia, gadis kecil itu memilih berhenti sejenak, tidak lagi melanjutkan usaha dan kerja keras yang sebelumnya ia lakukan penuh semangat. Akan tetapi, Widuri sama sekali tidak menyerah. Dalam diam, Widuri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menyapu setiap inci sela dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membantu dirinya agar bisa berhasil meraih gagang pintu dan me

  • Pewaris Darah Cemani   Rindu yang Membahayakan

    Di tempat lain ….“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan

  • Pewaris Darah Cemani   Makhluk Penuh Ancaman

    Namun, merasa yakin bahwa Mbah Tarjo tidak mungkin rela berjalan kaki jauh-jauh datang ke padepokan menemui dirinya hanya untuk menipu, Denjaka mencoba menepis prasangka buruk di hatinya, membuang jauh-jauh rasa ragu yang ada di dalam dada. Lagi pula, Denjaka sangat tahu jika Mbah Tarjo bukan orang jahat meski takdir tak selalu memihak orang tua yang sudah ia kenal sejak lama tersebut.Kreeet … kreeet … kreeet ….Setiap kali memindahkan langkah, lantai rumah Mbah Tarjo mengeluarkan suara derit lumayan berisik, membuat Denjaka semakin rikuh dan meningkatkan penuh kehati-hatian di dalam diri setiap kali mengambil langkahnya yang sengaja sudah ia buat pelan. Minimnya cahaya penerangan yang ada juga semakin mengundang keraguan di hati Denjaka. Meski sudah mencoba, Denjaka tidak bisa mempercayai langkah kaki yang ia ambil sendiri.Menyusul langkah Denjaka yang sudah masuk lebih dulu, Mbah Tarjo mengambil lampu dimar yang ditempel di salah satu sisi dinding rumahnya terlebih dahulu, membawa

  • Pewaris Darah Cemani   Jejak Tragedi

    BAB 5Keadaan para gadis sangat mengenaskan, sudah membusuk dan dipenuhi belatung-belatung kecil yang menjadikan mayat-mayat itu menjadi sebuah santapan, membuat warga tersebut kaget bukan main, sampai-sampai tubuhnya ambruk ke belakang dan kehilangan kemampuan untuk berjalan.Sambil merangkak dan bergemetaran, warga tersebut berusaha pulang ke rumah, menyampaikan hasil penemuannya kepada setiap warga yang berhasil ia temui sepanjang jalan.Penemuan tersebut berhasil membuat geger seluruh warga desa. Suasana desa yang sedang tidak baik-baik saja jadi tambah berduka dan bertanya-tanya siapa pelaku sebenarnya dan atas dasar apa melakukan ini semua.Banyak para orang tua dari gadis yang turut menjadi korban mendadak gila karena kehilangan putri kesayangan mereka secara tak biasa. Bahkan, ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena tak tahan menanggung duka.Tak cukup sampai di situ, duka para warga desa kian bertambah ketika sebuah teror datang menghantui seluruh warga desa. Penampakan ad

  • Pewaris Darah Cemani   Misteri Kenangan di Kampung Mati

    BAB 4Ngeeeeng ….Suara mesin motor terdengar jelas, menggema ke indra pendengaran, terpantulkan oleh suasana malam yang sangat hening, berhasil menyamarkan suara katak yang sedang bergembira ria saling bersahutan menyambut genangan air yang terkumpul dari tetesan air hujan serta suara serangga kecil lainnya yang ikut mendominasi kidung pada malam hari.“Wis, Mbah. Sudah bisa di buka matanya. Alhamdulillah semua aman, kita selamat sampai tujuan. Insya Allah,” kata Denjaka, berhasil menebak dengan tepat jika saat ini Mbah Tarjo sedang menutup kedua matanya, menanti dengan harap-harap cemas akan keberhasilan Denjaka mengendalikan motornya melewati jalanan mengerikan yang hampir mirip dengan titian siratul mustaqim.Mendengar apa yang Denjaka katakan, pelan-pelan Mbah Tarjo mulai memberanikan diri membuka kedua matanya sedikit demi sedikit. Untuk memastikan bahwa dirinya sudah aman seperti yang Denjaka ucapkan, Mbah Tarjo mengedarkan pandangan ke arah kiri dan kanan, celingukan sampai ke

