Kiara menatap kesal pada Devan. Apa pria itu pikir selama ini dirinya tak pandai berdandan? Huh! Mereka kini memasuki salon terbaik di Jakarta. Kalian tahu kan bagaimana rupa Devan yang rupawan dan tinggi atletis akan membuatnya menjadi pusat perhatian. Begitu juga di salon ini. Banyak wanita pelanggan yang terpukau melihat Devan. Bahkan mungkin pegawainya yang meski notabene waria. Namun, sepertinya mereka berusaha profesional dengan hanya mencuri pandang sesekali. Devan mengedarkan pandangan seperti mencari seseorang.Seorang wanita cantik yang sepertinya salah satu perias disini datang menghampiri. Rupanya dia sudah mengenal Devan lama, terbukti dari senyum santai yang terukir dibibirnya. Mungkin saja Devan langganan disini."Ada apa, Van? Siapa yang harus aku sulap hari ini?"Wanita itu menoleh Kiara."Apakah dia?" Wanita cantik itu menatap Kiara sembari tersenyum.Kiara memandang takjub wanita itu. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya bagus dan cantik impian semua wanita. Benar-b
Devan terdiam sejenak melihat perubahan penampilan Kiara."Bagaimana, sempurna bukan?" tutur Cathrine bangga. Kiara sekarang sudah berganti memakai gaun putih tulang selutut. Warna yang menyatu dengan kulit putihnya. Rambutnya dibiarkan tergerai. Cantik. "Biasa saja." Devan mengalihakan pandangan, menutupi keterpakuan yang sempat hadir. Cathrine mendecak."Ck! Selalu saja kau ini. Pelit pujian.""Aku pergi."Alih-alih menghibur Cathrine, Devan justru langsung beranjak keluar. Membuat Kiara tergesa mengejarnya."Eh, gue kok ditinggal," rutuknya. Namun sebelum itu dia mengucapkan terimakasih pada Catherine.--------Sepanjang perjalanan mereka hanya saling diam. Membuat Kiara makin kesal saja."Percuma aku dandan kalau diabaikan," gerutu Kiara. Ia buang pandangan keluar jendela. Devan meliriknya sekilas dengan senyum tipis yang terukir.Tak lama kemudian mereka sampai di kediaman pria itu. Devan keluar lebih dulu. Hal yang biasa bagi Kiara. Tapi kali ini dia agak kesulitan, karena heell
"Tidak! Tidak! Jangan!" teriaknya histeris. Kekalutan menerpa dirinya. Kejadian demi kejadian dengan runtut kembali membayanginya. Malam yang kelam, dingin karena hujan, jalanan yang sepi membuatnya tak terlalu memperhatikan jalanan. Pikirannya hanya satu, cepat-cepat sampai kos-kosan untuk segera berganti baju dan membuat segelas susu panas. Tugas kampus yang membuatnya kemalaman di rumah temannya, sebenarnya temannya menyuruhnya menginap, tapi ia tak terbiasa menginap. Gang sepi, tak seorang pun yang lewat, mungkin karena hujan membuatnya dilanda rasa khawatir dan takut. Ia sempat bernapas lega saat dilihatnya ada seseorang dari arah berlawanan yang juga sedang berjalan melawan derasnya hujan.Tiba lebih dekat, dapat ia lihat bahwa sosok itu adalah seorang pria. Sayangnya, gelapnya malam ditambah curah hujan yang menderas membuatnya tak melihat sosok itu secara jelas.Ia segera mempercapat langkahnya, namun sebuah tangan kekar menahannya dan menariknya dengan kuat. Belum sempat ia
Esoknya, pukul 08:45 dikantor. Kiara memandangi ruangan Devan tanpa sadar. Bayangan kejadian tadi malam saat ia memeluk Devan kini terasa jelas, dan ternyata rasanya memalukan. Sedari tadi bahkan Kiara tak berani memandang Devan Merekapun hanya saling diam dalam perjalanan ke kantor."Apa yang gue lakuin tadi malem. Kia bodoh!" keluhnya sembari memukul-mukul kepalanya ke meja. Ayu dan Nadia saling berpandangan lalu mengangkat bahunya. Kiara terlihat aneh sedari tadi pagi. Satrio, pria itu tak ketinggalan mengamati ekspresi Kiara. Ada yang janggal."Bagaimana aku harus bersikap saat ke ruangannya nanti? Aish! Kenapa memalukan sekali!" rutuknya lagi."Ra, pak Devan minta di belikan siomay sama kamu," ujar Satrio. Kiara sontak mendongak."Gu-gue?" tunjuknya pada diri sendiri. Satrio mengangguk."Lah, dia kira gue Office Girl apa. Nyebelin banget sih," gerutunya seraya beranjak."Aku temenin."Kiara hanya tersenyum.Mereka melangkah dalam diam. Tentu saja karena Kiara masih kepikiran tadi
Setelah rutinitas hari ini yang melelahkan, akhirnya tiba jam pulang. Para karyawan bersiap-siap memberesi barang-barangnya masing-masing. Tak terkecuali Kiara. Ia telah selesai dengan urusannya. Sudut matanya sempat melihat ruangan Devan. Bahkan sedari tadi pria itu tak keluar dari ruangannya. Apa mungkin ada pekerjaan yang mendesak yang membuatnya harus lembur? Ataukah perusahaan sedang berada di tingkat ketidak stabilan?Entahlah, dia hanya karyawan.Kiara melangkah keluar, dengan pikiran berkecamuk. Tiba di pinggir jalan, Kiara hanya diam terpaku. Ia belum bisa memutuskan harus naik apa untuk pulang. Kalaupun taksi, dia juga tak faham dengan alamat rumah Adam.Ia menimang-nimang ponselnya, antara menghubungi Devan atau nekat pulang."Tin! Ttin!"Suara klakson mengagetkannya."Belum pulang, Ra?" "Eh, belum Sat."Satrio menghentikan motor besarnya disamping Kiara. Ikut mengawasi jalanan yang ramai karena jam pulang kerja.
