Home / Horor / Pewaris Darah Cemani / Misteri Kenangan di Kampung Mati

Share

Misteri Kenangan di Kampung Mati

Author: Aksara Suci
last update Last Updated: 2025-01-04 00:32:20

BAB 4

Ngeeeeng ….

Suara mesin motor terdengar jelas, menggema ke indra pendengaran, terpantulkan oleh suasana malam yang sangat hening, berhasil menyamarkan suara katak yang sedang bergembira ria saling bersahutan menyambut genangan air yang terkumpul dari tetesan air hujan serta suara serangga kecil lainnya yang ikut mendominasi kidung pada malam hari.

“Wis, Mbah. Sudah bisa di buka matanya. Alhamdulillah semua aman, kita selamat sampai tujuan. Insya Allah,” kata Denjaka, berhasil menebak dengan tepat jika saat ini Mbah Tarjo sedang menutup kedua matanya, menanti dengan harap-harap cemas akan keberhasilan Denjaka mengendalikan motornya melewati jalanan mengerikan yang hampir mirip dengan titian siratul mustaqim.

Mendengar apa yang Denjaka katakan, pelan-pelan Mbah Tarjo mulai memberanikan diri membuka kedua matanya sedikit demi sedikit. Untuk memastikan bahwa dirinya sudah aman seperti yang Denjaka ucapkan, Mbah Tarjo mengedarkan pandangan ke arah kiri dan kanan, celingukan sampai ke belakang juga, memeriksa keberadaan jalanan mengerikan yang sudah terlewat cukup lumayan jauh.

Berhasil memastikan dirinya benar-benar sudah tak lagi berada dalam bahaya yang mampu membuat nyawanya terasa terancam, Mbah Tarjo membuang nafas panjang, merasa lega bukan main.

“Syukurlah.” Mbah Tarjo berucap sembari mengelus dadanya berulang-ulang.

“Alhamdulillah Mbah, diparingi selamet sama Gusti Allah,” kata Denjaka, menyahut.

“Inggih, Mas Den. Badan si Mbah sampai gemeteran,” timpal Mbah Tarjo masih mengelus dadanya berulang-ulang kali.

Mendengar itu, Denjaka hanya tersenyum simpul sambil terus fokus ke arah jalan yang akan ia tuju selanjutnya. Berada dekat dengan Mbah Tarjo membuat rasa rindunya kepada Mas Cahyo, mendiang ayah angkatnya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu sedikit agak terobati sekarang. Jika dilihat dari penampilan fisiknya, Mbah Tarjo memang terlihat seumuran dengan almarhum Mas Cahyo meski saat ini di usianya yang sudah senja, Mbah Tarjo masih memiliki anak gadis.

Ya, Mbah Tarjo terbilang terlambat dikarunia seorang anak. Di usia pernikahannya yang ke dua puluh tahun, Mbah Tarjo memang baru dipercaya oleh Tuhan untuk dititipkan seorang keturunan.

Itulah sebabnya Mbah Tarjo sangat menyayangi Winingsih sepenuh hati. Meski keadaan ekonomi keluarganya terbilang sulit, Mbah Tarjo selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk gadis manis kesayangannya itu.

“Mbah, ngapunten nggih saya mau tanya sesuatu,” kata Denjaka lagi, membuka obrolan kembali setelah beberapa waktu saling terdiam.

“Monggo, Mas Den, monggo. Silahkan tanyakan apa saja kepada si Mbah, nanti si Mbah jawab,” balas Mbah Tarjo meninggikan suaranya agar tidak kalah dengan bisingnya angin yang coba mereka tembus bersama kuda besi kesayangan Denjaka serta suara mesin motor yang lumayan berisik.

Meski usia Mbah Tarjo terbilang jauh lebih tua dibanding usia Denjaka yang tak ada separuhnya, Mbah Tarjo tetap tak bisa membuang sebutan 'Mas' yang terlanjur melekat kepada Denjaka sebagai orang yang dihormati serta dituakan meski masih sangat muda.

Sama seperti mendiang Mas Cahyo selama hidupnya, Denjaka juga mewarisi julukan penuh kehormatan dari semua orang. Bukan Denjaka yang menginginkan, hanya saja semua orang memanggilnya demikian berkat ilmu pengetahuan serta jasa yang ia punya untuk semua orang.

“Mbah Tarjo betah tinggal di sini tanpa tetangga?” tanya Denjaka, berusaha menyusun kata demi kata dengan penuh kehati-hatian. Takut salah ucap dan menyinggung perasaan Mbah Tarjo.

Tak langsung menjawab, Mbah Tarjo terdiam beberapa saat. Matanya terus bergerak, merasakan pahitnya kenyataan yang sulit ia terima. Bukan tak ingin sebenarnya bagi Mbah Tarjo memboyong keluarga besarnya pindah dari kampung yang kini sudah berubah menjadi hutan rimba, hanya saja ia terpaksa tetap bertahan di tempat tinggalnya yang sekarang, sebab tak ada pilihan karena keterbatasan ekonomi yang ia miliki.

Bukan karena Mbah Tarjo tak berusaha keras untuk merubah nasib keluarganya menjadi jauh lebih baik lagi serta serba berkecukupan seperti apa yang selama ini menjadi mimpi-mimpinya setiap hari, akan tetapi, di usianya yang tak lagi muda, dengan tenaga yang masih tersisa, Mbah Tarjo tak bisa berbuat banyak selain mencari rebung bambu serta kayu kering untuk dijual demi memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Dengan hasil yang tak seberapa, tentu untuk bisa makan tiga kali sehari saja Mbah Tarjo sudah merasa sangat bersyukur tentunya.

Dahulu, sepanjang jalan yang sedang Denjaka lalui bersama Mbah Tarjo saat ini adalah sebuah pemukiman warga yang cukup padat penduduknya. Rumah-rumah sederhana berdiri saling berdampingan, menjadi saksi bahwa sebuah kehidupan berjalan sebagaimana mestinya.

Para warga yang dominan seorang petani, mereka sibuk menggarap sawah dan ladang milik mereka sendiri. Perekonomian mereka juga lumayan, cukup untuk hidup dan makan seluruh anggota keluarga setiap warga.

Namun, semuanya berubah setelah bencana besar melanda seluruh warga desa secara tiba-tiba. Di mana sebuah tragedi besar terjadi, yakni ketika seluruh para gadis mendadak menghilang dalam satu malam tanpa jejak.

“Ya bagaimana lagi, Mas Den. Mau tinggal di tempat lain si Mbah tidak punya uang. Jadi ya terpaksa bertahan bersama para binatang yang ada di hutan,” jawab Mbah Tarjo sebenar-benarnya, berkata jujur tentang keadaan dirinya bersama keluarga kecilnya saat ini.

Kali ini matanya tampak berkaca-kaca, cairan bening menggantung di bawah pelupuk mata ketika motor yang mereka tumpangi melaju melewati barisan makam yang sudah lama, hampir tak terlihat lagi, tertutupi semak belukar yang tumbuh liar dengan begitu sangat rindang, menutup seluruh permukaan makam serta batu-batu nisan yang masih tersisa. Kabut tebal dan asap yang entah muncul dari mana juga tampak memenuhi area makam, memperkuat pekatnya suasana yang amat begitu gelap pada area makam yang sangat mencekam, mengerikan serta menyimpan cerita seram pada kejadian puluhan tahun silam.

Pikiran Mbah Tarjo melayang, teringat pada kejadian tepat tujuh belas tahun yang lalu, dimana awal mula seluruh anak gadis di desanya menghilang tanpa sebab yang bisa dijadikan sebuah alasan. Waktu itu, semua orang sibuk membelah hutan, menjelajahi semua tempat yang tak pernah terjamah, dari ujung desa sampai ke ujung desa, tak ada satu tempat pun yang luput dari pencarian mereka semua. Meski sudah mencari kesuluh tempat, namun pencarian besar-besaran yang seluruh warga lakukan tak kunjung membuahkan hasil.

Hingga suatu hari, seorang warga tiba-tiba menemukan sebuah jejak tak biasa di dekat sebuah bangunan kokoh yang sudah kosong sejak lama, yakni sebuah tetesan panjang mirip darah kering yang tertitikan sampai ke ujung bangunan.

Dengan didorong rasa penasaran, meski merasa takut, warga tersebut mencoba mendekat selangkah demi selangkah sembari memanggul cangkul yang ia bawa. Niat hati ingin mencangkul di sawah, harus ia gagalkan karena perhatiannya teralihkan pada jejak tak biasa yang ia temukan.

Betapa ia sangat terkejut bukan main, ketika sampai di depan pintu bangunan yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, terbuka seolah menyambut kedatangannya, siap mengungkap sebuah tabir misteri yang selama ini mencoba semua orang pecahkan. Jantungnya langsung terasa copot dari tempat seharusnya, mencelos, mengundang syok tak terhingga ketika di dalam sebuah bangunan ia menyaksikan dengan mata serta kepalanya sendiri bahwa para gadis yang selama ini dicari oleh semua orang ada di sana, tergantung di langit-langit bangunan dengan posisi rambut di tarik ke atas.

Related chapters

  • Pewaris Darah Cemani   Jejak Tragedi

    BAB 5Keadaan para gadis sangat mengenaskan, sudah membusuk dan dipenuhi belatung-belatung kecil yang menjadikan mayat-mayat itu menjadi sebuah santapan, membuat warga tersebut kaget bukan main, sampai-sampai tubuhnya ambruk ke belakang dan kehilangan kemampuan untuk berjalan.Sambil merangkak dan bergemetaran, warga tersebut berusaha pulang ke rumah, menyampaikan hasil penemuannya kepada setiap warga yang berhasil ia temui sepanjang jalan.Penemuan tersebut berhasil membuat geger seluruh warga desa. Suasana desa yang sedang tidak baik-baik saja jadi tambah berduka dan bertanya-tanya siapa pelaku sebenarnya dan atas dasar apa melakukan ini semua.Banyak para orang tua dari gadis yang turut menjadi korban mendadak gila karena kehilangan putri kesayangan mereka secara tak biasa. Bahkan, ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena tak tahan menanggung duka.Tak cukup sampai di situ, duka para warga desa kian bertambah ketika sebuah teror datang menghantui seluruh warga desa. Penampakan ad

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pewaris Darah Cemani   Makhluk Penuh Ancaman

    Namun, merasa yakin bahwa Mbah Tarjo tidak mungkin rela berjalan kaki jauh-jauh datang ke padepokan menemui dirinya hanya untuk menipu, Denjaka mencoba menepis prasangka buruk di hatinya, membuang jauh-jauh rasa ragu yang ada di dalam dada. Lagi pula, Denjaka sangat tahu jika Mbah Tarjo bukan orang jahat meski takdir tak selalu memihak orang tua yang sudah ia kenal sejak lama tersebut.Kreeet … kreeet … kreeet ….Setiap kali memindahkan langkah, lantai rumah Mbah Tarjo mengeluarkan suara derit lumayan berisik, membuat Denjaka semakin rikuh dan meningkatkan penuh kehati-hatian di dalam diri setiap kali mengambil langkahnya yang sengaja sudah ia buat pelan. Minimnya cahaya penerangan yang ada juga semakin mengundang keraguan di hati Denjaka. Meski sudah mencoba, Denjaka tidak bisa mempercayai langkah kaki yang ia ambil sendiri.Menyusul langkah Denjaka yang sudah masuk lebih dulu, Mbah Tarjo mengambil lampu dimar yang ditempel di salah satu sisi dinding rumahnya terlebih dahulu, membawa

    Last Updated : 2025-01-08
  • Pewaris Darah Cemani   Rindu yang Membahayakan

    Di tempat lain ….“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan

    Last Updated : 2025-01-08
  • Pewaris Darah Cemani   Sosok Pandu

    Dengan susah payah, gadis kecil itu berjingkit, berusaha meraih gagang pintu agar bisa membukanya. Beberapa kali, Widuri sempat gagal. Tubuhnya yang belum seberapa tinggi tidak berhasil meraih gagang pintu di hadapannya.Namun, Widuri tidak menyerah begitu saja. Dengan semangat yang membuatnya pantang menyerah, Widuri terus mencoba.Sekali lagi, Widuri kembali gagal. Sudah berusaha melompatkan kedua kakinya tinggi-tinggi berulang-ulang kali, tetap saja tangannya tak sampai meraih gagang pintu yang sejak tadi menjadi incarannya.Sadar jika usahanya akan tetap sia-sia, gadis kecil itu memilih berhenti sejenak, tidak lagi melanjutkan usaha dan kerja keras yang sebelumnya ia lakukan penuh semangat. Akan tetapi, Widuri sama sekali tidak menyerah. Dalam diam, Widuri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menyapu setiap inci sela dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membantu dirinya agar bisa berhasil meraih gagang pintu dan me

    Last Updated : 2025-01-09
  • Pewaris Darah Cemani   Langkah Penuh Bahaya

    Tak berniat menjawab pertanyaan dari Widuri, Pandu bergeming, tetap diam seribu bahasa sambil terus membimbing Widuri mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Pelan tapi pasti, langkah yang Pandu dan Widuri ambil semakin lama semakin jauh. Tanpa terasa, keduanya sampai hampir sampai ke gawang pintu gerbang, batas area padepokan dengan jalanan poros perkampungan. Teringat akan pesan yang selalu ibunya berikan, Widuri mendadak berhenti. Widuri tertahan, enggan meninggalkan area padepokan. Atas keputusannya itu, sosok Pandu yang sejak tadi menggandeng tangannya kini menoleh, menatap Widuri penuh kekecewaan. “Ibu bilang kita tidak boleh keluar, Mas,” ucap bocah kecil itu, mencoba mengingatkan pesan sang ibunda kepada Kang Masnya itu, berharap Pandu mau berhenti dan tak lagi meneruskan perjalanan yang saat ini mereka berdua lakukan tanpa sempat membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelumnya. Namun, seolah tidak ped

    Last Updated : 2025-01-09
  • Pewaris Darah Cemani   Panggilan di Tengah Malam

    BAB 1“Mas Den! Mas Den! Tolong saya, tolong …!” Seorang laki-laki paruh baya berteriak kencang dari luar rumah sembari berlari tunggang langgang dengan langkah yang tergopoh-gopoh, membawa tubuh rentanya yang ringkih yang terbalut baju kumal yang sudah usang menuju sebuah pintu pada bangunan kayu jati yang ada di hadapannya. Bangunan kokoh tersebut seolah menyambut kedatangannya dengan kedua daun pintu gerbang yang terbuka lebar dan sempurna.“Mas Den!” teriaknya sekali lagi.Mendengar ada suara ribut dari luar, Denjaka yang sedang duduk termenung menatapi Pandu, putra sulung hasil pernikahannya bersama Wintang yang sedang terbaring di atas tempat tidur langsung bangun, bangkit dari tempat duduknya.“Ada apa Kang Mas?” tanya Wintang, ikut merasa penasaran.“Tidak tahu, Dik. Biar Kang Mas lihat dulu,” jawab Denjaka, kemudian bergegas berjalan ke luar meninggalkan kamar sang putra kesayangan dengan langkah yang sengaja ia buat agak sedikit cepat.Menyaksikan langkah demi langkah yang d

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pewaris Darah Cemani   Langkah Keraguan

    BAB 2“Tenang saja, Mas. Saya tidak sendirian. Kan ada Widuri yang akan menemani,” kata Wintang lagi, memotong keraguan sang suami, menoleh ke arah gadis kecil menggemaskan yang menyembulkan kepalanya dari balik ruangan, memperhatikan kedua orang tuanya secara diam-diam.Biasanya, jika Wintang sudah menyebut namanya dengan bangga, Widuri akan datang menyahut, membenarkan apa yang sang ibunda katakan dengan mantap. Namun kali ini, Widuri tidak melakukannya. Ia justru tampak berbeda dari biasanya.Tetapi berdiri di ambang pintu dan menyembulkan bagian kepalanya, gadis kecil itu malah menatap binar ke arah sang ayah sambil menggigit pelan bibir bawahnya. Kedua netranya hampir basah dengan keberadaan cairan bening yang berkumpul di bawah pelupuk mata. Ekspresi penuh harap-harap cemas juga tergambar jelas di wajah pemilik pipi cabi nan menggemaskan tersebut, seolah tidak ingin memberi izin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan dirinya di rumah."Ya sudah, Kang Mas berangkat dulu," kat

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pewaris Darah Cemani   Perpisahan dan Harapan

    BAB 3Tak berselang lama dengan kendaraan roda dua milik Denjaka keluar halaman meninggalkan padepokan, Bumi datang mengendarai sepeda motor kesayangannya, memarkirkannya di samping pintu masuk sembari menoleh ke belakang, menatap heran motor Denjaka yang sempat berpapasan dengan dirinya."Jaka mau pergi ke mana itu, Nduk?" tanya Bumi yang belum turun dari kuda besi miliknya, bertanya kepada Wintang yang masih berdiri di ambang pintu, melepas kepergian sang suami dengan panjatan doa yang tidak ada putus-putusnya, berharap Allah subhanahu wata'ala senantiasa melindungi suami tercintanya dimanapun berada."Ke rumah Mbah Tarjo, Mas," jawab Wintang sembari berjalan turun menapaki satu persatu beberapa deretan anak tangga, menghampiri Bumi yang baru saja datang, menyambutnya dengan ciuman tangan yang amat begitu takzim."Tumben," kata Bumi penuh rasa heran."Ono opo toh?" tanya Bumi penasaran."Kurang tahu, Mas. Tadi Mbah Tarjo datang minta tolong supaya Kang Mas Jaka mau menolong Winingsi

    Last Updated : 2025-01-04

Latest chapter

  • Pewaris Darah Cemani   Langkah Penuh Bahaya

    Tak berniat menjawab pertanyaan dari Widuri, Pandu bergeming, tetap diam seribu bahasa sambil terus membimbing Widuri mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Pelan tapi pasti, langkah yang Pandu dan Widuri ambil semakin lama semakin jauh. Tanpa terasa, keduanya sampai hampir sampai ke gawang pintu gerbang, batas area padepokan dengan jalanan poros perkampungan. Teringat akan pesan yang selalu ibunya berikan, Widuri mendadak berhenti. Widuri tertahan, enggan meninggalkan area padepokan. Atas keputusannya itu, sosok Pandu yang sejak tadi menggandeng tangannya kini menoleh, menatap Widuri penuh kekecewaan. “Ibu bilang kita tidak boleh keluar, Mas,” ucap bocah kecil itu, mencoba mengingatkan pesan sang ibunda kepada Kang Masnya itu, berharap Pandu mau berhenti dan tak lagi meneruskan perjalanan yang saat ini mereka berdua lakukan tanpa sempat membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelumnya. Namun, seolah tidak ped

  • Pewaris Darah Cemani   Sosok Pandu

    Dengan susah payah, gadis kecil itu berjingkit, berusaha meraih gagang pintu agar bisa membukanya. Beberapa kali, Widuri sempat gagal. Tubuhnya yang belum seberapa tinggi tidak berhasil meraih gagang pintu di hadapannya.Namun, Widuri tidak menyerah begitu saja. Dengan semangat yang membuatnya pantang menyerah, Widuri terus mencoba.Sekali lagi, Widuri kembali gagal. Sudah berusaha melompatkan kedua kakinya tinggi-tinggi berulang-ulang kali, tetap saja tangannya tak sampai meraih gagang pintu yang sejak tadi menjadi incarannya.Sadar jika usahanya akan tetap sia-sia, gadis kecil itu memilih berhenti sejenak, tidak lagi melanjutkan usaha dan kerja keras yang sebelumnya ia lakukan penuh semangat. Akan tetapi, Widuri sama sekali tidak menyerah. Dalam diam, Widuri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menyapu setiap inci sela dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membantu dirinya agar bisa berhasil meraih gagang pintu dan me

