Kiara terkantuk-kantuk. Kombinasi Ac dan karena tadi malam dia tidak bisa tidur kini membuatnya harus mati-matian menahan kantuknya."Aish, mata gue lengket banget sih!"Ia kembali membuka lebar-lebar matanya. Melotot memandangi display laptopnya. Ia gerak-gerakkan jemarinya dan mengetik kembali.Pluk!Sebuah tangan kekar meletakkan segelas kopi susu panas dengan asap yang masih mengepul di mejanya. Aroma kopi menyeruak, membuat sarafnya seakan kembali sadar.Kiara menatap segelas kopi itu lalu mendongak. Tersenyum tipis."Makasih, Sat."Satrio mengangguk. Mengintip pekerjaan Kiara."Laporan?" tanyanya.Kiara mengangguk."Iya. Malah tadi malam gue gak bisa tidur. Ya ginilah jadinya. Jam kerja malah ngantuk," sesalnya.Satrio mengernyit, melirik lancang leher gadis itu dan turun di area yang sedikit terbuka karena kancing atas Kiara yang dibiarkan terbuka. Tak ada bekas apa-apa."Kenapa Sat?" tanya Kiara yang masih fokus mengetik. Ia hanya heran saja kenapa Satrio masih di tempatnya. D
"Kenapa diam saja? Makanannya tak enak?"Kiara menggeleng. Mereka sedang makan siang bersama. Beberapa karyawan mencuri pandang kearah mereka dengan tatapan iri dan tak percaya. Maklum saja, siapa sih yang tak mau dengan Devan. Meski galak, tapi ganteng dan tajir. Beruntungnya Kiara yang hanya beberapa hari mampu meluluhkan hati boss mereka."Makan yang banyak. Jangan takut gendut." Devan meletakkan daging di piring Kiara. Gadis itu tersenyum tipis.Ia kembali melahap makanannya. Pikirannya melayang ke tadi malam. Saat sedang beres-beres kamar Rara, ia menemukan benda yang sama persis dengan yang ia pakaikan pada bayinya saat itu. Hal itu juga yang membuatnya tak bisa tidur semalaman. Ia kepikiran tentu saja. Apa mungkin Rara putrinya? Dan pria ini...Kiara memandangi Devan tanpa sadar."Berhenti menatapku seperti itu, kau ingin cepat-cepat jatuh dalam pesonaku, hmm?"Kiara mendengkus. Ia membuang muka. Menggeleng pelan. Tak mungkin Rara putrinya. Lagipula saat itu dia kan meletakka
Kiara memandangi sebuah kertas yang entah kenapa ia bawa. Sebuah alamat yang tertulis disana. Ia lempar kertas tersebut dan mengusap rambutnya kasar.Ia telungkupkan wajahnya diantara kedua lututnya. Meratapi nasib yang baru saja menimpanya. Ia terisak dengan sekujur tubuh yang terasa sakit. Pria itu merenggutnya dengan cara kasar.Bayangan kedua orang tuanya, juga tetangganya, teman-temannya datang silih berganti. Apa reaksi mereka jika melihat dirinya yang tak suci lagi. Ayah dan ibunya pasti kecewa. Ia sudah membuat malu keluarga. Bertahun-tahun mereka membiayai hidupnya agar menjadi orang sukses, tapi kejadian tadi membuat segalanya hancur. Masa depannya hancur. Ia tak suci lagi.Ia juga teringat Satrio, bagaimana reaksi kekasihnya tersebut jika mengetahui dirinya sudah ternoda. "Brengsek! Sialan! Siapa lo berani-beraninya merusak kesucianku. Kenapa lo gak mati aja brengsek!" teriaknya histeris.Ia pergi saat pria itu tergeletak lelah dengan aktifitasnya. Ingin rasanya Kiara memb
Semenjak peristiwa itu Kiara cuti kuliah dan pulang ke rumahnya. Ia ingin menenangkan pikirannya. Meski trauma seringkali hadir.Perlahan ia coba untuk menerima. Menebalkan telinga dari omongan tetangga. Mereka mencibir karena peristiwa perkosaan yang ia alami. Kiara hanya menanggapi dengan senyum tipis. Kata siapa wanita selalu benar? Kenyataannya meski dirinya yang menjadi korban perkosaan, tetap saja dirinya yang menjadi bahan hujatan. Dibilang lonte lah, karena memakai pakaian terbukalah, suka menggoda makanya di perkosa. Ya, mereka tak tahu apa-apa tentang kesehariannya di kota. Dirinya yang selalu memakai celana panjang kemanapun ia pergi. Omongan tetangga memang panas, wajar mereka hanya bisa menghujat tanpa memberi solusi.Tak ada kabar dari Satrio. Kiara pun tak mencoba menghubungi. Ia maklum, dengan keadaan seperti ini, mana mungkin ada pria yang mau mendekati dirinya. Ia mencoba merelakan meski sakit.Puncaknya, Kiara telat datang bulan. Dan saat ia tes sendiri, ia hanya b
Devan termenung di pinggir ranjangnya. Momoy. Moon. My ... Ah.Ia usap wajahnya kasar. Kenapa nama itu harus muncul di kehidupannya setelah sekian lama ia coba untuk mengusirnya."Argh!" Ia hempaskan badannya di ranjang. Memejamkan mata meski bayang perempuan itu kembali datang."Tok! Tok!" Pintu di ketuk. Itu pasti Kiara."Masuk," ujarnya dengan tetap pada posisi tersebut.Terdengar pintu di buka. Derap langkah pelan menuju ke arahnya. Devan masih tak beranjak dari posisinya."Ini minumnya.""Taruh di meja," ujarnya datar, masih tak beranjak."Ada lagi?""Hmmm ..." Devan hanya mendehem."Aku keluar," ujar Kiara.Belum juga Kiara melangkah, Devan sudah memanggilnya lagi."Kemarilah," ujarnya.Ia kembali duduk."Duduk," perintahnya. Meski tak mengerti, gadis itu nurut juga. Ia duduk di pinggir ranjang dekat Devan. Memperhatikan wajah murung pria itu."Ada apa? Apa ada masalah?" tanyan
Wanita memang seringkali luluh dengan kelembutan. Mungkin karena hatinya juga lembut kali ya. Meski wajah seringkali jadi orientasi tipe idaman, tetap saja akan kalah dengan mereka yang bisa membuat baper.Lalu bagaimana dengan Devan yang sudah ganteng, pintar mencuri hati lagi. Ah, paket lengkap.Sadar atau tidak, semenjak tadi malam Kiara seringkali tersenyum. Hal kecilpun rasanya membahagiakan dirinya. Rasanya perasaannya melambung tinggi.Seperti hari ini, Kiara menemani Devan yang rapat dengan kliennya. Ia tak henti memandangi pria yang entah sejak kapan kenapa terlihat sangat keren. Untaian kata dan rencana yang harusnya ia tulis justru luput karena netranya yang tak teralih dari Devan."Baik, ada pertanyaan atau usul?" Kiara tersentak dari lamunannya. Devan selesai dengan presentasinya, dan lembar layarnya kosong tak ada catatan sama sekali. Ia panik dan gusar."Mengenai rencana proyek pembangunan mall itu bagaimana pak? Sepertinya banyak masyarakat disana yang menolaknya. Kar
Devan dan Kiara berkeliling kompleks ruko. Tak ada yang memperhatikan mereka. Karena mereka pikir Devan dan Kiara hanyalah pembeli biasa.Hiruk pikuk suara bersahutan antara penjual yang menawarkan dagangan dan pembeli yang bersikeras menawar. Aroma bau khas pasar yang menyengat menerpa cuping hidung."Capek?"Kiara menggeleng. Sebenarnya pegal juga sih. Apalagi saat ini dirinya memakai heels. Ia rasa kakinya lecet, perih terasa. Namun ia tahan."Tunggu disini," ujar Devan."Kau mau kemana?""Tunggu saja," ujar Devan lagi. Lalu dia menghilang diantara keramaian.Kiara menoleh ke sekitar. Mencari tempat sekiranya ia bisa duduk sejenak. Ia hampiri seorang ibu yang sudah tua berjualan aneka makanan tradisional. "Permisi, bu. Boleh saya duduk disini?""O, boleh nak. Duduk saja."Kiara duduk di dekat ibu itu. Melihat barang dagangan ibu itu yang masih banyak. Ada cenil, bakmi, gethuk dan aneka jajanan basah lainnya. Ibu itu dengan telaten mengusir lalat yang hinggap."Yang itu berapaan y
Sampai rumah. Mereka keluar dari rumah. Kiara berjalan dengan sedikit berjinjit."Masih sakit?" tanya Devan."Enggak."Kiara menegarkan langkahnya. Namun karena memang masih perih ditambah pegal, sialnya Kiara malah hilang keseimbangan."Aw!"Kakinya keceklik, dan terhuyung. Devan dengan sigap menangkapnya. Pandangan mereka bersitatap. Rasanya seperti de ja vu. "A.. sory," ujar Kiara segera menjauhkan badannya dari Devan. Bukannya grogi atau apa, Devan malah tersenyum. Ia menarik Kiara dan membopongnya."Eh, turunin gue," pekik Kiara kaget sekaligus panik. Reflek dia mengalungkan tangannya ke leher Devan, membuat pria itu mengeringai."Udah. Diem. Kakimu masih sakit kan? Jangan terlalu maksain."Devan dengan santai memasuki rumah dengan masih membopong Kiara. Wajah Kiara merah parah. Bagaimanapun dia belum pernah sedekat ini dengan lelaki. Apalagi sampai di gendong ala bridal style."Devan," cicitnya, memohon untuk diturunkan. "Ada apa, sayang." Kiara langsung kicep. Semburat merah