Pagi ini entah kenapa Rara rewel. Tak biasanya anak kecil itu minta diantarkan ke sekolahnya. Nina juga hingga jam segini belum juga datang."Sayang, mama sama papa kan harus ke kantor.""Gak mau, pokoknya Rara maunya diantar sama mama dan papa!" Kiara menoleh ke arah Devan. Pria itu malah menyantap sarapannya dengan santai. Ya, mereka sedang sarapan bersama. Dan tiba-tiba saja Rara tadi melontarkan keinginannya yang membuat Kiara tersentak. Bagaimanapun juga dia belum resmi jadi mama Rara, apa tidak jadi bahan omongan nanti disana.Nina baru saja datang, ia terlambat karena sesuatu hal. Dan ketika ia mendengar permintaan Rara bergegas menghampiri gadis kecil itu, berusaha membujuknya. Karena sesuai dengan kontrak kerjanya dengan Devan, bahwa ia harus sigap menjaga Rara dan mengurusi apapun kebutuhan Rara tanpa mengganggu pekerjaannya.Dan ia rasa saat ini permintaan Rara mengganggu pekerjaan Devan."Rara sayang, sama kakak aja ya?
Devan berdiri dengan bersandar pada mobilnya. Bibirnya mengulas senyum melihat interaksi manis Kiara dan Rara. Anak itu kembali ceria. Kebahagiaan terpancar di wajah polos tersebut, membuatnya merasa bersalah.Pagi tadi Rara sempat ngambek, bahkan mengabaikan kedatangan dirinya. Melihat Rara seperti itu membuatnya sakit. "Ih, papa kok senyum-senyum sendiri sih. Entar kesambet lo," Kiara menoleh, mendapati Devan yang salah tingkah."Itu tandanya papa sayang sama Rara, tuh buktinya papa senyum bahagia.""Hehe, papa iih. Mentang-mentang sekarang ada calon mama jadi sering senyum-senyum sendiri."Devan menggaruk tengkuknya, bisa-bisanya dia di ledek putrinya sendiri. Kiara tertawa kecil."Tuhkan. Papa mukanya merah. Eh, mama juga," Rara tertawa. Dasar anak kecil, tidak tahu apa secuil perkataannya membuat grogi manusia dewasa."Udah, buruan masuk. Nanti telat lo.""Emuach. Rara sayang calon mama," ucapnya sembari mencium pip
Cafe Magic Shop, cafe yang unik karena terletak di atap gedung X. Pengunjung bisa dengan leluasa menikmati keindahan kota Jakarta dari sini. Tanpa atap, hanya payung lebar yang menaunginya. Namun tak masalah, angin disini berhembus segar. Sebenarnya lebih indah lagi saat berkunjung malam hari, keindahan kota Jakarta terlihat lebih aestetik.Kiara tak hentinya tersenyum, ia kembali bertemu sahabatnya semasa kecil. Anak orang kaya namun bersahaja, mereka berpisah karena usaha orang tuanya yang berkembang pesat, menjadikan sahabatnya itu juga ikut pindah sekolah."Lama gak ketemu, tiba-tiba udah mau nikah aja lo, Ra," ujar pria itu sembari tersenyum kecil.Kiara tersenyum terpaksa."Siapa pria beruntung itu?" tanya sahabatnya lagi."Gue gak bisa kasih tahu sekarang, Ki.""Kenapa? Apa pernikahan kalian di rahasiakan?" tanya Taki, pemuda keturunan Jepang yang ternyata sahabat kecil Kiara.Kiara menggeleng pelan. Mengalihkan pandangan ke ara
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu