Semenjak bertemu dengan wanita bulan tersebut Devan makin sering mengunjungi bar itu. Bahkan ia seringkali datang sendiri tanpa teman-temannya.Indira nama gadis itu. Ralat, gadis yang sudah tak gadis lagi. Indira adalah salah satu wanita penghibur di bar tersebut. Menurutnya ceritanya sendiri, dia mulai bekerja saat kelas dua SMA dan jika dihitung ini merupakan tahun ke lima. Dia di jual oleh orang tuanya sendiri untuk melunasi hutang.Malam itu, Indira menangis dalam pelukan Devan. Membuat pemuda yang belum pernah merasakan namanya jatuh cinta itu luluh sekaligus jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tak peduli jika jarak mereka adalah empat tahun lebih, tuaan Indira.Teman-temannya memaklumi Devan yang sedang jatuh cinta, hanya saja kenapa harus dengan wanita yang lebih tua? Seorang pelacur lagi. Tapi Devan abai, menutup telinganya rapat-rapat.Hubungan terlarang itu berlanjut hingga Devan kuliah. Beruntung aktifitas barunya tak membuat nilai-nila
Tak butuh waktu yang lama dengan pesawat terbang, pesawat mendarat di bandara Ngurah Rai pukul sepuluh tepat.Bandara terlihat ramai dengan wajah-wajah asing. Maklum lah, Bali adalah pariwisata wajib bagi para turis. Hal inilah yang membuat Kiara memutuskan untuk menikmati keindahan negeri sendiri sebelum mengunjungi luar negeri.Kalau ada yang indah di dekat sini, kenapa harus yang jauh?Sebuah mobil sedan sudah menunggu mereka diluar bandara. Pak Yus, nama sopir tersebut. Khusus di sewa untuk mengantar sampai ke hotel, dan setelah itu mobilnya mereka sewa untuk keperluan pergi kemana-mana.Kiara tertidur dalam perjalanan ke hotel. Devan melirik gadis itu dari kaca mobil. Ponselnya berdering, ia segera mengangkatnya."Iya, Pa?""Sudah sampai?""Sudah. Baru saja. Ini perjalan ke hotel.""Baiklah. Selamat bersenang-senang.""Tutt! Ttut!"Devan mendengus pelan. Hanya begitu? Papanya memang aneh. Devan memasukkan ponselny
"Yeeay! Mantai!"Devan yang sedang terlelap sontak terbangun karena teriakan Kiara."Ups. Sory. Hehe."Devan mendengus pelan kembali terlelap. Sementara Kiara bergegas turun dari ranjangnya dan mencari pakaian yang cocok untuk ke pantai hari ini.Setelah mendapat pakaian yang diinginkannya, ia melenggang ke kamar mandi.Bruak!Devan tersentak bangun lagi."Aish! Wanita itu!" gerutunya. Ia tidur lagi, namun lagi-lagi konsentrasinya pecah. Suara shower yang berisik dan nyayian sumbang Kiara yang mengganggu telinganya."Ku menangis ....Membayangkan.Betapa kejamnya dirimu melepas diriku ...."Devan menutup telinganya dengan bantal."Dasar cewek! Mandi saja berisik," rutuknya.Setengah jam kemudian Kiara keluar kamar mandi dengan handuk terlilit di rambutnya. Menatap Devan yang masih meringkuk."Katanya mau ke pantai, eh molor mulu," gelengnya."Tuan muda yang terhormat.Bangun. Gant
"Chu~"Kiara membulatkan matanya. Ia bermaksud mundur, tapi Devan malah menarik tengkuknya."Sialan!"Dodi menggeram marah dan bergegas pergi dengan sumpah serampahnya.Kiara mendorong paksa Devan, membuat pria itu melepaskannya."Brengsek kamu, Van!" isaknya sembari berlari meninggalkan Devan yang terpaku."Maaf," ujarnya lirih.----------Devan mengawasi Kiara tanpa berani mendekat. Gadis itu menangis sembari melempar bebatuan kecil ke air laut yang berombak.Tadi ia berlari asal, rasa sakit dan ketakutan menghampiri dirinya begitu saja. Sentuhan Devan tadi mengingatkannya pada malam kelam itu.Ia terisak diantara batuan karang. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia hiraukan angin pantai yang menerpa rambut panjangnya yang menutupi sebagian punggung tangannya.Perlahan Devan memberanikan diri mendekati Kiara."Ra, aku minta maaf."Kiara beringsut membuat jarak. Ia palingkan wajahnya, me
"Kamu memang tak pernah mengecewakan, Satrio," puji Dedi, seraya meletakkan kembali dokumen dan menatap Satrio sembari tersenyum."Terimakasih, pak," jawabnya.Pak Dedi menepuk-nepuk pelan bahu Satrio."Bagaimana Devan selama menggantikan saya disini?""Dia pemimpin yang hebat. Sama seperti bapak. Sepertinya dia mewarisi bakat kepemimpinan yang tinggi."Dedi tertawa."Ada-ada aja kamu, Sat. Oh ya, bagaimana kabar ayahmu?" tanya Dedi.Satrio terdiam. Ayah Satrio terkena stroke sejak masih menjadi karyawan Dedi, dan karena Dedilah Satrio kemudian di kuliahkan dan dapat bekerja disini.Demi melihat wajah murung pemuda itu, Dedi tahu jawabannya."Sabar Sat. Ayahmu orang baik dan jujur. Tuhan pasti akan memberikan kesembuhan padanya, nanti.""Terimakasih pak.""Dan cepat carilah pendamping hidup. Jangan hanya bekerja terus terusan," bisik Dedi, tersenyum lebar."I-iya pak."Bagaimana mau menikah jika wanita inc
"Menurutmu itu mempengaruhi? Bahkan Devan juga bukan pria baik-baik."Benar juga, Nina mengangguk pelan."Kembalilah ke rumah itu lagi. Dan laksanakan rencana," titah Satrio. "Okey. Meski tak sepenuhnya percaya kalau pernikahan mereka atas dasar cinta, tapi tak akan ku biarkan siapapun menyentuh Devan.""Bagus."Nina tersenyum tipis. Ia punya misi sendiri. Misi yang ia ubah semenjak bertemu Satrio. Ya, Devan adalah miliknya dari dulu, bahkan sampai kapanpun."Apa kau akan kembali kepadaku saat mengetahui siapa aku sebenarnya?" gumam Nina dalam hati. ---------Devan masih mendiamkannya, atau mungkin pria itu benar-benar marah padanya. Mereka memang makan bersama, belanja bersama juga tentu saja tidur bersama. Emm, maksudnya dengan ranjang berbeda tentunya.Seperti saat ini, ini merupakan hari ke tiga mereka di Bali, mereka sedang berada di perjalanan untuk menuju Ekowisata Mangrove Wanasari. Dan ini adalah pilihan Dev
"Aaaaaaa!"Kiara berbalik memeluk Devan, menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu."Kenapa? Ada apa?""Di-dalam," tunjuk Kiara ketakutan. Ia masih bersembunyi dengan tubuh gemetaran.Devan melangkah pelan dengan sebelah tangannya memeluk Kiara, ia dorong pintu hotel.Rahangnya mengeras melihat darah segar berceceran didalam hotel penginapan mereka. Terlihat lima bangkai ayam tergeletak dengan kepala terpenggal. Pantas saja Kiara berteriak ketakutan."Brengsek! Siapa yang ngelakuin hal brengsek ini," geramnya.Ia raih ponselnya di saku, mengubungi pihak hotel. Dapat ia rasakan tubuh Kiara yang bergetar dalam pelukannya."Tenanglah, pihak hotel akan mengurusnya," bisiknya menenangkan Kiara."A-aku takut, jangan jangan penjahatnya masih di dalam, Van." Devan menggeleng, mengusap pelan surai panjang Kiara. Mengecup pucuk kepalanya."Tidak akan. Dia pasti sudah pergi,""Ta-tapi, aku takut," ci
Pagi datang, semburatnya menerpa jendela kaca yang hanya bertutupkan tirai putih tipis.Kiara menggeliat pelan. Tubuhnya terasa berat digerakkan. Bahkan pahanya seperti ada yang menimpanya.Ia tersentak saat menyadari bahwa tadi malam dia tidur bareng Devan.Dan benar, yang menimpanya adalah Devan. Pria itu memeluknya erat seperti sebuah guling. Lalu kemana guling mereka.Ia dorong dada Devan, namun pria itu justru menariknya lebih erat."Devan, bangun. Aku gak bisa napas. Sesak."Pria itu bergeming. Justru malah menggumam tak jelas."Hey! Lepas. Bangun pelor!""Diamlah, sebentar saja kenapa," jawab Devan dengan mata masih terpejam. Kiara menghela napas pasrah. Ia turuti juga permintaan pria itu. Ah, setidaknya bukan hal yang aneh-aneh.Dengkur halus pria itu kembali terdengar."Ya elah, ini orang malah molor lagi. Gue pengen mandi, sumpah!" kesalnya."Devan! Bangun!" Kali ini teriakannya lebih keras. Devan te