BAB 5
Keadaan para gadis sangat mengenaskan, sudah membusuk dan dipenuhi belatung-belatung kecil yang menjadikan mayat-mayat itu menjadi sebuah santapan, membuat warga tersebut kaget bukan main, sampai-sampai tubuhnya ambruk ke belakang dan kehilangan kemampuan untuk berjalan. Sambil merangkak dan bergemetaran, warga tersebut berusaha pulang ke rumah, menyampaikan hasil penemuannya kepada setiap warga yang berhasil ia temui sepanjang jalan. Penemuan tersebut berhasil membuat geger seluruh warga desa. Suasana desa yang sedang tidak baik-baik saja jadi tambah berduka dan bertanya-tanya siapa pelaku sebenarnya dan atas dasar apa melakukan ini semua. Banyak para orang tua dari gadis yang turut menjadi korban mendadak gila karena kehilangan putri kesayangan mereka secara tak biasa. Bahkan, ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena tak tahan menanggung duka. Tak cukup sampai di situ, duka para warga desa kian bertambah ketika sebuah teror datang menghantui seluruh warga desa. Penampakan ada di mana-mana, orang-orang tak berdosa turut jadi korbannya, mati konyol karena ketakutan, arwah para gadis desa menuntut keadilan atas pelaku yang tak kunjung ditemukan. Sudah tidak bisa untuk tetap bertahan, pelan-pelan satu persatu kepala keluarga membawa anggota keluarga mereka keluar dari desa, pindah ke desa lain demi melanjutkan hidup dengan damai. Kini tinggallah Mbah Tarjo seorang diri, terpaksa bertahan bersama anak dan istri, berdamai dengan segala kengerian yang perlahan menghilang sendiri. “Kalau sampean mau, coba sampean bicara sama Mas Bumi, minta disediakan tempat tinggal yang baru di luar kampung. Siapa tahu Mas Bumi bisa membantu, Mbah,” kata Denjaka, memecah kesunyian yang mendadak tercipta antara dirinya dan juga Mbah Tarjo yang sedang larut dalam isi pikirannya sendiri, mencoba memberikan saran yang mungkin bisa diterima. “Mbah …,” panggil Denjaka sekali lagi, mencoba mengeluarkan Mbah Tarjo dari keheningan yang tak kunjung menimpali. “Eh, iya Den. Ada apa?” tanya Mbah Tarjo gelagapan. Baru tersadar dari lamunan, Mbah Tarjo balik melempar tanya, gagal menangkap apa yang baru saja Denjaka katakan dengan panjang lebar sebelumnya. ********* Motor Denjaka terus melaju, sebentar lagi mereka akan sampai ke rumah Mbah Tarjo berada. Sebelum sampai ke tempat tujuan, sebuah bangunan berwarna putih usang tampak mencuri perhatian. Sepanjang jalan, bangunan itu adalah satu-satunya bangunan yang masih kokoh berdiri meski beberapa bagian sudah rusak serta tertutup semak belukar yang merambat sampai ke atap, seolah menjadi ikonik akan tempat yang sebelumnya memiliki sebuah kehidupan ini. Melihat bangunan tersebut, lagi-lagi kedua netra Mbah Tarjo menjadi nanar. Saksi bisu tragedi kelam masih ada di tempatnya hingga sekarang. Aura mencekam begitu terasa, seolah jiwa-jiwa kesedihan masih terkurung di sana, masih belum merelakan apa yang telah menimpa mereka semua meski sudah belasan tahun lamanya. Sementara fokus Mbah Tarjo tertuju ke arah bangunan kosong yang ada di sana, Denjaka tetap melajukan motornya dengan santai, mencoba mengumpulkan fokus agar perasaan tak enak yang terus mengganggu pikirannya bisa segera hilang. Entah kenapa, tiba-tiba saja Denjaka jadi gelisah, teringat anak istrinya yang ia tinggal di rumah. Sementara itu di rumah, Bumi yang dadanya sudah dipenuhi oleh rasa khawatir yang tak dapat dibendung lagi, langsung berjalan cepat menuju kamar di mana Pandu berada sambil menggendong Widuri. Wintang yang tak kalah cemas ikut membuntuti di belakang, mengiringi langkah demi langkah yang Bumi ambil lebih dulu. Jarak yang tak seberapa terasa amat begitu jauh dan panjang, membuat Bumi dan juga Wintang tak kunjung sampai ke tempat tujuan keduanya. Semua terasa melambat, kalah cepat dengan detak jantung yang semakin berdegup kencang tak karuan, mengundang rasa tidak sabar yang sulit dielakkan. Klek! Brak! Sudah sangat tidak sabar, Bumi langsung memutar gagang pintu di hadapannya, mendorongnya dengan kuat, membuat daun pintu terbuka lebar dengan sendirinya ketika berhasil sampai di depan pintu kamar Pandu yang menjadi tujuannya. “Astagfirullah!” pekik Bumi, kaget bukan main menyaksikan sang keponakan yang terbaring di tempat tidur bergerak tak karuan. Seluruh tubuh Pandu bergetar hebat, sampai-sampai berhasil membuat ranjang tempat ia tidur ikut bergoyang juga. Padahal logikanya, ranjang yang terbuat dari kayu jati tersebut sangatlah berat. Untuk sekedar menggeser posisinya, dibutuhkan empat laki-laki dewasa. Akan tetapi, dengan dahsyatnya gemetaran yang Pandu alami, Pandu bisa mengguncang tempat tidurnya seorang diri. ****** “Alhamdulillah, kita sudah sampai, Mbah,” ucap Denjaka beriringan bersama dengan deru suara mesin motor miliknya, tepat berada di halaman depan sebuah rumah sederhana, lebih sederhana daripada yang bisa dibayangkan. Dengan atap genteng yang sudah berlubang di beberapa bagian, serta dinding bambu yang dianyam rapi namun sudah terlihat begitu lapuk dan usang, serta tiang bangunan yang tak lagi berdiri tegak sebagaimana mestinya, tak akan ada yang mengira jika bangunan yang lebih mirip sebuah gubuk reot itu ada penghuninya. “Ini rumah sampean ‘toh, Mbah?” tanya Denjaka memastikan. “Inggih, Den,” jawab Mbah Tarjo sembari berusaha turun dari jok motor kemudian berjalan pelan menuju bangunan rumah miliknya yang menyorotkan cahaya remang-remang berwarna jingga dari lampu dimar. Ya, terisolir sendirian di kampung yang sudah mati membuat Mbah Tarjo harus berdamai dengan segala keadaan tanpa fasilitas memadai, termasuk dengan penerangan yang sangat seadanya. Tak ada sumber tenaga listrik di sini. Mau tidak mau Mbah Tarjo harus memanfaatkan kaleng bekas dan minyak tanah untuk cahaya penerang di rumahnya. “Ayo masuk, Den,” ajak Mbah Tarjo menoleh ke arah Denjaka yang masih terpaku, menatap tak percaya jika bangunan di hadapannya benar-benar rumah tempat Mbah Tarjo tinggal bersama keluarganya. “Oh, nggih Mbah. Saya benarkan helm dulu,” kata Denjaka terkesiap, langsung menggeser helm yang sudah berada di tempat semestinya, berlagak sedang mengaturnya dengan tepat letak helm di atas tangki sepeda motornya, sengaja berpura-pura agar apa yang ia lakukan sebelumnya tak menyinggung perasaan Mbah Tarjo sebagai sang empu rumah. Tak enak hati jika sampai ketahuan kalau sebenarnya dirinya sedang menatap tak percaya rumah kediaman Mbah Tarjo dengan perasaan miris, takut dikira tak sudi menginjakan kaki di rumah reot milik Mbah Tarjo. Setelah merasa cukup, Denjaka segera turun dari atas motor, berjalan mengikuti Mbah Tarjo yang sudah ada di depan. Krieeet …. Suara derit pintu terdengar berisik, memecah keheningan malam yang tiba-tiba tanpa suara. Suara katak dan serangga yang terdengar di sepanjang jalan, kini sama sekali tidak ada, entah ke mana perginya. Suasana di sekitaran rumah tempat tinggal Mbah Tarjo begitu sangat hening, bergeming tanpa ada suara apapun. Semilir angin juga tak terasa berhembus, benar-benar sangat berbeda dengan suasana yang ada di sepanjang jalan yang sudah mereka tempuh untuk bisa sampai ke tempat ini. “Ayo masuk, Mas Den,” ajak Mbah Tarjo, mendorong daun pintu sampai menempel ke dinding, mempersilahkan Denjaka untuk naik, masuk ke dalam rumahnya terlebih dahulu. Meski ragu-ragu, Denjaka mencoba menapakan kaki di lantai rumah yang terlihat sangat begitu rapuh, sangat rentan membuat kaki yang melangkah di atasnya untuk jatuh terperosok. Tak lupa, Denjaka sangat berhati-hati. Denjaka tidak ingin langkah kakinya akan merusak bangunan ini yang sudah tak nahap lagi. “Assalamualaikum ….” Tak lupa, Denjaka mengucap salam. Hening, tak ada jawaban sama sekali, Denjaka mengernyitkan dahi keheranan. Seingatnya, Mbah Tarjo bilang di dalam rumah ada istrinya yang menjaga anak kesayangannya, namun terlihat seperti tidak ada siapa-siapa. Sejenak, Denjaka menghentikan langkahnya, mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan sebuah keluarga yang ada di rumah tua ini. Jujur, Denjaka tak bisa menampik perasaannya yang mendadak jadi curiga, jika di dalam rumah tak ada siapa-siapa dan tidak ada kejadian apa-apa seperti yang Mbah Tarjo sampaikan saat meminta bantuan pada dirinya ketika masih di rumah tadi.Namun, merasa yakin bahwa Mbah Tarjo tidak mungkin rela berjalan kaki jauh-jauh datang ke padepokan menemui dirinya hanya untuk menipu, Denjaka mencoba menepis prasangka buruk di hatinya, membuang jauh-jauh rasa ragu yang ada di dalam dada. Lagi pula, Denjaka sangat tahu jika Mbah Tarjo bukan orang jahat meski takdir tak selalu memihak orang tua yang sudah ia kenal sejak lama tersebut.Kreeet … kreeet … kreeet ….Setiap kali memindahkan langkah, lantai rumah Mbah Tarjo mengeluarkan suara derit lumayan berisik, membuat Denjaka semakin rikuh dan meningkatkan penuh kehati-hatian di dalam diri setiap kali mengambil langkahnya yang sengaja sudah ia buat pelan. Minimnya cahaya penerangan yang ada juga semakin mengundang keraguan di hati Denjaka. Meski sudah mencoba, Denjaka tidak bisa mempercayai langkah kaki yang ia ambil sendiri.Menyusul langkah Denjaka yang sudah masuk lebih dulu, Mbah Tarjo mengambil lampu dimar yang ditempel di salah satu sisi dinding rumahnya terlebih dahulu, membawa
Di tempat lain ….“Dik, bawa Widuri ke tempat yang aman!” Bumi menyerahkan Widuri dari gendongannya kepada Wintang.Tak ada banyak waktu, Wintang yang sejak awal diserang perasaan tak menentu hanya bisa menurut, mengambil alih Widuri dan membawanya pergi ke sudut ruangan. Air matanya sudah berlelehan sejak tadi. Rasa takut yang hinggap menyerang dadanya, membuat Wintang merasa sangat sesak, sampai-sampai membuat Wintang merasa kesulitan untuk sekedar bernafas. Melihat keadaan Pandu saat ini, tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis pasrah serta memanjatkan doa tiada henti, berharap Allah Subhanahu wata’ala masih sudi memperpanjang umur bocah kecil berwajah tampan kesayangannya itu.Semakin lama, tubuh pandu semakin bergetar hebat. Tubuhnya mendadak kejang dengan bagian dada sedikit terangkat ke atas.“Audzubillahi minas syaiton nirojim, Bismillahirrohmanirrohim—,” ucap Bumi dengan lantang, lengkap dengan lengan baju yang sudah ia singsingkan
Dengan susah payah, gadis kecil itu berjingkit, berusaha meraih gagang pintu agar bisa membukanya. Beberapa kali, Widuri sempat gagal. Tubuhnya yang belum seberapa tinggi tidak berhasil meraih gagang pintu di hadapannya.Namun, Widuri tidak menyerah begitu saja. Dengan semangat yang membuatnya pantang menyerah, Widuri terus mencoba.Sekali lagi, Widuri kembali gagal. Sudah berusaha melompatkan kedua kakinya tinggi-tinggi berulang-ulang kali, tetap saja tangannya tak sampai meraih gagang pintu yang sejak tadi menjadi incarannya.Sadar jika usahanya akan tetap sia-sia, gadis kecil itu memilih berhenti sejenak, tidak lagi melanjutkan usaha dan kerja keras yang sebelumnya ia lakukan penuh semangat. Akan tetapi, Widuri sama sekali tidak menyerah. Dalam diam, Widuri mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menyapu setiap inci sela dengan seksama, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membantu dirinya agar bisa berhasil meraih gagang pintu dan me
Tak berniat menjawab pertanyaan dari Widuri, Pandu bergeming, tetap diam seribu bahasa sambil terus membimbing Widuri mengikuti setiap langkah yang ia ambil. Pelan tapi pasti, langkah yang Pandu dan Widuri ambil semakin lama semakin jauh. Tanpa terasa, keduanya sampai hampir sampai ke gawang pintu gerbang, batas area padepokan dengan jalanan poros perkampungan. Teringat akan pesan yang selalu ibunya berikan, Widuri mendadak berhenti. Widuri tertahan, enggan meninggalkan area padepokan. Atas keputusannya itu, sosok Pandu yang sejak tadi menggandeng tangannya kini menoleh, menatap Widuri penuh kekecewaan. “Ibu bilang kita tidak boleh keluar, Mas,” ucap bocah kecil itu, mencoba mengingatkan pesan sang ibunda kepada Kang Masnya itu, berharap Pandu mau berhenti dan tak lagi meneruskan perjalanan yang saat ini mereka berdua lakukan tanpa sempat membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelumnya. Namun, seolah tidak ped
Betapa tidak, meski selama ini apa yang ada di hadapannya adalah hal yang selalu ia panjatkan dalam setiap doa, tapi Wintang tak pernah menyangka jika Pandu akan sadar secara tiba-tiba.“Ibu …,” ucap bocah tampan itu dengan suara serak, memanggil sang ibunda yang selama ini merasa paling terpukul atas apa yang menimpa dirinya.Seolah kehilangan kemampuan untuk berbicara, Wintang hanya diam tak memberi jawaban apa-apa. Ia masih belum bisa keluar dari rasa keterkejutannya, diam terpaku, beku serta membisu, dan terus menatap Pandu yang saat ini duduk di bibir ranjang penuh rasa tak percaya.“Ibu …,” panggil Pandu sekali lagi.Belum bisa menetralisir apa yang terjadi secara tiba-tiba, Wintang masih syok, dia bingung bagaimana harus mengekspresikan kebahagiaannya, hanya bisa diam terperangah, tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.“Pandu haus, Bu,” ucap bocah tampan itu lagi, memegangi tenggorokannya yang terasa amat kering.Bibir P
Di tempat lain.Keadaan Winingsih kini sudah jauh lebih baik. Gadis cantik itu sudah terlihat lebih segar meski agak pucat dan lemas. Keberhasilan Denjaka mengusir makhluk jahat dari dalam tubuh Winingsih membuat Mbah Tarjo dan Mbok Marni merasa lega.“Jangan pulang dulu, Mas Den. Kami sudah menyediakan hidangan sederhana. Kalau Mas Den tidak ingin bermalam, setidaknya makan dulu sedikit. Jangan biarkan Mas Den pulang dari sini dengan perut kosong,” kata Mbah Tarjo menahan Denjaka ketika berpamitan untuk pergi.Tak enak jika menolak, Denjaka akhirnya tak berdaya. Meski perasaannya saat ini tak karu-karuan, ingin segera pulang ke rumah, Denjaka mencoba menahannya, membiarkan Mbah Tarjo dan istri menyiapkan jamuan untuk dirinya.“Baiklah kalau begitu,” balas Denjaka akhirnya setuju.Mendengar Denjaka tidak menolak, Mbah Tarjo merasa senang bukan main. Tak bisa menyembunyikan kesuka citaannya atas persetujuan yang Denjaka berikan, Mbah Tarjo
Sudah beberapa jam, Ali mencari keberadaan Widuri tanpa henti. Ali tak sudi beristirahat sedikit pun meski kedua kakinya sudah merasa sangat penat dengan otot-otot kaki yang kencang semua, membuat Ali kesulitan untuk berjalan, menahan sakit setiap kali melangkahkan kakinya kembali, terasa amat kaku dan juga nyeri.Berada dalam usia yang tak lagi muda, ketahanan fisik Ali memang tak seperti dahulu kala, namun ia tetap berusaha keras, melakukan segala upaya yang ia bisa untuk segera menemukan sang cucu tanpa memperdulikan rasa lelah yang kini hinggap dan semakin merajalela, meminta dirinya untuk berhenti sekedar beristirahat sebentar sebelum melanjutkan pencariannya kembali.Merasa dituntut akan tanggung jawab yang harus ia penuhi kepada mendiang kakak seperguruan yang telah berpulang ke haribaan Allah subhanahu wa ta'ala lebih dulu, di tambah tanggung jawabnya sebagai seorang murid dari Almarhum mendiang Lek Sardi, Ali merasa memastikan keluarga Denjaka dan Wintang
Tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, kini kepala Denjaka dipenuhi oleh kekhawatiran atas anak perempuan kesayangannya. Semakin lama, perasaan itu semakin susah untuk diabaikan. Dengan mengikuti kata hati kecilnya, Denjaka bangkit berdiri, memaksakan tubuhnya yang mendadak terasa amat berat, enggan meninggalkan rumah kediaman keluarga Mbah Tarjo.“Aaaah!” Denjaka mengerang, masih berusaha keras untuk bisa berdiri secara sempurna melawan pusing di kepala yang mendadak ikut mendera, memaksa Denjaka untuk tetap tinggal di sana sampai besok pagi, sesuai rencana yang sudah diatur sedemikian rupa.Namun, takut anak kesayangannya kenapa-kenapa, Denjaka tidak mau kalah dengan itu semua. Tak perduli pada tubuh yang semakin lama semakin sulit untuk digerakan serta kepala yang bertambah kian sakit tiada tara, Denjaka tetap memantapkan apa yang sudah ia putuskan, mencoba melawan segala godaan yang memaksanya untuk tidak ke mana-mana.“Allahumma wafiqna li tha’
Bab 58Berada dalam ambang keraguan, Ali dibuat bingung untuk memutuskan. Di satu sisi, keadaan Widuri tak kunjung membaik. Ia harus berjaga-jaga untuk segala kemungkinan yang akan terjadi dan harus terus berada di dekat Widuri untuk mengawasi sedikit saja perubahan situasi yang tidak boleh terlambat disadari.Akan tetapi, di sisi lain Denjaka juga sedang tidak baik-baik saja. Hanya dengan melihat dari jarak yang tidak begitu dekat, Ali sudah bisa menangkap dengan firasatnya bahwa sesuatu hal yang lebih besar baru saja terjadi. Ali semakin cemas sekarang. Ia merasa tidak yakin akan bisa mengatasi ini semua sendirian, tanpa ada bantuan dari saudara kembar serta kakak seperguruannya seperti waktu dahulu kala. Dengan keadaan yang tidak lagi sama, Ali benar-benar pesimis akan hasil yang belum tentu seperti apa yang ia kira.Di samping Ali, Bumi berhasil menangkap dengan jelas guratan kekhawatiran yang tergambar jelas pada setiap kerutan di wajah Pak
Bab 57Tring!Menyambut kedatangan Denjaka yang hanya tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tempat di mana ia menunggu tanpa rasa gentar sedikit pun, Pandu memejamkan kedua matanya sebentar, kemudian membukanya kembali, memamerkan kedua manik mata miliknya yang kini sudah berubah warna menjadi merah menyala sembari menyeringai, memperlihatkan siung di giginya yang mendadak tumbuh.Bruak!Belum apa-apa, Denjaka yang sebelumnya telah siap dengan segala serangan yang ia bawa, kini terpental jauh ke belakang, gagal mencapai target yang telah menjadi sasaran serangannya kali ini.“Aaaa!” Denjaka mengerang. Dipeganginya dada miliknya yang terasa sakit akibat benturan keras yang ia dapatkan.“Pandu …,” ucap Denjaka lirih, dengan suara serak parau penuh berbagai macam emosi. Di tengah kekalahannya yang belum apa-apa, Denjaka berusaha mengangkat sedikit badannya, menatap lurus ke arah Pandu, mencari tahu apa yang sebenarnya te
Bab 56Tak kuasa menerima serangan yang Pandu berikan, Denjaka memilih menutup kedua kelopak matanya rapat-rapat. Jika ia memang harus tumbang, Denjaka memutuskan untuk menerimanya dengan lapang dada.Bruak!Tak lama berselang setelah pandangannya mendadak gelap tak menangkap bayangan apa-apa, suara kencang terdengar jelas, dentuman tabrakan yang diserudukkan oleh sapi hitam dengan tanduk panjang dan runcing, serta memiliki taring di sela-sela bibirnya, berbeda dari sapi pada umumnya.Suara itu menggema. Bisa dipastikan, apapun yang diterjang sapi yang saat ini sedang Pandu tunggangi sudah pasti akan membuat objek yang menjadi sasarannya akan terpental jauh, terlempar entah ke mana.Anehnya, Denjaka sama sekali tak merasakan apa-apa. Jangankan rasa sakit, bahkan kedua kakinya yang tanpa kuda-kuda sama sekali tidak berpindah tempat sedikit pun, masih berada di tempat semula.Merasa pemasaran atas kesakitan yang tak kunjung ia rasa
Bab 55Anehnya, tanpa Denjaka sadari, kekuatannya kembali pulih seutuhnya setelah sang putri kesayangan jatuh tumbang, seolah menggantikan.Kini, sudah tidak ada alasan lagi untuk dirinya merutuki dirinya sendiri yang kerap kali membantu orang lain namun sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa untuk anaknya sendiri.Dengan langkah penuh semangat, Denjaka berjalan cepat. Ia sudah sangat tidak sabar untuk segera sampai dan mencari tahu apa yang saat ini sedang menimpa sang putri.Sesampainya di tempat tujuan, di mana semua orang sedang dalam perasaan sama, sama-sama mengkhawatirkan Widuri yangs emakin lama semakin hampir terpejam sempurna, melihat Wintang menangis hancur tak kuasa menghadapi semuanya sendirian, Denjaka menghampiri, mengambil Wintang dari pelukan Cantika, menggantikannya, memberikan bahu yang sejak awal memang dibutuhkan oleh Wintang untuk bersandar di tengah kerasnya hidup yang mengombang-ambing langkahnya."Sayang ...," ucap D
Bab 54 "Pak Lek!" teriak Wintang, berlarian menuju ke ruang depan, di mana Ali, Bumi, dan juga Cantika masih ada di sana.Sementara Mbah Tarjo, sebelumnya ia buru-buru keluar tanpa sempat berpamitan. Tidak ingin ketahuan jika dirinya sedang mimisan, dan akan memancing kecurigaan dari semua orang, Mbah Tarjo sengaja menutupinya sebisa mungkin, memastikan darah yang sudah membuat baju bagian dadanya menjadi basah sama sekali tidak terlihat oleh siapa-siapa.Sebenarnya, kepulangan Mbah Tarjo yang tampak jelas begitu tergesa-gesa sempat mengundang tanya Bumi dan juga Cantika. Apa lagi Winingsih kedapatan memapah langkah sang ayah, menopang kedua kaki tua yang dipaksakan untuk berjalan agar tidak tumbang. Namun, sama sekali tidak menaruh rasa curiga pada laki-laki tua pemilik wajah melas itu dibiarkannya lolos begitu saja.Mendengar teriakan Wintang bersama deru langkah yang tidak biasa, Ali bangkit dari duduknya. Meski belum melihat semua dengan mata
Bab 53Tinggal satu langkah lagi, segala usahanya akan segera dipermudah. Membayangkan segala mimpinya akan segera terwujud, hati Mbah Tarjo merasa bungah. Saking senangnya, Mbah Tarjo sampai lupa untuk menjaga sikapnya, nyelonong masuk begitu saja tanpa berbasa-basi kepada Wintang, sekedar mengucapkan terima kasih.Sebenarnya, Wintang sama sekali tidak keberatan. Dia buka orang yang gila hormat, apa lagi Mbah Tarjo jauh lebih tua di atasnya. Hanya saja, atas sikap Mbah Tarjo yang sangat berbeda dari yang biasa selalu ditampilkan, Wintang mengernyitkan dahi keheranan.Akan tetapi, Wintang tak berburuk sangka, hanya mengira Mbah Tarjo terlalu bersemangat, ingin segera mengobati kekhawatirannya kepada Denjaka. Sebab, yang Wintang tahu, Mbah Tarjo begitu dekat dengan suaminya itu, sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri oleh Denjaka.“Saya permisi, Mbak,” ucap Winingsih, mewakili ayahnya yang nyelonong masuk begitu saja.Mendapatkan kera
Bab 52Tak kuasa menyaksikan sang ayah teriksa hampir meregang nyawa, melayang di udara sudah cukup lama, Winingsih berjalan gontai, melangkah terseok-seok menghampiri tempat di mana Mbah Tarjo tergantung sejak tadi.Kini, Mbah Tarjo tidak terlalu menggelinjang, atau sekedar menggerakan kedua tangan atau kakinya, lebih banyak diam, pasrah dan tak lagi bergerak. Untuk sekedar menggerakan tangan atau kakinya, Mbah Tarjo sudah tidak mampu. Berada di penghujung nyawa, membuat Mbah Tarjo jadi tidak berdaya.“Bapak ….” Winingsih memanggil sang ayah yang sedang sekarat sembari berlinangan air mata.“Nyai, saya mohon, selamatkan Bapak …, ucap Winingsih, memutar badannya dan duduk bersimpuh di hadapan Nyai Welas Asih, memohon agar perempuan itu sudi untuk membiarkan sang ayah tetap hidup.Melihat putrinya bersama Mbah Tarjo yang ia kirimkan ke dalam kandungan Mbok Marni waktu itu duduk bersimpuh di bawah kakinya, memohon dengan amat tulus, membuat
Bab 51Di tempat Lain.Merasakan ujian yang selalu datang tanpa henti, Wintang menangis sendiri, memangku Putri kecilnya yang saat ini berganti tidak sadarkan diri setelah sang ayah berhasil bangun dengan sendirinya. Wintang mengelus lembut pucuk kepala Widur, meratapi apa yang telah terjadi tak tiada henti-henti. Kejadian demi kejadian terus saja menimpa keluarganya, tanpa memberikan waktu bagi Wintang beristirahat sejenak, sekedar menata hatinya agar kembali siap.“Bersabarlah, Nduk. Pak Lek janji akan berusaha semaksimal mungkin,” kata Ali, mencoba menenangkan Wintang yang saat ini sedang meratapi sang putri, menyesali apa yang telah terjadi.Sebagai seorang ibu, hati ibu mana yang tak hancur melihat putri cantiknya dalam keadaan lemas, pucat pasi, kehabisan energi.Dari balik pintu, Pandu berdiri, diam-diam memperhatikan Wintang, Ali dan juga Widuri. Pasang mata Pandu menelisik tajam, mencoba mencari jawaban yang dia sendiri tak tahu
Bab 50********Di tempat berbeda, hampir selesai dengan apa yang saat ini sedang ia lakukan, Mbah Tarjo tetap tenang, mulai membereskan semua yang ada, memastikan semua selesai tanpa kendala dan berhasil sesuai dengan apa yang ia harapkan.Banaspati sudah dikirimkan kepada Denjaka. Bukan banaspati biasa, melainkan sebuah kesakitan yang sengaja ia kirimkan untuk membuat Denjaka jadi ketergantungan dengan Winingsih yang akan menjadi pengobat rasa sakit yang sebentar lagi akan Denjaka derita. Tinggal satu langkah lagi, semuanya akan selesai dengan sempurna.Sangat percaya diri jika rencana kali ini akan berhasil, Mbah Tarjo menyunggingkan bibirnya, tersenyum puas menyambut keberhasilan yang sebentar lagi akan menjadi miliknya.“Tidak akan ada obat yang mampu menyembuhkanmu dari rasa sakit itu, selain berada dekat dengan perempuan pujaan hati,” gumam Mbah Tarjo, mengirimkan sugesti pada bola api yang saat ini sedang ia kirimkan.Sud