Devan dan Kiara berkeliling kompleks ruko. Tak ada yang memperhatikan mereka. Karena mereka pikir Devan dan Kiara hanyalah pembeli biasa.Hiruk pikuk suara bersahutan antara penjual yang menawarkan dagangan dan pembeli yang bersikeras menawar. Aroma bau khas pasar yang menyengat menerpa cuping hidung."Capek?"Kiara menggeleng. Sebenarnya pegal juga sih. Apalagi saat ini dirinya memakai heels. Ia rasa kakinya lecet, perih terasa. Namun ia tahan."Tunggu disini," ujar Devan."Kau mau kemana?""Tunggu saja," ujar Devan lagi. Lalu dia menghilang diantara keramaian.Kiara menoleh ke sekitar. Mencari tempat sekiranya ia bisa duduk sejenak. Ia hampiri seorang ibu yang sudah tua berjualan aneka makanan tradisional. "Permisi, bu. Boleh saya duduk disini?""O, boleh nak. Duduk saja."Kiara duduk di dekat ibu itu. Melihat barang dagangan ibu itu yang masih banyak. Ada cenil, bakmi, gethuk dan aneka jajanan basah lainnya. Ibu itu dengan telaten mengusir lalat yang hinggap."Yang itu berapaan y
Sampai rumah. Mereka keluar dari rumah. Kiara berjalan dengan sedikit berjinjit."Masih sakit?" tanya Devan."Enggak."Kiara menegarkan langkahnya. Namun karena memang masih perih ditambah pegal, sialnya Kiara malah hilang keseimbangan."Aw!"Kakinya keceklik, dan terhuyung. Devan dengan sigap menangkapnya. Pandangan mereka bersitatap. Rasanya seperti de ja vu. "A.. sory," ujar Kiara segera menjauhkan badannya dari Devan. Bukannya grogi atau apa, Devan malah tersenyum. Ia menarik Kiara dan membopongnya."Eh, turunin gue," pekik Kiara kaget sekaligus panik. Reflek dia mengalungkan tangannya ke leher Devan, membuat pria itu mengeringai."Udah. Diem. Kakimu masih sakit kan? Jangan terlalu maksain."Devan dengan santai memasuki rumah dengan masih membopong Kiara. Wajah Kiara merah parah. Bagaimanapun dia belum pernah sedekat ini dengan lelaki. Apalagi sampai di gendong ala bridal style."Devan," cicitnya, memohon untuk diturunkan. "Ada apa, sayang." Kiara langsung kicep. Semburat merah
"Coba, aku lihat," ujar Kiara saat melihat Devan bangun namun mengeluh matanya perih, seperti ada yang mengganjal.Devan memasang ekspresi risih dan tak nyaman. Baru saja Kiara membangunkannya. Eh, matanya terasa lengket dan mengganjal. Padahal perasaan tadi malam waktu tidur tak ada apa-apa. Apa mungkin ketika tidur matanya setengah terbuka lalu kemasukan debu, atau sesuatu yang lain.Kiara mendekatkan wajahnya untuk memeriksa mata Devan. Namun, gerakan cepat Devan menghentikan niatnya.Chup."Morning kiss," ujar Devan dan langsung beranjak dari tidurnya. Meninggalkan Kiara yang masih berusaha mencerna apa yang barusan terjadi.Tangannya reflek menyentuh bibirnya. Blush. Wajahnya memerah."Devaaaan!" pekiknya.Pria itu tertawa dan kabur menutup pintu kamar Kiara, kembali ke kamarnya.-----"Pagi, Papa, Mama," sapa Rara yang sudah siap di meja makan."Pagi, sayang," Devan mencium pipi Rara dan duduk di kursinya. Begitu juga Kiara. Dia mengecup kedua pipi Rara dan duduk di sampingnya.
"Kenapa lo membahasnya?" ujar Kiara penuh emosi, namun tertahan."Ya, ka-karena aku gak tega kalau sampai melihat kamu di telantarkan Devan karena dia tahu kamu sudah gak perawan.""Kenapa lo seyakin itu kalau Devan bakal ninggalin gue," lanjutnya dengan menahan amarahnya."Gue tahu persis dia, Ra. Gue tahu dia dulu berandal. Dan pria itu cari enaknya. Mana mungkin dia mau menikahi wanita yang sudah ternoda? Setidaknya itu yang gue pikirin tentang elo, Ra. Gue gak mau lo tersakiti.""Bukannya itu menggambarkan elo sendiri?"Satrio kelimpungan. Wajah Kiara datar sekali."I-itu ... aku kan udah bilang tadi. Aku punya alasan, Ra. Aku terpaksa saat itu. Dan kini aku sadar, aku gak bisa kehilangan kamu. Aku mencintaimu. Jadi sebelum Devan mengetahuinya, bercerailah, dan kembali denganku. Kita menikah. Lalu..."Plak!Satrio memagangi pipinya yang di tampar Kiara."Brengsek lo Sat! Gue selama ini cukup sabar ngadepin elo. Gue mencoba bersikap biasa dengan elo. Gue usaha ngelupain sifat penge
Devan duduk di samping kolam renang rumahnya. Sesekali tangan kekarnya menenggak minuman kaleng. Pikirannya melayang ke kejadian siang tadi. Devan menarik napas panjang. Pantas saja Kiara seperti menghindari pembahasan tentang anak yang dimaksudnya. Devan memang tadi mendengar perkataan Satrio. Dia yang saat itu sengaja menyuruh Kiara untuk membuatkan kopi bermaksud memberi kejutaan, tapi malah disuguhi pemandangan Kiara bersama Satrio. Awalnya dia memang kesal. Tapi setelah mendengar perkataan Satrio, cemburunya luntur. Berganti perasaan tak tega pada Kiara. Gadis itu pasti menyimpan luka itu sendirian. Terlihat jelas saat dia kembali dari dapur. Meski Kiara berusaha menyembunyikannya, tapi Devan yakin, Kiara sedang terguncang. Karena itu pula dia memilih diam dan pura-pura tidak tahu.Tapi satu yang membuatnya penasaran. Jika memang dari perbuatan biadab pria itu Kiara hamil, lalu dimana anaknya? Seingatnya di rumah Kiara tak ada anak kecil. Juga Kiara mengatakan dia tak pernah be
"Kamu cantik," puji Devan. Ia tersenyum saat Kiara mengalihkan matanya, menatap ke bawah. Sepertinya Kiara kalah dalam permainan tatap mata seperti ini."Aku mencintaimu, bahkan aku tak peduli masalalumu. Jadi, jangan pasang wajah murungmu lagi, oke?" Devan mengacungkan jari kelingkingnya.Mendengar perkataan Devan, air mata Kiara mengalir tanpa ia komando. Ucapan Devan sukses mengingatkan akan kejadian dulu yang menimpanya. Devan mengusap lembut air mata Kiara dengan ibu jarinya."Sst, ku bilang jangan pasang wajah sedihmu. Kamu tak mau melihatku ikut menangis bukan?"Tangis Kiara justru makin deras. Tak ada pilihan lain untuk menghentikannya. Devan membawa gadis itu dalam dekapannya. Tak lebih. Karena memang niatnya hanya untuk menenangkan Kiara saja.Perlahan tangis Kiara mulai reda. Tubuhnya mulai tenang. Napasnya tak lagi memburu seperti tadi.Perlahan dia menjauhkan diri dari sang suami."Makasih, Van," hanya itu yang bisa diungkapnya.Devan tersenyum. Melihat Kiara tersenyum sa
Devan tak henti mengulas senyum sedari tadi. Bahkan wajahnya sangat sangat ramah. Bisa di hitung berapa kali Devan membalas sapaan karyawannya. Hal yang amat sangat jarang dan langka kembali terlihat di GF Corp.Devan sedang melamun, teringat sang istri yang selalu saja membayanginya. Bibirnya seolah tak lelah mengulas senyum."Menggemaskan," gumamnya, terkekeh.Ting!Bunyi notifikasi ponsel membuyarkan lamunnya. Dengan sedikit kesal Devan segera meraihnya. Mengusap layar ponsel mahalnya. Rautnya berubah, matanya membulat sempurna saat melihat pesan yang masuk.Ia zoom gambar yang dikirim itu. Rahangnya mengeras dengan geraham yang bergemeletuk. Darahnya mendidih panas."Bagaimana? Apakah kali ini kamu ingin mengulanginya lagi? Melihat Dia bernasib sama mengenaskannya dengan wanita ini?" Pesan yang memprovokasi.Devan melempar ponselnya kasar."Brengsek! Bajingan!"Devan bergegas bangkit dari duduknya dan menyambar ku
"Kenapa dia kemari?" tanya Taki sembari mengobati luka Dodi dengan obat merah.Kecurigaan yang terlambat. Taki mendapati Dodi yang terkapar dengan luka di wajahnya. Ia segera membawa Dodi ke dalam, membersihkan lukanya dan mengobatinya."Aish! Pelan-pelan napa. Lo niat bunuh gue?" gerutu Dodi.Taki mendengkus."Makanya, kalau ada orang nanya itu dijawab."Dodi terkekeh."Harusnya gue yang marah. Kenapa malah elo," ujarnya datar. Taki lagi-lagi hanya mendengkus. Dodi memang keras kepala. Beruntung dirinya sabar menghadapi kekeras kepalaan Dodi."Dia datang karena Indira," ucapnya akhirnya."Indira? Kenapa lagi? Bukankah dia sudah menikah dengan Kiara?""Karena ancaman akan membuat wanita yang di dekatnya menderita," cetusnya lagi dengan wajah yang super datar tanpa dosa."Di! Gue harus bilang berapa kali hah. Jangan ganggu Kiara lagi. Biarkan dia menemukan kebahagiannya."Kesal juga lama-lama Taki. Dia menutup kotak p3K
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu