Share

PTH 2 (Surat)

Penulis: Paperrapoo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Oke anak-anak, sebelum pulang, ibu ada pengumuman dulu. Mohon disimak baik-baik, ya!” Bu Reyna memberi instruksi. Suasana kelas yang riuh pun hening seketika agar informasi mereka dapatkan secara lengkap.

“Jadi, SMA Alamanda akan mengadakan acara perkemahan ke sebuah desa kecil di daerah Garut. Kita akan berkemah di sana selama seminggu. Perkemahan ini sebagai nilai tambahan kalian bagi yang nilai PTS kemarin di bawah KKM. Di sana kita akan belajar beberapa hal tentang kewirausahaan dan perekonomian petani. Semua siswa kelas X dan kelas XI wajib mengikuti akan tetapi dengan izin orang tua pastinya. Ini surat izin yang harus orang tua kalian tanda tangani. Besok, kalian harus kembali membawa surat ini dengan tanda tangan dan pernyataan izin atau tidak dari orang tua kalian. Bagi yang tidak mendapat izin dari orang tuanya, kalian jangan berkecil hati, tambahan nilai bisa kalian dapatkan dengan membuat 100 lembar makalah tentang kewirausahaan dan perekonomian petani. Silakan kalian bawa pulang surat ini, jangan lupa minta tanda tangan orang tua kalian, ya!” Bu Reyna menerangkan sambil membagikan satu per satu surat yang ia pegang kepada seluruh siswa.

Semua siswa XI MIPA 1 seketika menganga mendengar penuturan Bu Rey. Apa yang dia katakan? Jika tidak ikut berkemah maka harus membuat makalah 100 lembar? Semua siswa pasti memilih berkemah, selain untuk menjernihkan pikiran setelah PTS, mereka tidak ingin membuat makalah 100 lembar hanya untuk nilai tambahan.

Mereka juga tahu daerah Garut adalah salah satu daerah yang masih minim polusi dan memiliki banyak pegunungan, sungai, kebun teh, lengkap dengan pantai di bagian Garut Selatan. Sehingga, mereka pasti berburu untuk ikut agar bisa berfoto dan melihat keindahan alam di sana. Daerah yang sejuk dengan pemandangan yang tidak mengecewakan, siapa yang tidak menyukai ketenangan seperti itu?

“Akan ada siswi yang mati di depan koridor kelas ini!” Sebuah bisikan dengan suara serak terdengar di telinga Via. Via menengok ke kanan dan kirinya mencoba mencari sumber suara. Bagaimana mungkin ada yang berbisik padanya padahal Via duduk di bangku paling belakang pojok kanan kelas.

“Heh! Siapa yang jail? Gak boleh tau bilang gitu! Kalo kejadian beneran gimana?” Via bermonolog pelan, berusaha mengusir rasa gugupnya tentang siapa yang membisikinya kalimat yang menurut Via adalah kalimat yang mendahului takdir.

Angin berembus di belakang Via, membuat jilbabnya berkibar dan buluk kuduknya meremang. Tapi tidak sedikit pun membuat Via takut. Ia tidak takut pada hal gaib kecuali pada Tuhannya, begitu kata Via.

Brak! Jendela kelas dilempari dengan sebuah batu seukuran kepalan tangan yang dibungkus kertas membuat kaca jendela berhamburan ke luar dan ke dalam kelas. Beberapa siswa yang duduk di dekat jendela terkena serpihan kaca dan berusaha menghindar takut apabila kaca yang lain kembali dipecahkan. Ya, kaca jendela kelas itu sengaja dipecahkan. 

Bu Rey meminta semua siswa ke luar kelas, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lain dari itu, Via mencoba membaca tulisan di dalam kertas yang digunakan untuk membungkus batu besar itu.

“Kayaknya aku tahu arti tulisan ini,” batin Via.

Tulisan dengan aksara sunda dicatat tidak rapi menggunakan tinta merah yang bau amis di kertas tersebut. Darah! Tulisan itu ditulis menggunakan darah. Via bisa membaca tulisan itu karena saat SD ia diajarkan membaca aksara sunda di sekolahnya. Sedangkan ayahnya berasal dari Kota Bandung, sehingga sedikit banyaknya ia paham bahasa sunda.

‘Lamun maneh hayang salamet ulah milu ka Garut! Kabeh bakal paeh ku urang! Dendam urang acan beres ka jalma-jalma nu pernah ngahina jeung ngarendahkeun urang! Urang apal maneh jelema bager. Ajak babaturan maneh lamun embung kajadian cilaka nu leuwih parah ti ieu!'

(‘Kalo Kamu ingin selamat, jangan ikut ke Garut! Semuanya akan mati di tanganku! Dendamku belum tuntas pada orang-orang yang pernah menghina dan merendahkanku! Aku tahu kamu orang baik. Ajak temanmu jika tidak ingin kejadian yang lebih parah dari ini!’)

Astagfirullohaladzim! Via banyak berucap istigfar. Siapa yang mengirimkan surat ini sebenarnya? Kenapa berisi dendam dan permintaan agar Via tidak ikut berkemah ke Garut?

Teriakan banyak siswi dari bawah menyadarkan Via dari lamunannya. Mengapa banyak teriakan? Segera, Via menyembunyikan surat yang ia ambil tadi dan menyimpannya di saku rok panjangnya. Setelah itu, ia menyusul Defa, Raffa, dan Fadri yang bergegas mengecek ke luar kelas.

Betapa kagetnya mereka saat melihat seorang siswi dengan posisi telungkup dan darah yang merembes dari kepalanya yang mungkin pecah. Astaga! Sesuatu yang Via pikirkan adalah bisikan tadi. Gadis itu terletak lurus tepat di depan kelasnya. Artinya, bisikan yang ia dengar benar adanya. Tapi siapa yang berbisik tadi? Siapa yang dibunuh? Dan kenapa dia dibunuh?

Brak! Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan Via, seorang siswi dengan rambut acak-acakan tiba-tiba melempar bangku ke arah papan tulis. Sontak, beberapa siswa kelas XI MIPA 1 yang tidak turun untuk melihat siapa yang loncat dari koridor kelas XI MIPA 1 pun masuk untuk melihat apa yang menjadi sumber suara.

Mereka kaget dan bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang gadis yang terkenal lugu itu bisa mengangkat dan melempar bangku dari belakang kelas dengan begitu kuatnya hingga papan tulis pun retak tidak berbentuk.

“Haha! Maneh nu ngarti tulisan urang, tong wani-wani milu kaditu! Urang geus ngabejaan maneh lamun maneh sien cilaka ulah milu kaditu!” teriaknya dengan selingan tawa yang menyeramkan.

Via tercenung, apa gadis itu sedang berbicara padanya? Kenapa harus Via yang mendapat informasi sepenting ini? Apa yang harus Via lakukan.

“Via, kenapa?” tegur Defa. Via masih asyik dengan lamunannya. Sepertinya, hanya Via yang paham perkataan gadis yang kerasukan itu. 

“Oy, Via!” teriakan Fadri sukses menyadarkannya.

“Eh, kalian, kenapa?” tanyanya polos.

“Lo yang kenapa? Dari tadi kok ngelamun gitu?” Raffa menanyakan hal yang sama.

“A-aku gak apa apa, kok. Cuma kaget aja ada dua kejadian sekaligus yang em ....” Ucapan Via menggantung, Defa mengajaknya untuk segera turun ke bawah melihat siapa siswi yang terjun dari depan kelasnya.

“Ke bawah, yuk! Aku pengen liat siapa yang celaka tadi,” ajak Defa. Via mengangguk setuju. Mereka berempat meninggalkan kelas karena siswi yang kerasukan tadi sudah ditenangkan oleh guru agama.

***

“Risty!” 

“Itu Risty, kan kelas XI Bahasa 3!”

“Iya, itu Risty!”

“Kenapa dia bunuh diri, ya?”

“Jangan-jangan hamdu, tuh!”

“Iya kali, pasti cowoknya gak mau tanggung jawab, tuh!”

Beberapa celotehan terdengar sampai ke telinga Via yang baru datang menghampiri kerumunan mayat siswi yang mereka panggil Risty.

“Astagfirullah! Kepalanya bener-bener bocor!” batin Via.

Guru-guru berhamburan keluar dari ruang guru dan bertanya-tanya apa yang terjadi sampai siswi bernama Risty yang tidak terlalu dikenal itu mendadak menjatuhkan diri dari koridor kelas di lantai empat. Beberapa guru mencoba menghubungi polisi dan guru lainnya meminta siswa untuk tidak berkerumun. Namun semua siswa tidak mengindahkan perintah guru itu, mereka terus menatap jenazah Risty yang meninggal dengan mengenaskan itu. Ada yang berteriak histeris, ada yang menangis sesenggukan. Ah, mungkin mereka teman dekatnya.

Via melirik ke arah sepucuk surat berlumur darah yang tergeletak di samping jenazah Risty. Penasaran, ia mengambil dan melihat apa isi suratnya. Matanya membulat sempurna saat ia tahu apa isi surat itu.

"Ini sudah keterlaluan!"

Bab terkait

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 3 (Hari yang Ditunggu)

    Hari yang ditunggu-tunggu semua siswa akhirnya tiba. Hari ini, tepat pukul 8 pagi seluruh siswa kelas X dan kelas XI akan berangkat berkemah ke Garut menggunakan bus sekolah. Via, setelah berdebat kecil dengan orang tuanya pun akhirnya mendapat izin untuk ikut berkemah. Via tidak percaya dengan perkataan Raini—gadis yang beberapa hari lalu kerasukan di kelasnya dan isi surat yang juga mengatakan hal yang sama, tentang larangan untuk pergi ke Garut.Tak lupa, Via membawa buku yang ia pinjam dari perpustakaan beberapa hari lalu. Ia sudah selesai membaca namun belum paham poin utama dalam buku itu. Menurut Via, bahasa di dalam buku itu sulit dipahami karena mengandung unsur mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ia akan membacanya lagi nanti saat ada waktu luang.Siswa dan siswi SMA Alamanda mulai berkumpul dan duduk di bangku bus sesuai nomor urut yang diberikan guru. Beruntungnya, Via duduk dengan Arini teman sekelasnya dan Defa duduk di bela

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 4 (Tersesat)

    Pagi yang cerah mengawali pembukaan perkemahan. Pukul enam pagi setelah semua siswa selesai mandi, beberapa siswa mulai mendirikan tenda di tepi hutan, meninggalkan rumah Pak RT yang semalam mereka tempati.Setelah beberapa waktu, hingga semua regu selesai membangun tenda, Bu Anne sebagai guru pembimbing yang menggantikan Pak Randi memulai pembukaan acara.“Bismillahirrahmanirrahim. Assalaamualaikum anak-anak, apa kabar hari ini?” sapanya.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh, alhamdulillah baik, Bu!” jawab semua siswa dan siswi serentak. Bu Anne mengangguk sambil tersenyum.“Alhamdulillah. Hari ini sebagai hari pertama pembukaan perkemahan ada beberapa hal yang ingin ibu sampaikan.”“Meskipun kita beregu, berjumlah banyak, tetap saja tidak boleh semena-mena terhadap alam dan makhluk lain,” ucapnya dengan penuh penekanan pada frasa terakhir.“K

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 5 (Pencarian Fadri)

    Via, Defa, dan teman-temannya kembali menyusuri jalan yang sempat mereka lalui tadi. Mereka berteriak memanggil nama Fadri supaya laki-laki itu muncul dan tidak menambah kekhawatiran mereka.“Fadri!”“Fadri! Lo di mana?”“Fadri!”“Fadri!” Mereka berteriak- teriak memanggil nama Fadri.Setelah beberapa saat, mereka berhenti sejenak untuk istirahat.“Apa mungkin Fadri udah balik ke tenda?” tanya Defa.“Iya! Mungkin aja dia udah balik!” Raffa menimpali.“Ya, udah kita balik aja ke tenda, barangkali Fadri ada di sana.” Defa memutuskan untuk kembali ke perkemahan. Ketemu atau tidaknya Fadri, mereka tetap harus kembali ke perkemahan untuk mengeceknya.**Langkah mereka terhenti saat pertanyaan-pertanyaan dilontarkan oleh Bu Anne.“Gimana? Udah wawancaranya? Kalian uda

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 6 (Pulangnya Fadri)

    Pukul 3 dini hari Defa terbangun dari tidurnya, ia keluar dari tenda menuju toilet perkemahan untuk buang air kecil. Kemudian, Defa mengambil wudu dan memilih untuk salat tahajud di depan tenda.Rakaat pertama ia masih tidak terganggu. Dengan khusyuknya Defa melakukan setiap gerakan salat. Namun, saat rakaat kedua, fokusnya mulai terganggu karena suara-suara aneh dari dalam hutan. Seperti suara keramaian seolah di tempat umum, namun Defa tak menghiraukannya. Ia menyelesaikan salatnya kemudian berdoa meminta perlindungan untuk ia dan teman-temannya serta berdoa agar Fadri segera ditemukan.Selesai berdoa, Defa memilih untuk zikir sampai fajar tiba. Setiap tasbih dan tahmid dari bibirnya seolah menghilangkan suara keramaian yang ia dengar. Hingga benar-benar kesunyian yang ia dapati.Masih dengan zikirnya, Defa melihat seseorang dari tenda wanita keluar. Merasa heran, Defa mengikuti perginya gadis itu. Siapa yang keluar di waktu seperti ini? Seberani i

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 7 (Berbagi Cerita)

    “Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 8 (Kaki Raffa)

    “Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 9 (Orang Baru?)

    Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 10 (Gadis Aneh)

    Saka’s PoV“Hallah, katakan saja. Jangan membuat saya penasaran. Saya sangat tidak suka dibuat pena-”DughSesuatu mengenai kepala Novia membuatnya sempoyongan dan pingsan seketika.“Astaga!” Karena panik, dengan spontan aku menahan bobot tubuh Novia agar tidak terjatuh ke tanah.“Hey! Bangun!” kataku sambil menepuk-nepuk pipi kanan Novia. Aku tahu jika gadis itu sadar maka ia akan memarahiku karena berani menyentuhnya dengan alasan ‘Harom’.Ah, sikap gadis ini memang mencerminkan penampilannya. Dengan gamis berwarna hijau tua dipadukan pasmina hitam yang menutup sempurna kepalanya membuat ia terlihat anggun meskipun sikapnya sedikit jutek.Andaikan ia bisa sedikit bersikap manis mungkin aku juga tidak terlalu ketus padanya. Tapi, gadis yang banyak bertanya ini ternyata cukup berani untuk mengambilkan daun bidara di ujung kampung agar temannya segera sembuh.

Bab terbaru

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 15 (Ingatan yang Kembali)

    Malam hari, Via masih terjaga dari tidurnya. Ia bahkan tidak bisa untuk sekedar memejamkan mata sebentar saja. Rasa kantuk tidak menghampirinya. Pukul 2 dini hari, Via memutuskan untuk keluar tenda. Api unggun yang senantiasa menyala di tengah-tengah perkemahan menarik perhatian Via. Ia mendekati api unggun dan duduk di depannya agar tubuhnya terasa sedikit hangat dari udara yang begitu menelisik kulitnya. Via melipat gamis di bagian pahanya ke depan agar tidak menjuntai mengenai tanah. Ia meluruskan tangannya dan mendekatkan telapak tangan ke arah api unggun. Via merasa lapar namun nafsu makannya hilang saat mengingat kejadian beberapa jam lalu saat membantu para siswi memasak. Ingatannya kembali berputar pada detik-detik jatuhnya belatung dan cacing-cacing dari baskom yang jelas-jelas diisi mie. Via berzikir pelan sambil menghangatkan tubuhnya. Ia tidak boleh mengosongkan dirinya apalagi di daerah asing dan dini hari seperti ini. Perutnya berb

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 14 (Turun Bukit)

    Novia’s PoV“Astagfirullahaladzim!” Aku memekik kaget. Kulihat gadis bergaun biru yang kakinya tidak menapak tanah itu sedang mencekik Defa. Namun sekilas kemudian kulihat makhluk itu hilang dari tempatnya semula.Defa terbatuk-batuk berusaha mengambil napas. Aku dan Saka segera menghampirinya. Defa masih memegangi lehernya.“Def, Defa gak apa-apa?” tanyaku. Aku tahu itu pertanyaan yang tidak berguna karena aku pun melihat kejadiannya. Setidaknya, aku harus menunjukkan kekhawatiranku pada temanku itu. Karena aku memang benar-benar mengkhawatirkannya.“Uhukk! Uhukk!” Defa beberapa kali terbatuk-batuk masih belum bisa menjawab pertanyaanku.“Defa lagi ngapain di sini?” tanyaku. Defa menatapku dan Saka bergantian. Aku mengernyit heran.Ia masih diam berusaha mengumpulkan napas.“Kamu juga ngapain di sini, Vi,?” tanyanya balik. Astaga, bukannya menjawab ia malah berta

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 13 (Bukit ilusi)

    Siang hari yang terik menjadi sumber rezeki bagi para petani daun teh. Proses pelayuan memang sangat membutuhkan bantuan cahaya matahari. Sehingga, panas yang terik merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan oleh para petani.Defa dan semua anggota regunya membantu setiap petani yang membutuhkan bantuan. Selain itu, mereka juga belajar banyak tentang betapa sulitnya mencari uang dan membuat teh. Awalnya, mereka hanya tahu teh berbentuk kemasan yang sangat praktis jika akan digunakan. Akan tetapi, sekarang mereka tahu dari sejak awal proses pemetikan hingga teh dikemas menjadi teh celup kemasan dan beberapa bahan utama pembuatan minuman teh berbentuk botol.Setiap tetesan peluh tidak menghalangi para petani untuk menghentikan pekerjaannya. Ada anak, istri, dan sanak keluarga yang menunggu mereka di rumah. Jika mereka pulang tanpa membawa upah, maka raut kekecewaan pasti tergambar jelas di wajah orang-orang yang tengah menunggu mereka pulang.Sesekali, De

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 12 (Dia mengenalnya)

    Novia’s PoVHari ini, rasanya aku tidak ingin ikut ke tempat pelayuan daun teh. Aku masih harus menemui laki-laki menyebalkan yang selalu menjahiliku. Aku harus tahu apa saja yang dia lakukan selama aku pingsan. Ah, bodohnya aku bisa-bisanya pingsan terlalu lama hanya karena sebuah lemparan di kepala saat bersama laki-laki asing.Dia berutang penjelasan padaku. Dan dia ... pernah menggendongku? Argh! Ini merusak citraku sebagai wanita muslimah. Harusnya dia meminta izin jika akan menyentuhku walaupun aku pasti tidak mengizinkannya.Ini melanggar undang-undang perizinan di hidupku. Membayangkannya menggendongku membuatku bergidik hingga memeluk diriku sendiri berharap ia tak berpikiran macam-macam ketika menggendongku saat itu.Aku akan segera menemuinya hari ini, detik ini juga. Tapi ... di mana aku bisa bertemu dengannya? Sangat tidak mungkin jika aku harus menanyakan alamatnya pada warga sekitar. Teman-temanku tidak boleh tahu perihal ini. Aku sun

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 11 (Ririn?)

    Rasa bimbang menyelimutiku. Aku ragu tentang isi surat ini. Apakah ini peringatan yang sama? Apakah akan ada kejadian yang sama? Rasanya, aku belum dan bahkan tidak akan siap jika kejadian itu benar-benar terjadi lagi.Setelah kuamati, bentuk hurufnya sedikit berbeda dengan surat yang pernah kubaca. Meskipun aku tidak bisa membaca huruf aksara sunda, tapi sedikit banyaknya aku mengingat beberapa bentuk hurufnya. Semoga ini bukan petaka buruk. Luka yang lama pun belum sembuh, bagaimana jika harus ada luka baru.Perlahan, aku membuka kertas itu walaupun rasa ragu masih menggelutiku. Aku harus tahu apa isinya. Lagi-lagi, aku gagal paham. Tak satu pun huruf di sini yang aku pahami. Sepertinya, ini hanya sebuah kalimat, tapi apa artinya?Kucoba mengetikkan sesuatu di ponselku dan mencari tahu arti tulisan ini. Ada tutorial membaca tulisan sunda. Beberapa pilihan artikel dan bahkan penjelasan yang berbentuk video banyak mendominasi di halaman itu.

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 10 (Gadis Aneh)

    Saka’s PoV“Hallah, katakan saja. Jangan membuat saya penasaran. Saya sangat tidak suka dibuat pena-”DughSesuatu mengenai kepala Novia membuatnya sempoyongan dan pingsan seketika.“Astaga!” Karena panik, dengan spontan aku menahan bobot tubuh Novia agar tidak terjatuh ke tanah.“Hey! Bangun!” kataku sambil menepuk-nepuk pipi kanan Novia. Aku tahu jika gadis itu sadar maka ia akan memarahiku karena berani menyentuhnya dengan alasan ‘Harom’.Ah, sikap gadis ini memang mencerminkan penampilannya. Dengan gamis berwarna hijau tua dipadukan pasmina hitam yang menutup sempurna kepalanya membuat ia terlihat anggun meskipun sikapnya sedikit jutek.Andaikan ia bisa sedikit bersikap manis mungkin aku juga tidak terlalu ketus padanya. Tapi, gadis yang banyak bertanya ini ternyata cukup berani untuk mengambilkan daun bidara di ujung kampung agar temannya segera sembuh.

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 9 (Orang Baru?)

    Via mempercepat langkahnya saat ia rasa ada seseorang mengikutinya. Via harus cepat mendapatkan daun bidara untuk pengobatan kaki Raffa. Ia pergi sendiri karena tidak ingin merepotkan siapa pun dan tidak ingin berlama-lama agar Raffa cepat sembuh. Bagaimana pun, Raffa adalah sahabatnya meskipun mereka kerap berbeda pendapat.“Astaghfirullahaladzim, Ya Allah, tolong Via. Lindungi Via jika ada seseorang yang berniat jahat pada Via.” Ia berdoa di dalam hati.Langkah Via semakin cepat. Begitu pun orang yang mengikutinya. Langkah mereka saling bersahutan walaupun terkesan saling mengejar. Via tidak ingin mengambil risiko. Ia harus cepat sampai di ujung perbatasan desa. Via berlari sekuat tenaga untuk menghindari penguntit di belakangnya.Sayangnya, langkah besar yang Via ambil kurang menguntungkan baginya karena ada akar pohon besar yang menjalar di perjalanan sehingga Via tersandung dan tersungkur ke depan.“Arg

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 8 (Kaki Raffa)

    “Kalian melihatnya?” Pertanyaan itu sontak membuat Via dan Defa terlonjak kaget.“B-bu Anne!” Via dan Defa saling bertatapan sebelum Via memalingkan wajahnya ke arah lain.“Ibu tanya lagi, kalian melihatnya?” tanya Bu Anne lagi. Via dan Defa tak menyahut.“Hei, kalian jangan gugup, ibu cuma tanya, kok.” Bu Anne membujuk.“Lihat apa, Bu?” Via berusaha tenang. Ia ingin tidak ada orang lain yang tahu hal ini selain Defa. Namun, Bu Anne ternyata mendengar pembicaraan mereka, bahkan mungkin semuanya.“Tidak perlu disembunyikan. Ibu tahu kalian lihat Ririn, kan?”“Ririn?” Via dan Defa membeo bersamaan.“Iya, coba kalian ceritakan sama ibu bagaimana ceritanya kalian bisa bertemu Ririn,” tukasnya.“Ririn siapa, Bu?” Defa heran, siapa yang dipanggil Ririn oleh Bu Anne.

  • Petualangan Tujuh Hari   PTH 7 (Berbagi Cerita)

    “Bismillahirrahmanirrahiim. Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Pembimbing Pramuka akan memulai apel pagi hari ini. Rencananya, perkemahan akan dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang kian membaik, serta Fadri yang sudah ditemukan.“Waalaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh!” jawab semua siswa serentak.“Anak-anak dan beberapa guru yang hadir di sini, hari ini saya akan menyampaikan beberapa poin penting tentang perkemahan kita. Satu, perkemahan akan dilanjutkan,” Pak Heri—pembimbing pramuka menjeda ucapannya karena riuh siswa yang berucap hore, “mohon perhatiannya sebentar!” ucapnya lagi.“Melihat situasi yang kembali stabil seperti saat awal kedatangan kita kemari, saya beserta beberapa guru sempat merundingkan hal ini dan memutuskan untuk melanjutkan perkemahan. Kedua, saya tekankan lagi perkataan Bu Anne untuk semua siswa yang akan melakukan kegiatan. T

DMCA.com Protection Status