Namun, merasa yakin bahwa Mbah Tarjo tidak mungkin rela berjalan kaki jauh-jauh datang ke padepokan menemui dirinya hanya untuk menipu, Denjaka mencoba menepis prasangka buruk di hatinya, membuang jauh-jauh rasa ragu yang ada di dalam dada. Lagi pula, Denjaka sangat tahu jika Mbah Tarjo bukan orang jahat meski takdir tak selalu memihak orang tua yang sudah ia kenal sejak lama tersebut.
Kreeet … kreeet … kreeet …. Setiap kali memindahkan langkah, lantai rumah Mbah Tarjo mengeluarkan suara derit lumayan berisik, membuat Denjaka semakin rikuh dan meningkatkan penuh kehati-hatian di dalam diri setiap kali mengambil langkahnya yang sengaja sudah ia buat pelan. Minimnya cahaya penerangan yang ada juga semakin mengundang keraguan di hati Denjaka. Meski sudah mencoba, Denjaka tidak bisa mempercayai langkah kaki yang ia ambil sendiri. Menyusul langkah Denjaka yang sudah masuk lebih dulu, Mbah Tarjo mengambil lampu dimar yang ditempel di salah satu sisi dinding rumahnya terlebih dahulu, membawa lampu dimar tersebut dengan sangat hati-hati. Sambil berjalan, tangan Mbah Tarjo yang lain sengaja diletakan di dekat api dimar, menjaga agar api dimar tidak sampai mati terhembus angin yang bisa muncul kapan saja tanpa sempat terdeteksi. “Winingsih dan ibunya ada di kamar, Mas Den,” ucap Mbah Tarjo, mendahului Denjaka, membimbing langkah Denjaka menuju sebuah ruangan yang berada tidak jauh dari sana. Sebuah kain jarik yang dijadikan gorden pintu kamar disibak oleh Mbah Tarjo, memperlihatkan seorang wanita tua yang duduk di atas lantai sembari menangis tanpa suara di sisi sang putri kesayangan yang sedang berbaring di atas tikar purun dengan wajah pucat pasi dan kedua mata yang terbelalak lebar, melotot dengan sangat sempurna, menggambarkan dengan jelas bahwa ada sosok lain yang ikut bersemayam pada tubuh gadis cantik tersebut dan berusaha menjadi parasit, mencoba menguasai si pemilik diri yang dirasuki. Baru melihat sekilas saja, Denjaka sudah bisa menebak apa yang terjadi pada Winingsih. Gadis ayu itu sedang dirasuki oleh roh lain yang berusaha mencoba mengambil alih tubuh milik Winingsih untuk sebuah tujuannya sendiri tanpa peduli bagaimana keadaan si pemilik asli. “Silahkan masuk, Mas Den,” ajak Mbah Tarjo, mempersilahkan Denjaka untuk ikut masuk ke dalam kamar yang amat begitu sempit tempat Winingsih berada. “Bismillahirrohmanirrohim,” lirih Denjaka sembari merogoh saku baju miliknya, mengeluarkan tasbih pemberian mendiang Mas Cahyo yang diwariskan kepada dirinya sebagai penerus langkah Mas Cahyo selama hidup. Sambil melangkah maju, Denjaka terus merapalkan doa-doa, menggerak-gerakkan bibirnya tanpa henti, mencoba mendekati Winingsih yang sekilas masih terlihat tampak tenang. Namun, Denjaka tidak terkecoh sedikit pun, tegap melakukan apa yang harus ia lakukan penuh kewaspadaan. Srek! Tanpa aba-aba, Winingsih menolehkan kepalanya, menatap ke arah Denjaka dengan sangat begitu tajam. Bibirnya menyeringai, memamerkan senyum mengerikan yang nampak terlihat jelas dari wajah ayu yang sebagian tertutup rambut panjang terurai miliknya. “Manusia sombong! Kamu tidak akan bisa mengalahkanku!” kata Winingsih dengan suara parau, sangat jelas betul jika suara itu bukan suara asli miliknya sendiri. “Hahaha!” Tawa Winingsih pecah, meremehkan Denjaka yang saat ini berada tepat di hadapannya dengan bibir yang tak berhenti bergerak, merapalkan doa-doa. Denjaka berusaha memantapkan langkahnya. Meski tatapan yang Winingsih berikan kepada dirinya sempat membuat goyah, Denjaka kembali meyakinkam diri meneguhkan hati dan juga pikiran. Sudah lama tak berhadapan dengan kasus demikian membuat Denjaka deg-degan dan penuh keraguan. Untungnya, itu tidak lama. Secepat mungkin, Denjaka berusaha mengendalikan dirinya, meredam segala sesuatu yang sempat berhasil membuatnya merasa berkecil hati sambil terus melafadzkan doa-doa yang pernah diajarkan oleh mendiang ayah angkatnya. “Audzubillah himinas syaiton nirojim—!” Denjaka mengangkat tangan kanannya ke atas sementara tangannya yang lain terus memilin biji tasbih yang ia pegang, meletakkannya di atas kepala Winingsih yang saat ini setengah duduk sembari terus melafadzkan ayat-ayat suci Al-qur’an. “Aku tidak akan pergi dari sini, wahai anak Adam!” teriak Winingsih menantang, semakin membelalakan kedua matanya yang berwarna putih dengan pupil kecil sampai hampir keluar. “Aku akan mengambil apa yang memang sejak awal sudah dipersiapkan untuk menjadi milikku!” lanjut Winingsih dengan suara melengking. Kepala Winingsih mendongak ke atas, menatap langit-langit rumah yang berhasil ditembus oleh cahaya rembulan yang muncul pada malam hari. “Aaaaaa!” Winingsing menjerit kesakitan, namun tetap bertahan. Merasa usahanya belum cukup berhasil mengusir makhluk yang merasuki Winingsih keluar dan membiarkan gadis ayu itu terbebas begitu saja, Denjaka langsung melanjutkan melafadzkan surah Al-Baqarah ayat dua ratus lima puluh lima. “Allahu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyum, Laa takhuduhu sinatu wala naum—!” ucap Denjaka dengan lantang. Tangan Denjaka bergemetar, menerima perlawanan dari makhluk yang ada di dalam tubuh Winingsih. Makhluk itu menolak untuk keluar, apapun caranya. Namun, yakin jika bacaan Al-qur’an yang ia lafadzkan tak akan kalah, Denjaka sama sekali tidak gentar. Denjaka yakin, hanya tinggal menunggu waktu saja, makhluk itu pasti akan kalah dan menyerah dengan sendirinya lalu pergi meninggalkan tubuh Winingsih begitu saja. Denjaka sangat percaya, jika kekuatan asma Allah tidak akan bisa dikalahkan oleh makhluk apapun yang ada di muka bumi ini. “Aaaaaaaa!” Sekali lagi, Winingsih menjerit kesakitan. Bersamaan dengan itu, wajah yang sebelumnya pucat pasi, kini berubah menjadi biru keunguan. Tak hanya area bagian wajah saja, tapi bagian tubuh yang lain juga. Urat-urat kecil menonjol keluar, membuat garis seperti retakan di seluruh permukaan kulit, seolah akan segera pecah. “Kurang ajar!” pekik Winingsih yang masih dikendalikan makhluk tak kasat mata, tak terima rencananya diganggu oleh Denjaka. Sama sekali tidak menggubris apa yang makhluk itu katakan, Denjaka terus meneruskan bacaannya, melanjutkan doa-doa yang sama dengan doa-doa yang selalu digunakan oleh mendiang Mas Cahyo. “Aaaaaaaa!” Makhluk di dalam tubuh Winingsih kembali berteriak sampai memekik, kali ini bersamaan dengan seluruh tubuh milik Winingsih yang mendadak terangkat ke atas sampai hampir berdiri, namun dengan posisi kaki yang tidak tegak. Secara logika, dengan posisi seperti itu, harusnya tubuh Winingsih sudah ambruk, jatuh ke bawah sejak tadi. Namun kenyataannya, dengan kekuatan lain yang ada di dalam tubuh Winingsih, Winingsih saat ini bisa melayang, terangkat dengan sendirinya tanpa memerlukan sebuah keseimbangan yang biasa dibutuhkan untuk menopang tubuh setiap orang, tak peduli posisi apapun yang sedang dilakukan. “Pak, Winingsih, Pak ….” ucap Mbok Marni merasa sedih, membenamkan wajahnya pada dada ringkih milik sang suami, menumpahkan air matanya yang tak bisa menitik keluar, tak kuasa menyaksikan putri kesayangannya menderita dan kesakitan. “Tenang, Bu. Mas Denjaka sedang berusaha membantu Winingsih, anak kita,” balas Mbah Tarjo dengan suara bergetar serta netra yang sudah meremang, mencoba menenangkan istrinya meski hatinya juga merasa jauh lebih pilu menyaksikan anak semata wayang yang ia dapatkan dengan susah payah kini harus menderita dalam pekik kesakitan yang terus menggema dalam indera pendengaran. “Manusia kurang ajar!” pekik makhluk yang ada di dalam tubuh Winingsih, memaki apa yang sudah Denjaka lakukan. “Berani-beraninya kamu mencampuri urusanku! Kamu akan menyesaaal!” lanjutnya lagi, semakin melengking, menggemakan suara sampai ke luar rumah. “Kau dan anak keturunanmu tidak akan hidup tenang!” "Hahahahaha!" Lanjutnya lagi, lalu tertawa tertahan, tetap bersikap sombong di tengah serangan Denjaka yang semakin menyulitkannya.Di tempat lain ….“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan
Dengan susah payah, gadis kecil itu berjingkit, berusaha meraih gagang pintu agar bisa membukanya. Beberapa kali, Widuri sempat gagal. Tubuhnya yang belum seberapa tinggi tidak berhasil meraih gagang pintu di hadapannya.Namun, Widuri tidak menyerah begitu saja. Dengan semangat yang membuatnya pantang menyerah, Widuri terus mencoba.Sekali lagi, Widuri kembali gagal. Sudah berusaha melompatkan kedua kakinya tinggi-tinggi berulang-ulang kali, tetap saja tangannya tak sampai meraih gagang pintu yang sejak tadi menjadi incarannya.Sadar jika usahanya akan tetap sia-sia, gadis kecil itu memilih berhenti sejenak, tidak lagi melanjutkan usaha dan kerja keras yang sebelumnya ia lakukan penuh semangat. Akan tetapi, Widuri sama sekali tidak menyerah. Dalam diam, Widuri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menyapu setiap inci sela dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membantu dirinya agar bisa berhasil meraih gagang pintu dan me
Tak berniat menjawab pertanyaan dari Widuri, Pandu bergeming, tetap diam seribu bahasa sambil terus membimbing Widuri mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Pelan tapi pasti, langkah yang Pandu dan Widuri ambil semakin lama semakin jauh. Tanpa terasa, keduanya sampai hampir sampai ke gawang pintu gerbang, batas area padepokan dengan jalanan poros perkampungan. Teringat akan pesan yang selalu ibunya berikan, Widuri mendadak berhenti. Widuri tertahan, enggan meninggalkan area padepokan. Atas keputusannya itu, sosok Pandu yang sejak tadi menggandeng tangannya kini menoleh, menatap Widuri penuh kekecewaan. “Ibu bilang kita tidak boleh keluar, Mas,” ucap bocah kecil itu, mencoba mengingatkan pesan sang ibunda kepada Kang Masnya itu, berharap Pandu mau berhenti dan tak lagi meneruskan perjalanan yang saat ini mereka berdua lakukan tanpa sempat membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelumnya. Namun, seolah tidak ped
Betapa tidak, meski selama ini apa yang ada di hadapannya adalah hal yang selalu ia panjatkan dalam setiap doa, tapi Wintang tak pernah menyangka jika Pandu akan sadar secara tiba-tiba.“Ibu …,” ucap bocah tampan itu dengan suara serak, memanggil sang ibunda yang selama ini merasa paling terpukul atas apa yang menimpa dirinya.Seolah kehilangan kemampuan untuk berbicara, Wintang hanya diam tak memberi jawaban apa-apa. Ia masih belum bisa keluar dari rasa keterkejutannya, diam terpaku, beku serta membisu, dan terus menatap Pandu yang saat ini duduk di bibir ranjang penuh rasa tak percaya.“Ibu …,” panggil Pandu sekali lagi.Belum bisa menetralisir apa yang terjadi secara tiba-tiba, Wintang masih syok, dia bingung bagaimana harus mengekspresikan kebahagiaannya, hanya bisa diam terperangah, tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.“Pandu haus, Bu,” ucap bocah tampan itu lagi, memegangi tenggorokannya yang terasa amat kering.Bibir P
Di tempat lain.Keadaan Winingsih kini sudah jauh lebih baik. Gadis cantik itu sudah terlihat lebih segar meski agak pucat dan lemas. Keberhasilan Denjaka mengusir makhluk jahat dari dalam tubuh Winingsih membuat Mbah Tarjo dan Mbok Marni merasa lega.“Jangan pulang dulu, Mas Den. Kami sudah menyediakan hidangan sederhana. Kalau Mas Den tidak ingin bermalam, setidaknya makan dulu sedikit. Jangan biarkan Mas Den pulang dari sini dengan perut kosong,” kata Mbah Tarjo menahan Denjaka ketika berpamitan untuk pergi.Tak enak jika menolak, Denjaka akhirnya tak berdaya. Meski perasaannya saat ini tak karu-karuan, ingin segera pulang ke rumah, Denjaka mencoba menahannya, membiarkan Mbah Tarjo dan istri menyiapkan jamuan untuk dirinya.“Baiklah kalau begitu,” balas Denjaka akhirnya setuju.Mendengar Denjaka tidak menolak, Mbah Tarjo merasa senang bukan main. Tak bisa menyembunyikan kesuka citaannya atas persetujuan yang Denjaka berikan, Mbah Tarjo
Sudah beberapa jam, Ali mencari keberadaan Widuri tanpa henti. Ali tak sudi beristirahat sedikit pun meski kedua kakinya sudah merasa sangat penat dengan otot-otot kaki yang kencang semua, membuat Ali kesulitan untuk berjalan, menahan sakit setiap kali melangkahkan kakinya kembali, terasa amat kaku dan juga nyeri.Berada dalam usia yang tak lagi muda, ketahanan fisik Ali memang tak seperti dahulu kala, namun ia tetap berusaha keras, melakukan segala upaya yang ia bisa untuk segera menemukan sang cucu tanpa memperdulikan rasa lelah yang kini hinggap dan semakin merajalela, meminta dirinya untuk berhenti sekedar beristirahat sebentar sebelum melanjutkan pencariannya kembali.Merasa dituntut akan tanggung jawab yang harus ia penuhi kepada mendiang kakak seperguruan yang telah berpulang ke haribaan Allah subhanahu wa ta'ala lebih dulu, di tambah tanggung jawabnya sebagai seorang murid dari Almarhum mendiang Lek Sardi, Ali merasa memastikan keluarga Denjaka dan Wintang
Tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, kini kepala Denjaka dipenuhi oleh kekhawatiran atas anak perempuan kesayangannya. Semakin lama, perasaan itu semakin susah untuk diabaikan. Dengan mengikuti kata hati kecilnya, Denjaka bangkit berdiri, memaksakan tubuhnya yang mendadak terasa amat berat, enggan meninggalkan rumah kediaman keluarga Mbah Tarjo.“Aaaah!” Denjaka mengerang, masih berusaha keras untuk bisa berdiri secara sempurna melawan pusing di kepala yang mendadak ikut mendera, memaksa Denjaka untuk tetap tinggal di sana sampai besok pagi, sesuai rencana yang sudah diatur sedemikian rupa.Namun, takut anak kesayangannya kenapa-kenapa, Denjaka tidak mau kalah dengan itu semua. Tak perduli pada tubuh yang semakin lama semakin sulit untuk digerakan serta kepala yang bertambah kian sakit tiada tara, Denjaka tetap memantapkan apa yang sudah ia putuskan, mencoba melawan segala godaan yang memaksanya untuk tidak ke mana-mana.“Allahumma wafiqna li tha’
Melajukan motor miliknya dengan kecepatan penuh tanpa memperdulikan lubang di tengah jalan atau batu kerikil yang mencuat ke permukaan, terus trabas tanpa aba-aba, akhirnya Denjaka berhasil sampai ke rumahnya dengan selamat.Baru saja sampai di depan pintu gerbang, perasaan Denjaka semakin bertambah tak enak. Sebab, pintu gerbang yang biasanya selalu tertutup rapat, kini dalam keadaan terbuka lebar. Apa lagi, ini masih menjelang subuh, Denjaka merasa tambah asing, tidak mungkin istri tercintanya sudah membuka pintu gerbang sedini ini. Hal ini tentu memperkuat kecurigaan yang ada di hatinya meski tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, hanya bisa menerka dan terus bertanya-tanya pada diri sendiri.Dengan detak jantung yang berdetak semakin tidak beraturan, Denjaka membawa kuda besinya masuk ke dalam halaman sembari menatap tajam ke arah rumah yang suasananya sangat berbeda. Setelah memarkirkan motor miliknya, Denjaka bergegas turun dan masuk ke dalam. Sebelum ma
Bab 58Berada dalam ambang keraguan, Ali dibuat bingung untuk memutuskan. Di satu sisi, keadaan Widuri tak kunjung membaik. Ia harus berjaga-jaga untuk segala kemungkinan yang akan terjadi dan harus terus berada di dekat Widuri untuk mengawasi sedikit saja perubahan situasi yang tidak boleh terlambat disadari.Akan tetapi, di sisi lain Denjaka juga sedang tidak baik-baik saja. Hanya dengan melihat dari jarak yang tidak begitu dekat, Ali sudah bisa menangkap dengan firasatnya bahwa sesuatu hal yang lebih besar baru saja terjadi. Ali semakin cemas sekarang. Ia merasa tidak yakin akan bisa mengatasi ini semua sendirian, tanpa ada bantuan dari saudara kembar serta kakak seperguruannya seperti waktu dahulu kala. Dengan keadaan yang tidak lagi sama, Ali benar-benar pesimis akan hasil yang belum tentu seperti apa yang ia kira.Di samping Ali, Bumi berhasil menangkap dengan jelas guratan kekhawatiran yang tergambar jelas pada setiap kerutan di wajah Pak
Bab 57Tring!Menyambut kedatangan Denjaka yang hanya tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tempat di mana ia menunggu tanpa rasa gentar sedikit pun, Pandu memejamkan kedua matanya sebentar, kemudian membukanya kembali, memamerkan kedua manik mata miliknya yang kini sudah berubah warna menjadi merah menyala sembari menyeringai, memperlihatkan siung di giginya yang mendadak tumbuh.Bruak!Belum apa-apa, Denjaka yang sebelumnya telah siap dengan segala serangan yang ia bawa, kini terpental jauh ke belakang, gagal mencapai target yang telah menjadi sasaran serangannya kali ini.“Aaaa!” Denjaka mengerang. Dipeganginya dada miliknya yang terasa sakit akibat benturan keras yang ia dapatkan.“Pandu …,” ucap Denjaka lirih, dengan suara serak parau penuh berbagai macam emosi. Di tengah kekalahannya yang belum apa-apa, Denjaka berusaha mengangkat sedikit badannya, menatap lurus ke arah Pandu, mencari tahu apa yang sebenarnya te
Bab 56Tak kuasa menerima serangan yang Pandu berikan, Denjaka memilih menutup kedua kelopak matanya rapat-rapat. Jika ia memang harus tumbang, Denjaka memutuskan untuk menerimanya dengan lapang dada.Bruak!Tak lama berselang setelah pandangannya mendadak gelap tak menangkap bayangan apa-apa, suara kencang terdengar jelas, dentuman tabrakan yang diserudukkan oleh sapi hitam dengan tanduk panjang dan runcing, serta memiliki taring di sela-sela bibirnya, berbeda dari sapi pada umumnya.Suara itu menggema. Bisa dipastikan, apapun yang diterjang sapi yang saat ini sedang Pandu tunggangi sudah pasti akan membuat objek yang menjadi sasarannya akan terpental jauh, terlempar entah ke mana.Anehnya, Denjaka sama sekali tak merasakan apa-apa. Jangankan rasa sakit, bahkan kedua kakinya yang tanpa kuda-kuda sama sekali tidak berpindah tempat sedikit pun, masih berada di tempat semula.Merasa pemasaran atas kesakitan yang tak kunjung ia rasa
Bab 55Anehnya, tanpa Denjaka sadari, kekuatannya kembali pulih seutuhnya setelah sang putri kesayangan jatuh tumbang, seolah menggantikan.Kini, sudah tidak ada alasan lagi untuk dirinya merutuki dirinya sendiri yang kerap kali membantu orang lain namun sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa untuk anaknya sendiri.Dengan langkah penuh semangat, Denjaka berjalan cepat. Ia sudah sangat tidak sabar untuk segera sampai dan mencari tahu apa yang saat ini sedang menimpa sang putri.Sesampainya di tempat tujuan, di mana semua orang sedang dalam perasaan sama, sama-sama mengkhawatirkan Widuri yangs emakin lama semakin hampir terpejam sempurna, melihat Wintang menangis hancur tak kuasa menghadapi semuanya sendirian, Denjaka menghampiri, mengambil Wintang dari pelukan Cantika, menggantikannya, memberikan bahu yang sejak awal memang dibutuhkan oleh Wintang untuk bersandar di tengah kerasnya hidup yang mengombang-ambing langkahnya."Sayang ...," ucap D
Bab 54 "Pak Lek!" teriak Wintang, berlarian menuju ke ruang depan, di mana Ali, Bumi, dan juga Cantika masih ada di sana.Sementara Mbah Tarjo, sebelumnya ia buru-buru keluar tanpa sempat berpamitan. Tidak ingin ketahuan jika dirinya sedang mimisan, dan akan memancing kecurigaan dari semua orang, Mbah Tarjo sengaja menutupinya sebisa mungkin, memastikan darah yang sudah membuat baju bagian dadanya menjadi basah sama sekali tidak terlihat oleh siapa-siapa.Sebenarnya, kepulangan Mbah Tarjo yang tampak jelas begitu tergesa-gesa sempat mengundang tanya Bumi dan juga Cantika. Apa lagi Winingsih kedapatan memapah langkah sang ayah, menopang kedua kaki tua yang dipaksakan untuk berjalan agar tidak tumbang. Namun, sama sekali tidak menaruh rasa curiga pada laki-laki tua pemilik wajah melas itu dibiarkannya lolos begitu saja.Mendengar teriakan Wintang bersama deru langkah yang tidak biasa, Ali bangkit dari duduknya. Meski belum melihat semua dengan mata
Bab 53Tinggal satu langkah lagi, segala usahanya akan segera dipermudah. Membayangkan segala mimpinya akan segera terwujud, hati Mbah Tarjo merasa bungah. Saking senangnya, Mbah Tarjo sampai lupa untuk menjaga sikapnya, nyelonong masuk begitu saja tanpa berbasa-basi kepada Wintang, sekedar mengucapkan terima kasih.Sebenarnya, Wintang sama sekali tidak keberatan. Dia buka orang yang gila hormat, apa lagi Mbah Tarjo jauh lebih tua di atasnya. Hanya saja, atas sikap Mbah Tarjo yang sangat berbeda dari yang biasa selalu ditampilkan, Wintang mengernyitkan dahi keheranan.Akan tetapi, Wintang tak berburuk sangka, hanya mengira Mbah Tarjo terlalu bersemangat, ingin segera mengobati kekhawatirannya kepada Denjaka. Sebab, yang Wintang tahu, Mbah Tarjo begitu dekat dengan suaminya itu, sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri oleh Denjaka.“Saya permisi, Mbak,” ucap Winingsih, mewakili ayahnya yang nyelonong masuk begitu saja.Mendapatkan kera
Bab 52Tak kuasa menyaksikan sang ayah teriksa hampir meregang nyawa, melayang di udara sudah cukup lama, Winingsih berjalan gontai, melangkah terseok-seok menghampiri tempat di mana Mbah Tarjo tergantung sejak tadi.Kini, Mbah Tarjo tidak terlalu menggelinjang, atau sekedar menggerakan kedua tangan atau kakinya, lebih banyak diam, pasrah dan tak lagi bergerak. Untuk sekedar menggerakan tangan atau kakinya, Mbah Tarjo sudah tidak mampu. Berada di penghujung nyawa, membuat Mbah Tarjo jadi tidak berdaya.“Bapak ….” Winingsih memanggil sang ayah yang sedang sekarat sembari berlinangan air mata.“Nyai, saya mohon, selamatkan Bapak …, ucap Winingsih, memutar badannya dan duduk bersimpuh di hadapan Nyai Welas Asih, memohon agar perempuan itu sudi untuk membiarkan sang ayah tetap hidup.Melihat putrinya bersama Mbah Tarjo yang ia kirimkan ke dalam kandungan Mbok Marni waktu itu duduk bersimpuh di bawah kakinya, memohon dengan amat tulus, membuat
Bab 51Di tempat Lain.Merasakan ujian yang selalu datang tanpa henti, Wintang menangis sendiri, memangku Putri kecilnya yang saat ini berganti tidak sadarkan diri setelah sang ayah berhasil bangun dengan sendirinya. Wintang mengelus lembut pucuk kepala Widur, meratapi apa yang telah terjadi tak tiada henti-henti. Kejadian demi kejadian terus saja menimpa keluarganya, tanpa memberikan waktu bagi Wintang beristirahat sejenak, sekedar menata hatinya agar kembali siap.“Bersabarlah, Nduk. Pak Lek janji akan berusaha semaksimal mungkin,” kata Ali, mencoba menenangkan Wintang yang saat ini sedang meratapi sang putri, menyesali apa yang telah terjadi.Sebagai seorang ibu, hati ibu mana yang tak hancur melihat putri cantiknya dalam keadaan lemas, pucat pasi, kehabisan energi.Dari balik pintu, Pandu berdiri, diam-diam memperhatikan Wintang, Ali dan juga Widuri. Pasang mata Pandu menelisik tajam, mencoba mencari jawaban yang dia sendiri tak tahu
Bab 50********Di tempat berbeda, hampir selesai dengan apa yang saat ini sedang ia lakukan, Mbah Tarjo tetap tenang, mulai membereskan semua yang ada, memastikan semua selesai tanpa kendala dan berhasil sesuai dengan apa yang ia harapkan.Banaspati sudah dikirimkan kepada Denjaka. Bukan banaspati biasa, melainkan sebuah kesakitan yang sengaja ia kirimkan untuk membuat Denjaka jadi ketergantungan dengan Winingsih yang akan menjadi pengobat rasa sakit yang sebentar lagi akan Denjaka derita. Tinggal satu langkah lagi, semuanya akan selesai dengan sempurna.Sangat percaya diri jika rencana kali ini akan berhasil, Mbah Tarjo menyunggingkan bibirnya, tersenyum puas menyambut keberhasilan yang sebentar lagi akan menjadi miliknya.“Tidak akan ada obat yang mampu menyembuhkanmu dari rasa sakit itu, selain berada dekat dengan perempuan pujaan hati,” gumam Mbah Tarjo, mengirimkan sugesti pada bola api yang saat ini sedang ia kirimkan.Sud