BAB 5
Keadaan para gadis sangat mengenaskan, sudah membusuk dan dipenuhi belatung-belatung kecil yang menjadikan mayat-mayat itu menjadi sebuah santapan, membuat warga tersebut kaget bukan main, sampai-sampai tubuhnya ambruk ke belakang dan kehilangan kemampuan untuk berjalan. Sambil merangkak dan bergemetaran, warga tersebut berusaha pulang ke rumah, menyampaikan hasil penemuannya kepada setiap warga yang berhasil ia temui sepanjang jalan. Penemuan tersebut berhasil membuat geger seluruh warga desa. Suasana desa yang sedang tidak baik-baik saja jadi tambah berduka dan bertanya-tanya siapa pelaku sebenarnya dan atas dasar apa melakukan ini semua. Banyak para orang tua dari gadis yang turut menjadi korban mendadak gila karena kehilangan putri kesayangan mereka secara tak biasa. Bahkan, ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena tak tahan menanggung duka. Tak cukup sampai di situ, duka para warga desa kian bertambah ketika sebuah teror datang menghantui seluruh warga desa. Penampakan ada di mana-mana, orang-orang tak berdosa turut jadi korbannya, mati konyol karena ketakutan, arwah para gadis desa menuntut keadilan atas pelaku yang tak kunjung ditemukan. Sudah tidak bisa untuk tetap bertahan, pelan-pelan satu persatu kepala keluarga membawa anggota keluarga mereka keluar dari desa, pindah ke desa lain demi melanjutkan hidup dengan damai. Kini tinggallah Mbah Tarjo seorang diri, terpaksa bertahan bersama anak dan istri, berdamai dengan segala kengerian yang perlahan menghilang sendiri. “Kalau sampean mau, coba sampean bicara sama Mas Bumi, minta disediakan tempat tinggal yang baru di luar kampung. Siapa tahu Mas Bumi bisa membantu, Mbah,” kata Denjaka, memecah kesunyian yang mendadak tercipta antara dirinya dan juga Mbah Tarjo yang sedang larut dalam isi pikirannya sendiri, mencoba memberikan saran yang mungkin bisa diterima. “Mbah …,” panggil Denjaka sekali lagi, mencoba mengeluarkan Mbah Tarjo dari keheningan yang tak kunjung menimpali. “Eh, iya Den. Ada apa?” tanya Mbah Tarjo gelagapan. Baru tersadar dari lamunan, Mbah Tarjo balik melempar tanya, gagal menangkap apa yang baru saja Denjaka katakan dengan panjang lebar sebelumnya. ********* Motor Denjaka terus melaju, sebentar lagi mereka akan sampai ke rumah Mbah Tarjo berada. Sebelum sampai ke tempat tujuan, sebuah bangunan berwarna putih usang tampak mencuri perhatian. Sepanjang jalan, bangunan itu adalah satu-satunya bangunan yang masih kokoh berdiri meski beberapa bagian sudah rusak serta tertutup semak belukar yang merambat sampai ke atap, seolah menjadi ikonik akan tempat yang sebelumnya memiliki sebuah kehidupan ini. Melihat bangunan tersebut, lagi-lagi kedua netra Mbah Tarjo menjadi nanar. Saksi bisu tragedi kelam masih ada di tempatnya hingga sekarang. Aura mencekam begitu terasa, seolah jiwa-jiwa kesedihan masih terkurung di sana, masih belum merelakan apa yang telah menimpa mereka semua meski sudah belasan tahun lamanya. Sementara fokus Mbah Tarjo tertuju ke arah bangunan kosong yang ada di sana, Denjaka tetap melajukan motornya dengan santai, mencoba mengumpulkan fokus agar perasaan tak enak yang terus mengganggu pikirannya bisa segera hilang. Entah kenapa, tiba-tiba saja Denjaka jadi gelisah, teringat anak istrinya yang ia tinggal di rumah. Sementara itu di rumah, Bumi yang dadanya sudah dipenuhi oleh rasa khawatir yang tak dapat dibendung lagi, langsung berjalan cepat menuju kamar di mana Pandu berada sambil menggendong Widuri. Wintang yang tak kalah cemas ikut membuntuti di belakang, mengiringi langkah demi langkah yang Bumi ambil lebih dulu. Jarak yang tak seberapa terasa amat begitu jauh dan panjang, membuat Bumi dan juga Wintang tak kunjung sampai ke tempat tujuan keduanya. Semua terasa melambat, kalah cepat dengan detak jantung yang semakin berdegup kencang tak karuan, mengundang rasa tidak sabar yang sulit dielakkan. Klek! Brak! Sudah sangat tidak sabar, Bumi langsung memutar gagang pintu di hadapannya, mendorongnya dengan kuat, membuat daun pintu terbuka lebar dengan sendirinya ketika berhasil sampai di depan pintu kamar Pandu yang menjadi tujuannya. “Astagfirullah!” pekik Bumi, kaget bukan main menyaksikan sang keponakan yang terbaring di tempat tidur bergerak tak karuan. Seluruh tubuh Pandu bergetar hebat, sampai-sampai berhasil membuat ranjang tempat ia tidur ikut bergoyang juga. Padahal logikanya, ranjang yang terbuat dari kayu jati tersebut sangatlah berat. Untuk sekedar menggeser posisinya, dibutuhkan empat laki-laki dewasa. Akan tetapi, dengan dahsyatnya gemetaran yang Pandu alami, Pandu bisa mengguncang tempat tidurnya seorang diri. ****** “Alhamdulillah, kita sudah sampai, Mbah,” ucap Denjaka beriringan bersama dengan deru suara mesin motor miliknya, tepat berada di halaman depan sebuah rumah sederhana, lebih sederhana daripada yang bisa dibayangkan. Dengan atap genteng yang sudah berlubang di beberapa bagian, serta dinding bambu yang dianyam rapi namun sudah terlihat begitu lapuk dan usang, serta tiang bangunan yang tak lagi berdiri tegak sebagaimana mestinya, tak akan ada yang mengira jika bangunan yang lebih mirip sebuah gubuk reot itu ada penghuninya. “Ini rumah sampean ‘toh, Mbah?” tanya Denjaka memastikan. “Inggih, Den,” jawab Mbah Tarjo sembari berusaha turun dari jok motor kemudian berjalan pelan menuju bangunan rumah miliknya yang menyorotkan cahaya remang-remang berwarna jingga dari lampu dimar. Ya, terisolir sendirian di kampung yang sudah mati membuat Mbah Tarjo harus berdamai dengan segala keadaan tanpa fasilitas memadai, termasuk dengan penerangan yang sangat seadanya. Tak ada sumber tenaga listrik di sini. Mau tidak mau Mbah Tarjo harus memanfaatkan kaleng bekas dan minyak tanah untuk cahaya penerang di rumahnya. “Ayo masuk, Den,” ajak Mbah Tarjo menoleh ke arah Denjaka yang masih terpaku, menatap tak percaya jika bangunan di hadapannya benar-benar rumah tempat Mbah Tarjo tinggal bersama keluarganya. “Oh, nggih Mbah. Saya benarkan helm dulu,” kata Denjaka terkesiap, langsung menggeser helm yang sudah berada di tempat semestinya, berlagak sedang mengaturnya dengan tepat letak helm di atas tangki sepeda motornya, sengaja berpura-pura agar apa yang ia lakukan sebelumnya tak menyinggung perasaan Mbah Tarjo sebagai sang empu rumah. Tak enak hati jika sampai ketahuan kalau sebenarnya dirinya sedang menatap tak percaya rumah kediaman Mbah Tarjo dengan perasaan miris, takut dikira tak sudi menginjakan kaki di rumah reot milik Mbah Tarjo. Setelah merasa cukup, Denjaka segera turun dari atas motor, berjalan mengikuti Mbah Tarjo yang sudah ada di depan. Krieeet …. Suara derit pintu terdengar berisik, memecah keheningan malam yang tiba-tiba tanpa suara. Suara katak dan serangga yang terdengar di sepanjang jalan, kini sama sekali tidak ada, entah ke mana perginya. Suasana di sekitaran rumah tempat tinggal Mbah Tarjo begitu sangat hening, bergeming tanpa ada suara apapun. Semilir angin juga tak terasa berhembus, benar-benar sangat berbeda dengan suasana yang ada di sepanjang jalan yang sudah mereka tempuh untuk bisa sampai ke tempat ini. “Ayo masuk, Mas Den,” ajak Mbah Tarjo, mendorong daun pintu sampai menempel ke dinding, mempersilahkan Denjaka untuk naik, masuk ke dalam rumahnya terlebih dahulu. Meski ragu-ragu, Denjaka mencoba menapakan kaki di lantai rumah yang terlihat sangat begitu rapuh, sangat rentan membuat kaki yang melangkah di atasnya untuk jatuh terperosok. Tak lupa, Denjaka sangat berhati-hati. Denjaka tidak ingin langkah kakinya akan merusak bangunan ini yang sudah tak nahap lagi. “Assalamualaikum ….” Tak lupa, Denjaka mengucap salam. Hening, tak ada jawaban sama sekali, Denjaka mengernyitkan dahi keheranan. Seingatnya, Mbah Tarjo bilang di dalam rumah ada istrinya yang menjaga anak kesayangannya, namun terlihat seperti tidak ada siapa-siapa. Sejenak, Denjaka menghentikan langkahnya, mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan sebuah keluarga yang ada di rumah tua ini. Jujur, Denjaka tak bisa menampik perasaannya yang mendadak jadi curiga, jika di dalam rumah tak ada siapa-siapa dan tidak ada kejadian apa-apa seperti yang Mbah Tarjo sampaikan saat meminta bantuan pada dirinya ketika masih di rumah tadi.Namun, merasa yakin bahwa Mbah Tarjo tidak mungkin rela berjalan kaki jauh-jauh datang ke padepokan menemui dirinya hanya untuk menipu, Denjaka mencoba menepis prasangka buruk di hatinya, membuang jauh-jauh rasa ragu yang ada di dalam dada. Lagi pula, Denjaka sangat tahu jika Mbah Tarjo bukan orang jahat meski takdir tak selalu memihak orang tua yang sudah ia kenal sejak lama tersebut.Kreeet … kreeet … kreeet ….Setiap kali memindahkan langkah, lantai rumah Mbah Tarjo mengeluarkan suara derit lumayan berisik, membuat Denjaka semakin rikuh dan meningkatkan penuh kehati-hatian di dalam diri setiap kali mengambil langkahnya yang sengaja sudah ia buat pelan. Minimnya cahaya penerangan yang ada juga semakin mengundang keraguan di hati Denjaka. Meski sudah mencoba, Denjaka tidak bisa mempercayai langkah kaki yang ia ambil sendiri.Menyusul langkah Denjaka yang sudah masuk lebih dulu, Mbah Tarjo mengambil lampu dimar yang ditempel di salah satu sisi dinding rumahnya terlebih dahulu, membawa
Di tempat lain ….“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan
Dengan susah payah, gadis kecil itu berjingkit, berusaha meraih gagang pintu agar bisa membukanya. Beberapa kali, Widuri sempat gagal. Tubuhnya yang belum seberapa tinggi tidak berhasil meraih gagang pintu di hadapannya.Namun, Widuri tidak menyerah begitu saja. Dengan semangat yang membuatnya pantang menyerah, Widuri terus mencoba.Sekali lagi, Widuri kembali gagal. Sudah berusaha melompatkan kedua kakinya tinggi-tinggi berulang-ulang kali, tetap saja tangannya tak sampai meraih gagang pintu yang sejak tadi menjadi incarannya.Sadar jika usahanya akan tetap sia-sia, gadis kecil itu memilih berhenti sejenak, tidak lagi melanjutkan usaha dan kerja keras yang sebelumnya ia lakukan penuh semangat. Akan tetapi, Widuri sama sekali tidak menyerah. Dalam diam, Widuri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menyapu setiap inci sela dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membantu dirinya agar bisa berhasil meraih gagang pintu dan me
Tak berniat menjawab pertanyaan dari Widuri, Pandu bergeming, tetap diam seribu bahasa sambil terus membimbing Widuri mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Pelan tapi pasti, langkah yang Pandu dan Widuri ambil semakin lama semakin jauh. Tanpa terasa, keduanya sampai hampir sampai ke gawang pintu gerbang, batas area padepokan dengan jalanan poros perkampungan. Teringat akan pesan yang selalu ibunya berikan, Widuri mendadak berhenti. Widuri tertahan, enggan meninggalkan area padepokan. Atas keputusannya itu, sosok Pandu yang sejak tadi menggandeng tangannya kini menoleh, menatap Widuri penuh kekecewaan. “Ibu bilang kita tidak boleh keluar, Mas,” ucap bocah kecil itu, mencoba mengingatkan pesan sang ibunda kepada Kang Masnya itu, berharap Pandu mau berhenti dan tak lagi meneruskan perjalanan yang saat ini mereka berdua lakukan tanpa sempat membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelumnya. Namun, seolah tidak ped
BAB 1“Mas Den! Mas Den! Tolong saya, tolong …!” Seorang laki-laki paruh baya berteriak kencang dari luar rumah sembari berlari tunggang langgang dengan langkah yang tergopoh-gopoh, membawa tubuh rentanya yang ringkih yang terbalut baju kumal yang sudah usang menuju sebuah pintu pada bangunan kayu jati yang ada di hadapannya. Bangunan kokoh tersebut seolah menyambut kedatangannya dengan kedua daun pintu gerbang yang terbuka lebar dan sempurna.“Mas Den!” teriaknya sekali lagi.Mendengar ada suara ribut dari luar, Denjaka yang sedang duduk termenung menatapi Pandu, putra sulung hasil pernikahannya bersama Wintang yang sedang terbaring di atas tempat tidur langsung bangun, bangkit dari tempat duduknya.“Ada apa Kang Mas?” tanya Wintang, ikut merasa penasaran.“Tidak tahu, Dik. Biar Kang Mas lihat dulu,” jawab Denjaka, kemudian bergegas berjalan ke luar meninggalkan kamar sang putra kesayangan dengan langkah yang sengaja ia buat agak sedikit cepat.Menyaksikan langkah demi langkah yang d
BAB 2“Tenang saja, Mas. Saya tidak sendirian. Kan ada Widuri yang akan menemani,” kata Wintang lagi, memotong keraguan sang suami, menoleh ke arah gadis kecil menggemaskan yang menyembulkan kepalanya dari balik ruangan, memperhatikan kedua orang tuanya secara diam-diam.Biasanya, jika Wintang sudah menyebut namanya dengan bangga, Widuri akan datang menyahut, membenarkan apa yang sang ibunda katakan dengan mantap. Namun kali ini, Widuri tidak melakukannya. Ia justru tampak berbeda dari biasanya.Tetapi berdiri di ambang pintu dan menyembulkan bagian kepalanya, gadis kecil itu malah menatap binar ke arah sang ayah sambil menggigit pelan bibir bawahnya. Kedua netranya hampir basah dengan keberadaan cairan bening yang berkumpul di bawah pelupuk mata. Ekspresi penuh harap-harap cemas juga tergambar jelas di wajah pemilik pipi cabi nan menggemaskan tersebut, seolah tidak ingin memberi izin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan dirinya di rumah."Ya sudah, Kang Mas berangkat dulu," kat
BAB 3Tak berselang lama dengan kendaraan roda dua milik Denjaka keluar halaman meninggalkan padepokan, Bumi datang mengendarai sepeda motor kesayangannya, memarkirkannya di samping pintu masuk sembari menoleh ke belakang, menatap heran motor Denjaka yang sempat berpapasan dengan dirinya."Jaka mau pergi ke mana itu, Nduk?" tanya Bumi yang belum turun dari kuda besi miliknya, bertanya kepada Wintang yang masih berdiri di ambang pintu, melepas kepergian sang suami dengan panjatan doa yang tidak ada putus-putusnya, berharap Allah subhanahu wata'ala senantiasa melindungi suami tercintanya dimanapun berada."Ke rumah Mbah Tarjo, Mas," jawab Wintang sembari berjalan turun menapaki satu persatu beberapa deretan anak tangga, menghampiri Bumi yang baru saja datang, menyambutnya dengan ciuman tangan yang amat begitu takzim."Tumben," kata Bumi penuh rasa heran."Ono opo toh?" tanya Bumi penasaran."Kurang tahu, Mas. Tadi Mbah Tarjo datang minta tolong supaya Kang Mas Jaka mau menolong Winingsi
BAB 4Ngeeeeng ….Suara mesin motor terdengar jelas, menggema ke indra pendengaran, terpantulkan oleh suasana malam yang sangat hening, berhasil menyamarkan suara katak yang sedang bergembira ria saling bersahutan menyambut genangan air yang terkumpul dari tetesan air hujan serta suara serangga kecil lainnya yang ikut mendominasi kidung pada malam hari.“Wis, Mbah. Sudah bisa di buka matanya. Alhamdulillah semua aman, kita selamat sampai tujuan. Insya Allah,” kata Denjaka, berhasil menebak dengan tepat jika saat ini Mbah Tarjo sedang menutup kedua matanya, menanti dengan harap-harap cemas akan keberhasilan Denjaka mengendalikan motornya melewati jalanan mengerikan yang hampir mirip dengan titian siratul mustaqim.Mendengar apa yang Denjaka katakan, pelan-pelan Mbah Tarjo mulai memberanikan diri membuka kedua matanya sedikit demi sedikit. Untuk memastikan bahwa dirinya sudah aman seperti yang Denjaka ucapkan, Mbah Tarjo mengedarkan pandangan ke arah kiri dan kanan, celingukan sampai ke
Tak berniat menjawab pertanyaan dari Widuri, Pandu bergeming, tetap diam seribu bahasa sambil terus membimbing Widuri mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Pelan tapi pasti, langkah yang Pandu dan Widuri ambil semakin lama semakin jauh. Tanpa terasa, keduanya sampai hampir sampai ke gawang pintu gerbang, batas area padepokan dengan jalanan poros perkampungan. Teringat akan pesan yang selalu ibunya berikan, Widuri mendadak berhenti. Widuri tertahan, enggan meninggalkan area padepokan. Atas keputusannya itu, sosok Pandu yang sejak tadi menggandeng tangannya kini menoleh, menatap Widuri penuh kekecewaan. “Ibu bilang kita tidak boleh keluar, Mas,” ucap bocah kecil itu, mencoba mengingatkan pesan sang ibunda kepada Kang Masnya itu, berharap Pandu mau berhenti dan tak lagi meneruskan perjalanan yang saat ini mereka berdua lakukan tanpa sempat membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelumnya. Namun, seolah tidak ped
Dengan susah payah, gadis kecil itu berjingkit, berusaha meraih gagang pintu agar bisa membukanya. Beberapa kali, Widuri sempat gagal. Tubuhnya yang belum seberapa tinggi tidak berhasil meraih gagang pintu di hadapannya.Namun, Widuri tidak menyerah begitu saja. Dengan semangat yang membuatnya pantang menyerah, Widuri terus mencoba.Sekali lagi, Widuri kembali gagal. Sudah berusaha melompatkan kedua kakinya tinggi-tinggi berulang-ulang kali, tetap saja tangannya tak sampai meraih gagang pintu yang sejak tadi menjadi incarannya.Sadar jika usahanya akan tetap sia-sia, gadis kecil itu memilih berhenti sejenak, tidak lagi melanjutkan usaha dan kerja keras yang sebelumnya ia lakukan penuh semangat. Akan tetapi, Widuri sama sekali tidak menyerah. Dalam diam, Widuri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menyapu setiap inci sela dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membantu dirinya agar bisa berhasil meraih gagang pintu dan me
Di tempat lain ….“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan
Namun, merasa yakin bahwa Mbah Tarjo tidak mungkin rela berjalan kaki jauh-jauh datang ke padepokan menemui dirinya hanya untuk menipu, Denjaka mencoba menepis prasangka buruk di hatinya, membuang jauh-jauh rasa ragu yang ada di dalam dada. Lagi pula, Denjaka sangat tahu jika Mbah Tarjo bukan orang jahat meski takdir tak selalu memihak orang tua yang sudah ia kenal sejak lama tersebut.Kreeet … kreeet … kreeet ….Setiap kali memindahkan langkah, lantai rumah Mbah Tarjo mengeluarkan suara derit lumayan berisik, membuat Denjaka semakin rikuh dan meningkatkan penuh kehati-hatian di dalam diri setiap kali mengambil langkahnya yang sengaja sudah ia buat pelan. Minimnya cahaya penerangan yang ada juga semakin mengundang keraguan di hati Denjaka. Meski sudah mencoba, Denjaka tidak bisa mempercayai langkah kaki yang ia ambil sendiri.Menyusul langkah Denjaka yang sudah masuk lebih dulu, Mbah Tarjo mengambil lampu dimar yang ditempel di salah satu sisi dinding rumahnya terlebih dahulu, membawa
BAB 5Keadaan para gadis sangat mengenaskan, sudah membusuk dan dipenuhi belatung-belatung kecil yang menjadikan mayat-mayat itu menjadi sebuah santapan, membuat warga tersebut kaget bukan main, sampai-sampai tubuhnya ambruk ke belakang dan kehilangan kemampuan untuk berjalan.Sambil merangkak dan bergemetaran, warga tersebut berusaha pulang ke rumah, menyampaikan hasil penemuannya kepada setiap warga yang berhasil ia temui sepanjang jalan.Penemuan tersebut berhasil membuat geger seluruh warga desa. Suasana desa yang sedang tidak baik-baik saja jadi tambah berduka dan bertanya-tanya siapa pelaku sebenarnya dan atas dasar apa melakukan ini semua.Banyak para orang tua dari gadis yang turut menjadi korban mendadak gila karena kehilangan putri kesayangan mereka secara tak biasa. Bahkan, ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena tak tahan menanggung duka.Tak cukup sampai di situ, duka para warga desa kian bertambah ketika sebuah teror datang menghantui seluruh warga desa. Penampakan ad
BAB 4Ngeeeeng ….Suara mesin motor terdengar jelas, menggema ke indra pendengaran, terpantulkan oleh suasana malam yang sangat hening, berhasil menyamarkan suara katak yang sedang bergembira ria saling bersahutan menyambut genangan air yang terkumpul dari tetesan air hujan serta suara serangga kecil lainnya yang ikut mendominasi kidung pada malam hari.“Wis, Mbah. Sudah bisa di buka matanya. Alhamdulillah semua aman, kita selamat sampai tujuan. Insya Allah,” kata Denjaka, berhasil menebak dengan tepat jika saat ini Mbah Tarjo sedang menutup kedua matanya, menanti dengan harap-harap cemas akan keberhasilan Denjaka mengendalikan motornya melewati jalanan mengerikan yang hampir mirip dengan titian siratul mustaqim.Mendengar apa yang Denjaka katakan, pelan-pelan Mbah Tarjo mulai memberanikan diri membuka kedua matanya sedikit demi sedikit. Untuk memastikan bahwa dirinya sudah aman seperti yang Denjaka ucapkan, Mbah Tarjo mengedarkan pandangan ke arah kiri dan kanan, celingukan sampai ke
BAB 3Tak berselang lama dengan kendaraan roda dua milik Denjaka keluar halaman meninggalkan padepokan, Bumi datang mengendarai sepeda motor kesayangannya, memarkirkannya di samping pintu masuk sembari menoleh ke belakang, menatap heran motor Denjaka yang sempat berpapasan dengan dirinya."Jaka mau pergi ke mana itu, Nduk?" tanya Bumi yang belum turun dari kuda besi miliknya, bertanya kepada Wintang yang masih berdiri di ambang pintu, melepas kepergian sang suami dengan panjatan doa yang tidak ada putus-putusnya, berharap Allah subhanahu wata'ala senantiasa melindungi suami tercintanya dimanapun berada."Ke rumah Mbah Tarjo, Mas," jawab Wintang sembari berjalan turun menapaki satu persatu beberapa deretan anak tangga, menghampiri Bumi yang baru saja datang, menyambutnya dengan ciuman tangan yang amat begitu takzim."Tumben," kata Bumi penuh rasa heran."Ono opo toh?" tanya Bumi penasaran."Kurang tahu, Mas. Tadi Mbah Tarjo datang minta tolong supaya Kang Mas Jaka mau menolong Winingsi
BAB 2“Tenang saja, Mas. Saya tidak sendirian. Kan ada Widuri yang akan menemani,” kata Wintang lagi, memotong keraguan sang suami, menoleh ke arah gadis kecil menggemaskan yang menyembulkan kepalanya dari balik ruangan, memperhatikan kedua orang tuanya secara diam-diam.Biasanya, jika Wintang sudah menyebut namanya dengan bangga, Widuri akan datang menyahut, membenarkan apa yang sang ibunda katakan dengan mantap. Namun kali ini, Widuri tidak melakukannya. Ia justru tampak berbeda dari biasanya.Tetapi berdiri di ambang pintu dan menyembulkan bagian kepalanya, gadis kecil itu malah menatap binar ke arah sang ayah sambil menggigit pelan bibir bawahnya. Kedua netranya hampir basah dengan keberadaan cairan bening yang berkumpul di bawah pelupuk mata. Ekspresi penuh harap-harap cemas juga tergambar jelas di wajah pemilik pipi cabi nan menggemaskan tersebut, seolah tidak ingin memberi izin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan dirinya di rumah."Ya sudah, Kang Mas berangkat dulu," kat
BAB 1“Mas Den! Mas Den! Tolong saya, tolong …!” Seorang laki-laki paruh baya berteriak kencang dari luar rumah sembari berlari tunggang langgang dengan langkah yang tergopoh-gopoh, membawa tubuh rentanya yang ringkih yang terbalut baju kumal yang sudah usang menuju sebuah pintu pada bangunan kayu jati yang ada di hadapannya. Bangunan kokoh tersebut seolah menyambut kedatangannya dengan kedua daun pintu gerbang yang terbuka lebar dan sempurna.“Mas Den!” teriaknya sekali lagi.Mendengar ada suara ribut dari luar, Denjaka yang sedang duduk termenung menatapi Pandu, putra sulung hasil pernikahannya bersama Wintang yang sedang terbaring di atas tempat tidur langsung bangun, bangkit dari tempat duduknya.“Ada apa Kang Mas?” tanya Wintang, ikut merasa penasaran.“Tidak tahu, Dik. Biar Kang Mas lihat dulu,” jawab Denjaka, kemudian bergegas berjalan ke luar meninggalkan kamar sang putra kesayangan dengan langkah yang sengaja ia buat agak sedikit cepat.Menyaksikan langkah demi langkah yang d