Dengkuran halus dari laki-laki yang memiliki hidung yang mancung, kulit putih, dan rahang yang kokoh itu pasti membuat semua wanita yang melihatnya berdecak kagum memuji ciptaan Tuhan yang hampir sempurna itu. Bagaimana tidak, laki-laki dengan wajah yang rupawan dan segudang prestasi yang ia raih pasti banyak dipuja wanita seusianya. Akan tetapi, siapa sangka jika ia bahkan hanya menganggap gadis-gadis yang mengaguminya sebagai pemain figuran, karena ia belum mendapatkan pemain utama yang akan berperan sebagai pemilik kunci hatinya. Ia yakin, semua gadis itu hanya menyukai fisik dan prestasinya, bukan karena benar-benar ingin menemaninya.
Selain itu, ia juga hanya akrab dengan beberapa orang saja, utamanya, dua laki-laki dan satu gadis yang duduk di dekatnya. Masalah pertemanan pun ia masih pilih-pilih, meskipun ia tidak menolak jika ada yang ingin berteman dengannya, tapi ia sedikit menjaga jarak dari orang-orang selain tiga orang di depannya. Ia rasa, tak perlu banyak teman untuk bisa hidup dan menjalani hari-hari. Cukup beberapa teman yang selalu menemaninya di masa senang dan sulit.
Brak!Sebuah gebrakan keras pada meja yang ditiduri Defa—siswa cerdas dengan tampang yang menawan itu membangunkan ia dari tidurnya.
“Bangun, woy! Tidur mulu, ish! Temenin aku ke perpustakaan, yok!” ajak Novia—teman wanita yang baru ia kenali dua tahun ini. Meskipun belum lama, tapi ia rasa Via bisa menjadi teman baiknya. Berbeda dari gadis lainnya yang selalu tebar pesona di hadapan Defa, Via justru hanya bertingkah seadanya, tanpa mencari perhatiannya atau sekedar bermanja-manja padanya. Via sangat menjaga diri.“What? Ke perpustakaan? Lo sehat, Vi? tanya Raffa.“Sehat, kok. Yuk mumpung jamkos, lho,” ajaknya lagi.“Gue mencium bau-bau niat terselubung di otak lo, Vi! Sejak kapan seorang Novia Putri Febrya Andias mau ke perpustakaan? Biasanya juga kalo jamkos lo ngajak ke kantin atau ke masjid. Kesambet apaan pengen ke perpustakaan?” Fadri pun tak kalah herannya mendapati keinginan teman wanitanya yang tiba-tiba mengajak ke perpustakaan. Padahal, selama hampir dua tahun berteman, Via selalu menolak saat diajak ke perpustakaan, dengan alasan ia pusing membaca banyak huruf pada buku yang tersusun rapi di perpustakaan. Ia lebih suka membaca buku cerita bergambar sehingga ia bisa membayangkan alur cerita sesuai ilustrasi yang ada.“Ish, kalian, kok gitu, sih. Harusnya dukung aku, dong! Aku kan juga pengen pinter kayak Defa! Lagi pula aku gak ngajak sesat juga!” Via bersikukuh dengan keinginannya.“Via mau ke perpustakaan? Ya udah, yuk. Sekarang aja.” Defa memilih mengiyakan keinginan Via, karena perpustakaan juga tempatnya mengisi waktu luang saat di sekolah. Itulah sebabnya Defa memiliki otak cerdas yang terus terasah.“Gue di sini aja mau mabar sama Fadri,” kata Raffa.“Eits, kalian harus ikut! Seorang perempuan tidak boleh berduaan dengan laki-laki tanpa didampingi mahram, maka yang ketiga adalah syaiton. Jadi kalian harus ikut, ya!” pintanya.“Terus lo mau kita jadi syaiton?” tanya Raffa.“Raffa, ish! Bukan gitu. Udah, yuk ikut aja!”“Males Vi, gue sama Raffa mau di sini aja. Lo kalo mau ke perpustakaan sama Defa aja, ya, Vi.” Fadri berusaha menolak dengan halus.“Fadri sama Raffa gitu, ah. Ya udah, aku ke perpustakaan sendiri, aja.” Via berbalik dan pergi dari kelasnya dengan wajah kesal. Melihat hal itu, tiga sekawan tanpa diminta menyusulnya ke perpustakaan. Mereka sudah menganggap Via adiknya. Sehingga, mau tidak mau, pemintaan Via adalah perintah bagi mereka.***Via menghentikan langkahnya saat melihat kerumunan siswa di depan mading sekolah. Ia mencoba menerobos masuk namun masih terlalu jauh untuk melihat ada informasi apa di sana. “Permisi, ada apa, ya? Kok pada berkerumun gitu di depan mading?” tanyanya sopan pada seorang siswi yang keluar dari kerumunan.“Oh itu, ada acara perkemahan yang bakalan diadain selama seminggu.”“Eh, makasih, ya infonya.” Gadis dengan name tag Sania itu mengangguk dan tersenyum, lalu meninggalkan Via di sana.“Ibu sama Apap ngizinin gak, ya kalo aku ikut perkemahan ini?” Via bermonolog.***“Tolol lo kalo gue jatuh ke bawah bisa mati! Lo mau gue mati, hah?”"Gue gak dorong lo, Bangke!"
“Kalian ini sudah tidak pernah ke perpustakaan, sekalinya ke perpustakaan cuma bikin gaduh aja! Kalian baca tidak peraturan di depan pintu perpustakaan? Di sini tidak boleh berisik, apalagi bertengkar seperti yang kalian lakukan!” hardik Bu Emma—guru perpustakaan di SMA Alamanda.“Si curut ini dorong saya, Bu! Saya hampir jatuh ke bawah! Ibu tahu kan perpustakaan ini di lantai tiga, kalo saya sampai jatuh minimal kepala bocor, maksimal ... maksimal ... mak-““Maksimal maksimal! Ibu gak mau tahu apa yang terjadi! Kalian tidak boleh berisik di perpustakaan!”“Kampret, lo! Gue gak dorong lo, Raffa! Dari tadi gue cuma main hape! Gue bahkan gak tau kalo lo hampir jatuh!” Fadri mengelak dari tuduhan Raffa.Tanpa mereka sadari, Defa sudah masuk ke dalam perpustakaan dengan izin Bu Emma, tentunya. Karena tempat ini sudah menjadi langganan Defa selama ia bersekolah di sini. Sehingga, Bu Emma sudah tidak asing lagi, dan tahu karakter Defa yang tidak akan membuat keributan si tempat favoritnya ini.“Ibu gak mau tau! Sekarang kalian ikut ibu ke ruang BK untuk bertemu dengan Bu Anne agar kalian mendapat hukuman sesuai perilaku kalian ini!” Bu Emma menggiring Raffa dan Fadri sambil menjewer telinga keduanya menuju ruang BK.“Cari buku apa, Via?” tanya Defa yang melihat Via terus menggeser letak buku untuk mencari buku yang ia inginkan.“Lagi pengen baca yang horor-horor gitu, Def. Eh iya sekolah kita bakalan ngadain perkemahan, lho! Ikut gak? Ikut lah masa enggak.”“Kamu ini, nanya tapi dijawab sendiri! Gimana nanti, deh.”“Eh buku ini bagus. Aku duduk di sana, ya, Def. Defa kalo mau cari buku juga cari aja.” Via memegang sebuah buku tebal dengan cover warna hitam pekat dengan beberapa gambar seperti gunting, bawang putih, dan peniti. Defa menganggap buku itu hanya novel karangan penulis biasa. Padahal, tanpa ia sadari, ada tulisan bertinta merah di ujung kanan atas buku yang menyatakan bahwa kisah itu adalah kisah nyata yang dialami seseorang di masa silam.Setelah mendapatkan buku yang akan ia baca, ia memilih duduk di samping jendela sambil menatap lurus kepada Via yang membaca buku di ujung ruangan dengan penerangan yang sedikit remang-remang. Gadis itu hanya duduk sendirian dengan tatapan fokus pada buku yang ia baca. Sepertinya, kalaupun ada gempa ia tidak akan menyadarinya karena kefokusannya.“Sejak kapan Via suka baca buku horor?” batinnya.***Bu Emma terus menyeret Raffa dan Fadri agar masuk ke ruangan BK untuk mendapatkan hukuman atas perilaku mereka. “Aduh, Bu. Lepas, Bu sakit!" Raffa berusaha melepaskan jeweran dari Bu Emma. Setelah sampai di depan ruang BK, Bu Emma mengajak mereka masuk untuk menemui Bu Anne guru BK baru pengganti Pak Yuda.“Bu Anne, tolong hukum mereka dengan sesuai, ya! Mereka sudah membuat kegaduhan di perpustakaan dan banyak melontarkan kata-kata kasar yang tidak seharusnya dikatakan oleh remaja seusia mereka,” terang Bu Emma.Bu Anne tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya.
“Iya, Bu. Biar saya yang mengajak mereka berbicara.” Bu Emma kembali ke perpustakaan dengan rasa kesal yang belum hilang pada dua siswa yang membuat kegaduhan di tempat tenangnya.“Silakan duduk,” pinta Bu Anne.“Coba katakan pada ibu, apa yang kalian lakukan sampai membuat Bu Emma membawa kalian ke sini?” tanyanya lembut.“Tadi Fadri dorong saya dari lantai tiga, Bu. Kalo jatuh gimana? Ini masalah nyawa, lho, Bu! Ibu juga kalo di posisi saya pasti emosi.” Raffa pertama memberi cerita.“Oke, kalo menurut kamu, gimana? Apa ceritanya sesuai sama yang teman kamu katakan?” Bu Anne kembali bertanya dengan lembut. Memang jarang ada guru BK dengan sikap yang lemah lembut sepertinya. Semua siswa di SMA Alamanda seharusnya bersyukur karena mendapatkan guru BK sebaik dan seramah ini dengan penampilan yang sangat sopan.Dengan jilbab panjangnya guru muda itu kembali melontarkan perkataannya.
“Ibu mau dengar dulu cerita dari dua pihak, ya.” “Saya berani sumpah, Bu. Saya gak dorong Raffa. Lagi pula, apa untungnya buat saya, Bu? Saya sama Raffa temenan udah dari SD, masa iya saya rela lukain temen saya sendiri. Tadi saya lagi main hape, bahkan saya gak tau kalo Raffa hampir jatuh.” Fadri membeberkan cerita dari sudut pandangnya. Bu Anne mengangguk paham. Beberapa saat kemudian ia kembali tersenyum.“Ibu paham apa yang kalian alami. Tapi ibu tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya karena alasan tertentu. Sekarang, ibu mau kalian berbaikan, ya. Ibu tidak akan menghukum kalian. Kalian tidak perlu mendebatkan hal ini lagi. Pertama, karena pernyataan yang kalian berikan berbeda. Kedua, karena Raffa juga gak apa-apa, kan? Kalian jangan memperbesar masalah, ya. Ibu bukannya tidak mau memedulikan Raffa yang hampir jatuh, tapi biarkan masalah ini ibu cari tahu dulu titik terangnya, ya. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas.” Bu Anne tahu apa yang sedang menimpa siswanya. Meskipun ia guru baru, tapi pengetahuannya tentang sekolah ini tidak sedikit, karena ini mantan SMA-nya dulu.Raffa dan Fadri mengangguk pasrah sambil keluar dari ruangan BK setelah pamit pada Bu Anne.“Hm, kamu masih suka ganggu, ya, Rin.”“Oke anak-anak, sebelum pulang, ibu ada pengumuman dulu. Mohon disimak baik-baik, ya!” Bu Reyna memberi instruksi. Suasana kelas yang riuh pun hening seketika agar informasi mereka dapatkan secara lengkap.“Jadi, SMA Alamanda akan mengadakan acara perkemahan ke sebuah desa kecil di daerah Garut. Kita akan berkemah di sana selama seminggu. Perkemahan ini sebagai nilai tambahan kalian bagi yang nilai PTS kemarin di bawah KKM. Di sana kita akan belajar beberapa hal tentang kewirausahaan dan perekonomian petani. Semua siswa kelas X dan kelas XI wajib mengikuti akan tetapi dengan izin orang tua pastinya. Ini surat izin yang harus orang tua kalian tanda tangani. Besok, kalian harus kembali membawa surat ini dengan tanda tangan dan pernyataan izin atau tidak dari orang tua kalian. Bagi yang tidak mendapat izin dari orang tuanya, kalian jangan berkecil hati, tambahan nilai bisa kalian dapatkan dengan membuat 100 lembar makalah tentang kewirausahaan dan perekon
Hari yang ditunggu-tunggu semua siswa akhirnya tiba. Hari ini, tepat pukul 8 pagi seluruh siswa kelas X dan kelas XI akan berangkat berkemah ke Garut menggunakan bus sekolah. Via, setelah berdebat kecil dengan orang tuanya pun akhirnya mendapat izin untuk ikut berkemah. Via tidak percaya dengan perkataan Raini—gadis yang beberapa hari lalu kerasukan di kelasnya dan isi surat yang juga mengatakan hal yang sama, tentang larangan untuk pergi ke Garut.Tak lupa, Via membawa buku yang ia pinjam dari perpustakaan beberapa hari lalu. Ia sudah selesai membaca namun belum paham poin utama dalam buku itu. Menurut Via, bahasa di dalam buku itu sulit dipahami karena mengandung unsur mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ia akan membacanya lagi nanti saat ada waktu luang.Siswa dan siswi SMA Alamanda mulai berkumpul dan duduk di bangku bus sesuai nomor urut yang diberikan guru. Beruntungnya, Via duduk dengan Arini teman sekelasnya dan Defa duduk di bela
Pagi yang cerah mengawali pembukaan perkemahan. Pukul enam pagi setelah semua siswa selesai mandi, beberapa siswa mulai mendirikan tenda di tepi hutan, meninggalkan rumah Pak RT yang semalam mereka tempati.Setelah beberapa waktu, hingga semua regu selesai membangun tenda, Bu Anne sebagai guru pembimbing yang menggantikan Pak Randi memulai pembukaan acara.“Bismillahirrahmanirrahim. Assalaamualaikum anak-anak, apa kabar hari ini?” sapanya.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah baik, Bu!” jawab semua siswa dan siswi serentak. Bu Anne mengangguk sambil tersenyum.“Alhamdulillah. Hari ini sebagai hari pertama pembukaan perkemahan ada beberapa hal yang ingin ibu sampaikan.”“Meskipun kita beregu, berjumlah banyak, tetap saja tidak boleh semena-mena terhadap alam dan makhluk lain,” ucapnya dengan penuh penekanan pada frasa terakhir.“K
Via, Defa, dan teman-temannya kembali menyusuri jalan yang sempat mereka lalui tadi. Mereka berteriak memanggil nama Fadri supaya laki-laki itu muncul dan tidak menambah kekhawatiran mereka.“Fadri!”“Fadri! Lo di mana?”“Fadri!”“Fadri!” Mereka berteriak- teriak memanggil nama Fadri.Setelah beberapa saat, mereka berhenti sejenak untuk istirahat.“Apa mungkin Fadri udah balik ke tenda?” tanya Defa.“Iya! Mungkin aja dia udah balik!” Raffa menimpali.“Ya, udah kita balik aja ke tenda, barangkali Fadri ada di sana.” Defa memutuskan untuk kembali ke perkemahan. Ketemu atau tidaknya Fadri, mereka tetap harus kembali ke perkemahan untuk mengeceknya.**Langkah mereka terhenti saat pertanyaan-pertanyaan dilontarkan oleh Bu Anne.“Gimana? Udah wawancaranya? Kalian uda
Pukul 3 dini hari Defa terbangun dari tidurnya, ia keluar dari tenda menuju toilet perkemahan untuk buang air kecil. Kemudian, Defa mengambil wudu dan memilih untuk salat tahajud di depan tenda.Rakaat pertama ia masih tidak terganggu. Dengan khusyuknya Defa melakukan setiap gerakan salat. Namun, saat rakaat kedua, fokusnya mulai terganggu karena suara-suara aneh dari dalam hutan. Seperti suara keramaian seolah di tempat umum, namun Defa tak menghiraukannya. Ia menyelesaikan salatnya kemudian berdoa meminta perlindungan untuk ia dan teman-temannya serta berdoa agar Fadri segera ditemukan.Selesai berdoa, Defa memilih untuk zikir sampai fajar tiba. Setiap tasbih dan tahmid dari bibirnya seolah menghilangkan suara keramaian yang ia dengar. Hingga benar-benar kesunyian yang ia dapati.Masih dengan zikirnya, Defa melihat seseorang dari tenda wanita keluar. Merasa heran, Defa mengikuti perginya gadis itu. Siapa yang keluar di waktu seperti ini? Seberani i
“Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T
“Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.
Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg
Malam hari, Via masih terjaga dari tidurnya. Ia bahkan tidak bisa untuk sekedar memejamkan mata sebentar saja. Rasa kantuk tidak menghampirinya. Pukul 2 dini hari, Via memutuskan untuk keluar tenda. Api unggun yang senantiasa menyala di tengah-tengah perkemahan menarik perhatian Via. Ia mendekati api unggun dan duduk di depannya agar tubuhnya terasa sedikit hangat dari udara yang begitu menelisik kulitnya. Via melipat gamis di bagian pahanya ke depan agar tidak menjuntai mengenai tanah. Ia meluruskan tangannya dan mendekatkan telapak tangan ke arah api unggun. Via merasa lapar namun nafsu makannya hilang saat mengingat kejadian beberapa jam lalu saat membantu para siswi memasak. Ingatannya kembali berputar pada detik-detik jatuhnya belatung dan cacing-cacing dari baskom yang jelas-jelas diisi mie. Via berzikir pelan sambil menghangatkan tubuhnya. Ia tidak boleh mengosongkan dirinya apalagi di daerah asing dan dini hari seperti ini. Perutnya berb
Novia’s PoV“Astagfirullahaladzim!” Aku memekik kaget. Kulihat gadis bergaun biru yang kakinya tidak menapak tanah itu sedang mencekik Defa. Namun sekilas kemudian kulihat makhluk itu hilang dari tempatnya semula.Defa terbatuk-batuk berusaha mengambil napas. Aku dan Saka segera menghampirinya. Defa masih memegangi lehernya.“Def, Defa gak apa-apa?” tanyaku. Aku tahu itu pertanyaan yang tidak berguna karena aku pun melihat kejadiannya. Setidaknya, aku harus menunjukkan kekhawatiranku pada temanku itu. Karena aku memang benar-benar mengkhawatirkannya.“Uhukk! Uhukk!” Defa beberapa kali terbatuk-batuk masih belum bisa menjawab pertanyaanku.“Defa lagi ngapain di sini?” tanyaku. Defa menatapku dan Saka bergantian. Aku mengernyit heran.Ia masih diam berusaha mengumpulkan napas.“Kamu juga ngapain di sini, Vi,?” tanyanya balik. Astaga, bukannya menjawab ia malah berta
Siang hari yang terik menjadi sumber rezeki bagi para petani daun teh. Proses pelayuan memang sangat membutuhkan bantuan cahaya matahari. Sehingga, panas yang terik merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan oleh para petani.Defa dan semua anggota regunya membantu setiap petani yang membutuhkan bantuan. Selain itu, mereka juga belajar banyak tentang betapa sulitnya mencari uang dan membuat teh. Awalnya, mereka hanya tahu teh berbentuk kemasan yang sangat praktis jika akan digunakan. Akan tetapi, sekarang mereka tahu dari sejak awal proses pemetikan hingga teh dikemas menjadi teh celup kemasan dan beberapa bahan utama pembuatan minuman teh berbentuk botol.Setiap tetesan peluh tidak menghalangi para petani untuk menghentikan pekerjaannya. Ada anak, istri, dan sanak keluarga yang menunggu mereka di rumah. Jika mereka pulang tanpa membawa upah, maka raut kekecewaan pasti tergambar jelas di wajah orang-orang yang tengah menunggu mereka pulang.Sesekali, De
Novia’s PoVHari ini, rasanya aku tidak ingin ikut ke tempat pelayuan daun teh. Aku masih harus menemui laki-laki menyebalkan yang selalu menjahiliku. Aku harus tahu apa saja yang dia lakukan selama aku pingsan. Ah, bodohnya aku bisa-bisanya pingsan terlalu lama hanya karena sebuah lemparan di kepala saat bersama laki-laki asing.Dia berutang penjelasan padaku. Dan dia ... pernah menggendongku? Argh! Ini merusak citraku sebagai wanita muslimah. Harusnya dia meminta izin jika akan menyentuhku walaupun aku pasti tidak mengizinkannya.Ini melanggar undang-undang perizinan di hidupku. Membayangkannya menggendongku membuatku bergidik hingga memeluk diriku sendiri berharap ia tak berpikiran macam-macam ketika menggendongku saat itu.Aku akan segera menemuinya hari ini, detik ini juga. Tapi ... di mana aku bisa bertemu dengannya? Sangat tidak mungkin jika aku harus menanyakan alamatnya pada warga sekitar. Teman-temanku tidak boleh tahu perihal ini. Aku sun
Rasa bimbang menyelimutiku. Aku ragu tentang isi surat ini. Apakah ini peringatan yang sama? Apakah akan ada kejadian yang sama? Rasanya, aku belum dan bahkan tidak akan siap jika kejadian itu benar-benar terjadi lagi.Setelah kuamati, bentuk hurufnya sedikit berbeda dengan surat yang pernah kubaca. Meskipun aku tidak bisa membaca huruf aksara sunda, tapi sedikit banyaknya aku mengingat beberapa bentuk hurufnya. Semoga ini bukan petaka buruk. Luka yang lama pun belum sembuh, bagaimana jika harus ada luka baru.Perlahan, aku membuka kertas itu walaupun rasa ragu masih menggelutiku. Aku harus tahu apa isinya. Lagi-lagi, aku gagal paham. Tak satu pun huruf di sini yang aku pahami. Sepertinya, ini hanya sebuah kalimat, tapi apa artinya?Kucoba mengetikkan sesuatu di ponselku dan mencari tahu arti tulisan ini. Ada tutorial membaca tulisan sunda. Beberapa pilihan artikel dan bahkan penjelasan yang berbentuk video banyak mendominasi di halaman itu.
Saka’s PoV“Hallah, katakan saja. Jangan membuat saya penasaran. Saya sangat tidak suka dibuat pena-”DughSesuatu mengenai kepala Novia membuatnya sempoyongan dan pingsan seketika.“Astaga!” Karena panik, dengan spontan aku menahan bobot tubuh Novia agar tidak terjatuh ke tanah.“Hey! Bangun!” kataku sambil menepuk-nepuk pipi kanan Novia. Aku tahu jika gadis itu sadar maka ia akan memarahiku karena berani menyentuhnya dengan alasan ‘Harom’.Ah, sikap gadis ini memang mencerminkan penampilannya. Dengan gamis berwarna hijau tua dipadukan pasmina hitam yang menutup sempurna kepalanya membuat ia terlihat anggun meskipun sikapnya sedikit jutek.Andaikan ia bisa sedikit bersikap manis mungkin aku juga tidak terlalu ketus padanya. Tapi, gadis yang banyak bertanya ini ternyata cukup berani untuk mengambilkan daun bidara di ujung kampung agar temannya segera sembuh.
Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg
“Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.
“Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T