  • Pewaris Darah Cemani   Perpisahan dan Harapan

    BAB 3Tak berselang lama dengan kendaraan roda dua milik Denjaka keluar halaman meninggalkan padepokan, Bumi datang mengendarai sepeda motor kesayangannya, memarkirkannya di samping pintu masuk sembari menoleh ke belakang, menatap heran motor Denjaka yang sempat berpapasan dengan dirinya."Jaka mau pergi ke mana itu, Nduk?" tanya Bumi yang belum turun dari kuda besi miliknya, bertanya kepada Wintang yang masih berdiri di ambang pintu, melepas kepergian sang suami dengan panjatan doa yang tidak ada putus-putusnya, berharap Allah subhanahu wata'ala senantiasa melindungi suami tercintanya dimanapun berada."Ke rumah Mbah Tarjo, Mas," jawab Wintang sembari berjalan turun menapaki satu persatu beberapa deretan anak tangga, menghampiri Bumi yang baru saja datang, menyambutnya dengan ciuman tangan yang amat begitu takzim."Tumben," kata Bumi penuh rasa heran."Ono opo toh?" tanya Bumi penasaran."Kurang tahu, Mas. Tadi Mbah Tarjo datang minta tolong supaya Kang Mas Jaka mau menolong Winingsi

  • Pewaris Darah Cemani   Langkah Keraguan

    BAB 2“Tenang saja, Mas. Saya tidak sendirian. Kan ada Widuri yang akan menemani,” kata Wintang lagi, memotong keraguan sang suami, menoleh ke arah gadis kecil menggemaskan yang menyembulkan kepalanya dari balik ruangan, memperhatikan kedua orang tuanya secara diam-diam.Biasanya, jika Wintang sudah menyebut namanya dengan bangga, Widuri akan datang menyahut, membenarkan apa yang sang ibunda katakan dengan mantap. Namun kali ini, Widuri tidak melakukannya. Ia justru tampak berbeda dari biasanya.Tetapi berdiri di ambang pintu dan menyembulkan bagian kepalanya, gadis kecil itu malah menatap binar ke arah sang ayah sambil menggigit pelan bibir bawahnya. Kedua netranya hampir basah dengan keberadaan cairan bening yang berkumpul di bawah pelupuk mata. Ekspresi penuh harap-harap cemas juga tergambar jelas di wajah pemilik pipi cabi nan menggemaskan tersebut, seolah tidak ingin memberi izin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan dirinya di rumah."Ya sudah, Kang Mas berangkat dulu," kat

  • Pewaris Darah Cemani   Panggilan di Tengah Malam

    BAB 1“Mas Den! Mas Den! Tolong saya, tolong …!” Seorang laki-laki paruh baya berteriak kencang dari luar rumah sembari berlari tunggang langgang dengan langkah yang tergopoh-gopoh, membawa tubuh rentanya yang ringkih yang terbalut baju kumal yang sudah usang menuju sebuah pintu pada bangunan kayu jati yang ada di hadapannya. Bangunan kokoh tersebut seolah menyambut kedatangannya dengan kedua daun pintu gerbang yang terbuka lebar dan sempurna.“Mas Den!” teriaknya sekali lagi.Mendengar ada suara ribut dari luar, Denjaka yang sedang duduk termenung menatapi Pandu, putra sulung hasil pernikahannya bersama Wintang yang sedang terbaring di atas tempat tidur langsung bangun, bangkit dari tempat duduknya.“Ada apa Kang Mas?” tanya Wintang, ikut merasa penasaran.“Tidak tahu, Dik. Biar Kang Mas lihat dulu,” jawab Denjaka, kemudian bergegas berjalan ke luar meninggalkan kamar sang putra kesayangan dengan langkah yang sengaja ia buat agak sedikit cepat.Menyaksikan langkah demi langkah yang d

DMCA.com Protection Status