Kalau bukan karena Valerie, mungkin Leo tidak akan ingat bahwa kamar di sebelah Valerie juga merupakan kamarnya.
Perlahan-lahan Leo menutup pintu setelah melihat istri dan anaknya tertidur pulas.
Namun sebenarnya, Valerie masih terjaga demi memastikan Leo benar-benar tidak tidur dengannya dan Ryan malam ini.
Bila ingin menuruti ego, Valerie tentu ingin selalu berada dalam dekapan Leo. Tapi Valerie tidak bisa abai akan perasaan Vania.
‘’Malam ini kita tidur berdua dulu ya, Nak.’’ Valerie menepuk pelan tubuh Ryan. Berjuang mengalihkan perasaan tak rela di mana maniknya sedang bergelimang air mata.
Kuat dan bertahanlah V
‘’Kalau kamu minta aku untuk bertahan dalam kondisi seperti ini terus-menerus, aku mohon jangan tolong aku lagi karena aku pasti akan bunuh diri untuk kedua kali.’’‘’Vania, jangan bicara seperti itu!’’ timpal Vira tak kuat andai Vania betul-betul melakukan hal nekat itu lagi.Bila terlambat sedikit saja Leo tidak membuka pintu, mungkin sekarang Vania hanya tinggal nama.Dan Vira pasti akan depresi.Leo terdiam dan perlahan melepas tubuh Vania namun tangannya tak melepaskan tangan wanita itu. Leo ingin Vania hidup.‘’Kenapa tidak bicara? Kamu bingung pilih aku atau Valerie? Aku ikhlas, Mas. Aku rela kamu dengan
‘’Mas, aku sekarang percaya kalau kamu betul-betul membuang Valerie.’’Senyum Vania terukir lebar sekalipun Leo menyuapinya dengan ekspresi begitu datar.Bukankah ini perjanjian pertama yang dibuat Leo untuk Valerie? Berpisah setelah bayi mereka lahir. Namun Leo semakin yakin bila perjanjian kedualah yang diinginkannya, karena, Leo merasa dirinya teramat bersedih setelah perceraian tanpa tatap muka tadi malam.‘’Sekaligus lega karena Valerie telah pergi dari rumah,’’ Vania memperhatikan secara teliti ekspresi Leo. Tak mau kecolongan lagi seandainya Leo masih menyimpan rasa pada Valerie.Pergi? Kapan?
‘’Dia sudah pindah ke Kalimantan, balik ke habitatnya, Val.’’ Tidak ada ekspresi apapun di wajah Valerie. Hanya ada raut datar dengan tak memindahkan gawai dari telinga. Hanya Delia yang tau nomor ponselnya saat ini. Vira pun tidak Valerie beritahu. ‘’Sekarang kamu bisa kasih tau aku di mana posisi kamu. Aku pengen lihat Ryan.’’ ‘’Maaf, Del. Tapi sekarang aku ingin menenangkan diri dulu,’’ Valerie berkeras. Valerie hanya ingin menjalani hidup jauh dari lingkungan keluarga Arka terutama. Dan Delia termasuk, meski Delia adalah sahabatnya. ‘’Tante Vira selalu ngehubungin aku nanyain kamu. Dan aku cuma jawab gak tau. Kan aku dosa jadinya, Val.’’
Leo buru-buru keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah mencari keberadaan sang istri. Kabar bila Vania jatuh dari tangga, telah sampai ke telinga Leo dan membuatnya langsung meninggalkan pekerjaan kantor.‘’Sayang, apa yang luka? Apa sudah dibawa ke dokter?’’ serbu Leo melihat ke arah Vania dan Alin bergantian.‘’Kata dokter hanya terkilir, kok, Mas.’’ Vania melirik Alin sekilas bersama senyum tertahan.‘’Bagaimana ceritanya? Tadi sedang apa sampai-sampai kamu jatuh?’’‘’Aku mau turun ke dapur untuk masakin kamu sesuatu, Mas. Tapi ya gitu, eh aku malah jatuh. Untuk aku pegang railing tangga, jadinya ga jatuh guling-gulingan,&
Dikejutkan karena tiba-tiba melihat Leo, ternyata Valerie lebih terkejut sebab Arka sudah berada di depannya.Sebuah kebetulan menakutkan karena Valerie hampir dibuat jantungan.‘’Papi?’’‘’Valerie kamu di sini?’’ Arka melihat ke belakang dan ternyata sosok Leo lah yang membuat Valerie panik.‘’Papi, Valerie tidak mau bertemu Mas Leo,’’ pintanya memelas.‘’Tunggulah di sini, jangan kemana-mana. Biar papi urus sebentar.’’Saat Valerie bersembunyi di dalam sebuah cafe, Valerie terus berdoa agar Arka tidak
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Leo memilih merebahkan diri di sofa. Menengadahkan wajah ke langit-langit membayangkan Valerie.Leo pulang dengan tangan kosong sekaligus diliputi rasa kecewa.Entah kenapa Leo menyusuri jalanan di daerah tadi dan mengulang-ngulangnya seperti orang bodoh. Dan tidak sempat menyambangi apartemen karena ragu bahwa Valerie ada di sana.Dari matahari masih terlihat hingga matahari terbenam, Leo masih berusaha. Hingga panggilan Vania mengingatkannya bahwa Vania sedang menanti di rumah.Naya yang tak sengaja lewat ruang tamu pun segera menghampiri. Duduk di samping Leo dengan wajah antusias.‘’Leo, bagai
‘’Mami, tunggu siapa lagi? Ayo di tiup lilinnya,’’ seru Vania karena sejak lima belas menit lalu, acara masih belum dimulai. Padahal keluarga inti sudah berkumpul semua.‘’Ada dua orang lagi. Sebentar lagi juga datang,’’ pungkas Naya dengan terus melihat ke arah pintu.‘’Memangnya mami undang siapa sih, Mas?’’ bisik Vania ingin tahu.Tapi Leo hanya mengangkat bahu, sama tidak taunya atau lebih tepatnya, tidak peduli. Karena sejak kemarin, dihantui penasaran akan keberadaan Valerie.‘’Kakak tau siapa yang mami sama papi tunggu?’’Vania beralih pada Alin di sebelah
‘’Kalau begitu jangan sampai Vania melihat kamu dan aku sedekat ini atau nanti dia akan mati,’’ Valerie berusaha lewat. Tapi Leo kerap menghalang-halangi membuat Valerie jadi kesal sendiri.‘’Mau kamu tuh apa sih, Mas. Awas!’’ sentaknya dengan sorot mata tajam.‘’Kenapa kamu jadi seperti ini, Valerie? Jangan pakai aku jika bicara dengan mas.’’‘’Memangnya salahnya di mana? Toh aku bukan istrimu lagi. Oh salah. Bukan lagi sim-pa-nan-mu!’’Valerie mempertegas kata diakhir agar Leo menyerah. Tapi nyatanya hal itu kian membuat Leo ingin terus membuat Valerie melunak.
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu