Pagi datang, semburatnya menerpa jendela kaca yang hanya bertutupkan tirai putih tipis.
Kiara menggeliat pelan. Tubuhnya terasa berat digerakkan. Bahkan pahanya seperti ada yang menimpanya.Ia tersentak saat menyadari bahwa tadi malam dia tidur bareng Devan.Dan benar, yang menimpanya adalah Devan. Pria itu memeluknya erat seperti sebuah guling. Lalu kemana guling mereka.Ia dorong dada Devan, namun pria itu justru menariknya lebih erat."Devan, bangun. Aku gak bisa napas. Sesak."Pria itu bergeming. Justru malah menggumam tak jelas."Hey! Lepas. Bangun pelor!""Diamlah, sebentar saja kenapa," jawab Devan dengan mata masih terpejam. Kiara menghela napas pasrah. Ia turuti juga permintaan pria itu. Ah, setidaknya bukan hal yang aneh-aneh.Dengkur halus pria itu kembali terdengar."Ya elah, ini orang malah molor lagi. Gue pengen mandi, sumpah!" kesalnya."Devan! Bangun!" Kali ini teriakannya lebih keras. Devan teMasih memakai kacamata hitamnya, Devan menyeret koper mereka dengan sebelah tangannya menarik pinggang Kiara. Persis pasangan serasi yang baru pulang dari bulan madu menyenangkan."Papa! Mama! Yeeay," pekik Rara yang melihat kedatangan kedua orang tuanya dan langsung menghambur ke pelukan Devan.Devan sendiri lalu berjongkok dan menciumi sekujur wajah putrinya."Rara gak nakal kan?""Gak dong pa. Rara kan anak papa yang paliiing baik."Devan tertawa dan mengacak pelan surai Rara."Nah, ini oleh-oleh buat Rara." Kiara menyodorkan boneka Chimmy (karakter BT21, Jimin) berukuran besar. Gadis kecil itu membulatkan matanya, bersemangat."Iih, lucu banget," peluknya gemas. Chimmy adalah boneka berbentuk anjing berwarna kuning yang menggemaskan."Makasih, Mama.""Sama-sama sayang."Devan tersenyum melihat interaksi kecil dua wanitanya itu."Kok sepi sayang. Oma sama opa mana?" tutur Devan setelah merasa sepi."Lagi keluar, Pa. Cuma ada Rara sama bibi doang.""Loh, kak Nina?""Kak Nina pulang
Sudah dikatakan bukan bahwa kepolosan Devan sirna semenjak malam di club itu. Untuk masalah kissing, jangan ditanya, ia sangat piwai.Kiara sendiri pun tak habis pikir, ketika bersama Devan, kenapa ia tidak bisa berfikir jernih. Selalu saja ia ikuti permainan pria itu. Ah, selama itu tak melangkah jauh mungkin tidak apa-apa. Lagipula mereka sudah menikah, pasangan suami istri yang jika melakukan hal lebih juga tidak masalah.Namun, bukan itu yang ditakutan Kiara. Dia takut terlena dan berakhir jatuh cinta pada pemuda itu. Bisa saja, Devan masih terbayang pada wanita itu. Ia takut jatuh cinta hanya untuk membuatnya terpuruk lagi. Memang Devan seringkali bersikap membingungkan. Tarik ulur seolah mereka pasangan suami istri. Jika itu hanya ditunjukkan pada orang tuanya atau karyawannya mungkin itu wajar. Tapi, yah seperti inilah. Di saat mereka berduapun Devan sering bertindak layaknya pasangan yang saling mencintai.Seperti saat ini, sepanjang kantor, Devan berjalan dengan memeluk ping
Senja datang lebih gelap dari biasanya. Awan hitam bergumul diatas sana. Sepertinya keberatan beban hingga ingin menumpahkan isinya.Di pemberhentian bis, Nadia mengetuk-etuk kakinya ke lantai. Tangannya tersampir di perutnya menyangga sebelah tangannya yang sedang memegang ponsel."Lo dimana sih, Di," gerutunya.Ia mendongak menatap langit yang mendung dan sepertinya akan hujan deras. Sedangkan hari ini Nadia tak membawa kendaraan sendiri. Tadi berangkatnya saja dia menaiki bis.Halte sepi, hanya ada dirinya seorang. Ia menoleh ke sekitar kalau kalau ada taxi. Setidaknya tak ada bis pun tak masalah jika ada taksi. Kenapa tak memakai grab, seperti yang sedang tren saat ini? Entahlah, Nadia belum berani.Ia menekan tombol panggil berkali-kali. Hanya ada dering tanpa diangkat, membuatnya kesal."Apa jangan-jangan dia selingkuh, atau bosan?" batinnya negatif, apalagi teringat percakapannya dengan Dibda tadi siang."Ck! Apa sih, Nad. Mungk
Taki menyambar kunci mobilnya serta memakai jaket dan tergesa keluar. Ia hidupkan mobilnya dan melaju membelah jalanan yang licin.Sampai di sebuah tempat di pinggir sungai yang lumayan sepi dia pinggirkan mobilnya dan berlari ke jempatan kecil yang terbentang.Gerimis masih turun rintik-rintik tak mengurungkan niatnya. Gelap malam di tempat yang minim pencahayaan juga tak menyurutkan langkahnya.Tiba di jembatan, ia hentikan langkahnya dengan nafas yang ngos-ngosan. Di tengah jembatan sana seseorang memakai jaket dan berdiri menghadap sungai. Ia menoleh saat menyadari kedatangan Taki."Hai Ki, apa kabar," sapanya dengan senyum hambar dan putus asa.-Disinilah kini keduanya. Warung remang-remang yang tidak jauh dari lokasi jembatan tersebut. Keduanya saling diam. Taki memandangi pemuda dihadapannya dengan tatapan prihatin. Wajah yang frustasi dan juga putus asa."Gue lihat lo kemarin di pernikahan Devan," ujar Taki membuka percakapan.Pemuda itu mendongak dan tersenyum tipis. Ia ten
"Lo mau kemana, Ki?""Gue kebelet. Jangan terlalu mabuk. Bisa-bisa kita terciduk entar."Dodi mengacungkan jempolnya dengan isyarat 'itu perkara gampang'.Kedua remaja berusia enam belas itu menelusup diam-diam ke sebuah bar. Duduk santai dan berlagak seperti orang dewasa lainnya. Tubuh yang bongsor membuat mereka dikenali seperti remaja berumur.Usia mereka memang rentan terhadap kenakalan remaja dan rasa penasaran. Hanya berdua, karena memang saat itu Dodi belum mengenal Yoga maupun Niko, apalagi Devan yang notabene anak tertutup.Dodi dan Taki bersahabat sejak SMP. Namun ketika SMA, mereka memilih sekolah yang berbeda. Namun letaknya tak jauh sih.Dodi menikmati iringan musik beat yang menghentak. Suguhan kemolekan tubuh wanita yang diumbar tanpa malu membuatnya betah memandang. Ia sesap segelas minuman keras dengan ringisan, karena rasanya yang aneh dan baru pertama kali mencoba.Saat ia sedang asyik menikmati pemandangan gratis, tiba-tiba seorang pria dewasa dengan otot bisepnya
"Ada lagi yang perlu saya tanda tangani?""Sudah semua pak.""Baiklah. Berarti sudah selesai ya. Huft, akhirnya."Dwvan menarik napas lega. Sedari tadi bibirnya tak mengulas senyum. Membuat Satrio merasa heran sendiri. Tak biasanya Devan bersikap seperti ini. Biasanya hanya memasang wajah datar. Apakah mereka, em maksudnya Kiara dan Devan sudah semakin dekat? Juga hari ini Kiara tak masuk kantor. Pikiran itu membuat Satrio mengepalkan tangannya."Ya sudah. Saya harus pergi sekarang. Nanti kalau ada apa-apa hubungi saya.""Baik pak."Satrio undur diri dan keluar dari ruangan Devan. Sedangkan Devan mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu."Kau dimana?""Masih nunggu Rara.""Jangan pergi dulu. Nanti aku susul.""Loh, bukannya kau ada rapat hari ini?""Sudah selesai. Tunggu jangan kemana-mana.""Oke."Devan menyisipkan ponselnya ke saku celana, meraih jasnya yang tersampir. Menyambar kunci mobil dan bergegas keluar. Ia putar mobilnya dan melaju meninggalkan kantor.Tadi pagi-pagi seka
"Rara hati-hati sayang, jangan lari-lari," teriak Kiara saat Rara berlarian menuju sebuah perosotan. Ya, bukan tempat mewah yang mereka kunjungi, tapi tempat umum yang dikunjunjungi orang-orang lain. Sebuah taman kota yang juga menyediakan akses bermain untuk anak-anak. Perosotan, ayunan, jungkat jungkit dan permainan lainnya yang tersedia untuk umum. Mereka sengaja memilih tempat ini karena untuk mengajarkan Rara untuk tak terlalu hidup dengan kemewahan.Kiara dan Devan duduk di salah satu kursi taman dengan mengawasi Rara yang asyik bermain. Seorang lelaki kecil menghampiri Rara dan mengajaknya bermain. Karena bukan hari minggu, taman tidak terlalu ramai dengan anak-anak. Tapi pengunjungnya masih lumayanlah."Ini pertama kalinya aku melihat tawa Rara selepas itu," gumam Devan sembari melihat ke arah Rara.Kiara ikut memandang Rara, tawa gembira anak itu membuat bibirnya perlahan ikut tersenyum. Jika melihat Rara, terkadang ia ingat juga masa kecilnya. Rara mirip dengan dirinya di s
Kiara terkantuk-kantuk. Kombinasi Ac dan karena tadi malam dia tidak bisa tidur kini membuatnya harus mati-matian menahan kantuknya."Aish, mata gue lengket banget sih!"Ia kembali membuka lebar-lebar matanya. Melotot memandangi display laptopnya. Ia gerak-gerakkan jemarinya dan mengetik kembali.Pluk!Sebuah tangan kekar meletakkan segelas kopi susu panas dengan asap yang masih mengepul di mejanya. Aroma kopi menyeruak, membuat sarafnya seakan kembali sadar.Kiara menatap segelas kopi itu lalu mendongak. Tersenyum tipis."Makasih, Sat."Satrio mengangguk. Mengintip pekerjaan Kiara."Laporan?" tanyanya.Kiara mengangguk."Iya. Malah tadi malam gue gak bisa tidur. Ya ginilah jadinya. Jam kerja malah ngantuk," sesalnya.Satrio mengernyit, melirik lancang leher gadis itu dan turun di area yang sedikit terbuka karena kancing atas Kiara yang dibiarkan terbuka. Tak ada bekas apa-apa."Kenapa Sat?" tanya Kiara yang masih fokus mengetik. Ia hanya heran saja kenapa Satrio masih di tempatnya. D
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu