Devan duduk di samping kolam renang rumahnya. Sesekali tangan kekarnya menenggak minuman kaleng. Pikirannya melayang ke kejadian siang tadi. Devan menarik napas panjang. Pantas saja Kiara seperti menghindari pembahasan tentang anak yang dimaksudnya. Devan memang tadi mendengar perkataan Satrio. Dia yang saat itu sengaja menyuruh Kiara untuk membuatkan kopi bermaksud memberi kejutaan, tapi malah disuguhi pemandangan Kiara bersama Satrio. Awalnya dia memang kesal. Tapi setelah mendengar perkataan Satrio, cemburunya luntur. Berganti perasaan tak tega pada Kiara. Gadis itu pasti menyimpan luka itu sendirian. Terlihat jelas saat dia kembali dari dapur. Meski Kiara berusaha menyembunyikannya, tapi Devan yakin, Kiara sedang terguncang. Karena itu pula dia memilih diam dan pura-pura tidak tahu.Tapi satu yang membuatnya penasaran. Jika memang dari perbuatan biadab pria itu Kiara hamil, lalu dimana anaknya? Seingatnya di rumah Kiara tak ada anak kecil. Juga Kiara mengatakan dia tak pernah be
"Kamu cantik," puji Devan. Ia tersenyum saat Kiara mengalihkan matanya, menatap ke bawah. Sepertinya Kiara kalah dalam permainan tatap mata seperti ini."Aku mencintaimu, bahkan aku tak peduli masalalumu. Jadi, jangan pasang wajah murungmu lagi, oke?" Devan mengacungkan jari kelingkingnya.Mendengar perkataan Devan, air mata Kiara mengalir tanpa ia komando. Ucapan Devan sukses mengingatkan akan kejadian dulu yang menimpanya. Devan mengusap lembut air mata Kiara dengan ibu jarinya."Sst, ku bilang jangan pasang wajah sedihmu. Kamu tak mau melihatku ikut menangis bukan?"Tangis Kiara justru makin deras. Tak ada pilihan lain untuk menghentikannya. Devan membawa gadis itu dalam dekapannya. Tak lebih. Karena memang niatnya hanya untuk menenangkan Kiara saja.Perlahan tangis Kiara mulai reda. Tubuhnya mulai tenang. Napasnya tak lagi memburu seperti tadi.Perlahan dia menjauhkan diri dari sang suami."Makasih, Van," hanya itu yang bisa diungkapnya.Devan tersenyum. Melihat Kiara tersenyum sa
Devan tak henti mengulas senyum sedari tadi. Bahkan wajahnya sangat sangat ramah. Bisa di hitung berapa kali Devan membalas sapaan karyawannya. Hal yang amat sangat jarang dan langka kembali terlihat di GF Corp.Devan sedang melamun, teringat sang istri yang selalu saja membayanginya. Bibirnya seolah tak lelah mengulas senyum."Menggemaskan," gumamnya, terkekeh.Ting!Bunyi notifikasi ponsel membuyarkan lamunnya. Dengan sedikit kesal Devan segera meraihnya. Mengusap layar ponsel mahalnya. Rautnya berubah, matanya membulat sempurna saat melihat pesan yang masuk.Ia zoom gambar yang dikirim itu. Rahangnya mengeras dengan geraham yang bergemeletuk. Darahnya mendidih panas."Bagaimana? Apakah kali ini kamu ingin mengulanginya lagi? Melihat Dia bernasib sama mengenaskannya dengan wanita ini?" Pesan yang memprovokasi.Devan melempar ponselnya kasar."Brengsek! Bajingan!"Devan bergegas bangkit dari duduknya dan menyambar ku
"Kenapa dia kemari?" tanya Taki sembari mengobati luka Dodi dengan obat merah.Kecurigaan yang terlambat. Taki mendapati Dodi yang terkapar dengan luka di wajahnya. Ia segera membawa Dodi ke dalam, membersihkan lukanya dan mengobatinya."Aish! Pelan-pelan napa. Lo niat bunuh gue?" gerutu Dodi.Taki mendengkus."Makanya, kalau ada orang nanya itu dijawab."Dodi terkekeh."Harusnya gue yang marah. Kenapa malah elo," ujarnya datar. Taki lagi-lagi hanya mendengkus. Dodi memang keras kepala. Beruntung dirinya sabar menghadapi kekeras kepalaan Dodi."Dia datang karena Indira," ucapnya akhirnya."Indira? Kenapa lagi? Bukankah dia sudah menikah dengan Kiara?""Karena ancaman akan membuat wanita yang di dekatnya menderita," cetusnya lagi dengan wajah yang super datar tanpa dosa."Di! Gue harus bilang berapa kali hah. Jangan ganggu Kiara lagi. Biarkan dia menemukan kebahagiannya."Kesal juga lama-lama Taki. Dia menutup kotak p3K
Kiara menjauhkan ponselnya dari telinga. Menatap kesal pada nomor yang tertera di layar ponselnya. Apaan coba maksud Devan melarang-larangnya. Padahal saat ini dia sedang di luar bersama dengan Nina dan Rara."Kenapa mbak?" tanya Nina saat melihat raut kesal Kiara. Kiara menggeleng."Tahu tuh, Devan. Protektif banget. Jalan keluar aja di larang. Nyebelin.""Itu tandanya pak Devan sayang banget sama mbak. Cie ... yang dikhawatirin," goda Nina, semburat merah timbul di pipi Kiara."Apaan sih Nin," meski sebenarnya dia senang juga.Mereka kembali berbincang sembari menunggui Rara yang sedang di potong rambutnya di salon.Tadi, karena merasa sumpek, akhirnya Kiara ikut menjemput Rara. Yaa karena seharusnya itu kewajibannya."Kamu sendiri, kapan nih mau mengenalkan calon. Hehe,"Nina tersenyum simpul."Belum ada mbak. Mbak mau nyariin? Wah boleh banget tuh," jawabnya."Kalau kamu mau, saya ada kenalan lo. Dia anaknya baik, ganteng, k
Devan menghampiri Kiara. Kiara membalikkan badannya, kembali membelakangi Devan."Kiara, lihat aku," ujar Devan."Aku ngantuk, Van. Kembalilah ke kantor. Aku tahu ini masih jam kerja.""Gak. Sebelum kamu mau berbicara denganku."Kiara bangun, duduk di ranjang sembari netranya menatap Devan."Sedari tadi aku menjawab kau kira itu bukan pembicaraan?"Devan mengacak rambutnya. Dia menghampiri Kiara dan duduk di samping gadis itu. Tapi Kiara kembali menggeser tubuhnya."Bukan begitu maksudku, sayang. Aish. Kenapa jadi kamu yang marah sih."Sorot matanya sendu dan bingung."Salah sendiri ngelarang-larang.""Aku melarang juga demi kebaikanmu. Aku hanya tidak mau sesuatu buruk terjadi.""Tapi kan aku udah ada Nina. Gak sendirian, Van. Please lah. Lagipula aku gak ada musuh kok. Tenang aja. Gak ada yang niat jahilin aku.""Kita gak pernah tahu hati manusia, sayang. Mereka yang kamu anggap baik, belum tentu baik se
"Kamu harus bertindak cepat Nin. Sebelum semuanya terlambat," ujar Satrio.Gemerlap dunia malam dengan denting gelas dan musik berdentang merasuki gendang telinga.Nina memainkan gelas di tangannya."Pelan saja. Justru aku ingin melihat kehancuran wanita itu dulu," ujarnya santai."Apa maksudmu? Kamu bermaksud menyakiti Kiara? Gak! Aku gak setuju."Nina tersenyum tipis. Didekatinya wajah Satrio hingga memangkas jarak keduanya."Dia penghalangku. Tugasku hanya menyingkirkan dia. Aku juga tak peduli dia siapanya kamu. Kesepakatan kita adalah memisahkan mereka. So, mau aku apakan Kiara, itu terserah aku kan?"Satrio menggeram, mengepalkan tangannya kuat. Nina ternyata selicik ini."Aku bahkan punya senjata untuk memisahkan mereka. Kalau kamu sendiri? Apa amunisimu untuk menghancurkan hubungan mereka, hm? Sekedar info Kiara pernah di perkosa? Hey! Itu tidak akan mempengaruhi Devan. Aku tahu persis pria itu ketika jatuh cinta."Satrio kembali men
Nadia sedari tadi memainkan penanya. Melirik Kiara yang sedang serius dengan pekerjaannya. Padahal dirinya ingin menanyakan sesuatu. Lagian pumpung si Ayu dan Satrio lagi gak ada. Dia sedang malas ditanya-tanya tentang Dodi.Nadia bergerak tak tenang, sebentar-bentar melirik Kiara. Dia menggigit bibir bawahnya, ragu. Tapi dia sangat penasaran. Akhirnya egonya lebih menguasai, untuk sementara rasa gak enakan ngalah duluan deh. Nadia mencolek bahu Kiara."Hmm... kenapa Nad?" ujarnya dengan tetap fokus ke laptopnya. Mengetikkan sesuatu."Emm, gue pengen nanya sesuatu sama elo," ujar Nadia.Kiara mengangguk. Kebetulan sekali Devan sedang pergi. Bisalah nilap bentar. Dia menghadapkan badannya ke arah Nadia."Tanya apa?"Nadia menscrool layar ponselnya dan menunjukkan pada Kiara."Lo kenal gak sama ini?" tanyanya. Kiara mendekat untuk melihat lebih jelas.Matanya membulat saat melihat wajah di ponsel itu."L-lo kenal dia juga?" kaget