Cafe Magic Shop, cafe yang unik karena terletak di atap gedung X. Pengunjung bisa dengan leluasa menikmati keindahan kota Jakarta dari sini. Tanpa atap, hanya payung lebar yang menaunginya. Namun tak masalah, angin disini berhembus segar. Sebenarnya lebih indah lagi saat berkunjung malam hari, keindahan kota Jakarta terlihat lebih aestetik.
Kiara tak hentinya tersenyum, ia kembali bertemu sahabatnya semasa kecil. Anak orang kaya namun bersahaja, mereka berpisah karena usaha orang tuanya yang berkembang pesat, menjadikan sahabatnya itu juga ikut pindah sekolah."Lama gak ketemu, tiba-tiba udah mau nikah aja lo, Ra," ujar pria itu sembari tersenyum kecil.Kiara tersenyum terpaksa."Siapa pria beruntung itu?" tanya sahabatnya lagi."Gue gak bisa kasih tahu sekarang, Ki.""Kenapa? Apa pernikahan kalian di rahasiakan?" tanya Taki, pemuda keturunan Jepang yang ternyata sahabat kecil Kiara.Kiara menggeleng pelan. Mengalihkan pandangan ke araHari pernikahan tinggal besok. Gaun pengantin pun sudah mereka ambil tadi sore. Ibu dan ayah Kiara pun sudah dijemput dan menginap disini. Undangan untuk orang-orang penting sudah di sebar dari tiga hari yang lalu.Sedangkan untuk karyawan mereka mendapat undangan tak resmi. Tapi, tentu saja tak mungkin kan jika tidak datang di acara paling sakral boss mereka. Meski dalam hati mereka sangat penasaran pada wanita yang berhasil meluluhkan boss dingin itu.Ayu uring-uringan mendengar kabar tersebut, membuat yang lain hanya bisa menutup telinga. Diam-diam Kiara merasa tak enak hati. Apalagi kalau sampai besok Ayu mengetahui bahwa dirinyalah mempelai wanitanya. Ia hanya bisa menggigit bibir seolah-olah tak tahu.Malam kian larut, tapi gadis itu tak mampu memejamkan matanya. Ia gelisah, teringat ucapan Vina tempo hari. Ia juga canggung karena Devan mendiamkannya sekembalinya dari fitting gaun itu. Ia makin merasa bersalah. Meski ia tahu pernikahan mereka hanya pura-p
Satrio kewalahan menenangkan Ayu yang menangis histeris. Akhirnya dia diamkan saja dan fokus menyetir, meski sebenarnya fikirannya mengatakan tidak. Dia masih tak menyangka bahwa Kiara lah mempelai wanita presdir mereka. Ia tahu sebrengsek apa Devan dahulu. Maksudnya, dalam rabaan prasangkanya."Lo tega, Ra. Gue yang ngincer pak Devan, kenapa lo yang nikah. Huhu," Ayu meluapkan kemarahannya dengan memukul-mukul tasnya. Entah sudah berapa lembar tisu yang berserakan di bawah kursinya. Satrio hanya meliriknya selintas, ia juga merasakan nyeri. Tapi ia masih bisa menutupinya."Hentikan, Yu! Lo ngotori mobil gue," ujar Satrio. Lama-lama kesal juga. Mobilnya jadi tempat pembuangan tisu bekas ingus."Lo gak tahu apa gue lagi patah hati! Peka kenapa? Dasar cowok!" Teriak Ayu kesal. Satrio menutup sebelah telinganya. Bisa tuli lama-lama dia."Mau gimana lagi, orang pak Devan gak mau sama elo.""Kok elo jahat sih Sat. Gue ini lagi sedih. Hibur dong, bukan malah
Setengah jam lebih, dan Kiara baru selesai mandi. Ia sudah memakai baju tidurnya. Beruntung sekali dirinya yang menyediakan pakaian untuknya sendiri. "Kau sudah selesai?"Kiara mengangguk. Devan bangkit dari duduknya, melewati Kiara tanpa sedikitpun memandang gadis itu dan langsung beranjak ke kamar mandi dengan membawa handuk saja.Kiara memandang pria itu dengan aneh, tapi ia hanya menggendikkan bahu. Beringsut menghidupkan ponselnya yang dimatikan sejak tadi malam. Bunyi notifikasi pesan masuk beruntun. Salah satunya pesan spam Satrio. Ia meringis membayangkan reaksi rekan-rekannya saat mengetahui dirinyalah mempelai sang presdir. Mungkin besok dia menjadi perkedel.Ia buka notifikasi dari Taki."Selamat atas pernikahan Lo, Ra. Sory gue tadi gak bisa lama-lama. Tapi gue udah ngeliat suami lo, dan dia sangat tampan. Lo beruntung. Sekali lagi selamat. Doain gue cepet nyusul ya. Hehe."Tanpa sadar bibir Kiara mengulas senyum lebar. Manis, dari dulu Taki
Kantor.Ayu masih merenung dengan mata sembab yang kentara. "Udahlah, Yu, jangan meratap terus menerus. Ikhlasin dong," ujar Nadia."Kiara tega Nad. Tega. Dia kan tahu gue suka sama pak Devan. Tapi, kenapa dia nikung temen sendiri," racaunya dengan tatapan kosong."Yu, Kiara gak nikung. 'Kan pak Devan juga bukan milik lo. Bisa jadi emang dari awal Kiara punya hubungan sama pak Devan. Tapi gak enak bilang sama kita karena lo suka sama pak Devan," jelas Nadia, sedikit tidak masuk akal sih. Sementara ini kan baru beberapa minggu Devan memimpin perusahaan."Tapi tetap saja. Dia tega ... tega ... huaaa!""Stt ... ada pak Devan." Isyarat Satrio. Mereka seketika terdiam.Devan seperti biasa melewati mereka tanpa menoleh sedikitpun, apalagi membalas sapaan mereka. Kiara sendiri langsung duduk di kursinya. Sembari menetralkan ekspresi wajahnya.Setelah Devan masuk ruangan barulah mereka menyerbu Kiara."Eh, kok udah berangkat aja, Ra. Emang gak capek
Semenjak bertemu dengan wanita bulan tersebut Devan makin sering mengunjungi bar itu. Bahkan ia seringkali datang sendiri tanpa teman-temannya.Indira nama gadis itu. Ralat, gadis yang sudah tak gadis lagi. Indira adalah salah satu wanita penghibur di bar tersebut. Menurutnya ceritanya sendiri, dia mulai bekerja saat kelas dua SMA dan jika dihitung ini merupakan tahun ke lima. Dia di jual oleh orang tuanya sendiri untuk melunasi hutang.Malam itu, Indira menangis dalam pelukan Devan. Membuat pemuda yang belum pernah merasakan namanya jatuh cinta itu luluh sekaligus jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tak peduli jika jarak mereka adalah empat tahun lebih, tuaan Indira.Teman-temannya memaklumi Devan yang sedang jatuh cinta, hanya saja kenapa harus dengan wanita yang lebih tua? Seorang pelacur lagi. Tapi Devan abai, menutup telinganya rapat-rapat.Hubungan terlarang itu berlanjut hingga Devan kuliah. Beruntung aktifitas barunya tak membuat nilai-nila
Tak butuh waktu yang lama dengan pesawat terbang, pesawat mendarat di bandara Ngurah Rai pukul sepuluh tepat.Bandara terlihat ramai dengan wajah-wajah asing. Maklum lah, Bali adalah pariwisata wajib bagi para turis. Hal inilah yang membuat Kiara memutuskan untuk menikmati keindahan negeri sendiri sebelum mengunjungi luar negeri.Kalau ada yang indah di dekat sini, kenapa harus yang jauh?Sebuah mobil sedan sudah menunggu mereka diluar bandara. Pak Yus, nama sopir tersebut. Khusus di sewa untuk mengantar sampai ke hotel, dan setelah itu mobilnya mereka sewa untuk keperluan pergi kemana-mana.Kiara tertidur dalam perjalanan ke hotel. Devan melirik gadis itu dari kaca mobil. Ponselnya berdering, ia segera mengangkatnya."Iya, Pa?""Sudah sampai?""Sudah. Baru saja. Ini perjalan ke hotel.""Baiklah. Selamat bersenang-senang.""Tutt! Ttut!"Devan mendengus pelan. Hanya begitu? Papanya memang aneh. Devan memasukkan ponselny
"Yeeay! Mantai!"Devan yang sedang terlelap sontak terbangun karena teriakan Kiara."Ups. Sory. Hehe."Devan mendengus pelan kembali terlelap. Sementara Kiara bergegas turun dari ranjangnya dan mencari pakaian yang cocok untuk ke pantai hari ini.Setelah mendapat pakaian yang diinginkannya, ia melenggang ke kamar mandi.Bruak!Devan tersentak bangun lagi."Aish! Wanita itu!" gerutunya. Ia tidur lagi, namun lagi-lagi konsentrasinya pecah. Suara shower yang berisik dan nyayian sumbang Kiara yang mengganggu telinganya."Ku menangis ....Membayangkan.Betapa kejamnya dirimu melepas diriku ...."Devan menutup telinganya dengan bantal."Dasar cewek! Mandi saja berisik," rutuknya.Setengah jam kemudian Kiara keluar kamar mandi dengan handuk terlilit di rambutnya. Menatap Devan yang masih meringkuk."Katanya mau ke pantai, eh molor mulu," gelengnya."Tuan muda yang terhormat.Bangun. Gant
"Chu~"Kiara membulatkan matanya. Ia bermaksud mundur, tapi Devan malah menarik tengkuknya."Sialan!"Dodi menggeram marah dan bergegas pergi dengan sumpah serampahnya.Kiara mendorong paksa Devan, membuat pria itu melepaskannya."Brengsek kamu, Van!" isaknya sembari berlari meninggalkan Devan yang terpaku."Maaf," ujarnya lirih.----------Devan mengawasi Kiara tanpa berani mendekat. Gadis itu menangis sembari melempar bebatuan kecil ke air laut yang berombak.Tadi ia berlari asal, rasa sakit dan ketakutan menghampiri dirinya begitu saja. Sentuhan Devan tadi mengingatkannya pada malam kelam itu.Ia terisak diantara batuan karang. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia hiraukan angin pantai yang menerpa rambut panjangnya yang menutupi sebagian punggung tangannya.Perlahan Devan memberanikan diri mendekati Kiara."Ra, aku minta maaf."Kiara beringsut membuat jarak. Ia palingkan wajahnya, me