Hola readers. Author sangat berterimakasih karena teman-teman telah berkenan untuk membaca kisah Leo-Val. Bila ada kritik dan saran, jangan sungkan untuk tinggalkan komen di tiap chapter ya. Terimakasih!
Dari jendela yang sengaja di singkap tirainya, Valerie lagi-lagi melihat pemandangan yang sebenarnya sangat sejuk untuk di pandang mata. Leo membukakan pintu mobil untuk Vania. Lalu mencuri sebuah ciuman sebagai balas jasa atas pekerjaan memasang seatbelt dan menutup pintu untuk ratu Vania. Mata Valerie seperti ingin berair. Andai dialah istri pertama dan Vania yang jadi madunya, pastilah ia akan menarik rambut wanita berparas cantik itu sekarang juga. ‘’Non Valerie kok di sini?’’ ‘’Eh?’’ Kehadiran Inah membuat Valerie buru-buru menghapus matanya yang basah. ‘’Mengagetkan saja.’’Tapi Inah hanya cengengesan. Dia tidak bisa melakukannya bila itu Vania. ‘’Nyonya Vira lagi teriak-teriak. Saya cari-cari Non Vania tapi tidak ketemu.’’‘’Mbak Van lagi pergi sama Mas Leo. Biar saya saja yang nenangin mama.’’ Tidak ada yang berubah dari Valerie. Dia masihlah anak yang penyayang meski tak lagi mendapatkan kasih sayang dari Vira.Tiga bulan terlewati, rumah terasa lebih sepi terlebih setela
Melihat gadis itu tampak malu-malu saat membuka gaun tidur, darah Leo langsung berdesir. Lekuk indah tubuh istri keduanya itu ia amati dengan jelas meski di tengah gelapnya kamar.Hati memang mencintai Vania, tapi melihat dada Valerie yang membusung, sudah tak tertutup apapun, membuat Leo gelap mata. Apalagi Valerie mendesah pasrah menerima sentuhan-sentuhan dirinya. Keduanya dimabuk birahi. Hingga tanpa sadar suara erangan dan kenikmatan tak hanya mengisi kamar Valerie. Apalagi ranjang juga berderit nyaring. Yang ternyata membangunkan seseorang di rumah itu.‘’Biadab kalian berdua.’’Valerie dan Leo terkejut. Vania sudah berada di ambang pintu.‘’Sayang!’’‘’Tega kamu, Mas!’’ pekikan Vania mengguncang Leo saat itu juga. Leo bangkit dari ranjang. Mendorong tubuh telanjang Valerie begitu saja. Ingin mendekati Vania, tapi…‘’Mas, bangun!’’Leo membuka mata. Lampu sudah terang saat ia melihat Vania di sebelahnya. Terlihat khawatir.Astaga. Syukurlah itu hanya mimpi. Gumam Leo dalam hat
‘’Sayang, apa tidak bisa kita bawa saja mama ke Kalimantan?’’ Vania merengek. ‘’Aku sudah bicara dengan mama pelan-pelan. Tapi setiap aku bilang kita harus tinggalin rumah ini, mama langsung histeris. Aku gak mau ambil resiko.’’ Vania mendengus pasrah di mana Leo masih sibuk mengurus pekerjaan lewat gawainya. Tidak berada di tempat di mana ia bekerja membuat fokus Leo terpecah. Jadi hari ini Leo harus kembali ke Kalimantan dan berada di sana untuk beberapa hari ke depan. ‘’Kalau begitu aku ikut, ya?’’ Vania memeluk Leo dari belakang. ‘’Tidak perlu, Sayang. Kamu di sini saja. Aku yakin kamu lebih senang berada di sekitar mama.’’ ‘’Ya sudah kalau begitu aku masukin baju kamu dulu ke dalam koper,’’ balasnya pasrah yang sekarang bergegas melepaskan pelukan. ‘’Jangan banyak-banyak. Seperlunya aja.’’ Vania mengangguk lemah. Entahlah, tiba-tiba perasaannya tak karuan melepas kepergian Leo. Rasanya seperti tidak rela. ‘’Aku mau pamit sama mama dulu.’’ Leo berkata sambil berlalu meni
‘’Sayang kamu pulang?’’ Vania berlarian menuruni tangga. Wanita itu sengaja tidak tidur demi menunggu kepulangan Leo.Vania merangsek, memeluk Leo yang sangat ia rindukan. Tapi…‘’Sayang?’’ tegur Vania menyadari tak mendapat pelukan balasan. Tatkala ia menengadah, raut wajah Leo terlihat marah dengan pandangan yang tertuju ke ruang tamu. Pada sosok laki-laki yang sekarang sedang menggenggam erat kedua tangan Valerie. ‘’Oh ada Nathan ya,’’ Vania berujar ramah. Nathan menganggukkan kepala, tersenyum. Menyapa hangat bersopan santun.Jangan heran dengan sikap Vania yang terlihat sangat bersahabat. Di depan orang lain, Vania selalu bersikap layaknya seorang kakak yang menyayangi sang adik. ‘’Valerie, ajak Nathan ngobrol dong, jangan berdiri aja kaya patung.’’‘’Iya, Mbak,’’ jawab Valerie kikuk. Ada perasaan bersalah yang sekarang sedang mendiami diri Valerie saat tak sengaja bertautan pandang dengan Leo.‘’Sayang kamu bawa oleh-oleh banyak banget,’’ Dilihatnya Pak Sena menurunkan paper ba
Keesokan paginya, dari jendela tempat tidur, Vania tersenyum senang melihat keadaan Vira yang sudah membaik. Vira terlihat menikmati jalan pagi di halaman rumah. Vania jadi terdiam mengenang. Dulu pemandangan seperti ini selalu didapat Vania setiap hari. Namun itu lengkap dengan Devano Mahendra. Vania menghela napas dalam-dalam. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang ia hanya memiliki Vira. Dan Vania bertekad untuk membuat Vira bisa hidup lama. Sejatinya, anak mana yang tak bahagia melihat orang tua satu-satunya sehat. Relungnya mengatakan bahwa ini berkat Valerie. Tapi tetap, Vania merasa tidak perlu untuk berterimakasih pada adiknya. Lagi pula sudah sewajarnya karena Valerie telah membuat Vania kehilangan sosok sang ayah.‘’Nyonya Vira sudah baikan, ya? Wah, syukurlah.’’ Inah tersenyum lebar melihat Vira yang sekarang baru saja kembali jalan pagi keliling komplek.‘’Iya. Non Valerie jagain nyonya telaten banget, Nah,’’ Pak Sena adalah saksi mata perawatan. ‘’Ngomong-ngomong, sejak kap
‘’Nathan, kamu ngapain terus-terusan ke sini?’’ Valerie tak bisa menahan diri lagi. Hanya ada mereka berdua di ruang tamu. ‘’Aku gak enak sama mama dan Vania,’’ Juga Leo sebenarnya. Valerie membatin. ‘’Tapi ibu dan kakakmu gak masalah. Mereka bahkan sangat welcome,’’ balas Nathan tanpa ada perasaan curiga. Andai Nathan tau bahwa dia telah bersuamikan Leo. Jangankan mantan kekasihnya ini, mungkin semua orang juga akan terkejut. ‘’Val, hei… kok kamu diam?’’ ujar Nathan karena Valerie sibuk dengan pikirannya sendiri. ‘’Ya, Nath?’’ ‘’Aku sudah dengar dari Delia. Apa benar begitu kejadiannya?’’ Valerie langsung merasa resah. Diikuti dengan jantung yang tiba-tiba saja berdebar takut. Delia, apa yang sudah kamu katakan pada Nathan? ‘’Maaf aku tidak ada saat kamu butuhkan, Val.’’ Bibir Valerie masih terbuka. ‘’Aku merasa jadi pasangan yang tidak berguna. Kamu diperkosa dan sekarang bajingan itu tidak tau kemana.’’ Valerie lega karena ternyata Delia mengatakan hal seperti itu. Se
Valerie buru-buru jongkok di antara tumbuh-tumbuhan rapat. Beruntung tubuh tinggi Leo membelakangi Vania, jadi wanita itu tidak dapat melihat ada Valerie tadi.‘’Aku nyariin kamu di kamar. Ternyata kamu di sini,’’ tutur Vania di hadapan Leo. ‘’Dompetnya udah ketemu?’’‘’Udah, Sayang.’’Vania menoleh ke kanan dan ke kiri. ‘’Yuk. Aku khawatir agennya udah nungguin kita.’’Leo tersenyum mengangguk. Sebelum menyusul Vania yang sudah berjalan lebih dulu, ia sempat menoleh sebentar pada Valerie. Leo begitu aneh mengapa Valerie sangat ketakutan seperti itu.Kepergian pasutri tersebut membuat Valerie lega. Tapi di saat yang sama, Valerie langsung menyentuh bibirnya. Mengenang saat-saat tadi. Pipi Valerie bersemu merah tanpa ia sadari.Perasaan apa ini? Kenapa Valerie malah merasa senang?***Dalam perjalanan dan menandatangani perjanjian kontrak sewa-menyewa perkantoran, Leo tak henti-hentinya memikirkan Valerie. Padahal ada Vania di sampingnya. Yang terlihat senang karena akhirnya Vania tak
Hari sudah gelap, Valerie segera berganti baju. Di makan malam keluarga ini, meski hanya mereka berempat, Vania selalu tampil wah.Valerie ingin mencoba bergaya seperti kakaknya. Rapi dan cantik. Leo bilang bahwa dia juga seorang Arka, setidaknya Valerie harus mencoba style nyonya Arka sesekali. Valerie memegangi lehernya yang dicumbu Leo tadi sore, membuatnya ingin sekali disentuh seperti itu lagi. Sekarang Valerie ingin mencoba gaun lain yang Leo belikan. Gaun hitam dengan area bahu lebih tertutup. Ia ingin melihat reaksi Leo. Apakah masih takjub seperti tadi?Valerie tersenyum geli. Astaga, apa yang kau pikirkan Valerie? Gadis itu tidak ingin semakin menumbuhkan rasa pada Leo.Dengan cepat ia bersiap, lalu turun ke tangga dan langsung menuju meja makan. Inah dan Pak Sena sudah ada di sana. Keduanya terpukau melihat penampilan Valerie hari ini.‘’Wah, Non Valerie cantik sekali,’’ seru Pak Sena lebih dulu.Inah berdecak. Melirik kesal Pak Sena karena pujiannya dicuri lebih dulu. Me
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu