Pagi yang cerah mengawali pembukaan perkemahan. Pukul enam pagi setelah semua siswa selesai mandi, beberapa siswa mulai mendirikan tenda di tepi hutan, meninggalkan rumah Pak RT yang semalam mereka tempati.
Setelah beberapa waktu, hingga semua regu selesai membangun tenda, Bu Anne sebagai guru pembimbing yang menggantikan Pak Randi memulai pembukaan acara.“Bismillahirrahmanirrahim. Assalaamualaikum anak-anak, apa kabar hari ini?” sapanya.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah baik, Bu!” jawab semua siswa dan siswi serentak. Bu Anne mengangguk sambil tersenyum.“Alhamdulillah. Hari ini sebagai hari pertama pembukaan perkemahan ada beberapa hal yang ingin ibu sampaikan.”“Meskipun kita beregu, berjumlah banyak, tetap saja tidak boleh semena-mena terhadap alam dan makhluk lain,” ucapnya dengan penuh penekanan pada frasa terakhir.“Kita di sini untuk ikut serta memelihara alam dan mewawancarai petani yang setiap hari pergi ke kebun atau sawahnya. Kalian sudah dibagi kelompok dengan 15 siswa per kelompoknya. Ibu tidak menuntut kalian untuk mencari petani yang sama di tempat yang sama, kalian bisa mengunjungi beberapa daerah tempat bertani di sekitar sini. Ingat, jangan jauh-jauh dan terus berkelompok! Jangan merusak alam, jangan berbicara seenaknya, dan jangan bertingkah angkuh di depan siapa pun di sini. Jika ada pertanyaan, kalian boleh mengangkat tangan!” Bu Anne menjelaskan apa saja yang harus dilakukan para siswa serta larangan yang tidak boleh mereka langgar.“Bu, maksud ibu semena-mena terhadap makhluk lain apa, ya?” tanya seorang siswa sambil mengacungkan tangannya.Bu Anne berdehem singkat. “Begini, di desa ini tidak hanya ada manusia, tapi ada makhluk lain seperti hewan, dan kalian tidak boleh mengganggu kehidupan mereka.” Bu Anne berbohong. Padahal, yang ia maksud adalah ‘makhluk lain’ yang sebenarnya. Makhluk yang tidak kasat mata yang senantiasa ada di sela-sela mereka. Ia tak ingin membuat siswanya takut. Bu Anne mencoba mengatakan hal lain tanpa menjelaskan maksudnya yang sebenarnya. Walau ia tahu, ada satu siswi yang mengerti betul maksudnya.“Masih ada pertanyaan?” tanyanya lagi. Suasana hening, tak ada siswa yang menjawab. Artinya, tidak ada lagi pertanyaan.“Oke, jika sudah tidak ada pertanyaan, kalian boleh memulai perjalanan. Jangan lupa mencatat hasil wawancara kalian, ya!”Para siswa pun berpencar sesuai rencana regunya yang akan menentukan ke mana mereka melakukan perjalanan.Via, Defa, Fadri, Raffa, dan Arini ada di dalam regu yang sama. Mereka memilih mewawancarai warga yang bekerja di kebun teh di dekat perkemahan mereka. Mereka bergegas menuju kebun teh yang dituju dengan membawa beberapa keperluan.***“Aduh, anjir! Banyak nyamuk banget di sini! Gue mau pulang! Desa apaan sih ini banyak banget nyamuknya!” Fadri mengoceh sambil terus menepuk tangan dan tengkuknya berusaha mengusir nyamuk yang hinggap di tubuhnya. “Eh, Fadri! Denger kata Bu Anne tadi gak, sih? Gak boleh ngomong sembarangan! Inget ini bukan di Jakarta!” Via mengingatkan.“Halah, orang gue cuma bilang banyak nyamuk doang apa salahnya, hah? Kan emang bener di sini banyak nyamuk banget!” Fadri melawan perkataan Via.“Apa susahnya, sih lo gak usah ngoceh di deket perkebunan gini? Udah tinggal pake losion anti nyamuk kan gampang, gak usah bacot gitu.” Raffa ikut mengingatkan.“Suka-suka gue, lah! Mulut-mulut gue! Apa lo?” Fadri masih berceloteh. Defa hanya menggelengkan kepalanya. “Kalian ditinggal di sini aja, ya. Biar yang lain ikut sama gue sama Via. Lanjutin debat kalian sampe magrib!” Defa meninggalkan mereka berdua.Sebelum menuju perkebunan teh, mereka harus melewati hutan kecil di tepi desa. Hutan itu kecil bagi orang yang taat aturan dan menjadi besar bagi .... Ah, sudahlah!
Raffa menepuk bahu Fadri dan berbisik. “Gue denger di sini ada arwah pengantin gentayangan, lho! Arwahnya mungkin aja berbentuk nyamuk yang tadi lo maki-maki, haha!” Raffa menakuti Fadri sambil berlari menyusul Defa dan yang lain.“Arwah berbentuk nyamuk? Astaga! Si Curut ninggalin gue!” Fadri bermonolog sambil melirik ke kanan dan kirinya.“Kampret, lo, Raffa! Tungguin gue!” ***“Permisi, Pak, Bu mohon maaf jika mengganggu. Kami siswa dan siswi dari SMA Alamanda yang sedang melakukan perkemahan ingin wawancarai Bapak dan Ibu di sini. Apa boleh, Pak, Bu?” tanya Via sopan.“Mangga, Neng. Bade naros naon?”(“Boleh, Neng. Mau tanya apa?”)“Jadi begini, Pak, Bu, perkenalkan saya Defa, ini Via, Raffa, Arini, Vera, Galih, Gilang, Ferdi, Farhan, Nisa, Nina, Fahira, Dinda, dan Fika.” ‘Eh, Fadri ke mana?’ batin Defa. Namun ia kembali meneruskan ucapannya dan memilih mencari temannya nanti. Ia kira Fadri mungkin hanya tertinggal di belakang karena tadi ia tinggalkan, jadi biar saja nanti juga dia menyusul. “Kemarin saat ujian nilai kami kurang di mata pelajaran kewirausahaan, guru kami memperbolehkan kami mendapat nilai tambahan dengan syarat melakukan beberapa penelitian ke desa-desa petani. Guru kami juga yang merekomendasikan kami agar ke Garut. Karena katanya, selain di sini masih bebas polusi, di sini juga daerahnya lengkap. Ada sungai, air terjun, pantai, kebun teh, dan pegunungan. Kelompok kami memilih untuk mewawancarai para petani yang bekerja di kebun teh. Selain wawancara, kami juga akan membantu Bapak dan Ibu dalam melakukan pekerjaan agar kami pun tahu sedikit banyaknya cara bertani dari petani desa langsung.” Defa menjelaskan panjang lebar tujuannya.Para petani di hadapan mereka mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.“Nama bapak Ucu, ini Bu Siti, Bu Salamah, Pak Iman, dan Pak Furqon.” Pak Ucu memperkenalkan dirinya.“Jadi, Neng sama Ujang mau mulai dari mana, atuh?” tanya Pak Iman.“Kami mau bantu kegiatan Bapak dan Ibu saja dulu. Biar kami mempelajari cara memetik daun teh dan memelihara kebun teh.” Defa kembali menjadi juru bicara.“Siap kalo begitu! Hayu atuh kita dimulai saja kerjanya!” ajak Pak Furqon dibalas anggukan oleh teman-teman petaninya.***“Def, Fadri kok aku liat belum datang terus, ya? Perasaan tadi ketinggalannya enggak jauh, kok. Jangan-jangan Fadri tersesat!” kata Via.“Gak usah ngomong yang enggak-enggak, Vi. Kita tunggu sepuluh menit lagi kalo dia masih gak datang kita cari, ya!” Via mengangguk.***“Gue kok muter-muter di sini terus, sih? Perasaan tadi gak jauh waktu ngejar Raffa. Tapi kok balik lagi ke sini, ya? Apa jangan-jangan gue nyasar? Astaga!” Fadri bermonolog. Ia sudah empat kali berjalan dengan jarak yang cukup jauh namun rasanya ia hanya diam di tempat yang sama. Untuk membuktikan dugaannya, Fadri membuat tanda pada sebuah pohon menggunakan batu yang tajam.“Nah, kalo udah gini bisa keliatan gue nyasar atau enggaknya,” katanya setelah berhasil mengukir beberapa sayatan di sebuah pohon. Fadri kembali berjalan ke arah yang berbeda dari yang sebelumnya, ia menengok ke arah kanan di mana ia mengukir sayatan-sayatan di pohon tadi. Fadri mendekati pohon itu, mencoba melihat dengan saksama apakah itu hasil sayatannya atau bukan. Namun, saat Fadri menyentuh sayatan itu, tiba-tiba cairan putih merembes keluar dari garis sayatan yang Fadri buat. Lama-kelamaan cairan itu berubah menjadi warna merah. Bau amis menguar indra penciuman Fadri. “Gila! Pohon apaan ini? Kok ngeluarin darah?”Saat hendak berbalik meninggalkan pohon itu, sebuah pisau tajam dilempar oleh seseorang dan hampir melukai lehernya. Pisau itu menancap tepat di pohon yang mengeluarkan darah. Fadri kaget dan seketika pingsan di tempat.Via, Defa, dan teman-temannya kembali menyusuri jalan yang sempat mereka lalui tadi. Mereka berteriak memanggil nama Fadri supaya laki-laki itu muncul dan tidak menambah kekhawatiran mereka.“Fadri!”“Fadri! Lo di mana?”“Fadri!”“Fadri!” Mereka berteriak- teriak memanggil nama Fadri.Setelah beberapa saat, mereka berhenti sejenak untuk istirahat.“Apa mungkin Fadri udah balik ke tenda?” tanya Defa.“Iya! Mungkin aja dia udah balik!” Raffa menimpali.“Ya, udah kita balik aja ke tenda, barangkali Fadri ada di sana.” Defa memutuskan untuk kembali ke perkemahan. Ketemu atau tidaknya Fadri, mereka tetap harus kembali ke perkemahan untuk mengeceknya.**Langkah mereka terhenti saat pertanyaan-pertanyaan dilontarkan oleh Bu Anne.“Gimana? Udah wawancaranya? Kalian uda
Pukul 3 dini hari Defa terbangun dari tidurnya, ia keluar dari tenda menuju toilet perkemahan untuk buang air kecil. Kemudian, Defa mengambil wudu dan memilih untuk salat tahajud di depan tenda.Rakaat pertama ia masih tidak terganggu. Dengan khusyuknya Defa melakukan setiap gerakan salat. Namun, saat rakaat kedua, fokusnya mulai terganggu karena suara-suara aneh dari dalam hutan. Seperti suara keramaian seolah di tempat umum, namun Defa tak menghiraukannya. Ia menyelesaikan salatnya kemudian berdoa meminta perlindungan untuk ia dan teman-temannya serta berdoa agar Fadri segera ditemukan.Selesai berdoa, Defa memilih untuk zikir sampai fajar tiba. Setiap tasbih dan tahmid dari bibirnya seolah menghilangkan suara keramaian yang ia dengar. Hingga benar-benar kesunyian yang ia dapati.Masih dengan zikirnya, Defa melihat seseorang dari tenda wanita keluar. Merasa heran, Defa mengikuti perginya gadis itu. Siapa yang keluar di waktu seperti ini? Seberani i
“Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T
“Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.
Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg
Saka’s PoV“Hallah, katakan saja. Jangan membuat saya penasaran. Saya sangat tidak suka dibuat pena-”DughSesuatu mengenai kepala Novia membuatnya sempoyongan dan pingsan seketika.“Astaga!” Karena panik, dengan spontan aku menahan bobot tubuh Novia agar tidak terjatuh ke tanah.“Hey! Bangun!” kataku sambil menepuk-nepuk pipi kanan Novia. Aku tahu jika gadis itu sadar maka ia akan memarahiku karena berani menyentuhnya dengan alasan ‘Harom’.Ah, sikap gadis ini memang mencerminkan penampilannya. Dengan gamis berwarna hijau tua dipadukan pasmina hitam yang menutup sempurna kepalanya membuat ia terlihat anggun meskipun sikapnya sedikit jutek.Andaikan ia bisa sedikit bersikap manis mungkin aku juga tidak terlalu ketus padanya. Tapi, gadis yang banyak bertanya ini ternyata cukup berani untuk mengambilkan daun bidara di ujung kampung agar temannya segera sembuh.
Rasa bimbang menyelimutiku. Aku ragu tentang isi surat ini. Apakah ini peringatan yang sama? Apakah akan ada kejadian yang sama? Rasanya, aku belum dan bahkan tidak akan siap jika kejadian itu benar-benar terjadi lagi.Setelah kuamati, bentuk hurufnya sedikit berbeda dengan surat yang pernah kubaca. Meskipun aku tidak bisa membaca huruf aksara sunda, tapi sedikit banyaknya aku mengingat beberapa bentuk hurufnya. Semoga ini bukan petaka buruk. Luka yang lama pun belum sembuh, bagaimana jika harus ada luka baru.Perlahan, aku membuka kertas itu walaupun rasa ragu masih menggelutiku. Aku harus tahu apa isinya. Lagi-lagi, aku gagal paham. Tak satu pun huruf di sini yang aku pahami. Sepertinya, ini hanya sebuah kalimat, tapi apa artinya?Kucoba mengetikkan sesuatu di ponselku dan mencari tahu arti tulisan ini. Ada tutorial membaca tulisan sunda. Beberapa pilihan artikel dan bahkan penjelasan yang berbentuk video banyak mendominasi di halaman itu.
Novia’s PoVHari ini, rasanya aku tidak ingin ikut ke tempat pelayuan daun teh. Aku masih harus menemui laki-laki menyebalkan yang selalu menjahiliku. Aku harus tahu apa saja yang dia lakukan selama aku pingsan. Ah, bodohnya aku bisa-bisanya pingsan terlalu lama hanya karena sebuah lemparan di kepala saat bersama laki-laki asing.Dia berutang penjelasan padaku. Dan dia ... pernah menggendongku? Argh! Ini merusak citraku sebagai wanita muslimah. Harusnya dia meminta izin jika akan menyentuhku walaupun aku pasti tidak mengizinkannya.Ini melanggar undang-undang perizinan di hidupku. Membayangkannya menggendongku membuatku bergidik hingga memeluk diriku sendiri berharap ia tak berpikiran macam-macam ketika menggendongku saat itu.Aku akan segera menemuinya hari ini, detik ini juga. Tapi ... di mana aku bisa bertemu dengannya? Sangat tidak mungkin jika aku harus menanyakan alamatnya pada warga sekitar. Teman-temanku tidak boleh tahu perihal ini. Aku sun
Malam hari, Via masih terjaga dari tidurnya. Ia bahkan tidak bisa untuk sekedar memejamkan mata sebentar saja. Rasa kantuk tidak menghampirinya. Pukul 2 dini hari, Via memutuskan untuk keluar tenda. Api unggun yang senantiasa menyala di tengah-tengah perkemahan menarik perhatian Via. Ia mendekati api unggun dan duduk di depannya agar tubuhnya terasa sedikit hangat dari udara yang begitu menelisik kulitnya. Via melipat gamis di bagian pahanya ke depan agar tidak menjuntai mengenai tanah. Ia meluruskan tangannya dan mendekatkan telapak tangan ke arah api unggun. Via merasa lapar namun nafsu makannya hilang saat mengingat kejadian beberapa jam lalu saat membantu para siswi memasak. Ingatannya kembali berputar pada detik-detik jatuhnya belatung dan cacing-cacing dari baskom yang jelas-jelas diisi mie. Via berzikir pelan sambil menghangatkan tubuhnya. Ia tidak boleh mengosongkan dirinya apalagi di daerah asing dan dini hari seperti ini. Perutnya berb
Novia’s PoV“Astagfirullahaladzim!” Aku memekik kaget. Kulihat gadis bergaun biru yang kakinya tidak menapak tanah itu sedang mencekik Defa. Namun sekilas kemudian kulihat makhluk itu hilang dari tempatnya semula.Defa terbatuk-batuk berusaha mengambil napas. Aku dan Saka segera menghampirinya. Defa masih memegangi lehernya.“Def, Defa gak apa-apa?” tanyaku. Aku tahu itu pertanyaan yang tidak berguna karena aku pun melihat kejadiannya. Setidaknya, aku harus menunjukkan kekhawatiranku pada temanku itu. Karena aku memang benar-benar mengkhawatirkannya.“Uhukk! Uhukk!” Defa beberapa kali terbatuk-batuk masih belum bisa menjawab pertanyaanku.“Defa lagi ngapain di sini?” tanyaku. Defa menatapku dan Saka bergantian. Aku mengernyit heran.Ia masih diam berusaha mengumpulkan napas.“Kamu juga ngapain di sini, Vi,?” tanyanya balik. Astaga, bukannya menjawab ia malah berta
Siang hari yang terik menjadi sumber rezeki bagi para petani daun teh. Proses pelayuan memang sangat membutuhkan bantuan cahaya matahari. Sehingga, panas yang terik merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan oleh para petani.Defa dan semua anggota regunya membantu setiap petani yang membutuhkan bantuan. Selain itu, mereka juga belajar banyak tentang betapa sulitnya mencari uang dan membuat teh. Awalnya, mereka hanya tahu teh berbentuk kemasan yang sangat praktis jika akan digunakan. Akan tetapi, sekarang mereka tahu dari sejak awal proses pemetikan hingga teh dikemas menjadi teh celup kemasan dan beberapa bahan utama pembuatan minuman teh berbentuk botol.Setiap tetesan peluh tidak menghalangi para petani untuk menghentikan pekerjaannya. Ada anak, istri, dan sanak keluarga yang menunggu mereka di rumah. Jika mereka pulang tanpa membawa upah, maka raut kekecewaan pasti tergambar jelas di wajah orang-orang yang tengah menunggu mereka pulang.Sesekali, De
Novia’s PoVHari ini, rasanya aku tidak ingin ikut ke tempat pelayuan daun teh. Aku masih harus menemui laki-laki menyebalkan yang selalu menjahiliku. Aku harus tahu apa saja yang dia lakukan selama aku pingsan. Ah, bodohnya aku bisa-bisanya pingsan terlalu lama hanya karena sebuah lemparan di kepala saat bersama laki-laki asing.Dia berutang penjelasan padaku. Dan dia ... pernah menggendongku? Argh! Ini merusak citraku sebagai wanita muslimah. Harusnya dia meminta izin jika akan menyentuhku walaupun aku pasti tidak mengizinkannya.Ini melanggar undang-undang perizinan di hidupku. Membayangkannya menggendongku membuatku bergidik hingga memeluk diriku sendiri berharap ia tak berpikiran macam-macam ketika menggendongku saat itu.Aku akan segera menemuinya hari ini, detik ini juga. Tapi ... di mana aku bisa bertemu dengannya? Sangat tidak mungkin jika aku harus menanyakan alamatnya pada warga sekitar. Teman-temanku tidak boleh tahu perihal ini. Aku sun
Rasa bimbang menyelimutiku. Aku ragu tentang isi surat ini. Apakah ini peringatan yang sama? Apakah akan ada kejadian yang sama? Rasanya, aku belum dan bahkan tidak akan siap jika kejadian itu benar-benar terjadi lagi.Setelah kuamati, bentuk hurufnya sedikit berbeda dengan surat yang pernah kubaca. Meskipun aku tidak bisa membaca huruf aksara sunda, tapi sedikit banyaknya aku mengingat beberapa bentuk hurufnya. Semoga ini bukan petaka buruk. Luka yang lama pun belum sembuh, bagaimana jika harus ada luka baru.Perlahan, aku membuka kertas itu walaupun rasa ragu masih menggelutiku. Aku harus tahu apa isinya. Lagi-lagi, aku gagal paham. Tak satu pun huruf di sini yang aku pahami. Sepertinya, ini hanya sebuah kalimat, tapi apa artinya?Kucoba mengetikkan sesuatu di ponselku dan mencari tahu arti tulisan ini. Ada tutorial membaca tulisan sunda. Beberapa pilihan artikel dan bahkan penjelasan yang berbentuk video banyak mendominasi di halaman itu.
Saka’s PoV“Hallah, katakan saja. Jangan membuat saya penasaran. Saya sangat tidak suka dibuat pena-”DughSesuatu mengenai kepala Novia membuatnya sempoyongan dan pingsan seketika.“Astaga!” Karena panik, dengan spontan aku menahan bobot tubuh Novia agar tidak terjatuh ke tanah.“Hey! Bangun!” kataku sambil menepuk-nepuk pipi kanan Novia. Aku tahu jika gadis itu sadar maka ia akan memarahiku karena berani menyentuhnya dengan alasan ‘Harom’.Ah, sikap gadis ini memang mencerminkan penampilannya. Dengan gamis berwarna hijau tua dipadukan pasmina hitam yang menutup sempurna kepalanya membuat ia terlihat anggun meskipun sikapnya sedikit jutek.Andaikan ia bisa sedikit bersikap manis mungkin aku juga tidak terlalu ketus padanya. Tapi, gadis yang banyak bertanya ini ternyata cukup berani untuk mengambilkan daun bidara di ujung kampung agar temannya segera sembuh.
Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg
“Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.
“Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T