Kiara menjauhkan ponselnya dari telinga. Menatap kesal pada nomor yang tertera di layar ponselnya. Apaan coba maksud Devan melarang-larangnya. Padahal saat ini dia sedang di luar bersama dengan Nina dan Rara.
"Kenapa mbak?" tanya Nina saat melihat raut kesal Kiara. Kiara menggeleng."Tahu tuh, Devan. Protektif banget. Jalan keluar aja di larang. Nyebelin.""Itu tandanya pak Devan sayang banget sama mbak. Cie ... yang dikhawatirin," goda Nina, semburat merah timbul di pipi Kiara."Apaan sih Nin," meski sebenarnya dia senang juga.Mereka kembali berbincang sembari menunggui Rara yang sedang di potong rambutnya di salon.Tadi, karena merasa sumpek, akhirnya Kiara ikut menjemput Rara. Yaa karena seharusnya itu kewajibannya."Kamu sendiri, kapan nih mau mengenalkan calon. Hehe,"Nina tersenyum simpul."Belum ada mbak. Mbak mau nyariin? Wah boleh banget tuh," jawabnya."Kalau kamu mau, saya ada kenalan lo. Dia anaknya baik, ganteng, kDevan menghampiri Kiara. Kiara membalikkan badannya, kembali membelakangi Devan."Kiara, lihat aku," ujar Devan."Aku ngantuk, Van. Kembalilah ke kantor. Aku tahu ini masih jam kerja.""Gak. Sebelum kamu mau berbicara denganku."Kiara bangun, duduk di ranjang sembari netranya menatap Devan."Sedari tadi aku menjawab kau kira itu bukan pembicaraan?"Devan mengacak rambutnya. Dia menghampiri Kiara dan duduk di samping gadis itu. Tapi Kiara kembali menggeser tubuhnya."Bukan begitu maksudku, sayang. Aish. Kenapa jadi kamu yang marah sih."Sorot matanya sendu dan bingung."Salah sendiri ngelarang-larang.""Aku melarang juga demi kebaikanmu. Aku hanya tidak mau sesuatu buruk terjadi.""Tapi kan aku udah ada Nina. Gak sendirian, Van. Please lah. Lagipula aku gak ada musuh kok. Tenang aja. Gak ada yang niat jahilin aku.""Kita gak pernah tahu hati manusia, sayang. Mereka yang kamu anggap baik, belum tentu baik se
"Kamu harus bertindak cepat Nin. Sebelum semuanya terlambat," ujar Satrio.Gemerlap dunia malam dengan denting gelas dan musik berdentang merasuki gendang telinga.Nina memainkan gelas di tangannya."Pelan saja. Justru aku ingin melihat kehancuran wanita itu dulu," ujarnya santai."Apa maksudmu? Kamu bermaksud menyakiti Kiara? Gak! Aku gak setuju."Nina tersenyum tipis. Didekatinya wajah Satrio hingga memangkas jarak keduanya."Dia penghalangku. Tugasku hanya menyingkirkan dia. Aku juga tak peduli dia siapanya kamu. Kesepakatan kita adalah memisahkan mereka. So, mau aku apakan Kiara, itu terserah aku kan?"Satrio menggeram, mengepalkan tangannya kuat. Nina ternyata selicik ini."Aku bahkan punya senjata untuk memisahkan mereka. Kalau kamu sendiri? Apa amunisimu untuk menghancurkan hubungan mereka, hm? Sekedar info Kiara pernah di perkosa? Hey! Itu tidak akan mempengaruhi Devan. Aku tahu persis pria itu ketika jatuh cinta."Satrio kembali men
Nadia sedari tadi memainkan penanya. Melirik Kiara yang sedang serius dengan pekerjaannya. Padahal dirinya ingin menanyakan sesuatu. Lagian pumpung si Ayu dan Satrio lagi gak ada. Dia sedang malas ditanya-tanya tentang Dodi.Nadia bergerak tak tenang, sebentar-bentar melirik Kiara. Dia menggigit bibir bawahnya, ragu. Tapi dia sangat penasaran. Akhirnya egonya lebih menguasai, untuk sementara rasa gak enakan ngalah duluan deh. Nadia mencolek bahu Kiara."Hmm... kenapa Nad?" ujarnya dengan tetap fokus ke laptopnya. Mengetikkan sesuatu."Emm, gue pengen nanya sesuatu sama elo," ujar Nadia.Kiara mengangguk. Kebetulan sekali Devan sedang pergi. Bisalah nilap bentar. Dia menghadapkan badannya ke arah Nadia."Tanya apa?"Nadia menscrool layar ponselnya dan menunjukkan pada Kiara."Lo kenal gak sama ini?" tanyanya. Kiara mendekat untuk melihat lebih jelas.Matanya membulat saat melihat wajah di ponsel itu."L-lo kenal dia juga?" kaget
"A-Arin?" ulang Kiara. Dan, gadis cantik itu mengangguk, masih dengan lagak anggunnya."Ini saya gak di persilakan duduk ya? Soalnya capek baru aja dari bandara."Kiara dan Nadia saling pandang."Eh,iya mbak. Sini. Ngopi-ngopi dulu bareng kita. Kayaknya mbak ngantuk deh, makanya ngomongnya ngelantur gitu," ujar Nadia, setengah kesal iya, pengen nabok juga iya. Gak punya malu banget cewek ini. Kiara langsung menyenggol bahu Nadia. Menyuruhnya diam."Maksudnya?" Arin mengernyitkan dahi."Gak kok. Duduk aja dulu. Aku coba hubungi Devan Soalnya dia tadi bilang gak bisa diganggu."Arin mengangguk. Lalu duduk disalah satu kursi. Pandangannya melihat penjuru ruangan kantor. Tangannya menepuk-nepuk pahanya pelan. Nadia sedari tadi mengamati gadis aneh ini. Heran aja, bisa-bisanya ngaku jadi pacar Devan di depan istrinya sendiri."Gak bisa ya? Oh, ya udah .... Padahal ada kejutan buat kamu ... hmm, ya nanti aja deh kalau gitu."Kiara k
Sementara Arin menelpon Cathrine dan mengabari akan ke apartemen Catherine."Udah sampek lo?""Udah. Tapi Devan gak ada.""What! Lo beneran ke kantor Devan?""Iya. Memang kenapa? Gue udah kangen banget sama dia.""Huh! Harusnya lo bilang sama gue dulu.""Perasaan tadi gue udah bilang geh.""Gue belum sempat ngomong udah lo tutup aja.""Hehe, sory. Ya gimana, orang pesawat gue udah mau take off. Eh, tapi gue heran. Kok sekretaris Devan gak sopan banget sih. Masak manggil Devan cuma pake nama doang tanpa embel-embel pak. Gila gak sih. Tumben banget Devan mau nerima karyawan gak sopan gitu.""Sekretaris? Maksud lo cewek tinggi berlesung pipit?""Iya. Lo tahu juga? Dih, nyebelin banget kan?"Dari seberang Catherine menghela napas."Sumpah, gila banget. Gak sopannya kebangetan. Mana judes lagi. Gue minta nomor Devan aja gak di kasih. Sok banget dia," omel Arin. Sang sopir meliriknya selintas. "Kita mau kemana, Mbak?"
Semilir angin berhembus menyejukkan. Matahari beranjak ke ufuk barat. Kilau keemasaanya berpendar memberikan warna yang terlihat indah memantul mengenai kulit.Devan menepikan mobilnya di pinggir jalan. Bukan jalan menuju arah pulang, tapi sengaja Devan mengajak ke suatu tempat. Refreshing katanya. Sebagai seorang istri, Kiara nurut aja dong.Mereka duduk lesehan beralas rumput sembari menatap matahari terbenam.Andai kalian tahu, disini tempatnya lahan rumput dan lapang yang luas. Disebelah barat sana ada tebing yang tak terlalu dalam. Seberangnya ada persawahan yang menghijau."Gak papa kan gak langsung pulang?""Hm."Kiara sedari tadi memang tidak banyak bicara. Hatinya masih dongkol."Sini," ujar Devan menyuruh Kiara untuk duduk lebih dekat. Pura-pura tak mendengar, Kiara tak beringsut sedikitpun dari posisinya."Ck."Devan mendecak pelan. Akhirnya dialah yang menggeser duduknya hingga lengannya berdempe
"Nanti jam makan siang ke ruangan," bisik Devan. Kiara mengangguk. Setelah itu Devan melepas pelukannya dan menuju ruangannya."Asyik. Makin mesra aja nih."Kiara menanggapi Ayu dengan tersenyum tipis. Menyapa Nadia yang juga melempar senyum padanya. Sepertinya suasana hati sahabatnya itu lebih baik dari kemarin-kemarin. Mungkinkah karena Taki? Ah entahlah. Dia hanya bisa mengira. Kiara meletakkan tasnya di tempatnya. Lalu kembali dengan rutinitasnya.Selintas dia rasa seperti ada yang memperhatikannya dengan seksama. Tapi Kiara buru-buru membuang prasangkanya dan melanjutkan pekerjaannya.-----"Iya, bagaimana?" Kiara meletakkan ponselnya di telinga kirinya. Sembari mengapit berkas dengan lengannya."Mbak bisa pulang sebentar? Ada orang tua mbak disini.""Ah, yang benar?" Binar matanya terlihat bahagia."Iya mbak.""Suruh istirahat saja di kamar Nin. Nanti jam istirahat saya baru bisa pulang. Soalnya kerjaan Devan lagi banyak
Sementara di kantor, Devan duduk santai. Duduk bersilang dan melirik ponselnya dengan terkekeh pelan. Arin memandangnya heran tentu saja. Padahal baru saja akan terjadi perang dunia loh. Tapi lihatlah betapa santainya pria di hadapannya ini. Tak pernah berubah dari dulu. Membuat perasaannya bukannya menghilang malah makin bertambah.Arin nekat datang lagi meski telah mendengar penjelasan dari Cathrine. Dia belum percaya sebelum benar-benar mendengarnya dari Devan langsung. "Lo gak ada niatan buat ngejar istri lo apa?"Devan mengalihkan perhatiannya dari ponselnya. Tersenyum simpul."Gak. Buat apa?""Dia marah.""Lalu?"Arin mendengkus pelan. Inilah Devan yang dikenalnya."Kapan datang?""Kemarin.""Sekarang tinggal dimana? Pulang ke rumah?""Gak. Gue ke apart nya Cathie."Devan manggut-manggut."Mau minum apa?" tawarnya masih dengan wajah santainya."Terserah.""Oke."Devan menghubungi OB untuk
Delapan bulan berlalu. Setelah kejadian tersebut, keluarga kecil Devan kembali seperti semula. Ditambah satu anggota keluarga, bayi laki-laki yang tampan dan menggemaskan. Reyvaldo Erlangga, namanya.Tingkah menggemaskan bocah tersebut membuat suasana rumah semakin berwarna. Rara apalagi, dia bahkan selalu bersemangat untuk bermain-main dengan adiknya. Sepulang sekolah, dia langsung mencari adiknya,mencium gemas pipi Er yang sama-sama gembul seperti dirinya.Tak ada lagi pengganggu bernama Indira. Dia telah lama pergi akibat dari kelakuannya sendiri. Dendamnya berakhir menjadi bumerang untuk dirinya. Bayi Indira sendiri kini di rawat oleh Tasya yang memang menginginkan seorang adik untuk Dino. Siapa tahu bisa menjadi pancingan pada Yudi.Untung saja, bayi Indira yang dinamakan Keyra Vanesha normal, meskipun dimasa kehamilan dirinya ibunya tak pernah merawat dirinya. Organ tubuhya lengkap dan sehat. Usia Keyra dan Erlangga sama, hanya berjarak satu hari saj
Berhubung usia kandungan Kiara masih tujuh bulan, maka bayinya mengalami lahir prematur dan harus di rawat dalam ruang khusus, bersama dengan bayi Indira yang juga mengalami hal yang sama. Untung saja ada Sarah, dokter yang mereka kenal dan bisa di percayai merawatnya.Kiara masih lemas. Luka di kepalanya masih terasa nyeri, begitu pula dengan di perutnya, karena terpaksa harus melakukan operasi cesar. "Kemana Dodi?" tanyanya lemas. "Dia di ruang sebelah sayang," jawab Devan. Dia bahagia karena akhirnya istrinya melewati masa kritisnya meski wajahnya masih sangat pucat dan lemas."Bawa aku kesana, Van. Aku ingin melihatnya," ujarnya."Tidak. Jangan sekarang. Kamu masih lemah sayang. Nanti saja ya, kalau sudah mendingan.""Tapi aku ...""Stt...""Tak ada tapi-tapian. Ya, istirahat dulu. Nanti kalau sudah mendingan, aku anterin ke ruangan Dodi ya?"Kiara akhirnya mengangguk, tersenyum lemah."Tapi kamu sudah memaafkannya kan?"
Wajah itu, wajah yang sempat dia cintai. Si pemilik hati nya yang sempat membuatnya berbunga-bunga. Sungguh, tubuhnya lemas. Dalam hati terdalamnya, jujur, Nadia masih ada rasa pada Dodi. Dan melihatnya kini berbaring lemah di hadapannya, membuatnya sakit.Taki belum menyadari perubahan wajah Nadia. Setelah Dodi di bawa ke rungan yang berbeda dengan Kiara, dia yang menjagai sahabat eratnya tersebut dengan di temani Nadia."Huft, baru saja lo sembuh Di ... baru saja lo bilang bakal membuka lembaran baru, dan ternyata ada kejadian ini," desah Taki."Tapi gue bangga sama lo, meski kesal juga sama lo. Lo lebih mentingin nyawa istri sahabat lo sendiri di bandingkan dengan nyawa lo sendiri. Semoga setelah ini, perasaan bersalah lo sama Devan bisa berkurang," tambahnya lagi.Taki tersenyum kecut. Setelah mendengar kabar mengenai kekisruhan yang di sebabkan oleh Indira, diam-diam Dodi selalu mengawasi Kiara. Demi menebus kesalahannya pada Devan beberapa tahun silam
Untuk ke dua kalinya, berita buruk. "Ya ampun nak. Apalagi yang terjadi?" paniknya.Dia berdiri di pinggir jalan, tak lama, dia menyeberang tergesa. Namun sebuah mobil melaju kencang ke arahnya. Cepat dan tanpa sempat dia sadari.Kakinya seakan menancap di tanah tak bisa dia gerakkan sama sekali."Awas!" pekik seseorang dan mendorong Kiara ke pinggir jalan, membuat mereka jatuh terjerembab. Rupanya mobil tadi sengaja menabrak Kiara, melihat rencananya gagal, dia berbalik tanpa sempat mereka sadari."Kamu, tak apa kan?" ucap seseorang itu. Kiara meringis, perutnya sakit, pinggangnya juga. Rasa nyeri yang menjalar."Awass!" pekik orang itu begitu melihat mobil itu sudah dekat dengan mereka.Dan brak!Rasanya sakit, gelap ... gelap ... dan gelap..Rumah sakit lagi-lagi menjadi tempat kunjungan mereka. Dalam situasi yang lebih menegangkan dari yang pertama. Usai kejadian tersebut, Kiara dan seseorang itu di lar
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu