Nadia sedari tadi memainkan penanya. Melirik Kiara yang sedang serius dengan pekerjaannya. Padahal dirinya ingin menanyakan sesuatu. Lagian pumpung si Ayu dan Satrio lagi gak ada. Dia sedang malas ditanya-tanya tentang Dodi.Nadia bergerak tak tenang, sebentar-bentar melirik Kiara. Dia menggigit bibir bawahnya, ragu. Tapi dia sangat penasaran. Akhirnya egonya lebih menguasai, untuk sementara rasa gak enakan ngalah duluan deh. Nadia mencolek bahu Kiara."Hmm... kenapa Nad?" ujarnya dengan tetap fokus ke laptopnya. Mengetikkan sesuatu."Emm, gue pengen nanya sesuatu sama elo," ujar Nadia.Kiara mengangguk. Kebetulan sekali Devan sedang pergi. Bisalah nilap bentar. Dia menghadapkan badannya ke arah Nadia."Tanya apa?"Nadia menscrool layar ponselnya dan menunjukkan pada Kiara."Lo kenal gak sama ini?" tanyanya. Kiara mendekat untuk melihat lebih jelas.Matanya membulat saat melihat wajah di ponsel itu."L-lo kenal dia juga?" kaget
"A-Arin?" ulang Kiara. Dan, gadis cantik itu mengangguk, masih dengan lagak anggunnya."Ini saya gak di persilakan duduk ya? Soalnya capek baru aja dari bandara."Kiara dan Nadia saling pandang."Eh,iya mbak. Sini. Ngopi-ngopi dulu bareng kita. Kayaknya mbak ngantuk deh, makanya ngomongnya ngelantur gitu," ujar Nadia, setengah kesal iya, pengen nabok juga iya. Gak punya malu banget cewek ini. Kiara langsung menyenggol bahu Nadia. Menyuruhnya diam."Maksudnya?" Arin mengernyitkan dahi."Gak kok. Duduk aja dulu. Aku coba hubungi Devan Soalnya dia tadi bilang gak bisa diganggu."Arin mengangguk. Lalu duduk disalah satu kursi. Pandangannya melihat penjuru ruangan kantor. Tangannya menepuk-nepuk pahanya pelan. Nadia sedari tadi mengamati gadis aneh ini. Heran aja, bisa-bisanya ngaku jadi pacar Devan di depan istrinya sendiri."Gak bisa ya? Oh, ya udah .... Padahal ada kejutan buat kamu ... hmm, ya nanti aja deh kalau gitu."Kiara k
Sementara Arin menelpon Cathrine dan mengabari akan ke apartemen Catherine."Udah sampek lo?""Udah. Tapi Devan gak ada.""What! Lo beneran ke kantor Devan?""Iya. Memang kenapa? Gue udah kangen banget sama dia.""Huh! Harusnya lo bilang sama gue dulu.""Perasaan tadi gue udah bilang geh.""Gue belum sempat ngomong udah lo tutup aja.""Hehe, sory. Ya gimana, orang pesawat gue udah mau take off. Eh, tapi gue heran. Kok sekretaris Devan gak sopan banget sih. Masak manggil Devan cuma pake nama doang tanpa embel-embel pak. Gila gak sih. Tumben banget Devan mau nerima karyawan gak sopan gitu.""Sekretaris? Maksud lo cewek tinggi berlesung pipit?""Iya. Lo tahu juga? Dih, nyebelin banget kan?"Dari seberang Catherine menghela napas."Sumpah, gila banget. Gak sopannya kebangetan. Mana judes lagi. Gue minta nomor Devan aja gak di kasih. Sok banget dia," omel Arin. Sang sopir meliriknya selintas. "Kita mau kemana, Mbak?"
