Hari yang ditunggu-tunggu semua siswa akhirnya tiba. Hari ini, tepat pukul 8 pagi seluruh siswa kelas X dan kelas XI akan berangkat berkemah ke Garut menggunakan bus sekolah. Via, setelah berdebat kecil dengan orang tuanya pun akhirnya mendapat izin untuk ikut berkemah. Via tidak percaya dengan perkataan Raini—gadis yang beberapa hari lalu kerasukan di kelasnya dan isi surat yang juga mengatakan hal yang sama, tentang larangan untuk pergi ke Garut.
Tak lupa, Via membawa buku yang ia pinjam dari perpustakaan beberapa hari lalu. Ia sudah selesai membaca namun belum paham poin utama dalam buku itu. Menurut Via, bahasa di dalam buku itu sulit dipahami karena mengandung unsur mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ia akan membacanya lagi nanti saat ada waktu luang.Siswa dan siswi SMA Alamanda mulai berkumpul dan duduk di bangku bus sesuai nomor urut yang diberikan guru. Beruntungnya, Via duduk dengan Arini teman sekelasnya dan Defa duduk di belakangnya bersama Fadri.“Def, mau camilan Defa, dong! Camilan aku buat nanti kalo udah sampe di sana, ya!” pinta Via.Defa mengangguk, memang niatnya membawa banyak camilan untuk Via, dia tau gadis itu sangat suka makan makanan ringan, apalagi untuk perjalanan jauh yang memakan waktu dan membosankan. Defa menyodorkan beberapa bungkus makanan Via dibalas senyuman singkat.“Makasih, Defa ganteng!” pujinya. Defa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum tipis pada Via.“Eh, Vi, itu buku apa?” tanya Arini pada Via yang mengeluarkan buku bersampul hitam dari dalam tas gendongnya.“Ini tuh, dibilang novel iya, tapi kata-katanya susah dipahami. Seolah-olah pembaca yang bakalan paham cuma yang ngalamin ceritanya.”“Emang isinya apa? Yang bisa kamu tangkap tentang novel ini apa?” tanya Arini lagi.“Em,” Via menjeda ucapannya, ”yang aku tangkap sih buku ini menceritakan seorang gadis yang menjadi salah sasaran pembunuhan di sebuah sekolah gitu. Tapi, aku juga kurang paham sama alurnya. Aku udah selesai baca sekali, tapi aku masih penasaran mau baca lagi sampai aku bisa paham isi buku ini.” Arini mengangguk paham.“Berarti kayaknya genre cerita buku ini horor, ya? Iyalah pasti, dari sampulnya orang yang liat juga pasti mikir buku ini bergenre horor.” Via membuka sebungkus camilannya.“Tapi-“Perkataan Via terpotong saat bus tiba-tiba mengerem mendadak. Sontak, semua siswa kaget dan banyak yang memarahi sopir bus yang bisa membahayakan nyawa orang-orang dalam bus.“Pak sopir gimana, sih nyetirnya? Masak ngerem mendadak gitu, kalo celaka gimana?” teriak seseorang dari bangku belakang.“Iya, ih! Emang kalo kita mati Pak Sopir mau tanggung jawab balikin nyawa kita lagi?” tambah seseorang.“Maaf semuanya, di depan ada tabrakan bus.” Pernyataan sopir yang padat itu membuat kaget semua siswa dan beberapa memilih melihat langsung dari kaca bus paling depan.“Mana-mana yang kecelakaan? Gue mau foto!” kata seorang siswa.“Gue juga! Gue juga!” “Tungguin gue bawa hape dulu!”“Kalian apa-apaan, sih? Ada yang kecelakaan malah mau foto-foto! Otak kalian di mana, hah?” Via tak bisa menahan lagi kata-katanya.“Kalian mau kalo di posisi mereka yang kecelakaan itu? Terus kalian gak ditolong orang-orang dan mayat kalian malah dijadiin instastory mereka! Mau?!” ucap Via lagi geram.“Apaan, sih, lo, lebay! Bilang aja mau foto juga! Bacot banget, lo!” ucap seorang siswi sambil turun dari bus. Baru selangkah ia keluar bus, tiba-tiba sebuah truk melaju kencang dari arah berlawanan dan mementalkan tubuh langsingnya hingga beberapa meter ke depan.Orang-orang di dalam bus yang menyaksikan hal itu berteriak histeris. Melihat kepala yang lepas dari tempatnya dan beberapa bagian tubuh yang terpotong-potong karena menghantam mobil lain dan langsung terlindas saat itu juga.“Raisya!” teriak seorang siswi. Ia pasti teman baiknya. Beberapa siswa termasuk Via turun dari bus untuk mengecek mayat gadis yang dipanggil Raisya itu.Suatu hal yang mengherankan, tidak ada apa pun di tempat Raisya terlindas, tidak ada bekas darah atau potongan tubuh yang tergeletak. Dari jauh Via sudah melihat kepala Raisya yang menyeringai tajam tanpa tubuh. Akan tetapi, saat ini, saat mereka berada pada jarak satu meter dari tempat kepala Raisya tergeletak tidak ada apa pun di sana. Beberapa mobil di belakang mereka sempat memberi klakson peringatan agar mereka pergi dari tengah jalan karena menghalangi mereka yang akan bepergian.“Woy! Kalian semua mau mati berjamaah, hah?”“Minggir! Dipikir ini jalan nenek kalian!” hardik beberapa pengendara roda empat.Anggia—gadis yang tadi sempat berteriak memanggil nama Raisya itu terduduk di pinggir jalan. “Gue tadi gak salah liat! Gue liat Raisya ketabrak truk terus terlindas mobil kontainer!” Ia bermonolog.Via mengelus punggung Anggia sambil memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.Via melihat sesuatu. Ia melihat seorang gadis dengan gaun berwarna biru tua selutut yang robek di bagian paha dan terus mengucurkan darah. Rambutnya sepunggung namun pendek di beberapa bagian. Sepertinya, sengaja dipotong tidak beraturan.Gadis itu menatap Via dalam. Menyeringai tajam dan mengucapkan beberapa patah kata yang Via pahami walau ia tidak mendengar suaranya.‘Ieu sakur conto!”(‘Ini hanya contoh’)Setelah mengucapkan itu, gadis yang Via lihat kemudian pergi entah ke mana. Via dikagetkan oleh suara panggilan seseorang.“Anggia!”“Anggia lo ngapain di sini? Gue nyariin lo dari tadi!” Anggia yang sedang syok melihat temannya terlindas truk kontainer seketika pingsan karena lebih kaget dengan siapa yang menyapanya.“Anggia! Astaga, lo kenapa pingsan?”“Rai-sya!” “Iya ini gue, lo kenapa?”“Astaga Raisya lo kan tadi ketabrak terus kelindes truk? Kok masih hidup?” celetuk seseorang.“Gue? Ketabrak? Enggak! Dari tadi gue tidur di bangku bus. Bahkan gue gak ingat kalian semua turun ke sini dan karena apa!” Pernyataan Raisya sukses membungkam semua siswa di sana.Bagaimana mungkin Raisya yang jelas-jelas mereka lihat terlindas truk tiba-tiba keluar dari dalam bus dalam keadaan sehat dan tidak tahu apa yang menimpanya tadi.
“Kalian halu! Mana ada gue keluar bus. Gue gak bisa nyebrang! Jadi gue paling gak bisa jalan di jalanan gini sendirian!” tukasnya lagi.Via mencoba memahami semua yang terjadi. Hingga panggilan dari Defa menyadarkan ia dari lamunannya.“Via! Ngapain di sini?” tanya Defa.“Defa liat gak, sih tadi Raisya ketabrak mobil?” tanyanya.“Ketabrak? Raisya XI MIPA 3? Yang itu, kan? Dia kan duduk di samping bangku aku. Aku gak liat dia ketabrak! Dari tadi dia tidur di bangku dia.”‘Astagfirullahaladzim! Mau kamu itu apa?’ batin Via.Ia rasa, gadis yang ia lihat tadi yang mengadakan ilusi ini. Tapi bukan hanya Via yang melihat beberapa siswa juga melihat detik-detik Raisya terpental dari mobil yang menabraknya.
“Ayo masuk bus lagi! Kalian semua ngapain diem di jalanan, sih?” kata Fadri.Hanya lima siswa yang melihat kejadian itu, termasuk Via. Tapi siswa yang lain menganggap seolah itu adalah hal kecil dan mereka melupakannya agar tidak mengganggu acara yang akan mereka jalani nanti.‘Apa arti semua ini?’***Pukul 7 malam mereka tiba di Garut. Di sebuah desa yang minim cahaya dan sangat sulit sinyal handphone. Malam ini mereka akan tidur di rumah warga sebelum besok mendirikan tenda masing-masing untuk tidur di malam selanjutnya.“Silakan menempati kamar yang sudah kami sediakan! Ada 6 rumah yang bisa adik-adik tempati!” ucap Pak RT ramah.Beberapa siswa pun bergantian masuk. Mereka terpaksa tidur berdesakan karena ruangan yang tidak begitu luas dan siswa yang cukup banyak.Sebelum tidur, Via selalu berwudu. Ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi di luar rumah milik Pak RT. Beberapa siswi sudah terlelap, ada pula yang masih menggunakan krim wajah sebelum tidur, dan ada yang menelepon orang tuanya untuk mengabari walaupun sinyal yang tidak terlalu bagus.Tangga demi tangga Via turuni. Rumah kayu milik Pak RT ini memang termasuk rumah khas desa. Dengan beberapa batu tumpuan, sebuah rumah didirikan di atasnya.Sekitar sepuluh meter dari rumah, Via sampai ke kamar mandi. Sumur tua dan penutup yang terbuat dari kain serta anyaman bambu memang sangat mencerminkan suasana pedesaan. Setelah mengambil wudu, Via bergegas masuk ke rumah lagi. Namun, seseorang memanggilnya dengan suara yang begitu pelan.“Pulang, Via!”“Siapa?” tanya Via. Via menunggu seseorang itu menjawab. Tak ada jawaban, Via memutuskan untuk masuk. Akan tetapi, suara itu kembali muncul.“Pulang, Via! Jangan bandel! Hihi!” ucapnya diakhiri tawa nyaring.Via melihat gadis itu lagi. Gadis bergaun biru dengan sesuatu di tangannya. Kepala! Itu sebuah kepala yang terlepas dari tubuhnya!Via berusaha berucap istigfar sebanyak mungkin dan melangkah pelan menuju pintu rumah. Kakinya terada berat untuk digerakkan.“Via, pulang!”Pagi yang cerah mengawali pembukaan perkemahan. Pukul enam pagi setelah semua siswa selesai mandi, beberapa siswa mulai mendirikan tenda di tepi hutan, meninggalkan rumah Pak RT yang semalam mereka tempati.Setelah beberapa waktu, hingga semua regu selesai membangun tenda, Bu Anne sebagai guru pembimbing yang menggantikan Pak Randi memulai pembukaan acara.“Bismillahirrahmanirrahim. Assalaamualaikum anak-anak, apa kabar hari ini?” sapanya.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah baik, Bu!” jawab semua siswa dan siswi serentak. Bu Anne mengangguk sambil tersenyum.“Alhamdulillah. Hari ini sebagai hari pertama pembukaan perkemahan ada beberapa hal yang ingin ibu sampaikan.”“Meskipun kita beregu, berjumlah banyak, tetap saja tidak boleh semena-mena terhadap alam dan makhluk lain,” ucapnya dengan penuh penekanan pada frasa terakhir.“K
Via, Defa, dan teman-temannya kembali menyusuri jalan yang sempat mereka lalui tadi. Mereka berteriak memanggil nama Fadri supaya laki-laki itu muncul dan tidak menambah kekhawatiran mereka.“Fadri!”“Fadri! Lo di mana?”“Fadri!”“Fadri!” Mereka berteriak- teriak memanggil nama Fadri.Setelah beberapa saat, mereka berhenti sejenak untuk istirahat.“Apa mungkin Fadri udah balik ke tenda?” tanya Defa.“Iya! Mungkin aja dia udah balik!” Raffa menimpali.“Ya, udah kita balik aja ke tenda, barangkali Fadri ada di sana.” Defa memutuskan untuk kembali ke perkemahan. Ketemu atau tidaknya Fadri, mereka tetap harus kembali ke perkemahan untuk mengeceknya.**Langkah mereka terhenti saat pertanyaan-pertanyaan dilontarkan oleh Bu Anne.“Gimana? Udah wawancaranya? Kalian uda
Pukul 3 dini hari Defa terbangun dari tidurnya, ia keluar dari tenda menuju toilet perkemahan untuk buang air kecil. Kemudian, Defa mengambil wudu dan memilih untuk salat tahajud di depan tenda.Rakaat pertama ia masih tidak terganggu. Dengan khusyuknya Defa melakukan setiap gerakan salat. Namun, saat rakaat kedua, fokusnya mulai terganggu karena suara-suara aneh dari dalam hutan. Seperti suara keramaian seolah di tempat umum, namun Defa tak menghiraukannya. Ia menyelesaikan salatnya kemudian berdoa meminta perlindungan untuk ia dan teman-temannya serta berdoa agar Fadri segera ditemukan.Selesai berdoa, Defa memilih untuk zikir sampai fajar tiba. Setiap tasbih dan tahmid dari bibirnya seolah menghilangkan suara keramaian yang ia dengar. Hingga benar-benar kesunyian yang ia dapati.Masih dengan zikirnya, Defa melihat seseorang dari tenda wanita keluar. Merasa heran, Defa mengikuti perginya gadis itu. Siapa yang keluar di waktu seperti ini? Seberani i
“Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T
“Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.
Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg
Saka’s PoV“Hallah, katakan saja. Jangan membuat saya penasaran. Saya sangat tidak suka dibuat pena-”DughSesuatu mengenai kepala Novia membuatnya sempoyongan dan pingsan seketika.“Astaga!” Karena panik, dengan spontan aku menahan bobot tubuh Novia agar tidak terjatuh ke tanah.“Hey! Bangun!” kataku sambil menepuk-nepuk pipi kanan Novia. Aku tahu jika gadis itu sadar maka ia akan memarahiku karena berani menyentuhnya dengan alasan ‘Harom’.Ah, sikap gadis ini memang mencerminkan penampilannya. Dengan gamis berwarna hijau tua dipadukan pasmina hitam yang menutup sempurna kepalanya membuat ia terlihat anggun meskipun sikapnya sedikit jutek.Andaikan ia bisa sedikit bersikap manis mungkin aku juga tidak terlalu ketus padanya. Tapi, gadis yang banyak bertanya ini ternyata cukup berani untuk mengambilkan daun bidara di ujung kampung agar temannya segera sembuh.
Rasa bimbang menyelimutiku. Aku ragu tentang isi surat ini. Apakah ini peringatan yang sama? Apakah akan ada kejadian yang sama? Rasanya, aku belum dan bahkan tidak akan siap jika kejadian itu benar-benar terjadi lagi.Setelah kuamati, bentuk hurufnya sedikit berbeda dengan surat yang pernah kubaca. Meskipun aku tidak bisa membaca huruf aksara sunda, tapi sedikit banyaknya aku mengingat beberapa bentuk hurufnya. Semoga ini bukan petaka buruk. Luka yang lama pun belum sembuh, bagaimana jika harus ada luka baru.Perlahan, aku membuka kertas itu walaupun rasa ragu masih menggelutiku. Aku harus tahu apa isinya. Lagi-lagi, aku gagal paham. Tak satu pun huruf di sini yang aku pahami. Sepertinya, ini hanya sebuah kalimat, tapi apa artinya?Kucoba mengetikkan sesuatu di ponselku dan mencari tahu arti tulisan ini. Ada tutorial membaca tulisan sunda. Beberapa pilihan artikel dan bahkan penjelasan yang berbentuk video banyak mendominasi di halaman itu.
Malam hari, Via masih terjaga dari tidurnya. Ia bahkan tidak bisa untuk sekedar memejamkan mata sebentar saja. Rasa kantuk tidak menghampirinya. Pukul 2 dini hari, Via memutuskan untuk keluar tenda. Api unggun yang senantiasa menyala di tengah-tengah perkemahan menarik perhatian Via. Ia mendekati api unggun dan duduk di depannya agar tubuhnya terasa sedikit hangat dari udara yang begitu menelisik kulitnya. Via melipat gamis di bagian pahanya ke depan agar tidak menjuntai mengenai tanah. Ia meluruskan tangannya dan mendekatkan telapak tangan ke arah api unggun. Via merasa lapar namun nafsu makannya hilang saat mengingat kejadian beberapa jam lalu saat membantu para siswi memasak. Ingatannya kembali berputar pada detik-detik jatuhnya belatung dan cacing-cacing dari baskom yang jelas-jelas diisi mie. Via berzikir pelan sambil menghangatkan tubuhnya. Ia tidak boleh mengosongkan dirinya apalagi di daerah asing dan dini hari seperti ini. Perutnya berb
Novia’s PoV“Astagfirullahaladzim!” Aku memekik kaget. Kulihat gadis bergaun biru yang kakinya tidak menapak tanah itu sedang mencekik Defa. Namun sekilas kemudian kulihat makhluk itu hilang dari tempatnya semula.Defa terbatuk-batuk berusaha mengambil napas. Aku dan Saka segera menghampirinya. Defa masih memegangi lehernya.“Def, Defa gak apa-apa?” tanyaku. Aku tahu itu pertanyaan yang tidak berguna karena aku pun melihat kejadiannya. Setidaknya, aku harus menunjukkan kekhawatiranku pada temanku itu. Karena aku memang benar-benar mengkhawatirkannya.“Uhukk! Uhukk!” Defa beberapa kali terbatuk-batuk masih belum bisa menjawab pertanyaanku.“Defa lagi ngapain di sini?” tanyaku. Defa menatapku dan Saka bergantian. Aku mengernyit heran.Ia masih diam berusaha mengumpulkan napas.“Kamu juga ngapain di sini, Vi,?” tanyanya balik. Astaga, bukannya menjawab ia malah berta
Siang hari yang terik menjadi sumber rezeki bagi para petani daun teh. Proses pelayuan memang sangat membutuhkan bantuan cahaya matahari. Sehingga, panas yang terik merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan oleh para petani.Defa dan semua anggota regunya membantu setiap petani yang membutuhkan bantuan. Selain itu, mereka juga belajar banyak tentang betapa sulitnya mencari uang dan membuat teh. Awalnya, mereka hanya tahu teh berbentuk kemasan yang sangat praktis jika akan digunakan. Akan tetapi, sekarang mereka tahu dari sejak awal proses pemetikan hingga teh dikemas menjadi teh celup kemasan dan beberapa bahan utama pembuatan minuman teh berbentuk botol.Setiap tetesan peluh tidak menghalangi para petani untuk menghentikan pekerjaannya. Ada anak, istri, dan sanak keluarga yang menunggu mereka di rumah. Jika mereka pulang tanpa membawa upah, maka raut kekecewaan pasti tergambar jelas di wajah orang-orang yang tengah menunggu mereka pulang.Sesekali, De
Novia’s PoVHari ini, rasanya aku tidak ingin ikut ke tempat pelayuan daun teh. Aku masih harus menemui laki-laki menyebalkan yang selalu menjahiliku. Aku harus tahu apa saja yang dia lakukan selama aku pingsan. Ah, bodohnya aku bisa-bisanya pingsan terlalu lama hanya karena sebuah lemparan di kepala saat bersama laki-laki asing.Dia berutang penjelasan padaku. Dan dia ... pernah menggendongku? Argh! Ini merusak citraku sebagai wanita muslimah. Harusnya dia meminta izin jika akan menyentuhku walaupun aku pasti tidak mengizinkannya.Ini melanggar undang-undang perizinan di hidupku. Membayangkannya menggendongku membuatku bergidik hingga memeluk diriku sendiri berharap ia tak berpikiran macam-macam ketika menggendongku saat itu.Aku akan segera menemuinya hari ini, detik ini juga. Tapi ... di mana aku bisa bertemu dengannya? Sangat tidak mungkin jika aku harus menanyakan alamatnya pada warga sekitar. Teman-temanku tidak boleh tahu perihal ini. Aku sun
Rasa bimbang menyelimutiku. Aku ragu tentang isi surat ini. Apakah ini peringatan yang sama? Apakah akan ada kejadian yang sama? Rasanya, aku belum dan bahkan tidak akan siap jika kejadian itu benar-benar terjadi lagi.Setelah kuamati, bentuk hurufnya sedikit berbeda dengan surat yang pernah kubaca. Meskipun aku tidak bisa membaca huruf aksara sunda, tapi sedikit banyaknya aku mengingat beberapa bentuk hurufnya. Semoga ini bukan petaka buruk. Luka yang lama pun belum sembuh, bagaimana jika harus ada luka baru.Perlahan, aku membuka kertas itu walaupun rasa ragu masih menggelutiku. Aku harus tahu apa isinya. Lagi-lagi, aku gagal paham. Tak satu pun huruf di sini yang aku pahami. Sepertinya, ini hanya sebuah kalimat, tapi apa artinya?Kucoba mengetikkan sesuatu di ponselku dan mencari tahu arti tulisan ini. Ada tutorial membaca tulisan sunda. Beberapa pilihan artikel dan bahkan penjelasan yang berbentuk video banyak mendominasi di halaman itu.
Saka’s PoV“Hallah, katakan saja. Jangan membuat saya penasaran. Saya sangat tidak suka dibuat pena-”DughSesuatu mengenai kepala Novia membuatnya sempoyongan dan pingsan seketika.“Astaga!” Karena panik, dengan spontan aku menahan bobot tubuh Novia agar tidak terjatuh ke tanah.“Hey! Bangun!” kataku sambil menepuk-nepuk pipi kanan Novia. Aku tahu jika gadis itu sadar maka ia akan memarahiku karena berani menyentuhnya dengan alasan ‘Harom’.Ah, sikap gadis ini memang mencerminkan penampilannya. Dengan gamis berwarna hijau tua dipadukan pasmina hitam yang menutup sempurna kepalanya membuat ia terlihat anggun meskipun sikapnya sedikit jutek.Andaikan ia bisa sedikit bersikap manis mungkin aku juga tidak terlalu ketus padanya. Tapi, gadis yang banyak bertanya ini ternyata cukup berani untuk mengambilkan daun bidara di ujung kampung agar temannya segera sembuh.
Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg
“Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.
“Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T