  • Pewaris Darah Cemani   Rindu yang Membahayakan

    Di tempat lain ….“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan

  • Pewaris Darah Cemani   Makhluk Penuh Ancaman

    Namun, merasa yakin bahwa Mbah Tarjo tidak mungkin rela berjalan kaki jauh-jauh datang ke padepokan menemui dirinya hanya untuk menipu, Denjaka mencoba menepis prasangka buruk di hatinya, membuang jauh-jauh rasa ragu yang ada di dalam dada. Lagi pula, Denjaka sangat tahu jika Mbah Tarjo bukan orang jahat meski takdir tak selalu memihak orang tua yang sudah ia kenal sejak lama tersebut.Kreeet … kreeet … kreeet ….Setiap kali memindahkan langkah, lantai rumah Mbah Tarjo mengeluarkan suara derit lumayan berisik, membuat Denjaka semakin rikuh dan meningkatkan penuh kehati-hatian di dalam diri setiap kali mengambil langkahnya yang sengaja sudah ia buat pelan. Minimnya cahaya penerangan yang ada juga semakin mengundang keraguan di hati Denjaka. Meski sudah mencoba, Denjaka tidak bisa mempercayai langkah kaki yang ia ambil sendiri.Menyusul langkah Denjaka yang sudah masuk lebih dulu, Mbah Tarjo mengambil lampu dimar yang ditempel di salah satu sisi dinding rumahnya terlebih dahulu, membawa

  • Pewaris Darah Cemani   Jejak Tragedi

    BAB 5Keadaan para gadis sangat mengenaskan, sudah membusuk dan dipenuhi belatung-belatung kecil yang menjadikan mayat-mayat itu menjadi sebuah santapan, membuat warga tersebut kaget bukan main, sampai-sampai tubuhnya ambruk ke belakang dan kehilangan kemampuan untuk berjalan.Sambil merangkak dan bergemetaran, warga tersebut berusaha pulang ke rumah, menyampaikan hasil penemuannya kepada setiap warga yang berhasil ia temui sepanjang jalan.Penemuan tersebut berhasil membuat geger seluruh warga desa. Suasana desa yang sedang tidak baik-baik saja jadi tambah berduka dan bertanya-tanya siapa pelaku sebenarnya dan atas dasar apa melakukan ini semua.Banyak para orang tua dari gadis yang turut menjadi korban mendadak gila karena kehilangan putri kesayangan mereka secara tak biasa. Bahkan, ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena tak tahan menanggung duka.Tak cukup sampai di situ, duka para warga desa kian bertambah ketika sebuah teror datang menghantui seluruh warga desa. Penampakan ad

  • Pewaris Darah Cemani   Misteri Kenangan di Kampung Mati

    BAB 4Ngeeeeng ….Suara mesin motor terdengar jelas, menggema ke indra pendengaran, terpantulkan oleh suasana malam yang sangat hening, berhasil menyamarkan suara katak yang sedang bergembira ria saling bersahutan menyambut genangan air yang terkumpul dari tetesan air hujan serta suara serangga kecil lainnya yang ikut mendominasi kidung pada malam hari.“Wis, Mbah. Sudah bisa di buka matanya. Alhamdulillah semua aman, kita selamat sampai tujuan. Insya Allah,” kata Denjaka, berhasil menebak dengan tepat jika saat ini Mbah Tarjo sedang menutup kedua matanya, menanti dengan harap-harap cemas akan keberhasilan Denjaka mengendalikan motornya melewati jalanan mengerikan yang hampir mirip dengan titian siratul mustaqim.Mendengar apa yang Denjaka katakan, pelan-pelan Mbah Tarjo mulai memberanikan diri membuka kedua matanya sedikit demi sedikit. Untuk memastikan bahwa dirinya sudah aman seperti yang Denjaka ucapkan, Mbah Tarjo mengedarkan pandangan ke arah kiri dan kanan, celingukan sampai ke

  • Pewaris Darah Cemani   Perpisahan dan Harapan

    BAB 3Tak berselang lama dengan kendaraan roda dua milik Denjaka keluar halaman meninggalkan padepokan, Bumi datang mengendarai sepeda motor kesayangannya, memarkirkannya di samping pintu masuk sembari menoleh ke belakang, menatap heran motor Denjaka yang sempat berpapasan dengan dirinya."Jaka mau pergi ke mana itu, Nduk?" tanya Bumi yang belum turun dari kuda besi miliknya, bertanya kepada Wintang yang masih berdiri di ambang pintu, melepas kepergian sang suami dengan panjatan doa yang tidak ada putus-putusnya, berharap Allah subhanahu wata'ala senantiasa melindungi suami tercintanya dimanapun berada."Ke rumah Mbah Tarjo, Mas," jawab Wintang sembari berjalan turun menapaki satu persatu beberapa deretan anak tangga, menghampiri Bumi yang baru saja datang, menyambutnya dengan ciuman tangan yang amat begitu takzim."Tumben," kata Bumi penuh rasa heran."Ono opo toh?" tanya Bumi penasaran."Kurang tahu, Mas. Tadi Mbah Tarjo datang minta tolong supaya Kang Mas Jaka mau menolong Winingsi

  • Pewaris Darah Cemani   Langkah Keraguan

    BAB 2“Tenang saja, Mas. Saya tidak sendirian. Kan ada Widuri yang akan menemani,” kata Wintang lagi, memotong keraguan sang suami, menoleh ke arah gadis kecil menggemaskan yang menyembulkan kepalanya dari balik ruangan, memperhatikan kedua orang tuanya secara diam-diam.Biasanya, jika Wintang sudah menyebut namanya dengan bangga, Widuri akan datang menyahut, membenarkan apa yang sang ibunda katakan dengan mantap. Namun kali ini, Widuri tidak melakukannya. Ia justru tampak berbeda dari biasanya.Tetapi berdiri di ambang pintu dan menyembulkan bagian kepalanya, gadis kecil itu malah menatap binar ke arah sang ayah sambil menggigit pelan bibir bawahnya. Kedua netranya hampir basah dengan keberadaan cairan bening yang berkumpul di bawah pelupuk mata. Ekspresi penuh harap-harap cemas juga tergambar jelas di wajah pemilik pipi cabi nan menggemaskan tersebut, seolah tidak ingin memberi izin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan dirinya di rumah."Ya sudah, Kang Mas berangkat dulu," kat

  • Pewaris Darah Cemani   Panggilan di Tengah Malam

    BAB 1“Mas Den! Mas Den! Tolong saya, tolong …!” Seorang laki-laki paruh baya berteriak kencang dari luar rumah sembari berlari tunggang langgang dengan langkah yang tergopoh-gopoh, membawa tubuh rentanya yang ringkih yang terbalut baju kumal yang sudah usang menuju sebuah pintu pada bangunan kayu jati yang ada di hadapannya. Bangunan kokoh tersebut seolah menyambut kedatangannya dengan kedua daun pintu gerbang yang terbuka lebar dan sempurna.“Mas Den!” teriaknya sekali lagi.Mendengar ada suara ribut dari luar, Denjaka yang sedang duduk termenung menatapi Pandu, putra sulung hasil pernikahannya bersama Wintang yang sedang terbaring di atas tempat tidur langsung bangun, bangkit dari tempat duduknya.“Ada apa Kang Mas?” tanya Wintang, ikut merasa penasaran.“Tidak tahu, Dik. Biar Kang Mas lihat dulu,” jawab Denjaka, kemudian bergegas berjalan ke luar meninggalkan kamar sang putra kesayangan dengan langkah yang sengaja ia buat agak sedikit cepat.Menyaksikan langkah demi langkah yang d

DMCA.com Protection Status