Semilir angin berhembus menyejukkan. Matahari beranjak ke ufuk barat. Kilau keemasaanya berpendar memberikan warna yang terlihat indah memantul mengenai kulit.Devan menepikan mobilnya di pinggir jalan. Bukan jalan menuju arah pulang, tapi sengaja Devan mengajak ke suatu tempat. Refreshing katanya. Sebagai seorang istri, Kiara nurut aja dong.Mereka duduk lesehan beralas rumput sembari menatap matahari terbenam.Andai kalian tahu, disini tempatnya lahan rumput dan lapang yang luas. Disebelah barat sana ada tebing yang tak terlalu dalam. Seberangnya ada persawahan yang menghijau."Gak papa kan gak langsung pulang?""Hm."Kiara sedari tadi memang tidak banyak bicara. Hatinya masih dongkol."Sini," ujar Devan menyuruh Kiara untuk duduk lebih dekat. Pura-pura tak mendengar, Kiara tak beringsut sedikitpun dari posisinya."Ck."Devan mendecak pelan. Akhirnya dialah yang menggeser duduknya hingga lengannya berdempe
"Nanti jam makan siang ke ruangan," bisik Devan. Kiara mengangguk. Setelah itu Devan melepas pelukannya dan menuju ruangannya."Asyik. Makin mesra aja nih."Kiara menanggapi Ayu dengan tersenyum tipis. Menyapa Nadia yang juga melempar senyum padanya. Sepertinya suasana hati sahabatnya itu lebih baik dari kemarin-kemarin. Mungkinkah karena Taki? Ah entahlah. Dia hanya bisa mengira. Kiara meletakkan tasnya di tempatnya. Lalu kembali dengan rutinitasnya.Selintas dia rasa seperti ada yang memperhatikannya dengan seksama. Tapi Kiara buru-buru membuang prasangkanya dan melanjutkan pekerjaannya.-----"Iya, bagaimana?" Kiara meletakkan ponselnya di telinga kirinya. Sembari mengapit berkas dengan lengannya."Mbak bisa pulang sebentar? Ada orang tua mbak disini.""Ah, yang benar?" Binar matanya terlihat bahagia."Iya mbak.""Suruh istirahat saja di kamar Nin. Nanti jam istirahat saya baru bisa pulang. Soalnya kerjaan Devan lagi banyak
Sementara di kantor, Devan duduk santai. Duduk bersilang dan melirik ponselnya dengan terkekeh pelan. Arin memandangnya heran tentu saja. Padahal baru saja akan terjadi perang dunia loh. Tapi lihatlah betapa santainya pria di hadapannya ini. Tak pernah berubah dari dulu. Membuat perasaannya bukannya menghilang malah makin bertambah.Arin nekat datang lagi meski telah mendengar penjelasan dari Cathrine. Dia belum percaya sebelum benar-benar mendengarnya dari Devan langsung. "Lo gak ada niatan buat ngejar istri lo apa?"Devan mengalihkan perhatiannya dari ponselnya. Tersenyum simpul."Gak. Buat apa?""Dia marah.""Lalu?"Arin mendengkus pelan. Inilah Devan yang dikenalnya."Kapan datang?""Kemarin.""Sekarang tinggal dimana? Pulang ke rumah?""Gak. Gue ke apart nya Cathie."Devan manggut-manggut."Mau minum apa?" tawarnya masih dengan wajah santainya."Terserah.""Oke."Devan menghubungi OB untuk
Berhubung masih pukul sepuluh lewat sepuluh menit jadi Rara belum pulang. Jadi Nina masih di rumah. Dia bantu-bantu beres-beres rumah. Kiara datang tak lama kemudian. Matanya langsung tertuju pada Nina yang sedang mengepel lantai."Ayah sama ibu dimana?" tanya Kiara pada Nina. Sebisa mungkin dia tetap menyunggingkan senyumnya. Baby Sitter Rara itu mendongak. Menghentikan kegiatannya sebentar."Di kamar atas yang sebelah kiri mbak," tunjuknya.Kiara bergegas menaiki tangga. Kebahagiaan kembali menyelimuti. Akhirnya sekian lama, dia kembali bertemu orang tuanya. Bahagia itu sejenak melupakan rasa sakitnya pada Devan.Kiara membuka pintu kamar dan bersorak."Ayah, ibu."Dua orang tua yang sedang beristirahat itu sontak menoleh ke arah pintu. Menyambut hangat putri mereka satu-satunya.Kiara langsung menghambur ke pelukan ibunya."Kiara kangen bu," ujarnya di sela pelukan. Ia rekatkan pelukannya pada wanita yang sudah merawat
Kiara sedari tadi memandang malas pada Devan. Huh, memang dasar gak peka. Masih juga gak sadar dengan kelakuannya tadi di kantor. Masih dengan kemeja kantornya, dengan jas tersampir di sofa dan dasi yang masih terikat rapi, Devan mengobrol dengan ke dua orang tuanya.Sesekali pria yang berstatus sebagai suami sahnya itu senyam senyum melirik dirinya kala sang ibu menanyakan kehamilan Kiara."Bagaimana, Nduk, apa sudah ngisi?""Ma-maksud ibu?""Oalah nduk, jangan pura-pura gak faham to. Maksudnya udah hamil belum?"Bukannya lekas menjawab Kiara malah menunduk, wajahnya memerah. "Jangan nanyain itu lah, Bu, malu.""Lo kenapa malu. Kalian kan sudah menikah. Sudah seharusnya punya anak. Apalagi ibu lihat Rara juga sudah besar. Pasti dia juga suka kalau punya adik lagi."Kiara tak menjawab. Benar kata ibunya. Tapi kalau memang belum di anugerahi dia harus bagaimana."Jadi belum ya?"Kiara menggeleng."Mu