"Yeeay! Mantai!"
Devan yang sedang terlelap sontak terbangun karena teriakan Kiara."Ups. Sory. Hehe."Devan mendengus pelan kembali terlelap. Sementara Kiara bergegas turun dari ranjangnya dan mencari pakaian yang cocok untuk ke pantai hari ini.Setelah mendapat pakaian yang diinginkannya, ia melenggang ke kamar mandi.Bruak!Devan tersentak bangun lagi."Aish! Wanita itu!" gerutunya. Ia tidur lagi, namun lagi-lagi konsentrasinya pecah. Suara shower yang berisik dan nyayian sumbang Kiara yang mengganggu telinganya."Ku menangis ....Membayangkan.Betapa kejamnya dirimu melepas diriku ...."Devan menutup telinganya dengan bantal."Dasar cewek! Mandi saja berisik," rutuknya.Setengah jam kemudian Kiara keluar kamar mandi dengan handuk terlilit di rambutnya. Menatap Devan yang masih meringkuk."Katanya mau ke pantai, eh molor mulu," gelengnya."Tuan muda yang terhormat.Bangun. Gant"Chu~"Kiara membulatkan matanya. Ia bermaksud mundur, tapi Devan malah menarik tengkuknya."Sialan!"Dodi menggeram marah dan bergegas pergi dengan sumpah serampahnya.Kiara mendorong paksa Devan, membuat pria itu melepaskannya."Brengsek kamu, Van!" isaknya sembari berlari meninggalkan Devan yang terpaku."Maaf," ujarnya lirih.----------Devan mengawasi Kiara tanpa berani mendekat. Gadis itu menangis sembari melempar bebatuan kecil ke air laut yang berombak.Tadi ia berlari asal, rasa sakit dan ketakutan menghampiri dirinya begitu saja. Sentuhan Devan tadi mengingatkannya pada malam kelam itu.Ia terisak diantara batuan karang. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia hiraukan angin pantai yang menerpa rambut panjangnya yang menutupi sebagian punggung tangannya.Perlahan Devan memberanikan diri mendekati Kiara."Ra, aku minta maaf."Kiara beringsut membuat jarak. Ia palingkan wajahnya, me
"Kamu memang tak pernah mengecewakan, Satrio," puji Dedi, seraya meletakkan kembali dokumen dan menatap Satrio sembari tersenyum."Terimakasih, pak," jawabnya.Pak Dedi menepuk-nepuk pelan bahu Satrio."Bagaimana Devan selama menggantikan saya disini?""Dia pemimpin yang hebat. Sama seperti bapak. Sepertinya dia mewarisi bakat kepemimpinan yang tinggi."Dedi tertawa."Ada-ada aja kamu, Sat. Oh ya, bagaimana kabar ayahmu?" tanya Dedi.Satrio terdiam. Ayah Satrio terkena stroke sejak masih menjadi karyawan Dedi, dan karena Dedilah Satrio kemudian di kuliahkan dan dapat bekerja disini.Demi melihat wajah murung pemuda itu, Dedi tahu jawabannya."Sabar Sat. Ayahmu orang baik dan jujur. Tuhan pasti akan memberikan kesembuhan padanya, nanti.""Terimakasih pak.""Dan cepat carilah pendamping hidup. Jangan hanya bekerja terus terusan," bisik Dedi, tersenyum lebar."I-iya pak."Bagaimana mau menikah jika wanita inc
"Menurutmu itu mempengaruhi? Bahkan Devan juga bukan pria baik-baik."Benar juga, Nina mengangguk pelan."Kembalilah ke rumah itu lagi. Dan laksanakan rencana," titah Satrio. "Okey. Meski tak sepenuhnya percaya kalau pernikahan mereka atas dasar cinta, tapi tak akan ku biarkan siapapun menyentuh Devan.""Bagus."Nina tersenyum tipis. Ia punya misi sendiri. Misi yang ia ubah semenjak bertemu Satrio. Ya, Devan adalah miliknya dari dulu, bahkan sampai kapanpun."Apa kau akan kembali kepadaku saat mengetahui siapa aku sebenarnya?" gumam Nina dalam hati. ---------Devan masih mendiamkannya, atau mungkin pria itu benar-benar marah padanya. Mereka memang makan bersama, belanja bersama juga tentu saja tidur bersama. Emm, maksudnya dengan ranjang berbeda tentunya.Seperti saat ini, ini merupakan hari ke tiga mereka di Bali, mereka sedang berada di perjalanan untuk menuju Ekowisata Mangrove Wanasari. Dan ini adalah pilihan Dev
"Aaaaaaa!"Kiara berbalik memeluk Devan, menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu."Kenapa? Ada apa?""Di-dalam," tunjuk Kiara ketakutan. Ia masih bersembunyi dengan tubuh gemetaran.Devan melangkah pelan dengan sebelah tangannya memeluk Kiara, ia dorong pintu hotel.Rahangnya mengeras melihat darah segar berceceran didalam hotel penginapan mereka. Terlihat lima bangkai ayam tergeletak dengan kepala terpenggal. Pantas saja Kiara berteriak ketakutan."Brengsek! Siapa yang ngelakuin hal brengsek ini," geramnya.Ia raih ponselnya di saku, mengubungi pihak hotel. Dapat ia rasakan tubuh Kiara yang bergetar dalam pelukannya."Tenanglah, pihak hotel akan mengurusnya," bisiknya menenangkan Kiara."A-aku takut, jangan jangan penjahatnya masih di dalam, Van." Devan menggeleng, mengusap pelan surai panjang Kiara. Mengecup pucuk kepalanya."Tidak akan. Dia pasti sudah pergi,""Ta-tapi, aku takut," ci
Pagi datang, semburatnya menerpa jendela kaca yang hanya bertutupkan tirai putih tipis.Kiara menggeliat pelan. Tubuhnya terasa berat digerakkan. Bahkan pahanya seperti ada yang menimpanya.Ia tersentak saat menyadari bahwa tadi malam dia tidur bareng Devan.Dan benar, yang menimpanya adalah Devan. Pria itu memeluknya erat seperti sebuah guling. Lalu kemana guling mereka.Ia dorong dada Devan, namun pria itu justru menariknya lebih erat."Devan, bangun. Aku gak bisa napas. Sesak."Pria itu bergeming. Justru malah menggumam tak jelas."Hey! Lepas. Bangun pelor!""Diamlah, sebentar saja kenapa," jawab Devan dengan mata masih terpejam. Kiara menghela napas pasrah. Ia turuti juga permintaan pria itu. Ah, setidaknya bukan hal yang aneh-aneh.Dengkur halus pria itu kembali terdengar."Ya elah, ini orang malah molor lagi. Gue pengen mandi, sumpah!" kesalnya."Devan! Bangun!" Kali ini teriakannya lebih keras. Devan te
Masih memakai kacamata hitamnya, Devan menyeret koper mereka dengan sebelah tangannya menarik pinggang Kiara. Persis pasangan serasi yang baru pulang dari bulan madu menyenangkan."Papa! Mama! Yeeay," pekik Rara yang melihat kedatangan kedua orang tuanya dan langsung menghambur ke pelukan Devan.Devan sendiri lalu berjongkok dan menciumi sekujur wajah putrinya."Rara gak nakal kan?""Gak dong pa. Rara kan anak papa yang paliiing baik."Devan tertawa dan mengacak pelan surai Rara."Nah, ini oleh-oleh buat Rara." Kiara menyodorkan boneka Chimmy (karakter BT21, Jimin) berukuran besar. Gadis kecil itu membulatkan matanya, bersemangat."Iih, lucu banget," peluknya gemas. Chimmy adalah boneka berbentuk anjing berwarna kuning yang menggemaskan."Makasih, Mama.""Sama-sama sayang."Devan tersenyum melihat interaksi kecil dua wanitanya itu."Kok sepi sayang. Oma sama opa mana?" tutur Devan setelah merasa sepi."Lagi keluar, Pa. Cuma ada Rara sama bibi doang.""Loh, kak Nina?""Kak Nina pulang
Sudah dikatakan bukan bahwa kepolosan Devan sirna semenjak malam di club itu. Untuk masalah kissing, jangan ditanya, ia sangat piwai.Kiara sendiri pun tak habis pikir, ketika bersama Devan, kenapa ia tidak bisa berfikir jernih. Selalu saja ia ikuti permainan pria itu. Ah, selama itu tak melangkah jauh mungkin tidak apa-apa. Lagipula mereka sudah menikah, pasangan suami istri yang jika melakukan hal lebih juga tidak masalah.Namun, bukan itu yang ditakutan Kiara. Dia takut terlena dan berakhir jatuh cinta pada pemuda itu. Bisa saja, Devan masih terbayang pada wanita itu. Ia takut jatuh cinta hanya untuk membuatnya terpuruk lagi. Memang Devan seringkali bersikap membingungkan. Tarik ulur seolah mereka pasangan suami istri. Jika itu hanya ditunjukkan pada orang tuanya atau karyawannya mungkin itu wajar. Tapi, yah seperti inilah. Di saat mereka berduapun Devan sering bertindak layaknya pasangan yang saling mencintai.Seperti saat ini, sepanjang kantor, Devan berjalan dengan memeluk ping
Senja datang lebih gelap dari biasanya. Awan hitam bergumul diatas sana. Sepertinya keberatan beban hingga ingin menumpahkan isinya.Di pemberhentian bis, Nadia mengetuk-etuk kakinya ke lantai. Tangannya tersampir di perutnya menyangga sebelah tangannya yang sedang memegang ponsel."Lo dimana sih, Di," gerutunya.Ia mendongak menatap langit yang mendung dan sepertinya akan hujan deras. Sedangkan hari ini Nadia tak membawa kendaraan sendiri. Tadi berangkatnya saja dia menaiki bis.Halte sepi, hanya ada dirinya seorang. Ia menoleh ke sekitar kalau kalau ada taxi. Setidaknya tak ada bis pun tak masalah jika ada taksi. Kenapa tak memakai grab, seperti yang sedang tren saat ini? Entahlah, Nadia belum berani.Ia menekan tombol panggil berkali-kali. Hanya ada dering tanpa diangkat, membuatnya kesal."Apa jangan-jangan dia selingkuh, atau bosan?" batinnya negatif, apalagi teringat percakapannya dengan Dibda tadi siang."Ck! Apa sih, Nad. Mungk